TETANGGAKU DIAN
Aku mulai membangun rumah sendiri, terlebih ketika Nur melahirkan anak
pertama kami yang imut dan lucu. Berjenis kelamin perempuan. Anaknya sangat
montok. Kami semua bahagia dan usia kehamilan Kak Vidia pun udah masuk ke
empat bulan, mulai kelihatan perutnya membuncit.
Aku bangun rumah sendiri untuk Kak Vidia, juga Nur. Walaupun tak begitu mewah
seperti rumah kami sekarang, tapi cukup untuk membangun rumah tangga di sini.
Posisinya juga tidak terlalu jauh, masih satu kota walaupun beda perumahan.
Identitasku sekarang kuubah, agar hubungan incest kami tak ketahuan. Kami
membayar beberapa orang pengurus catatan sipil untuk bisa memalsukan
identitasku. Dan sekarang aku pun punya tiga istri. Yang mana aku harus adil
dalam membagi jatah.
Aku benar-benar ingin membahagiakan mereka semua. Terutama bunda. Jatah bunda
sekarang lebih banyak. Ini adalah inisiatif dari Nuraini dan kak Vidia. Mereka
sepakat untuk melakukannya. Mereka malah yang menyemangati bunda agar bisa
menyusul mereka.
"Rumah jadi sepi ya Don, semenjak kedua saudarimu ke rumah mereka
masing-masing," kata bunda.
"Ini kan juga untuk membahagiakan bunda juga, kalau semuanya di sini bingung
ngurus cucu-cucunya bunda," kataku.
Bunda memakai kerudung lebarnya dan ia sedang duduk di sofa ruang tamu sambil
melihat halaman dari jendela. Walaupun sekarang usianya sudah kepala 4, tapi
tubuhnya masih sintal. Masih bagus, beliau sering melakukan perawatan tubuh,
aku bisa melihatnya sendiri. Ini adalah hari pertamaku membagi jatah ke bunda.
Karena aku dapat jatah 4 hari di rumah bunda.
"Masih belum ada kabar mengenai mbak Juni, Don?" tanya bunda.
"Belum ada, Doni sudah cari kemana-mana tapi tidak ketemu. Rumahnya yang dulu
pun sudah sepi tak ada barang-barang apapun. Dia seperti hilang ditelan bumi,"
jawabku. "Aku menyesal sekali sepertinya."
"Kalau dihitung berarti usia kehamilannya hampir sama seperti Vidia," kata
bunda. "Lebih muda dikit."
"Iya," kataku singkat.
"Tapi jangan khawatir. Kalau ia mencintaimu, ia pasti akan mencarimu, atau
bahkan ia tak akan bisa melupakanmu. Ia cuma belum siap menerima keadaan ini.
Kau sendiri tahu kan? Ia masih mencintaimu bunda yakin karena bunda ini juga
wanita," kata bunda menghiburku. "Bunda yakin ketika nanti anaknya lahir
engkau pasti akan diberi tahu, bahkan mungkin bunda yakin ia pasti akan
menerimamu apa adanya."
"Bagaimana bunda bisa yakin?" tanyaku.
"Sebab, Juni itu sudah suka kepadamu sejak lama. Bunda tahu itu, saat
melihatmu ia sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika kalian
berhubungan wajahnya lebih sumringah daripada sebelumnya. Ia memang janda
muda, tapi ia masih memiliki cinta. Dan ia baru saja menemukan cinta
sejatinya," kata bunda. "Sebagaimana bunda juga masih mencintai ayahmu sampai
sekarang walaupun sudah ditinggalkan. Dan sekarang bunda melihat sosok ayahmu
pada dirimu. Bunda makin cinta kepadamu."
Aku menghampiri bunda dan duduk di sebelahnya. Tanpa dikomando aku mencium
bibirnya.
"Bunda tahu, apapun yang bunda lakukan, tubuh bunda tetap menarik bagi Doni,"
kataku.
"Kamu sudah kepingin?" tanyanya.
"Kalau melihat bunda rasanya kepingin terus," jawabku.
Kami berpanggutan lagi dengan hot. Lidah kami menari-nari saling menghisap.
Aku membuka kancing gamisnya, kulepas gamis itu, branya juga kulepas. Bunda
menarik T-Shirt-ku dan menurunkan celana trainingku.
"Isep dong bunda," kataku.
Aku berdiri di hadapannya. Bunda duduk di sofa ia majukan wajahnya dan melahap
penisku. Ia mengulumnya dengan ganas. Ia jilati ujungnya, lalu ia kulum lagi,
tangan kirinya aktif meremas-remas testisku. Tangan kanannya mengusap-usap
perutku, lalu terkadang memijat-mijat batang penisku, mengurutnya dan
mengocoknya lembut.
"Ohhh...bunda....hhmmhhh...,"
Bunda masih memakai kerudungnya. Beliau agak aneh dengan fantasiku yang
bercinta dengannya tapi memakai kerudung. Tapi ia sama sekali tak masalah
dengan itu. Berkali-kali spermaku harus aku keluarkan di wajahnya di saat oral
mengenai kerudung hitamnya. Ia menganggap fantasi sex tiap lelaki berbeda. Ia
pernah bercerita kalau fantasi sex ayah dulu adalah ngentotin bunda di kebun
atau di alam terbuka. Bahkan katanya hamilnya anak pertama dulu, karena mereka
berhubungan intim di pegunungan. Pantas saja Kak Vidia suka banget hiking.
Sedangkan aku? Bunda menceritakan sesuatu yang tidak pernah diceritakan kepada
Kak Vidia maupun Nuraini. Yaitu ayah pernah menyukai keponakannya sendiri. Dan
ia jujur kepada bunda. Karena itulah bunda bersedih. Setiap bercinta selalu
yang ada pada bayangan ayah adalah keponakannya itu yang bernama Laura. Aku
pernah bertemu sepupuku itu tapi sudah lama, sekarang ia punya anak bernama
Anisa. Dan boleh dibilang ayah pernah sekali bercinta dengan keponakannya itu,
tapi tidak sampai hamil.
Bunda terpukul dengan itu, namun ketika melihat bunda hamil diriku, akhirnya
ayah pun mengakui dirinya salah dan akhirnya mulai menyayangiku seperti
anaknya. Mungkin karena itulah sifatku seperti ini. Dan secara tak disangka
aku sangat mirip ayahku.
Hari ini aku tak mau menyia-nyiakan spermaku, aku ingin semua spermaku tumpah
di rahimnya. Kita punya banyak waktu hari ini. Aku ingin mengentot bunda sampe
ngilu penisku. Maka dari itulah, sebentar saja bundaku mengoralku. Aku
sekarang sudah menciumi seluruh tubuhnya. Kujilati dadanya, kuhisap kuat-kuat
putingnya hingga mengeras. Bunda mengeluh. Ku hisap pula klitorisnya kumainkan
dan kugigit gemas. Bunda makin tergelepar-gelepar seperti ular. Berkali-kali
ia berusaha mendorongku karena rangsanganku telalu membuatnya geli. Dan bunda
pun orgasme hingga menjambak rambutku kuat-kuat. Nyaris itu rambutku dicabut
dari tempatnya.
"Don...kamu bener-bener lain hari ini, rasanya nafsuin banget," katanya.
Aku tersenyum. Aku kemudian melumat bibirnya. Punyaku pun langsung kumasukkan
sambil kutekan. Bunda kaget dan tersentak. Pinggulnya terangkat. Saat itulah
aku menggoyan tubuhnya, ku benamkan sedalam-dalamnya otongku hingga mentok.
Bunda mengeluh lagi. Kami berpelukan erat, kerudungnya masih menempel dan aku
menghisap lidahnya. Ia mencakari punggungku ketika kenikmatan demi kenikmatan
menjalar di selakangan kami.
"Don..enak...bunda keenakan...terusss...ssshhh...aahhh...hhmmmhh," katanya.
Aku konsentrasi di bawah sana. Aku terus mengobok-obok vaginanya hingga dia
kayaknya hampir orgasme lagi, dahinya mengerut, alisnya menyatu dan ia menatap
mataku. Mulutnya membentuk huruf O.
"Bunda...ohhh mau keluar....," katanya.
"Bunda keluar? keluar aja bunda," kataku. "Papah masih belum."
Bunda pun mengapit pinggangku erat-erat. Pantatnya bergetar, kuku-kukunya
menggaruk punggungku, ia memelukku erat seakan tak ingin melepaskanku. Kutunggu hingga
bunda merasakan rilex sejenak dan pegangannya melemah.
Kubalikkan tubuhnya, kini ia menungging di sofa. Aku kemudian menghujamkan
penisku ke vaginanya dari belakang. Bunda bertumpu pada pinggiran sofa. Ia
masih mengeluh ah dan uh...saat kusodok ia mengimbangiku dengan memaju
mundurkan pantatnya. Rongga kemaluannya menggesek setiap syaraf kemaluanku,
membuatku terbuai oleh ekstasi persetubuhan yang panas. Pantatnya yang montok
memberikan sensasi tersendiri kepada area pribadiku. Testisku berkali-kali
menghantam bibir vaginanya karena aku menyodoknya sampai dalam. Yang aku suka
dari ketiga keluargaku adalah vagina mereka benar-benar bisa meremas penisku.
Bunda juga demikian. Aku meremas-remas toketnya ketika menusuknya. Sesekali ku
remas juga bongkahan pantatnya yang bahenol itu. Puas dengan doggy style, aku
lalu berbaring.
Kami berhadapan. Pahanya kuangkat, penisku masuk lagi. Vagina bunda udah
sangat becek. Dada kami berhimpitan, terasa debaran jantung kami. Bunda sudah
lelah, ia hanya bisa menerima panggutanku saja dan mendesis pelan. Aku
pelan-pelan menggesek kemaluanku keluar masuk. Sambil aku mantapkan tusukanku,
rasanya kepala penisku geli sekali.
"Don, bunda rasanya ngilu banget, belum keluar juga?" tanya bunda.
"Ini mau keluar bunda. Peluklah Doni. Peluk yang erat bunda," kataku.
"Ohh...papah, keluarkan pejuh papa yang banyak yah buahin bunda," katanya.
Pantatku kugoyangkan agak cepat, kepala penisku sudah gatal ingin menyemburkan
sperma. Makin cepat-makin cepat, bunda pun memelukku erat sekali, dan kami pun
orgasme bersamaan lagi. Bunda melingkarkan kakinya ke pinggulku, aku menghujam
penisku dalam-dalam sampai mentok, dan semburan demi semburan cairan kental
membasahi rahimnya.
"Ohh...bunda udah lama tidak merasakan ini. Enak....enak banget...," katanya.
Orgasme itu serasa sangat lama, penisku benar-benar ngilu. Kubiarkan penisku di dalam
kemaluannya, hingga mengecil sendiri. Kami pun tertidur di sofa. Kelelahan.
Senggama yang hebat. Hari itu kami tak pernah habiskan waktu yang sia-sia.
Bercinta, bercinta dan bercinta. Berbagai gaya kami coba. Kami istirahat hanya
untuk makan, tidur dan mandi. Kemudian bercinta lagi. Empat hari yang tidak
sia-sia. Hampir tiap hari kami tidak pakai baju. Dan hampir tiap waktu kami
hanya bicara dengan sentuhan, rayuan dan cumbuan.
****
Keesokan harinya aku ke tempat Nur. Ia sangat kangen denganku. Ia juga senang
dengan buah hati kami dan setiap hari bermain dengannya. Aku menyewa seorang
pembantu yang membantunya di rumah. Kebetulan ia juga adalah tetanggaku
sendiri namanya Dian.
Dian ini orangnya imut. Rambutnya seleher. Bibirnya tipis. Suaminya bekerja
sebagai buruh pabrik dan ia ini pengantin baru. Entah bagaimana cepat sekali
ia akrab dengan Nur. Bahkan sering aku dengar mereka ketawa ketiwi sendiri
kalau sedang ngerumpi. Pekerjaan Dian juga telaten. Semua pekerjaannya rapi
dan bersih. Semuanya OK, tapi ada satu yang tidak. Apa itu? Pakaiannya itu
lho. Kalau bekerja di rumah, ia selalu pakai baju lengan pendek dengan
ketiaknya yang bisa dilihat. Bagian atasnya sangat longgar sehingga kalau ia
membungkuk aku bisa melihat toketnya yang menggantung dan kulitnya yang putih.
Ditambah ia pakai hotpants. Dan ia tidak risih.
Bisa jadi pakaiannya itu agar ia mudah untuk bekerja. Mungkin Dian tidak tahu
kalau aku selalu melihatnya ketika bekerja, dan pelampiasanku, tentu saja ke
Nur. Nur hanya mengira aku memang lagi kepengen karena lama tidak menyentuhnya
tapi sebenarnya bukan itu sih.
Satu atau dua kali kuanggap wajar, tapi karena sudah berkali-kali akhirnya aku
kepingin juga ngentotin dia. Tapi bagaimana caranya? Aku sudah membuang
kloroformku dulu. Dan tak mungkin pakai cara itu. Dan sebenarnya peristiwa ini
kebetulan saja sih. Kebetulan inilah yang membuat Dian akhirnya takluk juga.
Suami Dian yang buruh pabrik itu sering pergi jam 5 sore pulang jam 5 pagi.
Jadi malam hari ia sering tidak di rumah. Pagi hari sampai sore selalu di
rumah, sedangkan pagi sampai sore Dian bekerja di rumah kami. Karena frekuensi
jarang ketemu inilah yang membuat kebutuhan Dian akan urusan ranjang kurang.
Mereka jarang main, kecuali di hari minggu. Ini kuketahui nanti.
Di RT kami kebetulan pak RT-nya mengadakan inisiatif untuk mengadakan ronda.
Ronda ini selalu digilir oleh bapak-bapak kampung. Namun sekali pun tidak ada
jadwal boleh koq siapa saja ikutan. Pos rondanya agak jauh sih dari rumah
kami, ada di ujung jalan.
"Mah, papah mau ikutan ronda," kataku.
"Lho, emang jadwalnya?" tanyanya.
"Hehehe, nggak sih kebetulan kepengen nonton bola bareng di pos ronda. Jadi ya
sekalian saja ikutan ama bapak-bapak di sini biar akrab," alasanku.
Aku lalu melihat anakku yang sedang lucu-lucunya tampak bicara sendiri. Aku
lalu mengajaknya bicara sampai ketawa. Nur tampak senang sekali melihat polah
tingkahku yang bercanda dengan anakku.
"Udah ah pah, ntar malah ndak tidur-tidur dibecandain melulu," kata Nur.
"Papah gemes banget ama pipinya ini lho," aku lalu mencium anakku. "Apa sih
sayang? Ikut papah yuk, nonton bola di pos kamling. Hehehe, ketawa lagi."
Nur lalu memelukku dan mencium pipiku. "Udah, berangkat sana!" Ia
mengusap-usap pipiku.
"Agak nanti aja, masih jam 9 koq," kataku.
"Kalau ndak berangkat sekarang ntar malah ndak tidur-tidur Si Laila," kata Nur
sedikit ngambek. "Dari tadi siang dibecandain melulu soalnya."
Aku lalu bangkit dan mencium kening Nur. "Ya udah, berangkat dulu." Aku
mengusap kepalanya.
"Pah, mamah cinta kamu," kata Nur.
"Papah juga koq," kami berpisah dengan berciuman bibir untuk sepuluh detik.
Aku selalu melakukannya kalau ingin pergi keluar rumah. Hal itu menambah
kemesraan kami. Dan pernah sih hal ini ketahuan ama Dian. Dan ia buru-buru
menyingkir.
Aku pun pergi keluar rumah. Di pos kamling aku bertemu dengan beberapa orang
bapak-bapak yang juga tidak ada jadwal ronda tapi ikutan ronda. Di perumahan
ini memang belum ada satpamnya, makanya kami mengambil inisiatif seperti ini.
Pertandingan bolanya sih jam 2 malam. Dan kami sudah mengobrol ngalor ngidul
sampai jam 12. Entah kenapa waktu itu udara dingin banget, sehingga aku lupa
bawa sarung. Mau pulang dulu ambil sarung.
"Awas pak Doni, nanti kalau udah pulang takutnya ndak bisa balik lagi. Hawanya
dingin banget," kata salah satu bapak-bapak.
"Kayaknya sih begitu," candaku. Kemudian disambung ketawa bapak-bapak yang
lain.
"Maklum pak, penganten baru ya seperti itu," sahut yang lain.
Aku pun segera menuju rumahku. Perumahan ini benar-benar sepi kalau malam.
Ndak ada satu pun penjual makanan yang lewat. Aku kemudian sudah sampai di
rumah. Namun tampak tetanggaku Dian sedang ada di luar rumah membawa senter
dan menerangi sekering listriknya di luar rumah. Lampu rumahnya mati.
"Kenapa mbak?" tanyaku.
"Ini mas, listriknya mati, bingung nyalainnya gimana," jawabnya. Ini mungkin
kesempatannya. Pikirku.
Agak tak jelas sih ia pakai baju apa, karena gelap.
"Boleh saya bantu?" tanyaku.
Ia diam sejenak. Mungkin berpikir panjang, karena aku bukan suaminya. Tapi
kemudian ia mempersilakan. Aku lalu meminta gunting dan obeng. Kulihat
kabel sekringnya putus. Kusuruh untuk mencabut seluruh peralatan listrik
kemudian aku mengambil kabel dan membetulkan listriknya. Setelah sekeringnya
aku betulkan di bawah sorot lampu senternya dan terus terang bau parfumnya
sangat menggoda, akhirnya listriknya bisa nyala lagi. Aku memperbaiki sekering
di dalam rumahnya, dan tentu saja karena hawanya dingin pintu tertutup.
"Makasih ya mas, malah merepotkan," katanya.
"Oh tidak masalah," jawabku. Dan saat itulah aku terkejut karena tiba-tiba
tvnya nyala dan kulihat tampak ada adegan bokep. Rupanya ia lupa mencabut
saklar tv dan DVD-nya. Walaupun tidak bersuara otomatis kami berdua tahulah
film apa itu yang sedang diputar. Wajah Dian memerah, ditambah lagi di meja
aku menemukan sesuatu yang mirip penis. Dildo!?
Dian yang memakai sarung itu buru-buru mematikan dan mengambil dildonya lalu
masuk ke kamar. Aku tersenyum aja. Barangkali ia sedang mastrubasi sambil
nonton film itu kemudian lampunya mati.
Tak berapa lama kemudian ia keluar kamarnya. Wajahnya memerah, ia sepertinya
malu sekali. "Yang tadi maaf ya mas."
"Tidak mengapa aku tahu koq kebutuhan wanita itu seperti apa," kataku.
"Maklum, Mas Joko sering keluar malam, jadinya ya ini satu-satunya pelampiasan
kalau sedang sendiri," katanya sambil sedikit tertawa kecil.
"Tadi sudah tuntas belum?" candaku.
Dian bingung menjawab, lalu ia menggeleng.
"Trus kalau belum apa yang dilakukan habis ini? Melanjutkan?" tanyaku.
Ia mengangguk, sebentar kemudian menggeleng, sebentar mengangguk lagi. Ini
kesempatan bagiku, setan sudah menguasai otakku. Aku lalu mendekat dan
memeluknya, ia kaget dan menatap wajahku.
"Mas, jangan mas. Bagaimana dengan mbak Nur?" tanyanya.
"Kamu mau dituntaskan tidak?" tanyaku. "Ndak enak kalau main sendiri."
"Tapi mas, a..aa..ku...," ia kaget ketika aku mencium keningnya. Kemudian
pipi, hidung dan bibirnya. Kami berciuman hot. Awalnya ia diam, lama kelamaan
ia memanggut juga. Ia menghisap mulutku dan ia sangat panas mainnya. Ia sangat
ahli dalam frenchkiss. Aku pun meraba dadanya yang ternyata tak memakai bra,
aku bisa merasakan putingnya mengeras.
Sarungnya aku lepaskan hingga jatuh ke lantai. Ia pun menarik kaosku ke atas
dan menciumi dadaku yang bidang. Ia mengusap-usap dadaku dan menciumi dadaku
hingga ke perut, lalu ia buka celanaku. Burungku langsung melompat keluar saat
ia menurunkan celana dan CD-ku. Ia berhenti sejenak.
"Pantas mbak Nur suka sama mas, ininya gedhe banget, aku sudah horni banget
mas, maaf ya mbak Nur," kata Dian. Ia pun melahap penisku, dikulum dan
disedot. Dimainkan kepala penisku. Mendapat perlakuan ini aku pun memegangi
kepalanya dan memaju mundurkan penisku. Dian sangat ahli sekali.
Tidak butuh waktu lama untukku bisa menarik bajunya ke atas, ia sekarang sudah
tak memakai baju lagi. kepalanya maju mundur sambil melirik ke arahku yang
mengamatinya. Ia bahkan terkadang melakukan deep throat. Yang membuatku makin
melayang. Setelah aku beri kode ia untuk berbaring di sofa ia pun menghentikan
oralnya. Ia menarikku kemudian terjadilah pergumulan di sofa. Aku memastikan
kalau dadanya ukurannya hampir sama seperti Nur, tapi lebih kecil sedikit
dengan puting yang sudah mengeras seperti kacang berwarna coklat.
"Ohh...mas...puasin aku mas," katanya.
Tanpa dikomando aku sudah menyusu kepadanya. Menghisap dan memainkan puting
susunya sambil meremasnya bergantian. Dian menggelinjang dan memeluk leherku.
Tanganku yang lain sudah mengobok-obok vaginanya. Kuusap-usap bibir memeknya,
lalu jari tanganku leluasa masuk ke dalam lubangnya yang udah basah, sisa-sia
mastrubasinya tadi.
"Ohhh...mass...baru kali ini ada jemari lelaki lain masuk di sana," katanya.
Aku gesek-gesek sambil kumainkan buah dadanya yang berwarna putih itu.
Kemudian aku naik ke lehernya, lalu menyusuri pipi dan kugigiti telinganya.
Hal itu membuatnya makin terangsang ia pun mengigiti telingaku. Aku lalu ke
bawah, dan kuciumi perutnya, selakangannya, pahanya, kemudian kulahap juga itu
bibir memeknya yang berwarna pink kecoklatan.
"Ahhkk...enak mas, enak...ahhkk terus..!!" katanya. Kuhisap dan kuemuti bibir
memeknya, lalu lidahku menyapu sampai ke ujungnya dan kutemukan daging
menonjol. Klitorisnya itu bisa kurasakan dengan lidahku, ujung lidahku
merasakan asinnya lendir kewanitaannya yang terus memancar setiap kali aku
mengusap-usap klitorisnya. Pantat Dian terangkat dan ia terus-menerus
mendesis.
"Udah mas, udah...Dian mau keluar...mau keluar...jangan digituin...geli...geli
mas...udahh...aduuuuhh....pipis deh...mas nakaaal..memek dian basah
deh....aaaahkk!" Dian menggelinjang hebat dan mengangkat pantatnya
tinggi-tinggi. Aku biarkan ia sejenak.
Dian meringkuk seperti bayi. Sesekali pantatnya maju mundur sendiri. Ia
seperti ulat kesetrum. Matanya memejam erat, bibir bawahnya digigit dan
tangannya memeluk lututnya. Aku siapkan senjataku sekarang.
Ia tak kuijinkan berlama-lama menikmati orgasmenya. Aku lalu mengatur posisi.
Lututnya aku angkat sampai ke pundaknya, buah dadanya aku atur hingga ia
seperti menjepit dadanya sendiri. Dengan begitu memeknya terlihat jelas. Aku
bertumpu pada lututku, kemudian penisku cukup aku tekan sedikit dan masuk
begitu saja. Tapi...ada sesuatu yang aneh. Di dalam sana penisku seperti
merobek sesuatu. BRETT...!!
Mata Dian terbelalak. Ia menatapku agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Ia
melingkarkan tangannya ke leherku.
"Mass...perih...," katanya.
"Lho, kamu masih gadis?" tanyaku.
"Tidaklah mas, sudah dipake koq," jawabku.
"Lha trus ini?" tanyaku.
"Aku tidak tahu, mas Joko penisnya kecil, ndak sampe penuh masuknya. Aku juga
kaget lihat penis mas segitu, ndak tau tapi aku kerasa perih," jawabnya.
Mungkinkah penis suaminya ndak sampai merobek selaput daranya? Kalau iya, ini
rejeki yang langka. Aku lalu menggoyangnya pelan-pelan. Tarik, tekan, tarik,
tekan. Biar ia tak terlalu sakit dulu.
"Yang cepat aja mas, ndak apa-apa!" kata Dian.
Aku pun mengikutinya. Kupompa agak cepat. Dian pun bereaksi. Ia mengeluh,
menggelinjang. Matanya terpejam, bibirnya menggairahkan sekali, berkali-kali
aku menghisapnya. Wajahnya meringis seperti kesakitan padahal ia terasa
nikmat. Memeknya benar-benar meremas-remasku dan menyedot-nyedot seperti
vakum. Sepertinya Dian ini benar-benar masih gadis, aku tak peduli. Hal ini
membuatku makin kepingin cepat keluar saja.
"Dian...keluar nih," kataku.
"He-eh mas, keluarin aja...barengan yuk," katanya.
"Ohh...Dian...kamu sexy sekali, mas kepengen ngentotin kamu
terus...keluar..kkellluuuaaarr!!" aku menjerit.
Dian pun menjerit, "Maasss....aaahhkk!"
Spermaku pun tumpah di rahimnya. Ia memelukku erat untuk beberapa saat hingga
kemudian ia lemas. Aku lalu menarik penisku. Saat itulah aku melihat sesuatu
yang aneh. Cairan sperma yang meleleh dari lubang memeknya bercampur bercak
darah. Ia beneran masih gadis ternyata. Lha trus? Sebesar apa sih penis
suaminya sampai ndak bisa menjebol milik istrinya sendiri??
Untuk beberapa saat kami terdiam. Dian sedang menikmati multiple orgasmenya.
Tampak wajah kepuasan terpancar dari wajahnya.
"Mas, makasih ya, udah nemenin aku malam ini," katanya. Ia pun kemudian
bangkit dan melihat bercak darah bercampur sperma di sofanya. Diambilnya
tissue lalu dibersihkannya noda itu.
"Koq bisa kamu masih perawan?" tanyaku.
Ia kemudian memelukku sambil bercerita. Ceritanya sih ia dan suaminya sudah
pacaran lama. Dan setelah menikah ia baru tahu kalau penis suaminya kecil.
Meskipun kecil, mereka pun bisa koq terpuasi di ranjang. Malam pengantin
mereka lewati seperti layaknya suami istri. Memang awalnya sakit banget ketika
penis suaminya masuk. Tapi tidak seperti teman-teman wanitanya yang bercerita
kalau malam pengantin itu sakit ketika selaput daranya robek. Namun robeknya
seperti apa Dian tidak tahu. Yang jelas awal dimasuki memang perih, setelah
itu ia terbiasa. Namun entah kenapa ketika baru saja melakukan denganku
rasanya perih banget sampai merasa ada yang robek. Aku menduga suaminya memang
tidak pernah merobek selaput daranya. Ketika ia memberitahu ukuran penis
suaminya aku pun terkejut. Sangat kecil, seperti penisnya anak kecil.
Dian memang heran karena ketika ia lihat bokep sendiri bule-bule punya penis
besar. Awalnya ia tak protes, karena mungkin rata-rata orang Indonesia sama
bule berbeda. Tapi ia baru sadar ketika melihat penisku ternyata punya
suaminya jauh lebih kecil. Ia pun bercerita karena suaminya jarang dirumah ia
seperti jablay.
"Oh begitu ceritanya, kenapa ndak dibawa ke dokter aja tuh, biar penis suamimu
gedhe?" tanyaku.
"Orangnya kolot mas, ia biasa-biasa saja punya penis sebesar itu. Seperti ndak
ada beban," katanya. Dian kemudian memain-mainkan penisku. "Aku jadi ketagihan
ama punyamu mas, gimana nih?"
Ia mengusap-usap kepala penisku dengan telunjuknya. Penisku otomatis berdiri
lagi.
"Kalau mau, tiap ada kesempatan boleh koq," jawabku.
"Maaf ya mbak Nur, tapi penis suamimu emang menggoda, mmuuuacchh...," ia
mencium penisku.
Aku remas dadanya lagi. Kami berpanggutan. Libido kami naik lagi. Kali ini
Dian jongkok di atas tubuhku. Ia duduk di atas penisku. Sengaja tak
dimasukkan, hanya digesek-gesek. Sepertinya ia sedang mengujiku.
"Enak mas, kalau diginikan?" tanyanya.
Aku yang bersandar disofa ini segera menyusu kepadanya. Kuremas-remas
pantatnya dan tanganku satunya mengarahkan penisku ke lubang memeknya. Dan
SLEB....
"Aww...aww..mass...ohh...," keluhnya.
Pantat Dian naik turun memompa penisku. Aku tahu pada posisi ini wanita lebih
cepat keluarnya. Aku tetap sabar untuk bisa memberikan kepuasan kepadanya.
Buah dadanya naik turun, kadang-kadang menampar-nampar bibirku. Aku jadi gemas
sehingga memencet dan menghisap puting susunya dengan mulutku. Ia kelonjotan
dan makin beringas. Tak hanya naik turun, ia juga memutar-mutar pantatnya.
"Mas, koq cepet keluar ya? Aduh...udah mau keluar lagi....aahhhhkk," Dian
menghentikan aktivitasnya. Ia benamkan penisku dalam-dalam ke rahimnya. Ia
memelukku erat seperti orgasmenya tadi. Perlahan-lahan aku mencabut senjataku.
Kubimbing Dian untuk menungging di sofa. Ia mengerti apa yang aku inginkan.
Aku berdiri dan pantatnya diangkat. Kubuka kakiku untuk menyesuaikan
tingginya. Lalu kuarahkan pionku menuju sarangnya. Dengan satu sentakan ia
mengeluh dan menengadahkan kepalanya.
Pantatnya kusodok berkali-kali. Sensasinya nikmat sekali. Sesekali aku meremas
toketnya yang bergerak naik turun seiring goyanganku itu. Rambut Dian sudah
awut-awutan. Tangannya bertumpu kepada sofa, sesekali sofa di ruang tamu itu
terdorong karena hentakanku.
"Mas, mentok mas, penis mas kerasa penuh," katanya.
"Memekmu juga, rasanya enak," kataku.
"Aduhhh...enak mas, mas...ahhh....ohh."
Aku percepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantat Dian beradu dengan
selakanganku. Kepalanya menggeleng-geleng, ia tampak merasakan nikmat yang
luar biasa.
"Mas...Dian mau keluar lagi," katanya. "Aduuh....enak mas..masss...udah
mas..Dian ndak kuat...Dian...keluar lagi."
Aku pun begitu, kurasa penisku udah siap menyemburkan laharnya lagi. Dan
benarlah. Kupercepat goyanganku, "Aku juga nih...mau keluar lagi."
Aku lalu menarik kedua lengannya ke belakang dan pantatnya aku goyang. Makin
lama makin cepat dan keluarlah laharku. Dian pun menangkat wajahnya ke atas.
Ia mendongak dan matanya memutih. Penisku seperti disiram cairan hangat. Ia
sudah orgasme. Kami berbarengan, ia kemudian ambruk, penisku langsung keluar
begitu saja ketika ia ambruk ke atas sofa. Tampak leleran lendir panjang
terbentuk ketika kedua kelamin kami berpisah. Beberapa cairan spermaku
sisa-sisanya masih menetes dan jatuh di atas pantatnya. Aku juga lemes banget.
"Mas hebat, pantas mbak Nur sayang banget ama mas," katanya.
Aku melihat jam dinding, sudah jam 2 pagi. Berarti kami cukup lama bercinta.
"Boleh nih, pinjam kamar mandinya dulu," kataku.
Ia mengiyakan. Aku lalu membersihkan diriku. Biar ndak disangka macam-macam
kalau balik ke pos ronda. Setelah itu aku keluar kamar mandi tampak Dian sudah
berpakaian dan membersikan sisa-sisa sperma yang tumpah ke sofa. Ia juga
menyemprotkan wewangian biar ndak ketahuan suaminya kalau ada sperma tumpah di
situ.
"Udah ya, mau balik," kataku. "Ntar bapak-bapak curiga malahan."
"Iya, mas. Makasih ya," katanya. "Kalau boleh, mas main lagi ya? Tapi jangan
sampai mas Joko tahu."
"Iya deh, bisa diatur," kataku. Aku pun mencium bibirnya sebelum keluar
rumahnya.
Setelah itu aku pulang sebentar mengambil jaket dan sarung. Nur tampak
tertidur sambil menjaga anakku. Aku mencium keningnya sebentar.
"Koq udah pulang mas?" tanya Nur tak curiga.
"Ngambil jaket dan sarung. Dingin banget soalnya," kataku.
"Ohh...ya udah," katanya.
Sekembalinya ke pos ronda, bapak-bapak meledekku lagi. "Nah iya kan, lama
banget baliknya."
Kami pun akhirnya nonton bareng sampe subuh. Lalu kembali ke rumah
masing-masing. Pagi itu aku tidur sampe siang. Untungnya istriku pengertian
banget karena mengira aku memang beneran nonton bareng ama bapak-bapak. Di
kamar aku terkapar karena kelelahan habis main sama Dian. Aku tahu paginya
Dian sudah ke rumahku untuk membantu-bantu istriku. Hanya saja, siangnya ada
sesuatu yang aneh.
Penisku geli banget. Seperti ada sesuatu yang menggelitikinya. Aku kira itu
Nur. Mataku masih terpejam. Mungkin Nur sudah kangen karena beberapa waktu ini
kita memang tidak main. Semenjak setelah nifasnya selesai lebih tepatnya. Aku
biarkan saja. Penisku dikocok-kocok, lalu setelah itu diemut. Diputar-putarnya
kepala penisku dengan lidah. Setelah itu testisku disedot-sedot. Kemudian
dijilatlah dari pangkal hingga ujung. Kemudian batangnya disedot dan diciumi.
Setelah itu dimasukkan ke mulutnya hingga mentok. Aku bisa merasakan itu dari
nafas hidungnya yang hampir menyentuh perutku. Aku jadi bingung, Nur ndak
mungkin melakukan ini, sebab mulutnya terlalu kecil dan ia tak pernah
melakukan deep throat kecuali.....
Mataku lalu terbuka, aku melihat Dian tampak mengoral penisku.
"Dian?" aku terkejut.
"Udah bangun mas? Enak nda?" tanyanya.
"I...iya, Nur dimana?" tanyaku.
"Dia sedang ke puskesmas, imunisasi katanya. Takut bangunin mas jadi dia pergi
sendiri," katanya.
"Lha trus kamu? Nanti ketahuan lho," kataku.
"Nggaklah, mas. Aku tahu koq sudah kuatur. Aku kangen ini soalnya," katanya
sambil mengocok penisku.
"Tapi...,"
"Udah, deh. Pake toket aja ya?" katanya.
Ia lalu membuka bajunya, kemudian branya, tampaknya buah dadanya menggantung
bebas. Ia lalu berbaring di atas kakiku dan memposisikan penisku dijepit oleh
bukit kembarnya. Ouuhh...nikmat. Penisku dipijat-pijat, ia sesekali menghisap
dan menciumnya. Penisku makin tegang dan mau muncrat.
"Dian, udah aku mau keluar...ooouuuhhhh....!!" aku menjerit tertahan. Dian
malahan mempercepat kocokan toketnya. Maka menyemburlah air maniku. Tumpah
semuanya di dada dan sebagian ke lehernya. Ia tertawa menyaksikan ini.
Setelah penisku lemas ia meratakan spermaku di dadanya. Kemudian ia menghisap
penisku dan menjilati sisa-sisa spermanya. Penisku ngilu banget.
"Udah ya,hihihi," ia cekikikan lalu meninggalkanku yang ngerasain penis ngilu.
TETANGGAKU ISTI
Sebenarnya hubunganku dengan Nur masih baik-baik saja. Dia adikku sendiri, dan
aku tak bisa meninggalkannya. Dian dan aku melakukannya sembunyi-sembunyi,
tanpa sepengetahuan Nur. Nur sangat mencintaiku, aku tahu itu. Kami pun masih
berhubungan seperti layaknya suami istri dan masih hot di atas ranjang. Tapi
aku mengakui kalau permainanku dengan Dian hanyalah atas dasar kebutuhan saja.
Dian juga tahu kalau aku sangat mencintai istriku dan sangat menghormati
istriku.
"Mas, aku hamil," kata Dian.
"Hah? Yang bener?" tanyaku. "Trus, suamimu bagaimana?"
"Dia seneng banget, tapi aku jamin koq ini anak mas," katanya.
"Koq kamu bisa yakin?" tanyaku.
"Jelas dong, yang sudah menjebol keperawananku cuma mas, dan mas sering
nyemprot di rahimku. Jadi deh," katanya. "Tahu kalau aku hamil mas, dia seneng
banget. Dia sombong banget, sampe bilang, 'Aku perkasa juga'. Padahal dalam
hati aku ketawa."
Kami berdua tertawa.
"Trus gimana dong?" tanyaku.
"Jangan khawatir, ini rahasia kita. Aku akan pelihara anak kita. Ya walaupun
nanti manggilnya bukan papa ke mas. Rahasia ini akan tetap kita jaga hingga
entah kapan. Aku suka sama mas, aku cinta, tapi aku masih harus menghormati
suamiku," jawab Dian.
"Nanti kalau anakku mirip denganku gimana?" tanyaku.
"Ndak bakal deh, semoga aja ndak. Kalau mirip ya biarin," jelasnya sambil
ketawa. "Tapi biasanya anak mirip ibunya koq, kalau mirip ayahnya ya...ndak
tau juga."
"Kalau misalnya nanti suamimu tahu bagaimana?" tanyaku.
"Yah, itu sudah nasib berarti. Masnya sendiri gimana, mau nerima aku?" tanyanya.
Aku terdiam sebentar, "Harus ijin istri dulu, dan kamu mau menerima aku apapun
kekuranganku."
Dian tersenyum. "Susah juga ya, pastinya mbak Nur ndak bakal mau. Soalnya ia
sangat cinta banget sama mas. Kalau misalnya ndak bisa pun tak mengapa. Aku
bahagia banget bisa punya anak dari mas. Aku jadi simpanan mas pun aku rela
koq. Sementara ini dijalanin dulu aja. Yah, semoga aku bisa dapat anak juga
dari suamiku. Masa' mas terus yang ngasih benih."
Aku tersenyum dan kami pun berpelukan.
"Untuk terakhir kalinya, boleh dong mas bercinta denganku malam ini, please,"
rayunya.
"Aku tak bisa mbak, aku harus ke rumah istriku yang satunya," kataku.
"Oh iya, aku lupa kalau mas poligami," katanya. "Istrinya berjilbab semua ya,
aku nggak. Pastinya susah kalau mereka semua menerima aku."
"Siapa tahu, semuanya tergantung dari mbak Dian koq," kataku.
"Mumpung Nur, masih ke pasar. Kita bercinta cepat yuk mas, terus terang aku
sudah horni banget, gatel banget," katanya. Ternyata nafsu Dian ini besar
banget.
Saat itu kami berada di dapur. Aku buru-buru membuka resleting celanaku,
menurunkan celanaku dan Dian berpegangan di wastafel. Ia melihat ke jendela
sambil mengamati kalau-kalau ada yang masuk ke rumah. Jendela dapur kami
ditutup oleh korden tipis, kalau dari luar tak kelihatan tapi kalau dari dalam
bisa melihat keluar. Aku langsung menurunkan hot pants Dian, lalu kumasukkan
penisku yang sudah tegang juga. Disiram oleh pelumas Dian, penisku langsung on
100%. Aku pun menyodoknya.
"Ohh...mass...enak banget. Ini yang Dian suka, berjanjilah mas jangan lupakan
aku!" katanya.
"Tidak bakal Dian, ohh...enak banget memekmu," kataku.
"Kontol mas, enak banget, gurih...aahh...memekku penuh rasanya," rancaunya.
Aku menggoyangkan pantatku maju mundur. Dian merem melek, sambil sesekali
melihat pagar rumah. Aku pun percepat goyanganku takut kalau Nur pulang. Dan
Dian melihat Nur sampai di pagar.
"Mas, ada mbak Nur!" bisiknya.
Aku percepat goyanganku.
"Udah mas, udah...! Ntar ketahuan!" bisik Dian.
Tanggung penisku udah mau keluar, aku pun tuntaskan sekalian. "Dikit lagi, aku
keluar. Ohhh....Diann...hhhmmmhhh,"
Kuremas toketnya kuat-kuat saat spermaku menyembur keluar membasahi rahimnya.
Pantatku menghujam beberapa kali. Nur tampak disapa oleh tetangga kami, ia
kemudian meletakkan kresek belanjaannya di teras kemudian kembali ke luar
rumah untuk berbicara ama salah seorang ibu-ibu komplek.
Dian lega banget, aku mencabut penisku. Lahar putih spermaku mengalir ke
pahanya. Ia mencari-cari tissue dan membersihkannya kemudian kami berpakaian
lagi. Sex tercepat yang pernah aku lakukan.
Ini adalah terakhir kalinya aku bersenggama dengan Dian, karena setelah itu ia
lebih menjaga kehamilannya dan melayani suaminya. Hubungan kami setelah itu
adalah seperti tetangga biasa. Bahkan setelah anaknya lahir yang memang
sedikit mirip aku, tapi lebih banyak mirip ibunya, kami tak pernah melakukan
hubungan itu lagi. Suaminya makin sayang kepadanya dan sekarang berkat
nasehatnya suaminya mau terapi biar penisnya lebih besar lagi. Dan sampai saat
itu ia tak pernah curiga. Tak tahu nanti seperti apa.
Setelah hubungan panas kami di dapur itu. Aku pun kemudian pergi ke rumah Kak
Vidia. Sekarang ini sudah hampir lahiran. Aku menjadi suami siaga. Kak Vidia
makin merindukanku. Orang hamil besar biasanya lebih horni. Dan benar,
setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Kak Vidia pasti bercinta denganku.
Apalagi aku suka sekali sekarang susunya sudah keluar. Aku bisa menyusu
kepadanya seperti bayi sekarang. Dan ia sangat terangsang karena perlakuanku
kepada putingnya itu. Ia sampai bilang, "Kalau nanti dedeknya lahir, kayaknya
papah bakal ada saingan nih. Ini aja nyusunya kayak orok."
Sama seperti Nur, kak Vidia punya tetangga juga. Sudah punya anak satu.
Namanya Isti. Umurnya hampir sama seperti bunda. Anaknya udah kelas 4 SD.
Suaminya sendiri bekerja di sebuah perusahaan besi baja di luar kota. Pergi
hari Senin, pulang pasti hari sabtu. Dan mereka berkumpul hanya pada hari
sabtu dan minggu. Ada juga tetanggaku yang sering mengunjungi kami selain
Isti, namanya Erna. Pekerjannya adalah SPG di salah satu mall, walaupun
berjilbab, tapi jilbab yang dipakai masih terbilang sexy. Tapi itu ceritanya
nanti.
Aku saat itu masih di toko ketika Kak Vidia sudah kontraksi, untunglah
tetangga kami bernama Bu Isti ini bisa membantu. Dipanggil taksi kemudian
pergi ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku segera pergi ke rumah sakit
bersama bunda. Tentu saja bunda sangat senang karena ia akan punya cucu. Ia
pergi dengan perut buncit, cikal bakal anakku, dan juga cucunya tentunya.
Di rumah sakit aku pun langsung masuk kamar bersalin dan mendampingi kak
Vidia. Kami bahagia sekali ketika sebuah kepala nongol, lalu disusul tubuhnya
yang lain. Kami bersyukur lahir normal tanpa cacat. Anaknya laki-laki. Aku
kemudian menamainya Zahir. Bunda bahagia sekali punya cucu baru. Nur juga
bahagia, ia kuberitahu ketika Kak Vidia lahiran. Ia langsung pergi ke rumah
sakit. Wajah anakku ini mirip denganku, bahkan Kak Vidia mengatakan, "Papah
kecil."
"Setelah ini kita pake pembantu aja ya?" usulku ke Kak Vidia.
"Iya deh mas, kalau bunda membantu juga ndak bakal bisa kayaknya ya bund?" kak
Vidia menoleh ke arah bunda. Tampak anakku sedang menggeliat-geliat mencari
puting susu istriku. Lalu ia pun menyusu.
"Bunda masih kuat koq, masa' sudah ngelahirin 3 orang anak cuma bantu gini
saja ndak kuat. Bunda udah biasa," katanya sambil mengedip ke arahku.
"Ya sudah, kalau begitu kak Vidia tinggal di rumah bunda aja ya?" kataku.
"Trus, rumahnya bagaimana?" tanya Kak Vidia.
"Ya nggak apa-apa kan? Ditinggal sementara waktu, Kan ndak lama sampai nifasmu
selesai baru balik lagi ke rumah. Sementara ini kan kamu masih lemes," kataku.
"Iya deh pah," kata kak Vidia. "Tetapi minta tolong dong, itu kayaknya ada
atap yang bocor. Papah bisa benerin nggak?"
"Di sebelah mana?" tanyaku.
"Di kamarnya dedek, yang udah kita siapkan itu. Coba deh dibenerin dulu, ntar
dedek kalau bocor kamarnya pas hujan kan kasihan," katanya.
"Iya, iya, nanti aku cek," kataku.
"Haii Zahir, lucunya. Tuh Laila, itu sepupu Laila, namanya Zahir," anakku
tampak matanya yang bulat mengamati Zahir sambil mengoceh entah bahasa apa.
Kami semua tersenyum melihat tingkah polah anak bayi ini. Bunda lalu mencium
Laila karena gemes.
Dua hari kemudian aku ke rumah Kak Vidia untuk benerin atap yang bocor. Aku
menyewa tukang untuk benerin. Saat itulah Bu Isti menyapaku.
"Gimana mas, lahirannya?" tanyanya.
"Cowok bu," jawabku.
"Waahh..selamat ya, namanya siapa?" tanyanya.
"Zahir Putra Pratama," jawabku.
"Alhamdulillah kalau begitu," katanya. "Mau renovasi mas? Koq ada tukang
segala?"
"Iya, atap bocor," tukasku.
"Mbak Vidianya ke mana? Ke rumah orang tua?" tanyanya.
"Iya, sementara tinggal di sana dulu," jawabku.
Aku pun kemudian ngobrol ngalor ngidul ama tetanggaku ini. Mulai dari
pendidikan, keluarga hingga tempat tinggal. Bu Isti memang tak punya teman
untuk diajak bicara di rumah, makanya itu ia sering cerita sana-sini dengan
ibu-ibu tetangga yang lainnya.
Ternyata atap bocor karena ada genteng yang retak serta talangnya bocor.
Kurogoh kocek untuk membeli apapun yang dibutuhkan oleh tukang. Udah siang
hari dan aku belum makan siang.
Bu Isti menyapaku lagi, "Udah makan siang belum mas? Nih buat tukangnya." Ia
membawa nampan berisi gorengan dan kopi.
"Waduh bu, merepotkan saja," kataku.
"Nggak apa-apa, lagian kasihan tuh mas-mas tukangnya masa' ndak dikasih
minum?" tanyanya.
"Itu udah ada di dalem," aku menunjuk satu dus minuman ringan dan beberapa
potong kue.
"Ini tambahan, mas Doni kalau laper makan di rumahku gih," ajaknya.
"Gimana ya?" aku agak ndak enak.
"Nggak apa-apa," katanya.
Aku pun mengangguk. Aku menerima nampannya lalu kuletakkan di meja di dalam
rumah. Sementara para tukang bekerja istirahat dulu sambil menikmati suguhan
kami. Aku pergi ke tetangga sebelah. Bu Isti langsung mempersilakan masuk.
Anaknya tampak sudah pulang dan sedang menonton tv. Anaknya seorang cewek
namanya Luna. Melihatku masuk ia tampak senang sekali.
"Om? Boleh ya main ke rumah Om seperti kemaren?" tanyanya.
"Ya...boleh-boleh aja," jawabku. Ia suka menonton home theater yang aku punya
di rumah. Bahkan terkadang ia main ke rumahku cuma untuk menyetel film
kesukaannya dengan DVD. Karena tv-ku besar, makanya ia sangat suka sekali
kalau nonton tv di rumahku.
"Hush,...ndak boleh seperti itu," kata Bu Isti.
"Ibu, kan om bolehin," katanya.
"Iya koq boleh, ndak apa-apa, tapi harus juga belajar ya? Ndak nonton terus,"
kataku. "Agak nanti ya, soalnya rumah Om masih dibenerin."
Ia setuju.
Aku pun akhirnya makan siang di rumah Bu Isti. Orangnya ramah dan masakannya
juga enak. Setelah kenyang aku pun akhirnya pulang. Pekerjaan tukang sudah
selesai.
Malamnya Luna main ke rumahku. Ia pun akhirnya menyetel kaset DVD
yang ia bawa. Banyak banget. Bu Isti mengijinkan asal jangan lupa untuk
pulang.
Aku masih di rumah itu sambil sesekali beres-beres dan bersih-bersih rumah
sampai malam. Dan itu si Luna betah saja nonton. Sampe akhirnya ia tertidur di
sofaku yang nyaman. Waduh aku bingung juga mau bangunin. Akhirnya kubiarkan
saja. Saat itu Bu Isti datang ke rumahku. Untuk mengajak Luna pulang.
"Udah tidur bu," kataku.
"Waduh trus bagaimana mas?" tanyanya.
"Biarin aja tidur di sini, sudah saya selimuti koq," kataku.
"Maaf kalau merepotkan," katanya. "Ya sudah, aku tinggal dulu deh kalau
begitu, kalau nanti ia bangun suruh pulang ya mas?"
Aku mengangguk.
Tapi tampaknya Luna tak bangun-bangun juga, mungkin karena capek atau sofaku
terlalu nyaman. Dan sudah pukul 10 malam. Perumahan ini memang sepi kalau jam
segini. Bu Isti pun datang lagi. Aku saat itu masih membuka pintu dan duduk di
teras.
"Belum bangun juga mas?" tanya Bu Isti.
"Belum bu, kalau ndak keberatan Bu Isti tidur di sini saja," kataku
menawarkan.
Ia agak ragu. "Tapi nanti dilihat tetangga ndak enak mas."
"Tetangga yang mana bu, wong perumahan sepi seperti ini koq," kataku. "Kalau
mbak Erna sih sekarang malah belum pulang dari mall. Saya juga ndak enak kalau
bangunin Luna."
"Ya udah deh, makasih tawarannya," katanya. Awalnya aku tak ada niat untuk
punya pikiran ngentotin dia.
Akhirnya ia pun masuk rumahku. Karena sudah malam aku menutup pintu.
"Bu Isti tidur di kamarku saja, saya mau tidur di bawah, maaf kalau cuma punya
satu tempat tidur. Soalnya yang satunya lagi tempat tidur bayi" kataku.
"Ndak mas, saya tidur di bawah aja dekat Luna," katanya.
"Jangan, ntar kalau Bu Isti sakit saya yang bingung," kataku.
Bu Isti kemudian terdiam sejenak. "Ya udah deh mas, gini aja kita tidur
seranjang tapi jangan berdempetan ya?"
"Wah, nanti bisa berabe bu, takut saya," kataku.
"Saya juga bingung, soalnya kebiasaan saya biasa ngelonin Luna dan takut tidur
sendirian di rumah, gimana ya?..." Bu Isti tampak khawatir.
Aku pun berpikir keras. Hingga akhirnya. "Ya udah deh, kita tidur seranjang.
Tapi ndak berdempetan. Misalnya nanti kalau sampai kelewat batas, saya tak
tanggung jawab lho ya?"
"Emangnya kelewat batas seperti apa mas?" katanya sambil tersenyum.
"Ya, ibu tahu sendiri," jawabku.
Bu Isti tertawa kecil. "Iya, iya, ibu tahu koq. Mas Doni ini paling setia sama
istrinya."
Akhirnya kami pun beneran tidur seranjang. Ada sesuatu yang unik. Sebelum
tidur Bu Isti melepaskan bra-nya ia bilang biar ndak sakit kalau tidur. Dan
kami pun tertidur saling membelakangi. Aku memang bisa tidur bahkan terlelap
selama beberapa jam, hingga kemudian hawa dingin mulai masuk melalui
angin-angin yang ada di kamar.
Secara tak sengaja aku dan Bu Isti berpelukan. Aku tak sadar dan dia tak
sadar. Wajah kami bertemu kedua tangan kami saling merangkul. Bibir kami pun
bertemu secara tak sengaja. Dan kami terbangun. Kami kaget dan saling
membelakangi lagi.
"Maaf, mas," katanya.
"Maafkan saya Bu, ndak sengaja," kataku.
"Saya juga," katanya.
Setelah itu kami terdiam. Aku tahu kami sama-sama tidak bisa tidur setelah
itu. Sementara itu hawa dingin makin menusuk. Sialnya juga aku cuma punya satu
selimut dan itu sudah aku berikan ke Luna. Ia pasti hangat dengan selimutnya.
Aku menggigil.
"Mas, maaf apakah mas ngidupin AC kamar? Tolong matiin dong!" katanya.
"Saya ndak punya AC bu, ini memang hawanya dingin," kataku.
Kami terdiam lagi.
"Mas ndak punya selimut lagi?" tanyanya.
"Tidak bu, udah dipakai oleh Luna," jawabku.
Kami terdiam lama sekali, aku makin menggigil.
"Maaf, ibu kedinginan. Mas Doni kedinginan juga kan? Kalau boleh kita
berpelukan biar hangat, sekali lagi maaf," katanya.
Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi aku memeluknya dari belakang.
CESSSS...rasanya. Jantungku berdebar-debar. Dan aku bisa rasakan jantung Bu
Isti juga berdebar-debar.
"Saya punya sarung bu, buat ibu kalau mau," kataku.
Kemudian aku mengambil sarung dari lemari, Bu Isti bangun lalu menerimanya.
"Tapi buat mas apa?" tanyanya.
"Saya ndak apa-apa," jawabku.
"Kita satu sarung saja mas, dingin banget hari ini," katanya. "Maklum kita kan
ada di kota M, makanya dingin apalagi ini pegunungan."
Aku pun tak bisa berpikir panjang lagi, kami pun satu sarung. Saling
berpelukan. Tubuh Bu Isti masih bagus. Dadanya masih kencang, kulitnya juga
masih halus. Walaupun mungkin perutnya sedikit buncit. Aku memeluknya dari
belakang, Kami sudah pakai dua sarung. Sebagian menutupi kaki kami, sebagian
lagi badan kami. Sudah mulai hangat. Namun ternyata penisku tak bisa diajak
kompromi. Karena terus menekan pantat Bu Isti akhirnya tegang juga.
"Mas, ada yang keras," kata Bu Isti.
"Maaf bu, saya juga lelaki. Wajar kalau begini," kataku.
"Iya, saya tahu. Keras banget tapi," katanya. "Mas Doni sering main sama
istrinya?"
"I..iya, kenapa bu?"
"Pantes saja, istrinya takluk begitu," jelasnya.
Entah siapa yang memulai, kini mulutku yang ada di tengkuknya sekarang
menciuminya.
"Bu Isti, maaf, tapi saya ndak tahan lagi bu. Saya kepengen bisa menjinakkan
senjata saya ini. Udah kepingin," kataku.
"Saya ngerti koq mas, ibu juga kepengen," katanya. Ia lalu berbalik di dalam
sarung yang sempit ini. Kami lalu berciuman. Tangannya yang dingin kemudian
menuju ke penisku. Ia mengelus-elusnya dari luar kolor. "Besar ya mas?"
Kami berpanggutan, panase kali, aku tak sabar meremas-remas dadanya. Akhirnya
Kami duduk, kemudian saling melepas baju kami semuanya. Kemudian saling
berpelukan di dalam sarung lagi. Dada kami bersatu. Mulut kami berpanggutan
dan kemaluan kami pun bertemu. Tak kusangka Bu Isti ini sudah becek di bawah
sana.
"Saya sudah becek dari tadi mas, mikirin kita seperti ini," kata Bu Isti.
"ohh..masss...puasin ibu...ibu sudah lama ndak begituan sama suami."
Penisku langsung masuk begitu saja memeknya. Memeknya memang jarang dipakai,
akibatnya agak seret waktu digesek. Hawa dingin yang menusuk ini, kini sudah
mulai menghangat, karena pergumulan kami makin hot di atas ranjang. Kami
saling menciumi, ia menghisap leherku, aku juga. Kuhisap puting susunya
menonjol itu kuat-kuat. Dadanya masih kencang walaupun usianya sudah kepala 4.
Aku menekan-nekan pantatku, hingga Bu Isti terdorong ke tembok. Posisi ini
ternyata lebih cepat membuatku untuk ejakulasi. Demikian juga Bu Isti.
"Mas, Ibu mau keluar, soalnya geli banget," katanya. Mungkin juga karena hawa
dingin yang membuat tubuh kami menggigil, karena itu membuat getaran-getaran
tertentu yang merangsang testisku untuk cepat berproduksi.
"Sama bu, enak banget," kataku.
Kami pun sama-sama keluar. Spermaku tumpah di rahimnya. Kami kemudian
berguling-guling di atas ranjang, dan aku menindihnya. Bu Isti dan aku
berpandangan sesaat. Kemudian kami berpanggutan lagi. Setelah itu kami saling
berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin yang menusuk.
Boro-boro untuk tidur. Kami malah saling bicara.
Bu Isti terus terang kalau ketika pertama kali berkenalan sudah naksir aku,
tapi cuma dipendam saja. Ndak nyangka kalau berakhir di atas ranjang. Dan ia
pun cerita kalau karena frekuensi bertemu dengan suaminya jarang, makanya ia
susah mendapatkan kepuasan. Walaupun sudah lama hidup berumah tangga. Sessat
kemudian kami punya energi lagi dan melanjutkan gairah ini. Aku sodok sekarang
ia dari belakang sambil tetap berbaring di dalam sarung. Setelah orgasme lagi,
aku mengulanginya lagi dari atas. Rasanya aku seperti menghianati Kak Vidia,
karena bersenggama dengan orang lain di atas kasur kami.
Kami pun akhirnya tertidur kelelahan dan penisku serasa ngilu karena bercinta
sampai 5 ronde malam itu.
Paginya Bu Isti bangun duluan. Karena aku mendapati tidur sendirian dengan
sarung. Aku bangun dan melihatnya berpakaian.
"Sudah pagi mas, makasih ya semalam," katanya. "Besok atau kapan-kapan diulang
lagi. Ibu suka dengan ketahanan mas di atas ranjang."
Kemudian kami berpisah dengan panggutan yang hot. Setelah itu ia membangunkan
anaknya untuk pulang, karena Luna masih sekolah hari ini.
*****TETANGGAKU ERNA
Kak Vidia pun kembali ke rumah. Dan Zahir anakku yang masih kecil itu sangat
menggemaskan. Sama seperti Laila yang juga montok. Kak Vidia lebih
mencintaiku lagi. Kami lebih selalu bermanja-manja dengan kehadiran anak kami.
Kami pun menyewa pembantu, namun Bu Isti menawarkan dirinya untuk menjadi
babysitter. Karena kami sudah kenal baik, "tentu saja aku lebih baik lagi
mengenal Bu Isti" maka kami pun mempersilakannya. Setelah bayaran disepakati,
apalagi Bu Isti di rumah juga tak bekerja hanya menjaga Luna.
Sehingga ketika pulang sekolah, Luna langsung bermain dan menjaga anakku. Jadi
punya teman main. Sedangkan aku? Tentu saja harus menggilir istri-istriku yang
lain. Jadi setiap hari tidak di rumah Kak Vidia.
Aku setelah malam dengan Bu ISti itu tidak lagi main dengannya lagi walaupun
sekali. Aneh memang dan Bu Isti sendiri tak pernah mengajakku ataupun aku
mengajaknya. Tapi setiap kali kami bertemu selalu pandangan kami penuh arti.
Mungkin karena memang kita tidak punya kesempatan untuk melakukannya, sebab
Kak Vidia selalu di rumah.
Suatu hari ketika anakku sudah usia 2 bulan dan sudah bisa tengkurap, saat
itulah satu-satunya kesempatanku untuk bisa bertemu dengan Bu Isti dan
satu-satunya kesempatan. Pak Joko sakit. Kerja shift malam membuatnya sakit
paru-paru basah. Ia dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu sampai
kondisinya membaik. Otomatis Bu Isti untuk sementara waktu tak bisa menjadi
baby sitter anakku. Malah istriku yang jadi baby sitter untuk Luna, karena Bu
Isti masih menunggui suaminya di rumah sakit.
Suatu pagi aku akan berangkat ke toko. Saat itulah istriku minta tolong, "Pah,
tolongin Bu Isti ya, berangkat ke rumah sakit, sekalian anterin anaknya ke
sekolah. Kasihan beliau udah banyak nolong kita."
"Oh, iya, ndak masalah," kataku.
Bu Isti pun diberitahu oleh istriku untuk barengan aja. Ia pun tidak menolak.
Sekolah Luna sebenarnya tidak jauh dari komplek. Lima menit saja sudah sampai
dengan mobilku. Kemudian Bu Isti pindah duduk di sebelahku. Saat itulah kami
pun ngobrol.
"Gimana kabarnya bu?" tanyaku.
"Baik-baik saja mas," jawabnya. "Masnya tanya kabar yang mana?"
"Suaminya sekarang sakit, bagaimana pelampiasannya?" tanyaku. Ia pun
mencubitku.
"Masnya ini lho, koq ya ngeres aja. Ntar kubilangin istrinya lho kalau
genit-genit seperti ini," katanya.
Aku mengemudikan mobilku melewati tempat yang agak sepi. "Ya, Bu Isti sendiri
bagaimana perasaannya setelah malam itu?"
Dia menarik nafas panjang. Aku menghentikan mobilku. Jauh dari keramaian.
Kanan kiri kami adalah perkebunan dan sawah. Jalanan ini 500meter ke depan
barulah ada pemukiman.
"Mas, sebenarnya aku agak besalah sama suamiku," katanya. "Tapi, mas juga tak
bisa aku lupakan. Karena tiap hari ketemu. Memang, ada rasa kepengen kalau
ketemu sama mas. Tapi, aku ndak enak sama istri mas."
"Trus, kita bagaimana Bu enaknya sekarang?" tanyaku.
Bu Isti mengusap pipiku. "Ibu masih mecintai suami ibu, tapi apau yang kita
lakukan kemarin, anggap saja sebagai kecelakaan. Ibu menyukainya, saya yakin
kamu juga demikian. Kita kubur saja ini sebagai kenangan. Aku tak enak kepada
istrimu dan menghancurkan rumah tangga kalian. Bagaimana?"
Aku terdiam dan menatap kesungguhan di matanya. Senyumannya menyungging.
"Aku ingin mengajak Ibu ke sebuah tempat, kalau boleh?" kataku.
Bu Isti bertanya, "Tempat apa?"
"Ada aja, boleh ya?" tanyaku.
Bu Isti agak ragu kemudian ia membolehkan. Aku punya tempat istirahat yang
baru saja aku beli setahun lalu. Tempat ini biasanya aku pakai kalau sedang
liburan. Tempatnya ada 1 jam perjalanan. Bu Isti tampak penasaran. Aku
merahasiakan tempat ini sampai kemudian kami sampai.
"Tempat apa ini mas?" tanyanya.
"Ini rumah istirahatku," kataku.
"Kaya' villa," gumamnya. "Ndak ada yang jaga?"
Aku menggeleng. "Tidak ada. Sementara ini tidak ada. Masih kosong, tapi
perabot-perabotannya sudah ada."
"Trus, tujuan kita ke sini buat apa?" tanyanya.
"Karena kita ingin menyudahi semua ini, aku ingin seharian ini kau menjadi
wanitaku," kataku.
"Oh..mas, trus nanti Luna gimana pulang sekolahnya? Aku juga harus menemani
suamiku," katanya.
"Luna kan pulangnya ke rumahku, biasanya juga kan pulang sendiri. Nanti
sebelum sore kita sudah balik kuantar ke rumah sakit. Bagaimana?" tanyaku.
Bu Isti tersenyum. "Terserah deh mas."
Aku kemudian menggandeng tangannya. Kubuka rumah itu. Kuncinya selalu ada di
mobilku. Begitu masuk, aku langsung memanggutnya, Bu Isti pun rasanya sudah
tak tahan lagi. Ia langsung menyambutku. Kami pun melucuti pakaian kami. Aku
langsung masuk ke kamar dan membopongnya ke tempat tidur. Setelah itu kami pun
menghabiskan waktu sebaik-baiknya untuk bercinta. Aku tak menyia-nyiakan
spermaku, kutumpahkan semuanya ke vaginanya. Berbagi gaya kami lakukan dan
setelah itu rasanya tulang kami rontok semua setelah itu.
Tapi kami mengumpulkan tenaga karena harus kembali lagi. Terus terang setelah
bercinta hari itu, kami ada perasaan sedih. Dan komitmen kami adalah tidak
melakukan hal ini lagi setelah ini.
****
Sorenya aku sudah kembali dan mengantarkan Bu Isti ke rumah sakit. Aku pun
memberi alasan bertemu teman, untuk urusan bisnis karena itu tak ke kantor. Bu
Isti pun memberi alasan mampir ke rumah temannya dulu untuk bantu-bantu karena
ada pengajian.
Hari itu aku tak ke mana-mana, langsung pulang ke rumah Nur karena jatah hari
ini ke tempatnya Nur. Aku langsung tidur dan istirahat, karena capek sekali.
Untunglah Nur memijitiku ketika aku tidur, sehingga capekku bisa terobati.
****
Hari minggu, aku ke mall. Karena saat itu sedang ada tamu artis, mall sangat
ramai. Para muda-mudi sudah standby di depan panggung dan menunggu artis
pujaannya. Kalau aku sih cuma belanja aja. Aku ke mall bersama bunda. Perutnya
sudah besar, mungkin bulan depan udah lahiran. Kami belanja untuk kebutuhan
bayi.
"Capek sekali bunda pah," kata bunda kepadaku.
Aku melihat ke sebuah stand pijat. "Mau pijit dulu bunda? Mumpung ada tuh."
"Ide bagus, istirahat dulu ya pah. Papah jalan-jalan dulu deh beli kebutuhan,
nanti temui bunda lagi di sini," katanya.
Aku pun mengantarkan bunda ke tempat pijit itu. Tempat pijat itu memakai kursi
pijat dan tampaknya sedang antri dari 5 kursi, masih dipakai. Bunda tak
masalah, karena memang ia sudah capek berjalan. Aku pun pamit dulu untuk
belanja.
Aku pun berjalan-jalan berbelanja sendiri. Saat itu aku melintasi sebuah stand
kosmetik. Aku sepertinya kenal dengan seseorang.
"Lho, mbak Erna?" sapaku.
"Eh, pak Doni. Apa kabar pak?" sapanya balik.
Ia adalah tetanggaku di rumahnya Kak Vidia. Saat itulah aku cukup cuci mata
dengannya. Ia pakai rok pendek, setengah paha, ia memakai blazer, dan stocking
berwarna hitam. Rambutnya sebahu, bibirnya cukup sensual dan ia tersenyum
manis kepadaku.
"Sama siapa pak? Koq sendirian?" tanyanya.
"Sama istri, masih di stand pijat. Ini sedang belanja buat si kecil," kataku.
"Oh, begitu. Ndak nyoba kosmetiknya pak? Buat nyonya?" tanyanya.
"Boleh deh, coba apa aja yang ada?" tanyaku.
Kemudian Erna menjelaskan segala hal tentang produknya. Bahkan aku pun disuruh
untuk mencoba pelembabnya. Kami juga kadang sesekali bercanda.
"Gimana pak? Mau beli?" tanyanya.
"Wah, gimana ya?" aku bingung juga. Namun aku teringat tentang SPG-SPG yang
gatel dan bisa diajak kencan. Apa mungkin Erna tetanggaku ini mau? Tapi kucoba
aja deh, namanya juga iseng.
"Mumpung ada promo lho pak?" katanya.
"Aku bisa saja sih beli, tapi mungkin ada tambahannya," kataku sambil
tersenyum.
"Tambahan apa?" tanyanya.
"Aku ingin membayar lebih, itu kalau kamu mau sih," jawabku.
Erna penasaran, "Bayar lebih gimana sih pak?"
"Mungkin dengan kita kencan gitu," kataku dengan suara hampir tak terdengar.
"Ih, bapak genit. Kubilang ke istrinya tahu rasa lho," katanya.
"Yah, ini beneran koq. Aku bisa beli beberapa produkmu. Kamu untung dan
tentunya aku juga untung. Toh kita tak ada ruginya. Gimana?"
Erna menggigit bibirnya, "Gimana ya...?"
"Udah berapa lama kamu di sini? Daripada ndak laku lho. Kalau setuju besok
kita ketemuan di sini jam seginian," kataku.
Erna tak menjawab. Aku pun lalu berjalan meninggalkannya. Jual mahal dikitlah.
"Pak, pak tunggu!" panggil Erna.
Aku pun berhenti, lalu menoleh kepadanya.
"I...iya deh, beneran lho ya borong semua," katanya.
Aku mengangguk. "Kamu tahu nomor teleponku kan?"
Ia menggeleng. Kemudian aku memberikan nomor ponselku. Dan aku melanjutkan
berbelanja lagi. Aku meninggalkan Erna dengan wajah yang menerawang jauh.
Entah apa yang ada di pikirannya. Setelah berbelanja aku kembali ke tempat
bunda. Ia sudah selesai ternyata dan kami pun pulang.
Esok sorenya. Sesuai janjiku aku menunggu Erna di tempat parkir. Ia pun
menelponku.
"Bapak di mana?" tanyanya di ponsel.
"Di tempat parkir. Turun aja aku ada di pintu deket tangga koq," kataku.
Tak berapa lama kemudian ia muncul. Kali ini bajunya agak lain. Masih pakai
blazer dan rok mini tapi warnanya merah. Dan ia tak pakai stocking.
"Bagaimana suamimu?" tanyaku.
"Aku udah ijin koq, nginap di rumah temen," jawabnya.
"Kalau kamu tidak mau atau berubah pikiran, sekarang saja. Sebab aku tak mau
ketika di tengah jalan nanti kamu berubah pikiran," kataku.
Ia menggeleng. "Aku siap koq pak."
"Ok, ayo!" aku pun mengajaknya ke mobilku. Di dalam mobil aku mencoba untuk
meraba tangannya. Ia tak menolak. Bahkan tersenyum kepadaku.
"Kau sudah pernah seperti ini sebelumnya?" tanyaku.
"Sejujurnya, ini yang pertama pak," jawabnya.
"Yang bener? Trus kenapa koq mau?" tanyaku.
"Lagi kepepet pak," katanya.
"Panggil saja mas, saya masih belum 30 tahun koq," kataku.
"I..iya pak, eh mas..," katanya.
Aku memancingnya lagi, "Sekarang kita sudah masuk mobil. Kalau misalnya engkau
berubah pikiran tidak mengapa."
Ia menggeleng. "Tidak apa-apa mas."
Aku pun kemudian mendekat kepadanya, ku sentuh wajahnya, kemudian aku tarik
kepalanya untuk mendekat kepadaku. Bibirku pun maju menyentuh bibirnya. Aku
kemudian menghisap bibirnya, mulutnya sedikit terbuka dan menerima lidahku
masuk ke mulutnya. kami pun saling menghisap. Untuk beberapa saat ciuman itu
membuatku yakin ia sudah siap.
"Aku ingin mengajakmu ke sebuah villa, jangan ke hotel," kataku.
Ia mengangguk, "Terserah saja deh mas."
Mobilku pun melaju meninggalkan kota menuju ke villa. Selama perjalanan, aku
mengusap-usap paha Erna. Ternyata ia tak memakai hotpants. Aku bisa langsung
merasakan celana dalamnya ketika merogoh ke dalam rok mininya. Aku menyetir
mobil dengan tenang, ketika aku tidak mengubah gigi kopling aku kembali
mengusap-usap kemaluannya dari luar celana dalamnya. Erna hanya menggigit
bibir saja kuperlakukan seperti itu. Terkadang ia bermain ponselnya mencoba
menahan rangsangan yang aku lakukan. Tapi sepertinya percuma, karena ia
sesekali memejamkan mata, dan menggigit bibirnya. Hingga kemudian ia bersandar
di kursi menengadahkan kepalanya dan memegang tanganku erat-erat.
"Udah mas, udah....," aku mengerti ia orgasme. Celana dalamnya becek sekali.
"Dilepas saja dong, becek tuh," kataku.
"Mas sih, nakal banget!" katanya.
Aku tersenyum. Ia pun segera melepas celana dalamnya dan membuangnya ke
belakang jok. Aku kemudian membuka resletingku. Penisku yang sudah tegang pun
nongol.
"Nah, kalau ini enaknya diapain?" tanyaku.
"Ih, genit ya mas ini. Udah gedhe aja," katanya.
Ia kemudian memegang benda itu. Diremas-remasnya, lalu dikocok-kocoknya.
"Gedhe banget mas, ntar kalau masuk sakit pastinya," katanya.
"Koq bisa?" tanyaku. "Emang punya suamimu seberapa?"
"Hmm...sepertiganya kayaknya," jawabnya. "Tapi itu aja udah enak koq mas."
Selama perjalanan itu penisku dikocok, diremas dan dibelai-belai. Dan sampai
di tujuan, kayaknya Erna cukup capek karena belum keluar-keluar penisku.
"Mas kuat juga ya, padahal suamiku dikocok gini aja keluar lho," katanya.
Setelah tiba, aku langsung mengajaknya masuk. Kubetulkan celanaku dan kuambil
kunci villa. Setelah masuk aku persilakan ia untuk masuk ke kamar. Kami tak
perlu dikomando. Aku sudah melepaskan bajuku. Bahkan ia kubantu untuk
melepaskan bajunya. Kami pun berciuman panas. Kupeluk Erna kubuka pakaian
dalamnya, branya kemudian aku lempar sehingga pakaian kami berserakan di
lantai.
"Mas, ohh...," desahnya.
Aku melihat dadanya cukup besar. Kulitnya putih mulus aku langsung menghisap
putingnya. Kuhisapi lehernya, kujilati dan kuremas-rems dadanya. Aku kemudian
berlutut, penisku menantang di hadapannya. Ia mengerti tugasnya, langsung ia
duduk dan mengisap penisku. Penisku pun disentuh oleh bibirnya, lidahnya
menjilati kepalanya dan ia memasukkan penisku ke mulutnya, ia hisap dan lumuri
dengan ludahnya. Kemudian ia kocok dengan lembutnya. Testisku di
remas-remasnya, terkadang sesekali bibirnya menciumnya bergantian. Lalu
disedotnya sebentar, dan konsentrasi lagi mengulum batang penisku. Sensasi
yang ditimbulkannya sangat mebuatku geli.
"Erna...nikmat banget," kataku.
Tanganku tak tingal diam. Aku memilin-milin putingnya sampai mengeras. Ia
terangsang ternyata. Aku lalu mendorongnya, ia pun berbaring. Aku kemudian
menciumi dadanya, perutnya lalu pergi ke bawah. Di sebuah tempat yang
rambutnya tumbuh melindungi tempat pribadinya. Aku kemudian menjilati bibir
vaginanya. Erna menggeliat sperti ulat. Ia memejamkan mata menerima
rangsangan-rangsanganku di rongga vaginanya. Klitorisnya aku sapu, beserta
rambut kemaluannya. Ia menggelinjang. Aku ulangi lagi dan aku kemudian
menggigit-gigit gemas klitorisnya.
"Maasss....aakhhh...jangan gitu dong...geli...aduhh duuhh....duh...mass....!!"
Aku terus ulangi dan ulangi hingga ia tak kuat lagi. Ditekannya kepalaku dan
pantatnya mengangkat, pahanya mengapitku dan ia berjinjit.
"Maasss....aaaaahhhhkkk,.. mas ganteng, aku jebol nih...!!" katanya. "Aku
pipis mas...pipis..."
Aku kemudian duduk, melihat polah tingkahnya yang menggeliat-geliat seperti
ulat kesetrum. Tubuhnya sangat mulus, walaupun sudah bersuami dan punya anak.
Pantatnya masih kelihatan montok, mulus. Aku lalu membalikkannya untuk
menungging.
"Aku masuk lho ya, kepingin merasakan benda ini ndak?" tanyaku.
"Iya mas, masukin. Pelan-pelan ya," katanya.
Aku lalu perlahan masuk. Batang penisku yang sudah tegang dengan urat-uratnya
itu perlahan-lahan memasuki rongga asing, yang sama sekali asing baginya.
Perlahan-lahan daging itu menggelitik sebuah lubang yang sudah diberi pelumas
agar mudah untuk masuk. Aku pun masuk separuh, karena tampaknya masih seret.
Dan aku tarik lagi, lalu kudorong lagi, terus aku ulang seperti itu. Pantatnya
benar-benar menggairahkan. Aku meremas-remas pantatnya. Dan setiap aku
hentakkan penisku ke dalam, pantatnya pun menekan ke perutku.
"Nikmat sekali mbak," kataku. "Pasti suamimu puas banget ya ngentotin kamu."
Aku lalu mempercepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantatnya beradi
dengan selakanganku. Penisku makin masuk saja dan Erna tampak keenakan. Ia
terus mendesah, mendesis dan meraba-raba vaginanya yang dimasuki penisku.
Aku kemudian menghujamkan penisku lebih dalam hingga mentok ke rahimnya.
"Mas,...enak banget kontolnya mas...," katanya.
Aku kemudian membalikkan badannya. Kutuntun ia untuk duduk di pangkuanku. Kami
saling beradapan. Kucium ia, lalu dadanya pun naik turun seiring tubuhnya yang
naik turun. AKu menghisapi buah dadanya, kuberi sebuah cupangan. Lalu aku
hisap putingnya.
"Mas...aduh, koq dicupangi sih? ahh...hhh...ohh... enak mas, iya dipilin-pilin
gitu...eh-eh....mas...geli..," katanya.
Kujilati bagian di bawah ketiaknya. Ia menggelinjang dan memeluk tubuhku.
Vaginanya terangkat sedikit, pantatnya bergetar. Ia makin erat memelukku.
"Mas..aku keluar lagi..", katanya.
Aku perlahan-lahan membaringkannya. Kemudian aku naik turunkan pantatku. Erna
sangat menggairahkan. Penisku terus mengobok-obok vaginanya. Memeknya tidak
melakukan empot-empot, tapi cukup seret. Mata kami beradu, mulut Erna
menganga. Ia melingkarkan lengannya ke leherku. Pahanya mengapit pinggangku.
"Erna, aku keluar nih," kataku.
"Iya mas keluar aja, aku udah," katanya.
Penisku seakan-akan mengumpulkan semua kekuatannya di ujung dan kuhujamkan
penisku sedalam-dalamnya ketika keluar. CROOT...CROOT CROOOOTT, muncratlah
penisku sebanyak-banyaknya ke rahimnya. Mata Erna memutar dan kami berciuman
lama sekali. Kami kemudian kelelahan dan istirahat sebentar.
Malam itu kami bercinta terus sampai pagi. Erna cukup kaget dengan staminaku.
Kami pun bermain hingga lima ronde dan baru selesai pukul 3 pagi. Saking
lamanya kemaluan kami benar-benar ngilu rasanya.
***
Erna dan aku tidur saling berpelukan. Aku terbangun terlebih dulu. Aku bisa
menilai Erna ini benar-benar sexy. Tubuhnya boleh dibilang sangat langsing,
tapi tidak kurus.
"Erna...udah pagi nih," kataku.
"Bentar mas, masih dingin," katanya sambil makin erat memelukku.
"Mandi bareng yuk?!" ajakku.
"Tapi masih dingin," katanya.
"Ada air hangatnya koq," kataku.
"Ayo deh," kata Erna. Ia segera bangun.
Kami menuju kamar mandi, masih telanjang. Aku kemudian menyalakan air di bank
mandi dan keluar air panas. Di dalam kamar mandi ada cermin sehingga Erna bisa
melihat dirinya di sana. Sembari menunggu air bak mandi penuh, penisku tegang
lagi melihat tubuhnya, atau boleh dibilang kalau pagi memang seperti ini sih.
Kami pun berpanggutan lagi di dalam kamar mandi. Saling membelai dan
memberikan rangsangan. Aku mendorongnya hingga duduk di atas toilet, lalu
kuhisap buah dadanya, puting susunya pun kulahap dan kumainkan dengan lidahku.
"Ohh...mas,..pagi-pagi udah ngentot aja," katanya.
"Iya nih, habis kamu seksi sih," jawabku. "Sayang cuma ini kesempatan kita
ya."
"Kalau mas mau, kapan pun bisa koq. Aku rela mas," katanya.
"Aku kan cuma membayarmu untuk beli kosmetikmu," kataku.
"Tak apa-apa mas, oh...kalau mas kepingin tinggal telpon aku aja atau kita
pakai kode khusus gitu, biar mbak Vidia ndak curiga," katanya.
Penisku ku pasang di bibir memeknya, kemudian aku tekan. Memek Erna sudah
becek. Dengan leluasa aku keluar masukkan penisku.
"Aku ketagihan ngentot ama mas," katanya.
"Baiklah, ini jadi rahasia kita ya," kataku.
"Iya mas, ohh...penis mas penuh banget. Aku pikir bisa-bisa robek memekku,"
katanya.
"Tapi nggak kan?" tukasku. "Lagian memekmu peret banget."
"Ohh...mass," desahnya.
Aku cukup bermain satu ronde di kamar mandi. Dan aku percepat goyanganku. Aku
pun keluar, tapi tak sebanyak tadi malam. Mungkin habis produksi testisku.
Setelah itu kami mandi bareng, saling menggosok dan menyabuni. Kami juga
sempat berbaring sebentar di bak mandi dan bermanja-manjaan.
Pukul 9.00 ia harus sudah balik ke mall. Aku mengantarnya. Dan kami berjanji
kalau ada kesempatan akan mengulanginya lagi.
*****
(bersambung)
*****
Tidak ada komentar :
Posting Komentar