Sebagai sasaran penelitian, mereka mengambil kilang minyak lepas pantai di pulau Bangka yang akhir-akhir ini menjadi sorotan media massa setelah nelayan-nelayan setempat pergi ke Jakarta untuk melakukan unjuk rasa di istana negara. Cintya, Gea dan Sandy bertugas menyiapkan literatur-literatur yang akan menjadi landasan teori juga acuan form survey yang akan mereka sebarkan ke penduduk sekitar. Sedang Tommy dan Dimas bertanggung jawab mengurus semua perijinan dan loby-loby yang diperlukan untuk penelitian.
“setelah 3 bulan kita memantapkan teori kita, kini saatnya terjun ke lapangan, data-data hasil survey adalah inti dari tugas akhir kita”, Sandy, mahasiswa yang paling cerdas diantara mereka angkat bicara.
“gua ama Dimas sudah urus semua keperluan kita disana, termasuk akomodasi dan tempat kita menginap, lusa gua duluan kesana bareng Sandy. Cewek-cewek nyusul dua hari kemudian bareng Dimas”, Tommy memaparkan prosedur bagaimana mereka akan ke lokasi penelitian. Tommy memang terbiasa berpetualang, dia ketua organisasi pecinta alam yang diikuti Cintya.
“kenapa ga barengan aja sih?” protes Cintya. Dia tidak suka jika ada yang bersikap genderisasi.
“surat pengantar dari kampus kan baru keluar tiga hari lagi? Selagi gua ngurus tuh surat, loe ama Gea siapin formnya”, Dimas menjelaskan dengan tenang.
“dan gua sengaja bareng Sandy, siapa tahu profesor kita ini nemuin sesuatu yang bisa bikin tugas akhir kita makin jreng?. Nih anak kan otaknya selalu encer”, Tommy menambahkan. Sandy yang disebut profesor pura-pura tidak memperhatikan.
“okey deh, lagian cowok gua kan ultah dua hari lagi, masa iya gua tinggal”, Gea menimpali dengan centilnya. Cintya memandangnya sebal, meski dia tahu bahwa itu memang rencana terbaik yang mereka punya.
*_*_*
Name : Antonius Handoko (Anton)
Age : 55
Status : Enviromental Hazard
Deathline : this year
Proof file : attached
Case Class : 42 STARS
-hadled by Silent Rose-
Ian tersenyum membaca isi e-mail yang diterimanya dari Association, meja kerjanya hanya berisi sebuah note dan laptopnya, namun di dinding-dinding ruangannya tertempel berbagai informasi dan beberapa rancangan metode yang akan dia gunakan untuk menyelesaikan case kali ini, informasi mengenai target, orang-orang kepercayaan target, kebiasaan dan kegemaran target juga informasi-informasi pendukung lainnya tertempel rapi di sisi dinding ruangan kerjanya.
Di ruangan kecil inilah ian sang Silent Rose menganalisa target, melakukan perhitungan probabilitas dan merencanakan metode yang akan dia gunakan. Ruangan rahasia ini sudah digunakan bertahun-tahun oleh Ayah dan kakeknya, yang dulu menyandang codename Silent Rose. Dan kini, sebagai Silent Rose generasi berikutnya, Ian mempergunakannya.
Ian masih mencoret-coret whiteboard besar di sudut ruangan. Sesaat dia berhenti dan memandang coretan-coretannya lalu tersenyum misterius. Setelah itu, fokus Ian beralih ke salah satu data yang tertempel di dinding. Foto Cintya, Gea, Tommy, Sandy dan Dimas terpampang disana, diatas informasi pribadi tentang mereka berlima. Ian mengambil smartphonenya dan menekan keypad, menghubungi satu nomor, setelah terdengar nada sambung ian memutuskan panggilan, menekan nomor lain, sama seperti nomor sebelumnya, ian memutuskan panggilan begitu terdengar nada panggil, dia melakukan hal yang sama ke 3 nomor lainnya. Setelah itu, ian keluar ruangan dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang.
Kemacetan di jalan sekitar istana negara menjadi santapan media televisi selama beberapa hari terakhir. Unjuk rasa nelayan yang merasa kehilangan mata pencahariannya jadi bahan pembicaraan yang paling hangat. Hal itu juga yang membuat Cintya dan rekan-rekannya menjadikan pulau kecil yang masuk kepulauan Bangka sebagai sasaran tugas akhir mereka. Wise Crow mematikan TV-nya saat melihat ian masuk ke Green File Cafe.
“Berapa harga untuk semua ini?”, tanpa basa-basi Ian menyodorkan secarik kertas, Wise Crow mengenakan kacamata bacanya dan membaca tulisan di kertas itu, mengambil penanya dan menuliskan beberapa digit angka di bawah tulisan itu sebelum menyodorkan kembali pada Ian.
“Deal”, ucap Ian pelan. “kirimkan sesuai tempat dan waktu yang tertulis disini”, Ian menyodorkan secarik kertas lain dari sakunya.
“Metode apa yang akan kau gunakan?”, Wise Crow bertanya tanpa mengalihkan fokusnya dari gelas-gelas yang sedang dia bersihkan.
Ian berhenti sejenak, menatap Wise Crow yang seolah mengacuhkannya. “I prefer to keep silent until the rose bleeding”. Jawabnya sambil berlalu.
*_*_*
3 hari kemudian...
“Woi!!”, Tommy berteriak melambaikan tangan pada Gea, Cintya dan Dimas yang baru saja keluar dari Toyota kijang merah milik Dimas. Tommy segera bergegas mendekati rombongan yang tampak sibuk menurunkan barang bawaan mereka.
“Kok bisa dapat rumah pantai ini? Bukannya kemarin kita ga dapat ijin dari kepala desa untuk menempati rumah ini?”, Dimas bertanya sambil mengangkut barang-barangnya ke ruang tamu.
“waktu itu kan kita ga dapat ijin karena yang punya rumah ga ada. Pas gua ma Sandy sampe sini ternyata yang punya rumah ada”, Tommy menjawab ringan.
“Gila loe!! Yang punya rumah kan udah meninggal 6 tahun yang lalu??!”, Dimas terlihat kaget.
“emang gitu, tapi ternyata anaknya yang punya rumah masih hidup pren!. Dia juga baru berapa hari pulang ke kampung halamannya nih. Gua minta ijin eh dia oke aja...”.
“wah rumah ini enak ya? Pinter kalian milihnya”, Gea bersorak sambil matanya menyapu seisi ruangan.
“Sandy kemana?”, Cintya bertanya sambil melihat sekeliling.
“Sandy ama yang punya rumah lagi keluar buat cari beberapa perlengkapan kapal. Di garasi belakang ada kapal tua, rencananya sih selama disini kita akan dipandu ama yang punya rumah”, Tommy menjelaskan sambil meletakkan barang bawaan mereka. "Nih tas isinya kertas tapi berat banget sih?".
“Wah baik juga ya Bapak yang punya rumah..” komentar Cintya sambil membawa barang-barangnya masuk. “kamar gua yang mana?”.
Setelah masing-masing dari mereka mendapat kamar dan menurunkan barang mereka, keempat mahasiswa-mahasiswi itu berkumpul di teras belakang yang langsung menghadap laut. Tidak jauh dari mereka terlihat sebuah kapal yacht buatan Jepang yang sudah agak usang. Keempat orang itu sedang membahas rencana-rencana penelitian mereka saat Sandy kembali.
“Lama amat loe Sand…”, ujar Tommy.
“Gua kan sekalian nyebar angket? Paling nggak besok kita tinggal ke balai desa untuk mengumpulkan hasil angket”, seperti biasa, Sandy selalu bersikap lebih cekatan dari yang lainnya.
“mantap bener professor kita satu nih..”, ucap Gea sambil mengacungkan jempolnya.
“Oh ya, si Ian mana?”, Tanya Tommy lagi. Yang lain langsung mengalihkan perhatian mereka pada Tommy.
“Ian? Ian siapa Tom?”, Cintya heran, dia tidak pernah merasa ada mahasiswa di kelasnya yang bernama Ian.
“itu yang punya nih rumah Cint… tuh dia lagi benerin kapal”, jawab Sandy sambil menunjuk ke arah dermaga kecil di dekat mereka. Seorang pemuda tampak sedang mengutak-atik mesin kapal. Ya.. pemuda itu adalah Ian sang Silent Rose, hanya saja sekarang dia terlihat seperti nelayan muda dengan pakaian lusuh dan topi jeraminya. Cukup lama Ian mengotak-atik kapal itu, dia menutup kap mesin di belakang kapal lalu masuk ke ruang kemudi.
GRRREENNGGGG…..
Suara mesin menyala memecah keheningan. Mesinnya terdengar cukup halus dan terlihat baik. Ian melongok ke arah Tommy dkk lalu mengacungkan jempolnya pertanda kondisi kapal baik-baik saja.
“cakep juga yang punya rumah...”, komentar Gea yang langsung disambut dengan sorakan dari teman-temannya yang lain. Ian memandang sekumpulan mahasiswa itu dari ruang kemudi kapal tanpa ekspresi.
Malam itu mereka sibuk menyiapkan form-form yang akan disebar ke beberapa desa di pesisir pantai ini, Ian membantu memisahkan form-form sambil sesekali ikut dalam candaan dan obrolan mereka.
“pasti berat ya? Mendapat kabar bahwa Ayah meninggal tapi tidak bisa datang untuk pemakamannya?”, Gea berkomentar mendengar cerita Tommy tentang Ian yang selama ini bekerja sebagai awak kapal Jepang dan baru bisa kembali ke kampung halamannya setelah 8 tahun lamanya.
“itu sudah resiko pelaut”, jawab Ian sambil meneguk kopinya. “tidak ada waktu yang bisa dibuang saat ada di atas laut”.
“jadi kamu baru menerima kabar tentang Ayahmu setelah 3 tahun?”, Cintya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas di depannya. Ian menggeleng.
“Ayahku tidak meninggal disini...”.
Sejenak suasana berubah hening. Semua mata kini tertuju pada Ian yang sedang melayangkan pandangan kosong entah kemana.
“setelah mendengar kabar tentang tenggelamnya kapalku beliau pergi melaut,tidak ada yang tahu kabarnya sampai teman sekapal Ayahku memberi kabar pada kepala desa tentang kematiannya. Tapi sampai saat ini, tidak ada bukti otentik bahwa beliau sudah mati”.
Keadaan hening semakin terasa saat semua orang yang ada disana tampak tersihir dengan cerita Ian, semua mata memandangnya, menunggu lanjutan ceritanya, namun Ian tidak melanjutkan bicaranya.
“baiknya aku memeriksa kapal”, ujar Ian sambil beranjak menuju dermaga, melepaskan diri dari keheningan yang terasa tidak nyaman.
“orangnya kuat ya? Kelihatan jantan dan cool!”, komentar Gea dengan mata berbinar-binar. Dimas dan Tommy langsung menyahutinya dengan gurauan. Cintya tidak memperhatikan mereka bertiga, pandangannya kosong sejenak, sebelum kembali sibuk dengan form-formnya.Esok harinya adalah hari yang sibuk. Mereka berlima berpencar untuk menyebar angket survey ke beberapa desa terdekat, sebagian angket yang sudah disebar oleh Sandy hari sebelumnya dikumpulkan kembali. Setelah petang, barulah mereka kembali ke rumah pantai milik Ian itu.
Cintya dan Dimas adalah yang pertama kali kembali, disusul oleh Sandy yang menyebar angket sendirian, tidak lama kemudian Tommy juga sampai.
“Lho? Tom? Gea mana?”, tanya Dimas saat melihat Tommy pulang sendirian.
“Tadi dia bilang ada yang ketinggalan di rumah Kepala Desa, trus gua disuruh duluan”, jawab Tommy enteng sambil melenggang ke kamar mandi.
Pukul 20.00 malam Gea tak kunjung kembali, saat itulah Cintya dan teman-teman lainnya mulai merasa risau. Kepanikan terjadi 30 menit kemudian karena Gea belum juga pulang.
“Tom? Gea ke Kepala Desa mana?”, Cintya terlihat risau sambil sesekali memandang keluar jendela.
“gua juga ga tau Cin... dia bilang supaya gua pulang duluan gitu aja..”, Tommy menjawab cuek sambil menyeruput kopinya.
“Loe kenapa tega ninggalin cewek sih?. Ini kan tempat yang asing buat dia, buat kita juga!!”, Dimas angkat bicara, nadanya meninggi.
“trus gua kudu gimana??!! Cewek-cewek anggota organisasi gua juga biasa jalan sendiri di gunung kok!! Tanya aja si Cintya!”, Tommy menolak disalahkan.
“Dia kan bukan anggota organisasi loe dodol!!”, Dimas berdiri menghadap ke arah Tommy dengan gusar.
“oke!!”, Tommy ikut berdiri. “kita susuri rute yang tadi gua ma Gea lewati. Cintya loe bareng Dimas, Sandy loe ikut gua!!”.
Mereka bergegas hendak keluar saat Ian masuk ke dalam rumah karena mendengar nada Dimas dan Tommy yang seperti orang berantem. Saat Ian bertanya apa yang terjadi Cintya menjelaskan situasinya. Saat itulah tiba-tiba sebuah Land Cruiser hitam memasuki pekarangan rumah. Perhatian mereka beralih ke sosok yang turun dari mobil itu. Seorang pria tua kurus berkulit gelap turun dari mobil, diikuti dengan Gea.
“Gea! Dari mana aja sih loe? Kita semua khawatir tau!”, Cintya menyambut Gea yang tampak kelelahan.
“Sorry all... gua tadi sedikit nyasar”, jawab Gea sambil tersenyum-senyum simpul. “Eh iya! Kenalin nih... Pak Boris, ajudan Pak Anton. Dia yang tadi nganterin gua kesini”. Gea memperkenalkan pria tua yang mengantarnya. Pria tua itu mengulurkan tangan menjabat tangan mereka satu persatu. Cintya mempersilahkan Pak Boris masuk ke dalam rumah dengan sopan.
“Pak Anton mengundang adik-adik sekalian untuk hadir di jamuan makan malam besok malam, sekaligus membicarakan proyek akhir yang sedang dikerjakan oleh kalian”, Pak Boris bicara dengan nada teratur. “pukul 7 besok malam saya yang akan menjemput”. Tambahnya.
“wah kayak apa aja kita pakai dijamu pak...”, Dimas berkomentar. “tapi kita memang rencana mau kesana besok, membicarakan soal survey lapangan yang rencananya dilakukan lusa”.
Pak Boris mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Dimas, Cintya, Gea dan Tommy tampak menyimak dengan seksama. Tapi Sandy terlihat sangat serius memperhatikan sikap Pak Boris.
“baik, begitu saja, saya jemput besok malam jam 7, soal survey, baiknya adik bicarakan dengan Pak Anton saja langsung”, ucap Pak Boris seraya beranjak pamit. Mereka berlima mengantar Pak Boris sampai mobil, tidak lupa mengucapkan terima kasih pada Pak Boris yang sudah mengantarkan Gea.
Mobil meninggalkan halaman, sebuah senyum aneh tersungging di bibir Pak Boris.
*_*_*
Setelah itu, Gea beranjak ke kamar mandi, sementara yang lain sibuk mempersiapkan form-form yang akan disebar esok harinya. Sandy tampak asyik memilah-milah hasil angket yang sudah didapatnya hari ini, Ian membantu mereka sambil sesekali melirik ke arah jarum jam. Tak lama kemudian Gea bergabung dengan mereka. Tanktop kuning dan hotpants menjadi busana-nya malam ini. tubuh seksi Gea yang setengah-basah membuat dia tampak sangat menarik.
“Laut itu kayak gimana sih Ian?”, tanya Gea dengan nada yang sangat manja. Membuat raut wajah Cintya mendadak berubah jadi sebal.
“itu bukan sesuatu yang pantas diketahui wanita”, jawab Ian sambil tersenyum, Gea mencibir manja mendengarnya.
“jahat ih... jawabannya dingin gitu”, ujarnya makin manja. Gea makin mendekatkan duduknya ke arah Ian.
“Laut itu kejam... bukan sesuatu yang baik untuk wanita..”, tambah Ian lagi, nadanya masih terdengar dingin.
“gunung dan hutan juga kejam”, potong Cintya, nadanya mencerminkan ketidak setujuan terhadap apa yang baru saja diucapkan Ian. “tapi kami para wanita juga masih bisa menaklukkan gunung”.
“daratan masih punya toleransi, tapi tidak laut”.
“jadi maksudmu cewek ga bisa naklukin laut gitu?!”, Nada suara Cintya terlihat makin emosi.
“aku belum melihat ada yang bisa, khususnya cewek kota”, jawab Ian tanpa merubah nada dan ekspresinya.
“Hello?? Ini udah abad 21!! Apa yang bisa dilakukan cowok pasti bisa dilakukan cewek! Jangan sombong cuman karena hidup loe diberantakin laut deh!!”, Cintya kini benar-benar emosi, sesaat dia menyesali kata-kata menusuk yang baru saja keluar dari mulutnya.
Ian hanya diam tidak menjawab. “maaf, aku permisi dulu” ujarnya sambil beranjak meninggalkan mereka.
“loe kenapa sih Cint?”, hanya itu yang keluar dari bibir Tommy setelah Ian pergi. Cintya tidak menjawab, dalam hati dia menyesal telah mengungkit-ungkit soal masa lalu Ian, Cintya memang tidak suka jika ada cowok yang mempermasalahkan perbedaan gender, dia menganggap kata-kata Ian tadi sama saja dengan merendahkan wanita, maka dia membalasnya begitu saja.
Tidak ada yang berkomentar tentang kejadian itu, semua diam. Dimas dan Gea menatap Cintya dengan pandangan yang mengatakan 'kau ini kenapa?'. Tidak lama setelah itu, suara deru mesin perahu terdengar bergerak menjauh dari rumah itu.
*_*_*
Kamar tidur dengan cat putih bersih yang menjadi kamar tidur para cewek terlihat nyaman. Cintya sedang berbaring di atas kasur empuk dengan sprei biru laut bermotif bunga matahari. Pintu kamar terbuka, Gea masuk dan mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, Lekuk sintal tubuh Gea tampak ‘panas’ dibalut dengan lingerie berwarna pink lembut yang dikenakannya malam ini. Gea menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, tepat disamping Cintya.
“Loe jahat banget sih tadi Cint..?”, Tanya Gea sambil merapatkan tubuhnya ke Cintya.
“iye gua tau.. gua kelepasan aja itu”, Cintya tidak mengalihkan perhatiannya dari ponselnya. “Sinyal disini suka ilang nih... kayak kamu yang ngilang tadi. Kemana loe Ge?”.
“Hmm... want to know ajah”, jawab Gea sambil makin merapatkan tubuhnya ke sebelah Cintya. “Ntar kalo gua ceritain loe malah pengen...”.
Cintya menoleh ke arah Gea. “Ihh.. apaan sih? Emang loe habis gituan ya?”, selidiknya sedikit penasaran.
Gea merapatkan tubuh sexynya ke badan Cintya. “Tadi sehabis si Tommy pulang gua minta bantuan Kepala Desa supaya polling gua disebarin ama beliau. Tadinya beliau keberatan soalnya beliau kan cukup sibuk melaut. Karena gua males banget kalo harus keliling-keliling kayak tadi gua ajak aja beliau ML, asal dia mau bantuin gua”.
“Eh busyet! Loe gila ya?”, Cintya berkomentar sedikit keras namun tetap menunggu cerita Gea.
“Ya.. sebenarnya sih gua penasaran ama barangnya si Kades”, Tangan Gea mulai membelai perut rata Cintya. Cintya berusaha menepis, namun Gea memberikan isyarat agar Cintya tetap diam. Gea sengaja bercerita di dekat telinga Cintya dengan tujuan menggoda Cintya.
“Tadinya Kades menolak karena takut ketahuan istrinya, lantas aku bertanya apa tidak ada tempat yang aman, dan beliau lalu mengajakku ke sebuah gudang tempat menyimpan beras di belakang kantor desa. Disana ada tiga hansip yang berjaga. Entah apa yang dikatakan Pak Kades kepada ketiga hansip itu, yang jelas, salah satu hansip menyerahkan kunci gudang ke Pak Kades. Aku dan Pak Kades berdua masuk ke dalam gudang itu sementara ketiga hansip itu berjaga di luar seperti biasa”.
Tangan Gea mulai merayap ke buah dada Cintya saat dia melanjutkan ceritanya, Cintya tampak tidak menghiraukan tangan Gea. “Begitu kami di dalam, Pak Kades yang hitam renta itu memelukku dari belakang dan meremas kedua payudaraku seperti ini...”.
“Enngghh....”, Cintya melenguh pelan saat Gea mulai meremas dada kanannya yang masih terbungkus T-Shirt. Dengan lihai Gea meremas dada Cintya lembut.
“Tidak lama kemudian, tangan Pak Kades sudah menyusup ke dalam tank-topku, dan seperti yang loe tau, kulit tangannya yang kasar itu segera bersentuhan langsung dengan payudaraku karena gua kan ga pake bra”.
Gea menyusupkan tangannya ke dalam kaos Cintya, langsung menyusup ke balik branya dan meremas bukit kembar Cintya dari dalam kaos. Puting susu Cintya yang memang sensitif segera membawa kenikmatan baginya, lenguhannya makin keras saat Gea memilin putingnya. Cintya sudah pasrah terhadap perlakuan sahabat gilanya ini.
“Gua raba selangkangan Pak tua itu dan meremas batang penisnya yang ternyata sudah tegang, aku hanya meremasnya beberapa kali, namun Pak Kades tampaknya tidak sabaran, beliau langsung menarik tank-topku ke atas dan membuangnya ke tumpukan karung beras, badan gua dia balik sampai berhadapan dengannya, harusnya loe liat bagaimana wajah mupeng si Kades waktu dia lihat dada gua. Pak tua itu langsung ngeremas dada kanan gua dengan kasar dan mulutnya langsung nyosor ke dada kiri gua, kasar banget, tapi gua ngerasa enak bangeet...”.
Gea mengangkat kaos yang dikenakan Cintya, Cintya membantunya hingga kaos itu tanggal, tidak berhenti disitu, Gea segera menanggalkan bra yang dikenakan Cintya, buah dada 34 C milik Cintya terpampang menantang, Gea menggunakan jari-jarinya untuk meremas dan memilin kedua puting Cintya bergantian.
“Saat dia sibuk ngisep dada gua, gua lanjutin ngeremes batangnya, nggak lama dia plorotin rok gua dan dia lepas CD gua, waktu itu gua kaget karena pintu dibuka, tiga hansip yang jaga diluar ngeliatin gua yang lagi di grepe-grepe ama si Kades”.
Tanpa aba-aba, tangan Gea sudah menyusup ke balik celana dalam Cintya dan memainkan klitorisnya. Cintya memejamkan mata, badannya sedikit mengejang saat Gea memainkan klitorisnya.
“Begitu gua telanjang bulat, si Kades langsung buka celananya, gua dibaringkan di lantai, trus tanpa nunggu meki gua basah, Pak Kades udah ngarahin batangnya ke meki gua. Uuhh.. gua masih inget rasa sakit campur nikmat saat punya si Kades itu maksa masuk ke meki gua yang belum terlalu basah”.
Cinthya sudah tidak perduli dengan cerita Gea, kini dia terpejam pasrah menikmati jari jemari Gea yang sudah bergerak keluar masuk ke liang kenikmatannya, membuat vaginanya jadi semakin basah. Cintya tidak lagi melenguh, kini dia mendesah keenakan, badannya bergoyang mengimbangi kocokan jari Gea.
“Gua gak akan lupa rasanya waktu punya si Kades ngejarah meki gua, nafsunya gede tuh Pak Tua, doi nyodok kenceng dan keras banget, sampai pegel rasanya punggung gua kena lantai gudang yang keras. Tapi jujur gua nikmatin banget, apalagi tambah lama kocokannya tambah kenceng, bikin gua gak tahan dan gua nyampe...”, Gea menghentikan ceritanya sejenak, mempercepat kocokan jarinya di vagina Cintya, nafas Cintya tersengal-sengal, dia memeluk erat sahabatnya itu.
“Gak lama kemudian giliran si tua itu yang ngecrot, agak kecewa juga sih karena ternyata dia gak cukup tahan lama. Dia genjot gua udah kayak setan, dimasukin tuh barangnya dalam-dalam, waktu itu gua sadar kalo gua lagi subur, gua minta dia keluarin di luar tapi Pak tua itu kayaknya gak peduli, dia tumpahin semua pejunya di dalam meki gua, gua nyampe lagi waktu dia semprotin, anget banget rasanya Cin...”.
Cintya tidak menjawab lagi, nafasnya tersengal-sengal, dia memandang ke arah Gea dengan sayu, Gea tau betul kalo sahabatnya ini meminta orgasme lewat pandangannya. Gea melepaskan hotpants yang dikenakan Cintya berikut dengan celana dalamnya dan memeluk tubuh telanjang Cintya sambil jarinya terus bermain di titik sensitif di dinding kemaluan Cintya. Mereka lantas berpagutan, larut dalam sebuah ciuman hangat dan panas sebelum akhirnya Cintya mengerang tertahan, tubuhnya mengejang, pertanda dia telah mencapai orgasmenya.
Loe udah lama gak orgasme ya Cin? Banjir banget”, komentar Gea melihat banyaknya cairan yang keluar dari vagina Cintya. “Loe muna sih, gak perawan aja masih aja gak mau ML. Gini nih akibatnya”.
Cintya tidak menjawab, nafasnya tersengal-sengal, dia masih lemas akibat orgasme yang sudah lama sekali tidak dia rasakan. Gea beranjak dari ranjang.“Loe tunggu aja disana, gua panggilin para cowok, loe harus disodok tuh”, Gea beranjak pergi tanpa mengindahkan Cintya yang protes tertahan. Bagaimanapun Cintya tidak mau ditiduri oleh cowok, apalagi temannya sendiri, namun badannya terlalu lemas untuk bereaksi, dengan lemah dia menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Tidak lama setelah Gea pergi, seseorang masuk ke dalam kamar. Cintya menoleh dan melihat Tommy menutup dan mengunci pintu kamar.
Dengan senyum bengisnya, Tommy, ketua pecinta alam keturunan Flores itu mendekati Cintya yang masih lemas karena orgasmenya.
“Kata Gea loe butuh kontol Cint?”, ucapnya dengan nada mengejek. Diam-diam Tommy memang suka menjadikan Cintya sebagai objek onaninya, sayang dulu Cintya lebih dulu dekat dengan seniornya.
Badan Cintya masih sangat lemas saat Tommy menyibak selimt yang menutupi tubuh telanjangnya. Tommy menatap lekat-lekat ke setiap lekuk tubuh polos Cintya sebelum menurunkan celana pendeknya, menampakkan penis besarnya yang dalam posisi siap-guna. Tommy naik ke atas ranjang, Cintya berusaha menggeser tubuhnya untuk lari namun sia-sia, tangan Tommy lebih cepat menarik tubuhnya ke arah Tommy, dengan mudah Tommy menarik tubuh Cintya yang masih lemas.
“Basah banget”, Komentar Tommy saat mengelus bibir lubang kenikmatan Cintya yang masih lembab akibat cairan orgasmenya. Tommy menindih tubuh Cintya.
“Bakal enak nih...”, Seringai Tommy sambil mulai menghisap leher Cintya.
“Jangan Tom...”. Ujar Cintya lemah saat Tommy membuka kedua kakinya dan mengarahkan penisnya ke lubang kenikmatan Cintya yang lembab. Tommy menjawabnya dengan menjadikan penisnya, batang kejantanan kedua yang melesak masuk, menikmati jepitan liang kenikmatan Cintya yang masih rapat.
*_*_*
Jauh di tengah laut, Ian tengah sibuk menata kembali jala yang tadi digunakannya melaut. Meski dia bukan pelaut, dia harus total dalam menjalankan peran yang dipilihnya demi misi kali ini. Pelaut yang tidak melaut jelas akan menimbulkan banyak kecurigaan dari banyak pihak. Namun tentu saja, Ian tidak sembarangan melaut. Dia tengah mempelajari topografi perairan yang ada di sekitar situ, mempelajari celah-celah yang bisa dia gunakan untuk memperlancar misinya kali ini.
Ian mengambil nightvision binocular dari laci kemudinya dan melihat ke arah kilang minyak besar milik Antonius Handoko yang merupakan targetnya kali ini. Ian memang tidak punya akses masuk ke kilang minyak tersebut, namun dia telah membeli cukup informasi dari Wise Crow.
Kilang minyak itu memiliki empat pompa raksasa yang beroperasi selama 18 jam setiap harinya, dengan empat tanker yang terus bergantian mengirim minyak mentah langsung ke Singapura. Kilang minyak itu sekilas terlihat luar biasa. Namun, ijin pengoperasiannya didapat dari kerjasama dengan pejabat korup, jika saja tidak bekerja sama, maka sudah pasti ijinnya tidak diberikan dikarenakan hampir semua peralatan yang digunakan adalah peralatan bekas yang sudah tidak layak pakai. Itulah yang menyebabkan pencemaran terjadi di perairan tersebut.
Ian mengenakan pakaian selam khususnya, dengan motor kecil yang bisa dibawa seperti tas jinjing. Setelah melumuri pakaian tersebut dengan Algaea, sejenis ganggang yang dikeringkan Ian masuk ke dalam air, mengeset GPS pada motor kecil dan motor itupun membawanya meluncur dalam lautan, membawanya ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang juga milik Antonius Handoko.
Antonius Handoko membeli pulau itu dengan alasan akan membangun silo penampungan minyak, namun rencana pembangunan itu dibatalkan karena kondisi tanah pulau tersebut kurang begitu bagus. Namun Ian tahu ada alasan lain terbelinya pulau itu.
“Oke, air hitam sudah komplit, gak ada masalah! Sampai pengiriman minggu depan!”, seorang pria berbadan tinggi kekar dengan brewok dan tatto naga di lengannya menjabat seorang pria etnis cina berjas abu-abu.
“Senang berbisnis dengan kalian”, Ucap pria cina itu dengan logat bahasa indonesia yang terdengar lucu.
“Bahasa Indonesia kau makin bagus saja Mr. Tien!. Hahahaha...”, pria bertato naga itu berkelakar, diikuti tawa rekan-rekannya yang berpenampilan tak kalah seram.
Mr. Tien meninggalkan tempat itu menuju speedboat kecil bersama beberapa orang yang mengenakan pakaian serupa. Boatspeed itu lalu pergi menjauhi pulau. Pria bertatto naga itu membuka koper besar berwarna perak yang ada di atas meja. Bubuk-bubuk putih yang diterjemahkan dalam kata sandi “air hitam” terlihat rapi dalam bungkusan-bungkusan plastik transparan. Pria bertatto itu mengambil sebungkus dan melemparkannya kepada rekan-rekannya.
“Yang itu untuk pesta malam ini!”, ujarnya disambut sorakan dari rekan-rekannya. Kegaduhan itu baru berakhir saat terdengar dering ponsel dari atas meja. Pria bertatto itu mengangkatnya.
“Ya Bos Anton, disini Jim”, jawab Pria bertatto yang ternyata bernama Jim. “Semua lancar Bos, seperti biasalah... kalau aku yang pegang semua pasti bereslah!. Bos Antonius Handoko tinggal duduk santai sajalah”. Logat batak yang kental keluar dari bibirnya.
Dan semua kejadian itu terekam jelas dalam kamera jarak jauh Silent Rose.
*_*_*
“Eenghh... ahhh...”, Tubuh lemas Cintya bergerak terdorong-dorong oleh Tommy yang tengah menikmati tubuhnya dalam posisi doggy style. Meski dia tidak menginginkan penis Tommy merojoknya, badan Cintya makin lemas karena sudah dua kali Tommy membuatnya orgasme. Sedang sang ketua organisasinya terlihat bersemangat menggagahi gadis cantik idamannya ini.
“Ooohh... enak banget kamu Cin... Seret abis!.. hhh...”.
Tommy melenguh dan mendesah keenakan menikmati liang kewanitaan Cintya yang sudah lama tidak dipakai. Tommy mendorong tubuh Cintya hingga telungkup lalu menindihnya dari belakang. Penisnya yang besar dipompa keluar-masuk lubang surgawi Cintya dengan sangat kencang, membuat gadis cantik itu mengeluarkan erangan-erangan lemas. Dalam hati, Cintya sangat tidak rela Tommy menikmati tubuhnya.
“Yup! Posisi penghabisan!”, Tommy mencabut penisnya dan membalik tubuh lemas Cintya. Cintya sendiri sudah pasrah, Tommy menindih tubuhnya sekali lagi dan melesakkan penisnya, seluruh badannya menindih rapat tubuh gadis idamannya itu.
“Ooogh... waktunya nyiram rahimmu Cin...”, Tommy mempercepat genjotannya. Mendengar apa yang diucapkan Tommy Cintya terbelalak dan berusaha melepaskan diri, namun Tommy menindihnya kencang-kencang.
“Tom... jang..ahh...nganh...”. Cintya mengiba, tubuhnya terhentak-hentak akibat hujaman penis Tommy.
“Bodddoo...aargghh....”. Tommy menggeram sambil melesakkan seluruh penis besarnya ke liang peranakan Cintya. Cintya memekik, batang kejantanan Tommy terasa penuh mengisi vaginanya, berdenyut, dan Cintya memekik sekali lagi saat cairan hangat terasa memenuhi rahimnya. Dia orgasme seketika.
Tommy mendiamkan penisnya di dalam vagina gadis cantik itu, tidak peduli Cintya mulai menangis dan memohon agar Tommy segera mencabut penisnya. Disetubuhi oleh Tommy saja dia tidak rela, apalagi kalau harus sampai mengandung anaknya.
Tommy mengatur nafasnya yang memburu sebelum mencabut penisnya yang mengecil dan beranjak turun dari ranjang, mengenakan kembali celananya.
“Akhirnya kesampaian, memek loe lebih rapet dari punya Gea Cin...”, Ujarnya sambil membuka kunci kamar dan meninggalkan Cintya sendiri di kamar.
Cintya masih terbaring lemas, cairan kental hangat milik Tommy terasa mengalir keluar dari bibir vaginanya. Dia masih memandang kosong memikirkan apa yang baru saja dialaminya saat Dimas masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.
“jangan Mas...hikks..”, isak Cintya saat Dimas melucuti pakaiannya dan mengarahkan batang kejantanannya ke lubang kenikmatan gadis cantik itu. Lenguhan kenikmatan keluar dari mulut Dimas saat penisnya mulai membelah kewanitaan Cintya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar