Bab. V Partner In Crime
“Beep beep..”, handphoneku bergetar. Ada pesan masuk
oi, black forest?dimane loe?
Pengirim: Erick Alcantara
+628199916661
Pusat pesan:
+62818445009
Dikirim:
30-Agustus-2010
16:17:43
Tertulis di layar monochrom hpku. Kubalas : udah di rumah, sini loe cepetan. Saat aku memperhatikan ibu dan Lena yang asik menertawakan foto ingusan masa kecilku, tiba2 datang seorang gadis umur belasan tahun dengan mata berbinar membawa nampan dan 3 buah cangkir berteriak histeris,
“kak radeet?!?! Ini kak radeet kan?!?!”.
“ati2.. ati tar jatoh.. taro dulu..”, aku ikut panik melihat gadis itu saat dia berjalan maju dengan cepat, takut kalau cangkirnya berakrobat beserta nampan yang dibawanya. Cepat ditaruhnya nampan di atas meja, kemudian gadis itu memelukku.
“Ini beneran kak Radeet kan?”, ada nada kerinduan dalam pertanyaannya.
Aku bingung setengah mati, tidak mengenali gadis yang memelukku ini. Aku mengalihkan pandangan pada ibu, “Ini siapa?”, aku bertanya pada ibu tanpa bersuara.
“Nani.. ga boleh gitu.. ga sopan..”, kata ibu lembut.
“Tapi kan Nani kangen bu sama kak Radeet..”, gadis yang bernama Nani tetap memelukku.
Nani.. Nani.., aku coba mengingat namanya.
Nani.. ya Nani! Anak kecil yang dibawa ke panti sama dinas sosial itu, aku teringat. Nani menjadi anggota keluarga panti saat berusia 4 tahun. Dia jadi yatim piatu karena rumahnya kebakaran, hanya dia yang selamat. Dinas Sosial akhirnya membawanya ke panti ini, dengan janji menanggung biaya hidup dan sekolahnya sampai SMA. Sejak pertama sampai di panti, Nani adalah gadis kecil yang pendiam. Dia masih trauma akibat kebakaran hebat yang merenggut keutuhan keluarganya. Aku dan beberapa anggota panti yang lain mencoba menghiburnya. Tapi entah kenapa, dia hanya mau dekat denganku dan Fani.
“Kak Radeet kemana aja? Nani kangen.. Panti jadi sepi ga ada kalian.. ”, ada sedikit kesedihan dalam pertayaannya. Tata “kalian” yang diucapkan Nani membuatku perih. “Kalian” yang dimaksud Nani adalah aku dan Fani.
“Kakak ga kemana-mana kok.. ni kan kakak dah dateng..”, kataku menghibur. Nani sejak kecil sudah manja kepadaku. Aku menganggapnya seperti adik sendiri. Pertama masuk sekolah dasar, aku dipaksa membolos sekolah untuk menungguinya sampai pulang. Saat sakit, dia hanya mau aku suapi, jika disuapi orang lain dia tidak mau makan. Dan tidur malamnya selalu minta didongengi atau dinyanyikan lagu.
“Nani.. sudah donk.. nanti pacarnya Radeet marah..”, kata ibu nercanda.
“eh.. maaf maaf.. “, kata Nani salah tingkah memandang Lena.
“ga pa pa kok bu..”, kata Lena tersenyum melihat tingkah Nani. Lena terbiasa melihat gadis2 remaja memelukku, minta berfoto dengan gaya mesra, mencubit pipiku bahkan mencium pipiku saat kami jalan diluar. “resiko punya pacar artis”, kelakarnya.
“maaf ya kak Lena.. soalnya Nani kangen.. udah lama banget ga ketemu..”, Nani minta maaf.
“ga pa pa kok.. Radeet udah cerita kamu itu siapa.. lagian udah 10 taun kalian ga ketemu kan? ”, jawab Lena tulus.
Kami pun duduk bersama ibu dan Lena. “Nani, kamu dulu aku tinggalin masi kecil, sekarang udah segede gini.. cepet banget ya..”, kataku pada Nani.
“iya dong.. eh kak, Nani udah tamat sekolah lho.. sekarang udah kerja”, jawab Nani.
“ohh ya? Kerja dimana?”, aku bertanya lagi.
“di toko kue ABC.. memang sih gajinya engga seberapa, tapi kan buat cari pengalaman”, kata Nani bangga, kebanggaan anak yang baru tamat SMA dan baru merasakan yang namanya kerja.
“wah kamu hebat.. kapan2 klo aku kesana dikasi kue dong?”, aku bercanda.
“boleh.. boleh.. nanti kak Radeet pilih aja.. mau kue brownies, muffin, donat, tart.. semua ada”, promosi Nani, “gratis deh buat kak Radeet”.
Bruummm.. sebuah mobil Lamborghini Gallardo berwarna hitam metalik parkir di depan panti. “Tok Tok..”, suara pintu kaca diketok. Sosok putih berambut gondrong mengenakan jaket kulit nyengir sambil melambaikan tangannya cengengesan. “masuk saja, tidak di kunci”, kata ibu berdiri menyambut sang tamu.
“lho nak Erick.. tumben datang.. sudah janjian sama Radeet?”, ibuku bertanya bergitu tahu siapa tamu yang datang.
“iya bu.. hehehhe.. ibu gimana kabarnya? Sehat bu?”, kata Erick setelah sungkem.
“sehat nak.. mari masuk”, ibu mengajak Erick ke dalam.
“Lama amat? Udah gw tungguin dari tadi juga..”, kataku menyapa Erick.
“jalan toll macet boss.. pada pulang kerja..”, jawab Erick klise.
“Deet bantuin gw angkat barang dong, di mobil”, kata Erick lagi.
“okeh”jawabku singkat. 4 dus Dankin Donat dan 5 koka kola botol 2 liter duduk nyaman di jok penumpang depan. “wah pesta lagi ni anak2.. tadi gw bawa pizza, sekarang dapat donat”, kataku berkelakar.
“yah.. sekali2 boleh lah.. kapan lagi mereka makan yang enak2?”, kata Erick bercanda.
Makanan itu kami taruh di karpet ruang keluarga, Erick ke belakang memanggil anak2 panti, “hoii.. aku bawa donat, siapa yang mauuu?”, suara Erick nyaring memanggil, sepasukan anak2 kecil menyerbu masuk ruang keluarga. Segera ruang keluarga yang tadinya hanya berisi 4 orang dipenuhi anak2 duduk melingkari donat dan kola yang ku taruh di tengah2 karpet. Ditambah Pizza yang tadi ku beli.
“Ya Tuhan.. terimakasih atas anugrahmu hari ini.. kami hanya bisa meminta dan bersyukur kepadamu.. semoga Kau rahmati makanan ini untuk kami... amiinn..”, ibu memimpin doa dengan khidmat. Riuh rendah suara anak2 panti makan. Kembali aku merasakan suasana yang lama ku rindukan. Suasana makan bersama keluarga. Ramai, gembira dan menyenangkan.
Hari sudah mulai gelap. aku duduk bersandar di teras depan diterangi lampu depan panti yang berada tepat di atasku. Ku hembuskan asap rokok ke udara, kebiasaanku setelah makan adalah merokok. Hisapan nikotin merasuk ke dalam paru2, membawa sensasi menenangkan yang tak bisa ku lepas walaupun berkali2 Lena menyuruhku men-stop kebiasaan buruk ini. Erick datang membawa gitar akustik agak berdebu. Gitar akustik ber-merk allegro berwarna hitam mengkilap. Gitar pertama yang ku beli sewaktu smp, hasil tabungan ku bekerja sebagai loper koran. Erick memainkan sebuah lagu yang amat ku kenal. Lagu pertama yang kami ciptakan berdua. Reflek aku bernyanyi mendengar petikan gitar erick.
Youtube Video
Apapun bisa saja kulakukan apalagi ada kau di sini
sampai semua nyaris tak terasa dimana beda benar dan salahnya
Gak kenal hari dan jam berapa gak ada yang gak bisa
Setelah kau s'lalu bersama ku bisa lebih bahaya
Kau dan aku yang jadi penguasa
Kau dan aku persiden dan wakilnya
Kau dan aku gak ada lawannya
Kau dan aku yeah just like a partner in crime
Apapun bisa saja kulakukan apalagi ada kau di sini
sampai semua nyaris tak terasa dimana beda benar dan salahnya
Gak kenal hari dan jam berapa gak ada yang gak bisa
Setelah kau s'lalu bersama ku bisa lebih bahaya
Kau dan aku yang jadi penguasa
Kau dan aku persiden dan wakilnya
Kau dan aku gak ada lawannya
Kau dan aku yeah just like a partner in crime
“hahahahaha”, Kami tertawa bersama setelah menyelesaikan nada terakhir lagu ”Partner In Crime” ini.
“kaya muda lagi ya?”, kata Erick.
“kamu tu yang tua, aku sih dari dulu muda..”, kataku mengejeknya.
“kampret..”, umpat Erick sambil meninju lenganku.
“sampe kapan kita kaya gini ya?”, kata Erick tiba2.
“hmm? Maksudmu?”, aku heran dengan pertanyaan bernada filosofinya.
“aku ga tau.. mungkin bulan depan aku nikah..”, kata Erick menghisap rokoknya.
“hahahahahahaha.. Erick.. Erick.. orang kaya kamu mau nikah? Apa kata dunia?”, kataku meniru naga bonar. Erick terdiam menghembus asap rokoknya, sebuah reaksi yang menandakan dia tidak main2.
“serius kamu Rick?”, aku tak menyangka.
“iya.. minggu lalu aku lamar Shanti..”, kata Erick lagi.
“trus dia mau?”, tanyaku penasaran.
“ya mau lah.. Erick gitu lho..”, katanya menyombongkan kesuksesannya.
“wah wah.. selamat.. selamat..”, aku menyalami Erick.
“tapi aku takut..”, kata Erick ragu.
“masa penjahat kelamin kaya kamu takut? Tinggal masukin, goyang trus crot, ya kan?”, tanyaku bercanda.
“bukan.. bukan itu.. aku takut persahabatan kita.. jika aku menikah nanti, kita tak seperti ini lagi..”, Erick mengakui keresahannya.
“Erick.. erick.. kamu tau ga? Mau kamu nikah kek.. mau kamu ngapain kek, ga akan ngaruh sama persahabatan kita.. kita ini kenal dari SD, temenan dari SD.. ya ga mungkin lah Cuma gara2 kamu nikah sikapku sama kamu berubah?.. kita ini partner in crime.. inget kan?”, kataku meyakinkan. “kecuali kalo kamu mati atau jadi maho.. ogah gw”, kutambahkan dengan gestru tubuh jijik yang dibuat buat. Erick melempar bungkus rokoknya padaku.
“emangnya kamu? Udah 5 taun pacaran ga brani ngelamar.. “, balas Erick sambil mengelutkan lengannya di leherku seperti pegulat pro.
Lena tersenyum melihat tingkah kami dari kejauhan. Melihat dua orang sahabat sejak kecil yang meluangkan waktu bersama di tempat kenangan. Persahabatan yang tulus dua bocah kecil bertahun-tahun lalu yang dimulai dengan sepotong black forest di halaman panti asuhan Utopia. Tempat awal mula lahirnya “The Two Terror”. Tempat dimulainya sumpah tak terucap sebagai “partner in crime”.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar