klik disini

Sabtu, 18 Juni 2016

Alcohol, Sex and Rock n’ Roll XII (tamat)

(Kita kembali lagi ke 1st Pov)
………
06.45
“Dugh dugh dugh dugh!!”, seseorang menggedor pintu kamarku. Bersamaan dengan getar dan dering handphone n*kia senter milikku yang tak henti-hentinya bernyanyi. alunan dering handphone dan pintu dipukul ini memaksaku mengumpulkan kesadaran. Menarik jiwa bergabung dengan raga. Membangunkanku dari “sms” *Sisa Mabuk Semalam.

“Andi... Bangun Di, ini sudah siang, mau bangun jam berapa?” suara lembut wanita setengah baya di balik pintu membuatku terbangun. Sesaat aku mengejap dan mencoba mengingat ini hari apa dan apa yang akan ku lakukan. Kulihat jam dinding yang jarum panjangnya mendatar menunjuk angka sembilan. Astaga!! aku membathin.

Bergegas aku bangun dan membuka pintu kos. Aku menjawab apa adanya sambil menggaruk kepalaku , “Maaf bu aku bangun, hehehe...”

Bukan omelan atau reaksi seperti yang kubayangkan, namun ibu kos malah menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, berpaling dariku dan berteriak histeris. Aku bingung setengah mati dengan reaksinya dan hal yang pertama terlintas di kepalaku adalah : ibu kos kesurupan! “Ibu kenapa, bu? Aduh jangan kesurupan sekarang dong... aduh, gue harus gimana ni?? Tolong!! Toloooong!!,” aku terlalu panik untuk menggunakan logika.

PAK!!! Sebuah sendal kayu khas milik ibu-ibu daerah Jawa bagian tengah mengenai kepalaku dengan telak, tanpa peringatan dan tanpa perasaan.

“Mas!! Kalo keluar kos, yang sopan tho!!”

Aku menoleh ke arah sumber teriakan dan melihat seorang gadis dengan kaos hitam ketat, bahkan kurasa terlalu ketat hingga menonjolkan kedua “properti” nya yang bergoyang saat pemiliknya berjalan dengan cepat sambil menunjuk padaku. Dalam hitungan detik dua tonjolan lumayan besar itu ada di hadapanku.

“Heh, loe kalo nimpuk jangan sembarangan ya!! Ini pala, bukan sasaran tembak,” kataku galak pada gadis itu. 

“Mas nya sendiri keluar kos cuma pake begituan, udah tau ibuku jantungan, kalo kenapa-kenapa, mas mau tanggung jawab??” jawab gadis itu menenangkan ibunya.

“Emang gue make apa...” aku terkejut begitu melihat diriku bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana pendek putih tipis yang nyaris tembus pandang. Sebuah moment yang sangat memalukan. “Sorry ya Mel...” aku masuk ke dalam kamar tanpa basa-basi pada Amalia yang terkikik menutup mulutnya menahan tawanya.


****** Life Fast Die Young ******

(Dan 3rd pov lagi...)
………..
07.35
“Mas Andi, buruan dong mandinya, kita udah telat ni,” Amalia menggedor pintu kamar Andi.

“Iya, sante aja napa sih? Woles... woles...”

“Sante gimana? Tar kalo aku kena SP lagi kan bahaya, mas.”

“Udah, tenang... nanti aku yang ngomong sama bu Rina.”

“Ya udah, tapi cepetan ya, aku gak enak telat terus sama temen-temen.”

“Iye bawel,” Andi keluar dari kamarnya menggunakan seragam hitam dengan pola yang sama dengan amalia, namun dengan warna yang berbeda. Di bagian dada mereka terdapat logo merah bertuliskan “Pizza Hit”. “Ayo kita berangkat!!” seru Andi bersemangat.

“Mas, Mas, shek tho mas...” Amalia menahan tangan Andi yang mendahuluinya, “sekarang kan hari kamis, harusnya kamu pake baju yang ijho tho yo.”

Andi berpikir sejenak dan menepuk jidatnya, “ohh iya, gue lupa!! Ya udah ga pa pa, gue pake ini aja.”

“Temenan mas?” *beneran mas?

“Iye...”


****** Life Fast Die Young ******

…………..
11.40

“Loe kalo bisa jangan telat mulu dong Deet, kan gue jadi gak enak sama pegawe yang lain, masa supervisor telat terus? Mana loe bawa pegawe juga, siapa itu namanya? Amel? Amal?”

“Amalia...”

“Ya itu, tempo hari udah pernah gue kasi SP sama dia, telatnya berturut-turut.”

“Ya kan dia berangkat sama gue, Rin.”

“Ya loe nya jangan telat-telat dong...”

“Trus gimana Rin? Gue bakal dipecat gitu?”

“Hahahaha, enggak lah... kan loe yang kasi gue modal bikin tempat ini.”

“Ya udah sih, sante aja... woles... lagian dari awal gue gak mau jadi supervisor ato apalah namanya. Karna gue cuman mau ngabisin waktu aja di Jogja ini.”

“Iya deh, iya... mulai sekarang loe turun pangkat, jadi Co-Owner.”

“Ogah!! gue jadi pegawe biasa aja.”

“Hahahaha, lagian loe juga, udah enak jadi artis, tapi masi bikin aneh-aneh. Pake ngaku-ngaku nama loe Andi lah, tinggal di kos lah. Bay the way, kapan loe mau ngeband lagi?”

“Entah lah...”

“Gara-gara Len...” Radeet mendesis sambil menempelkan jari telunjuk di bibirnya dan menggeleng. Rini yang mengerti hanya mengangguk.

“OK, mulai sekarang loe jangan pernah kasi SP lagi sama Amalia. Bila perlu loe tuker posisinya sama gue, biar dia bisa beli motor.”

“Gila loe Deet!!” dia kan baru masuk 5 bulan, masa udah jadi supervisor?”

“Ya udah bulan depan kalo gitu, pas 6 bulan kan?”

“Hmmm...”

“Udah loe iyain aja napa? Itung-itung amal baik. Lagian dia anaknya rajin kok.”

“Hmm... ok ok... tapi kalo kerjanya jelek, langsung gue turunin lagi ya?”

“Fine,” Radeet tersenyum mendengar pernyataan Rini.


****** Life Fast Die Young ******

Sayidan, Jogjakarta
12.15
“Mas? Kok tumben kamu mau traktir? Baru gajian ya?” Amalia bertanya sambil mengaduk sepiring gado-gado di depannya.

Laki-laki dengan rambut pendek di sebelahnya diam tak menjawab. Dia menatap sepiring gado-gado di depannya dengan pandangan kosong.

“Mas Andi...,” Amalia menggoyang lengan lawan bicaranya.

“Hah? Apaan?”

“Wuuu.. siang-siang kok malah bengong, tar kesambet lho,” Amalia mencibir

Andi tertawa hambar. 

“emang lagi mikirin apa sih?”

“Enggak kok... udah yuk kita makan, perut gue udah laper,” jawab Andi sambil memegang perutnya. Sesuap gado-gado meluncur masuk ke dalam mulutnya dan dengan kunyahan yang amat pelan dia mulai makan. Matanya kembali menerawang.

Amalia menggeleng melihat kelakuan Andi yang tidak pernah berubah sejak pertama kali lelaki itu datang untuk menyewa sebuah kamar kos di rumahnya. Hampir 4 tahun Amalia mengenal Andi tapi hingga saat ini lelaki itu masih sosok misterius baginya. Hanya sebuah fotokopi KTP keluaran Pemda DKI Jakarta yang membuat Amalia mengetahui data diri Andi. Selebihnya tidak ada yang tahu karena Andi hampir tidak pernah berceritatentang dirinya ataupun masa lalunya. Sikapnya yang sopan membuat Andi mudah bergaul dengan warga sekitar. Kadang lelaki itu pergi berhari-hari dan tanpa ada berita. Namun terkadang dia mengurung diri seharian dalam kamarnya atau seperti yang terjadi sekarang, lebih banyak bengong dan berdiam diri. Amalia tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Andi. Yang jelas ada suatu hal yang dipikirkan lelaki itu sejak 4 tahun yang lalu.

****** Life Fast Die Young ******

(1st pov)
Jembatan Merah, Jogjakarta
18.35

Aku merebahkan badanku di kasur spons yang memang sejak awal aku menyewa kamar ini dipinjamkan oleh ibu Dewi, pemilik kos. Suara detik jam dinding bahagaikan nyanyian kematian yang aku rindukan untuk segera menjemput. Aku menatap plafon kamar dan memikirkan orang yang paling aku rindukan. Lena… ya, Lena

Berita, petunjuk dan kabar burung sekecil apapun telah banyak kudengar. Padang, Surabaya, Magelang, Bali, Bandung, Makassar bahkan Sorong telah ku jelajahi namun tak merubah apapun. Keberadaannya masihlah misteri. Sebuah misteri yang seakan sengaja disembunyikan dariku.

Takdir ini bagaikan memisahkan kami. Banyak tempat kudatangi hanya untuk mencari seorang perempuan yang telah membawa separuh kehidupanku. Tak seorangpun yang tahu saat kutanya. Tak satupun cahaya terang yang kudapat. 

Bagai mencari dalam kegelapan. Bagai terkurung dalam kesendirian.

Andaikan dia masih ada di sisiku, mungkin segalanya jauh lebih baik. Andaikan Nani tak kuajak tinggal di rumahku dulu. Andaikan aku lebih waspada. Andaikan…

Aku tertawa, aku bercanda, aku melihat, aku berpikir, namun semuanya kosong. Terasa hampa tanpa kehadiranmu. Rasa kesepian yang begitu menusuk.

Mataku bergerak perlahan ke sudut kamar. Diterangi cahaya lampu yang sengaja kubuat temaram, sebuah gitar akustik tergantung rapi bagaikan manusia yang terjerat lehernya. Gitar pemberian Amalia, dua tahun yang lalu. 20 November, aku ingat tanggal itu. Tanggal yang tertera di tanda pengenal palsuku. Yang kubuat atas nama Andi. 

Amalia waktu itu berkelakar, dia memberi “hadiah ulang tahun” sebuah gitar karena aku mirip dengan vokalis Traffis Light yang menghilang entah kemana beberapa tahun lalu. Hanya rambutku pendek dan rapi, tambahnya.

Aku hanya tersenyum mendengar pernyataan Amalia waktu itu. Apa jadinya jika dia tahu Andi dan Radeet adalah orang yang sama?

Dua tahun… tidak!! Hampir sejak kepergian Lena, aku tidak menyentuh alat musik. Tak sekalipun otakku berpikir untuk memainkan gitar pemberian Amalia. Kreatifitasku mati, kesepian merusak imaji. Namun malam ini, entah kenapa aku mengambil gitar yang tergantung selama ini di kamarku. 

Kupetik dawainya, sebuah kunci nada G yang dulu begitu familiar di telinga, kembali terdengar. Sedikit putaran pada “nut” senar keenam, mengendurkan E menjadi D. Perlahan tapi pasti jemariku memainkan titi nada yang kuhapal. Bibirku berucap, jariku memetik, otakku membuat syair.

Saat terakhir kulihat
Dirimu tersenyum
Membuat kumerasa kedamaian

Kini kau tinggalkan aku
Entah ada dimana
Sepi yang kurasa merusak jiwa

Jika memang tidak cinta
Atau dengan siapapun disana
Cukup kabari aku dengan senyummu
Jika memang masih ada
Rasa yang dulu kau rasakan
Datanglah padaku dengan senyuman

Waktu yang telah berlalu
Saat kita bersama….


TOK TOK TOK!!
“Mas? Dagang nasi goreng langganannya mas Andi brenti di depan tu, mas Andi mau beli apa ndak??” panggilan Amalia memaksaku berhenti menyanyi dan segera menggantung kembali gitar pemberiannya. 

“Gue beli, Gue beli!” teriakku dari dalam kamar, “yang biasa ya, telornya dua.”

“OK mas, sip!!”

“Eh, Mel? Loe udah makan?” aku keluar dari kamarku

“Belom sih mas… ibu lagi kondangan, jadi sore ndak masak.”

“Ya udah, nasgornya loe pesen dua.”

“Tapi mas, aku gak ada duit lagi e… kita gajian kan besok.”

“Udah, gampanglah masalah itu, tar Gue bayarin.”

“Asiiikkk!!”


****** Life Fast Die Young ******

Jembatan Merah, Jogjakarta
19.35

“Hari ini aku makmur, siang di traktir, malem di traktir lagi. Sering-sering aja ya mas,” kata Amalia begitu menghabiskan nasi goring miliknya.

“Iye Loe makmur, lah gue? Bangkrut.”

“Hahahahaha, yo wes, yo wes. Besok aku deh yang bayarin makan siangmu.”

“Di Solaria ya?”

“Ya ndak gitu juga tho mas. Di kantin ato nasi padang gitu. Kalo Solaria sih gak mau aku.”

Aku tersenyum mendengar jawaban polos gadis ini.

“Nah gitu dong… kalo senyum kan manis.”

“Manis? Loe kira gue kelinci?”

“Bukan gitu mas, habisnya mas Andi ini sering bengong terus kaya kepikiran gitu… emangnya mikir apa sih mas? Keluarganya ya?”

Aku hanya menggelengkan kepala.

“Lah terus? Pacarnya?”

Kembali aku menggelengkan kepala, “Gue lagi mikir, gimana caranya biar Pizza Hit itu bangkrut.”

Amalia tertawa dan meninju lenganku, “Mas Andi ini ada-ada aja.”

Handphoneku tiba-tiba bergetar dan mulai berisik. Sesaat kulihat layar monochrome nya dan mendengus. Kutunggu beberapa saat hingga ringtone berhenti dan mengaktifkan “silent mode”.

“Dari siapa mas?” Amalia bertanya dengan raut wajah penasaran.

“Bos loe noh, malem-malem gini nelpon, gak ada kerjaan.”

“Yo diangkat tho… siapa tau penting.”

“Bodo ahh, udah jam segini juga.”

Beberapa kali handphoneku kembali bergetar. Muncul nama yang sama di layar pada setiap panggilan, RINI Pizza Hot.


****** Life Fast Die Young ******

Condong Catur, Jogjakarta
08.50

“Loe semalem kenapa gak angkat telp gue?”

“Ya Elo nya nelpon malem-malem, gak ada kerjaan. Emang ada apa sih?”

“Gue punya kabar baik buat loe, Deet.”

“Kabar apaan? Gue dipecat?” tanyaku nyengir.

“Yaelah Loe… bukan itu… ini jauh lebih penting.”

“Apaan? Jangan bikin gue penasaran, tar gue mati, gue hantuin loe seumur idup.”

“Ogah!! Amit- amit dah.”

“Ya trus apa… bentar, ada yg nelpon.”

Aku menekan tombol hijau pada handphoneku yang berbunyi. “Ya? Halo? Kenapa?”

“Mas? Ada artis yang masuk ke restoran kita, mas!!” suara Amalia terdengar antara campuran gugup, bersemangat dan gregetan.

“Owh… ya udah, bilangin gue lagi sibuk ya.” Tanpa menunggu jawabannya langsung kumatikan handphoneku. “trus kabar baiknya apa Rin?”

Bukannya menjawab, Rini malah tersenyum dan menunjuk ke belakangku.

“Jadi ini restoran kamu Rin?” suara yang amat sangat ku kenal, terdengar dari belakang punggungku. Bersama langkah kaki yang semakin mendekat.Seakan telingaku menipu. Suara wanita yang beberapa tahun ini kurindukan, kembali kudengar. Aku berbalik dan menoleh ke belakang. Wanita yang berjalan ke arahku tak seputih dulu. Kulitnya kecoklatan terbakar matahari. Badannya agak sedikit lebih kurus. Rambutnya yang dulu panjang di potong pendek. Lipgloss bening melapisi bibir tipisnya.

Dengan celana motif militer dipadu tanktop yang sewarna dengan celananya. Sebuah kalung besi menghiasi lehernya, masih sama seperti dulu, dengan bandul berbentuk huruf : R. Aura feminim yang dulu terpancar darinya telah berubah. Tegas, mandiri, galak dan survival, itulah kesan yang kudapat saat melihatnya.

Wanita itu menghentikan langkahnya. Anak kecil yang di gendongnya berusaha menggapai ornament lampu di atas kami, namun apa daya? Tangannya yang mungil hanya mampu menggenggam udara kosong. Suatu pemandangan yang ganjil melihat wanita berkulit coklat, menggendong anak perempuan berusia sekitar empat tahunan berkulit putih. Aku yakin, anak itu anak perempuan.

Matanya melihatku dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sebelah tangan menutup mulutnya. Ekspresinya seakan tak percaya bahwa aku yang dilihatnya disini. Ada nuansa kerinduan pada pandangannya.

Mata kami bertemu untuk pertama kalinya sejak kepergiannya di hotel itu. Matanya berkaca. Aku berusaha menahan diri untuk tidak menangis, tapi apa daya? Air mataku seakan menjadi pemberontak, turun tanpa bisa ku kendalikan. Rasa senang bercampur sesak memenuhi rongga dadaku. Senyumku pun tak bisa ku tahan.

Anak kecil dalam gendongan terheran melihat wanita itu menangis. Dia menepuk lembut pipi wanita yang menggendongnya dan bertanya dengan polos, “Mama kenapa nangis?”

Aku kaget bukan kepalang. Apa itu anaknya?

Wanita itu melanjutkan langkahnya perlahan, mendekati aku dan Rini. Air matanya berderai. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku ingin memeluknya, menggenggam tangannya, bertanya kabarnya. Namun aku bagaikan bertemu orang asing yang kurindukan.

Dia berdiri tepat di depanku. Tatapannya bagaikan ingin membunuhku sekaligus mengobati kerinduanku. Agak lama dia menatapku. Rasa bersalah padanya mengunci bibirku. Dia menarik nafas panjang, mengembuskannya dan...

PLAKK!!! Sebuah tamparan telak mengenai pipi kananku dan dalam sekejap itu memelukku. Menangis keras, seakan menumpahkan emosi yang selama ini dia pendam.

“Kamu jahat, Deet.... Kamu Jahat,” Lena berteriak diantara isak tangisnya. 

Aku mengelus punggungnya. Aku tak bisa berkata-kata. Memang akulah yang “jahat”.

“Aku kangen kamu... aku gak bisa sendirian lagi... Jingga butuh bapaknya...”

Jingga? Siapa jingga? Jangan-jangan... 
Aku melepaskan pelukan Lena dan bertanya, “ ini anakku?”

Lena menggangguk saat mengusap air matanya.

“Serius ini anakku? Kok udah gede?”

Lena mendelik dan menjitak kepalaku, “kamu ini, udah lama gak ketemu masi aja oon ya? Liat mukanya dong? Alisnya mirip siapa coba? Idungnya mirip siapa?”

Kuambil anak yang diberi nama Jingga dari gendongan Lena dan kuperhatikan baik-baik. “Bibirnya kaya kamu, matanya juga, tapi alisnya sama idungnya mirip fotoku waktu kecil... tapi serius ahh, masa ini anakku?”

“Tanya aja sama Ester kalo kamu gak percaya!!” Lena merajuk dan membalikkan badannya.

Kutarik tangannya dan berkata, “bukannya aku gak percaya... tapi kan kita lama gak ketemu?”

“Eh oon, waktu aku pergi dulu itu, aku udah hamil 2 bulan tapi aku gak sadar. Aku sempat sakit, periksa ke dokter, kata dokternya aku hamil. Aku mau kabarin kamu tapi kamu ngilang gitu aja. Aku tanya Erick sama Abe, gak ada yang tau kabarmu,” Lena menjelaskan semuanya dengan singkat, padat dan tidak jelas.

Aku berpikir sejenak dan mencerna pernyataannya. Butuh sekitar semenit untukku mengerti bahwa dalam beberapa tahun ini, kami saling mencari satu sama lain. Aku ke Jogja untuk menenangkan diri dan dia yang mencariku. “Jadi kamu selama ini tinggal dimana?” tanyaku penasaran.

“Aku di Rote, tinggal di tempat Ester, temen kuliahku itu lho.”

“Yang kribo itu?”

“Iya Ester yang itu.”

“Jadi anakku juga tinggal di sana?”

“Iya... aku udah nanyain kamu kemana-mana, tapi kamu ngilang gitu aja. Jadi ya kami tinggal dulu disana.”

“Hmmm... Pantes...”

“Pantes kenapa?”

“Sekarang kamu jadi item, kurus, lama-lama nanti kribo kaya si Ester.”

TAKK!!! Sebuah jitakan keras mengenai kepalaku.

“Kamu ini!! Udah gak ada nyariin aku, gak ada kabar, kabur, ngilang, gak tanggung jawab!!” nada suara Lena mulai meninggi lagi.

“Kata siapa? Aku nyariin kok, aku berusaha kok, aku keliling Indonesia nyariin kamu. Hape mu gak aktif, aku gak bisa hubungi, gak dapet kabar sama sekali.”

“Hapeku kan masuk ke laut, jadi nomer sama hapenya rusak, nomer segitu banyak, mana ada aku hapal? Aku Cuma hapal nomermu, kamu sendiri yang gak aktif!!”

“Aku ganti nomer biar gak ada yang gangguin, aku perlu ketenangan buat nyari kamu, aku mau fokus!”

Kami ribut saling menyalahkan dan membela diri masing-masing. Saling menyudutkan dan saling membunuh dengan kata-kata pedas dan sinis. Tanpa terasa tangan kami mulai saling menunjuk wajah satu sama lain. Pengunjung dan pegawai “Pizza Hit” berkerumun, kami menjadi tontonan.

“Huaaaaaaaa...” suara tangis anak kecil terdengar diantara caci maki kami. Aku dan Lena serentak terdiam dan ingat bahwa diantara kami ada Jingga. Lena coba menenangkan putri kami, namun tangisnya malah makin keras.

Aku berinisiatif untuk meminta Jingga dari gendongan Lena, namun ibunya menepis tanganku dan melihatku dengan pandangan sewot. Aku berkata tanpa suara padanya,”gue ini bapaknya kan?”

Lena tampaknya mengerti maksudku dan membiarkanku menggendong Jingga yang menangis keras. Aku segera berusaha menenangkannya. Kuambil daftar menu di atas meja dan membujuknya, “Jingga? Jingga? Papa punya gambar ini nih... ini namanya menara pizza.”

“Papa?” tangisnya berhenti bukan karena aku membujuknya, tapi dia terheran mendengar kata “papa”, “papa kan udah ilang... om siapa?”

Oh sh*t!! Aku memandang Lena dengan tajam, dia hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya. “Aku bukan om... aku papamu.”

Jingga memandangku cukup lama, seakan meneliti, kemudian memandang ibunya. Alisnya menekuk, membuat anak ini makin mirip denganku. Lena memberi tatapan penuh arti pada anaknya dan mengangguk, “Jingga, gak boleh panggil om lagi ya... panggil papa.”



Bonus Track :

“Traffic Light!! Traffic Light!! Traffic Light!! Traffic Light!!”

“Pa? Papa mau konser lagi ya?”

“Iya dong sayang... kan kalo konser nanti dapet duit, buat beliin kamu boneka.”

“Adek di beliin boneka juga gak?”

“Adek Biru kan laki-laki, jadi nanti dibeliin mobil-mobilan.”

“Kalo adek Marshal?”

“Adek Marshall nanti Om Erick beliin gitar aja,” Erick yang sedang menggendong anaknya, Marshall, menjawab pertanyaan Jingga.

“Jingga juga mau gitar aja,Pa, biar bisa konser kaya papa.”

Aku menaikan sebelah alisku mendengar perkataan polos putri kecilku ini. “Nanti kalo kamu dapet rangking satu, papa janji beliin kamu gitar deh.”

Jingga mengangguk senang mendengar jawabanku. 

“Traffic Light!! Traffic Light!! Traffic Light!! Traffic Light!!” Teriakan penonton di luar sana tak henti-hentinya memanggil nama band-ku.

“All crew, stand by on your position!! I repeat, stand by!!” Lena datang ke belakang panggung sembari berteriak pada handy talkie di tangannya. “Abe, Loe naik duluan ke panggung, yang lain nyusul semenit lagi.”

“Sip!!” Abe berjalan melewati kami.

“Nat? Biru gimana? Aman?”

“Ni si Biru unyu-unyu,” jawab Natasha menyerahkan seorang bayi laki-laki dari gendongannya pada Lena.

Lena mencium kening bayi kecil itu dengan gemas dan bertanya, “uuuu Biru, kangen ya sama mama?”

Biru Sagara, anak laki-laki kami, hanya tertawa ditanya oleh ibunya.

“Erick, Christ, kalian naik sekarang.”

“OK bos!!” jawab mereka serempak. 

“Shanti, titip Marshall ya?” Erick menyerahkan Marshall pada ibunya.

Shanti berbisik di telinga Erick, “good luck, sayang.”

Aku bersiap mengambil gitarku, walaupun aku sudah melakukannya berkali-kali, tapi masih ada perasaan tegang setiap akan tampil di depan ribuan orang seperti ini. Tour di ibu kota ini, merupakan penutup promo album ke 7 Traffic Light yang sepakat kami beri label “In Memoriam : Our Best friend”.

“Jingga, kamu tunggu disini sama mama ya.” 

Putri kecilku yang penurut menggangguk patuh. 

“Aku naik dulu ya, sayang” Aku berjalan menuju panggung

“Ehh, Deet, Tunggu!!” Lena mendekatiku dan mencium bibirku cepat, “I love you.”

“Love you too.”

Suara double pedal drum Abe bergemuruh bagaikan deru senapan mesin begitu kakiku menjejak panggung. Aku berdiri tegak di depan microphone, menarik nafas panjang untuk menenangkan diri sejenak dan dengan teriakan lantang aku menyapa penggemar, “ARE YOU READY TO ROOOOOOOOOOCK?!?!?!?!?!?!”


terimakasih telah membaca, mengikuti dan menunggu cerita yang masih berantakan ini...
semoga ending ini membuat semua pembaca puas
akhir kata saya ucapkan
 Dering handphone terdengar memecah kesunyian malam menyadarkan Lena dari buaian mimpi indahnya. Lampu kamar hotel bersinar temaram di sudut plafon. Dingin hembusan udara yang keluar dari AC membuat keinginan untuk bersembunyi di balik selimut tebal semakin kuat namun dering handphone yang tak kunjung henti memaksa Lena untuk bangun meninggalkan semua kenyamanan itu. 

Dia bergerak menggeser tangan laki-laki yang tidur sambil memeluknya. Dengan pelan dia mengangkat tangan bertato itu dari atas perutnya agar laki-laki disampingnya tidak terbangun. Suara nada dering yang berulang beradu dengan hembusan nafas berat laki-laki yang kelelahan setelah tadinya bernyanyi selama dua jam di atas panggung yang di susun di lapangan Banteng, Medan.

Setelah melepaskan badannya dari pelukan Radeet, Lena mencari handphone yang terus menerus berdering. Handphone itu terlihat bergetar dengan layar berkedip-kedip di atas meja tepat di samping kanan televisi hotel. Lena bangun dari ranjang dan berjalan untuk mengambil handphone itu. Dilihatnya layar monochrome persegi yang hanya menampilkan nomor tanpa nama. Ini jam 02.30, siapa yang menelepon malam begini?

Lena menekan tombol berwarna hijau dan bersiap untuk mengucapkan ‘halo’ tetapi orang di seberang sana telah berbicara terlebih dahulu, “kamu kok lama amat sih ngangkatnya, sayang? Kak Lena masih bangun ya? Ato tadi keluar kamar dulu? Aku kangen looohh.”

Bagai tersambar petir dia mendengar ucapan orang di seberang sana. Suara itu suara seorang perempuan dan yang lebih aneh, dia memanggil ‘sayang’ pada pemilik handphone ini yang tidak lain adalah Radeet, kekasihnya. 

“Sayang? Kamu kok diem aja? Masih ngantuk ya?”

Belum lagi hilang keterkejutan Lena, perempuan di seberang sana sekali lagi memanggil Lena yang disangkanya pemilik handphone dengan panggilan ‘sayang’. Lena berusaha mengingat-ingat, siapa perempuan yang memanggil kekasihnya dengan sebutan ‘sayang’ selain dirinya. Tidak, tidak ada satupun. Hanya aku… bahkan ibu pun menyebutnya ‘nak’, bathin Lena. Namun entah mengapa suara perempuan di seberang itu terdengar sangat familiar.

“Yaaang… ngomong dong, kok diem-dieman gini sih?” perempuan di seberang merajuk manja pada orang yang salah.

“I-ini si-siapa?” Lena akhirnya bertanya walaupun matanya mulai berkaca-kaca.
Perempuan di seberang terdiam membisu.

“Ini siapa?” Lena mengulang pertanyaannya.

“Ini Lena ya?” Perempuan itu malah balik bertanya.

“Iya, ini Lena. Kamu siapa? Ngapain nelepon pacar saya malam-malam begini?”

Tidak sampai sedetik kemudian, hubungan telepon itu diputus secara sepihak oleh perempuan yang tidak diketahui namanya. Lena menangis terisak tak kuat menahan emosi. Tubuhnya merosot pelan turun ke lantai. Jemarinya menekan tombol pada handphone di tangannya. Satu persatu log panggilan pada handphone itu diperiksanya. Terlihat nomor perempuan itu telah menelepon pada pukul 23.10 tadi.

Lena mengingat ingat kejadian sebelumnya. Tidak sekalipun Radeet sempat memegang handphonenya. Kembali dia mengingat lebih keras, merunut kejadian sebelumya. Makan, udang tepung, waiter, banci, Odan, setan, handuk, ahh betul! Tadi saat Radeet mandi, aku sendiri yang memberikan hape padanya. Ternyata dia berselingkuh di belakangku!

Tangan Lena menggenggam handphone milik Radeet dengan erat. Dengan satu gerakan dia membanting handphone itu ke tembok kamar. Bersamaan dengan itu, air matanya mengalir deras diiringi dengan suara tangis lirih.

Kenapa?Apa yang kurang dari aku? Apa yang tidak kulakukan untukmu? Kenapa Deet? Lena bertanya dalam hati di tengah tangisnya. Dia hanya menunduk memandang air matanya yang jatuh ke lantai. 

Cukup lama Lena menangis sebelum akhirnya dia bangkit berdiri. Dia lalu berjalan menuju lemari dan mengeluarkan semua pakaiannya. Tanpa suara dia mengemas semua pakaian itu ke dalam kopernya yang berwarna biru muda. Semua dilakukannya dengan cepat dan tanpa suara. Satu hal yang diinginkannya saat itu, pergi dari tempat ini.

Kopernya telah rapi saat Lena masih berdiri memandang kekasihnya yang masih tidur pulas. Wajah yang tidak berdosa dalam buaian alam mimpi itu ternyata telah mengkhianatinya. Terasa berat kakinya untuk melangkah meninggalkan laki-laki yang mengisi hatinya sejak 5 tahun lalu. Bukan waktu yang singkat untuk menjurai kisah indah.

Tak kuat hatinya menahan emosi yang bergejolak, Lena mendudukan dirinya di ujung ranjang. Isak tangisnya kembali merebak hingga membuat Radeet terbangun.

“Ada apa sayang?”

Lena tak menjawab pertanyaan itu. Amarahnya telah memuncak.

Radeet memeluk kekasihnya dan bertanya, “ngapain packing malem gini? mau kemana?”

Lena menggeleng dan mendorong kekasihnya menjauh. Sakit hatinya merasakan sentuhan pelukan seorang yang menusuknya dari belakang.

Sekali lagi Radeet mencoba memeluk kekasihnya agar Lena lebih tenang. Kali ini Lena mengalah dan bersandar pada Radeet. Suara tangis yang sedari tadi berusaha ditahannya meledak. “Kamu jahat Deet… kamu jahat…”

“Kamu kenapa sayang? Kok tiba-tiba bilang aku jahat”

“Kamu… kamu…” Lena tak sanggup berbicara. Hatinya begitu sedih. Bagaikan teriris silet rasanya. Bukannya menjelaskan sebab dirinya menangis, Lena malah sekali lagi melepaskan diri dari pelukan Radeet. Kali ini dia menarik kopernya ke arah pintu kamar.

Radeet berusaha menahan tangan kekasihya. “Jangan pergi…”

“Lepasin! Aku benci sama kamu!”

Radeet yang baru kali ini mendengar Lena membentak seperti itu, perlahan mengendurkan pegangannya pada tangan Lena. Pandangan matanya mengikuti kekasihnya yang menjauh dan berbelok di ujung lorong. Ingin dia mengejar Lena tapi dia sudah hapal watak gadis itu. Jadi lebih baik diberikan waktu untuk menenangkan diri.


****** Life Fast Die Young ******

Butir air rintik hujan menempel pada bagian luar kaca jendela mobil taxi berwarna biru. Di dalamnya, Lena melamun beradu pandang dengan bayangannya sendiri yang terpantul dari kaca jendela. Perjalanan satu jam lebih itu terasa singkat baginya. Sekilas dilihatnya dua buah tiang yang menyangga sebuah gong raksasa dengan bendera berbagai negara yang mengelilingi. Kemudian dilihatnya deretan pedagang ikan bakar yang berjejer di sepanjang jalan. Tanpa terasa, tahu-tahu orang yang mengemudikan taxi yang ditumpanginya telah memanggil.

“Nona? Hei nona, su sampai ni.”

Lena melirik angka yang tertera pada meter argo dan menyerahkan dua lembar uang berwarna merah cap dua bapak-bapak, “kembaliannya ambil aja,pak.”

“Eeehh nona… nona su cantik pung hati baik lae… terimakasih oo.”

Lena tersenyum mendengar pujian dari supir taxi yang mengantarnya dari bandara hingga ke pelabuhan. “Iya pak, sama-sama,” ucapnya pada supir itu.
“Lena!” sebuah suara nyaring memanggil dari kejauhan. Lena memenoleh mencari sumber suara yang kembali menyerukan namanya. Seorang perempuan berambut ikal mendekatinya bersama seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam.

“Ester!” Lena berseru senang begitu melihat kedua orang itu di kejauhan. 

Kedua perempuan itu berpelukan erat begitu saling berhadapan. Sementara lelaki yang menemani Ester hanya tersenyum melihat kedua perempuan itu.

“Lama ya gak ketemu? Udah lima tahun. Kamu makin cantik aja,” kata Lena pada temannya.

“Ahh, lu ni, jang bikin beta rasa bagaimana begitu,” sahut Ester yang diikuti gelak tawa keduanya.

“Kalian berdua gimana kabar? Sehat kan?”

“Sehat to nona, Tuhan selalu kasi berkat berlimpah deng katong. Lu sendiri karmana? Su menikah?” Tanya lelaki di sebelah Ester.

Serta merta Ester menyikut perut lelaki disebelahnya dan berbisik, “papa ni kalu bicara tu sonde pernah pikir. Son pernah lihat tv ko?”

Lelaki itu bingung dengan perbuatan istrinya dan bertanya, “memangnya kenapa mama? mereka dua su cerai ko?”

“Lu diam su,” kata Ester sekali lagi menyikut perut laki-laki itu.

“Kami gak cerai kok Ton, kami cuma break aja,” kata Lena pelan seakan enggan mengucapkan kalimat itu.


****** Life Fast Die Young ******

Sebulan setelah Radeet mem-vakum-kan band, media infotaintmen bagaikan menggila. Hampir setiap hari wartawan berkumpul di depan rumahku. Tidak peduli pagi, siang atau malam, mereka tetap setia menunggunya keluar dari rumah.

Nani yang selalu dimintanya untuk membelikan kebutuhan setiap harinya tak luput dari kejaran wartawan. Ditambah dengan menghilangnya Lena, media menyebar berita yang cukup menjual di kalangan ibu-ibu gossipers. Seperti tagline di infotainment KIS yang ditayangkan setiap sore di stasiun TV swasta, 'Radeet, rocker playboy, lepas dari Lena, kumpul kebo dengan mahasiswi'.

Hilangnya Lena yang mendadak juga menjadi topik hangat di kalangan gossipers. Ada yang memberitakan dia sudah lelah dengan dunia manajemen band, ada yang memberitakan dia pergi ke luar negeri, bahkan ada yang ekstrim dengan membuat berita bahwa Lena mengalami over dosis semua kabar miring berhembus dan sampai kini berita sebenarnya sengaja disembunyikan dari media.

Radeet tertekan dengan kepergian Lena yang misterius. Masalah ini membuatnya lebih banyak duduk di dalam kamar. Setiap hari hanya menunggu telepon dan sms untuk mendengar kabar tentang Lena. Kabar dari kawanpun simpang siur. Minggu ini dia sudah terbang ke tiga pulau untuk mengecek keberadaan gadis pujaannya namun hingga saat ini semua masih kabur.

****** Life Fast Die Young ******


"Kak, makan dulu! Aku dah beliin nasi padang kesukaannya kakak ni!"

Radeet diam tak menjawab teriakan perempuan yang menggedor kamarnya.

"Kak! Buka dong! Udah 2 hari kakak gak keluar kamar!"

Radeet menarik nafas panjang dan masih memandangi layar handphone monochrome kesayangannya. Entah mengapa ranjang yang ditiduri terasa semakin nyaman. Radeet menghabiskan waktunya untuk tidur. 

"Kak Radeet! Kakak gak boleh kaya gini! Minimal makan dulu! Masak gara-gara cewe aja kakak nyiksa diri gini??"

Kata-kata terakhir yang diucapkan Nina membuat darah dikepalanya mendidih dalam sekejap. Secepat kilat Radeet membuka pintu kamar yang sedang digedornya. Dengan tangan kirinya Radeet menunjuk mukanya, "JANGAN! PERNAH! BILANG! GITU LAGI!" Teriakannya patah-patah menahan emosi. 

Rona wajah Nina berubah. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar. Isak tangisnya lirih terdengar. Nina menggelengkan kepalanya perlahan. Radeet membanting pintu dihadapannya dengan keras. Lelaki itu kembali merebahkan tubuhnya di ranjang dan memandangi layar handphone monochromenya, menunggu kabar dari Lena.

****** Life Fast Die Young ******


Sebulan di Nembrala yang tenang tidak membuat Lena melupakan kegundahannya. Pasir putih yang menghampar luas sepanjang pantai dan sinar hangat matahari terbenam bukanlah merupakan penghibur baginya. Lena lebih banyak berdiam diri serta mendengarkan lagu-lagu nyanyian lelaki yang pernah mengisi hatinya. Kini dia saat mencoba mengusir lelaki itu dari hatinya justru menjadi bayangan yang selalu dia rindukan. 

Handphone di genggaman tangannya memutar lagu balada dari Traffic Light saat tubuhnya bersandar pada sebuah pohon kelapa yang menjulang tinggi di pinggir pantai Nembrala. Tiba-tiba suara musik terpotong beberapa detik digantikan penanda email masuk. Tanpa berpikir panjang Lena membuka emailnya. Sebuah surel dengan tulisan “coba buka, pasti suka. Kejutan!” dengan attachment dari naughty_nn95@mailg.com.

Betapa terkejutnya dia begitu melihat isi lampiran surel tersebut. Sebuah foto yang memperlihatkan Radeet sedang merebahkan diri di atas payudara perempuan berkacamata kotak. Air mata yang mampu ditahan dua hari ini, kembali turun membasahi pipi.

Serta merta Lena membalas surel itu.
Ini siapa? Mau kamu apa? Dimana kau dapat foto itu?
Lena menunggu dan menunggu. Hari lepas malampun datang. Malam lepas hari berganti. Berhari-hari bahkan sampai hitungan bulan. Lena masih menunggu namun pemilik akun surel tersebut tidak membalas kembali. Sampai akhirnya Lena mengucapkan perpisahan pada pasangan Halla.

“Aku udah ngak apa-apa kok, Ter. Aku udah move on.”

“Lu yakin Len? Jang sampai Lu pikir Lu kasi repot beta disini jadi Lu pi Jawa lai.”

“Enggak kok Ter, aku nyaman kok di Nembrala tapi masih ada yang harus aku lakukan, makanya aku balik dulu. Nanti pasti aku main ke sini lagi,” kata Lena memeluk Ester Halla

“Jang lupa deng katong ow,” kata Eston Halla menyalami Lena.

“Aku pasti inget kalian, makasih ya Ter, Ton…” Lena berusaha tersenyum tapi air matanya mengalir tak terbendung. Ester yang melihat Lena menangis, juga tak kuasa menahan air matanya. Sekali lagi kedua sahabat itu berpelukan, tak rela menyambut perpisahan yang ditandai panggilan dari airport announcer bandara El Tari.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar