klik disini

Sabtu, 18 Juni 2016

Alcohol, Sex and Rock n’ Roll VIII

Bab XI. Betrayer

Sepulang dari berlibur di Bali, Traffic Light, bandku mengadakan peluncuran album ke-6 yang berjudul “Hell’s Gate : Now Open For Pleasure”. Sebuah album rock dengan tema cinta, kematian dan kehidupan glamour. Acara peluncuran album ini kami gelar di Planet Hollywood Jakarta pada hari sabtu malam. Selain dihadiri penggemar, pak Raka, manajer kami mengundang wartawan dari media cetak dan elektronik untuk meliput acara ini. 

 

Momentum kenaikan pamor kami yang menggeser band lain yang memainkan musik lebih “cengeng” dalam beberapa tahun terakhir dimanfaatkannya dengan baik dengan mengurangi penjualan cd dan mengadakan lebih banyak konser. Memang hal ini melelahkan untuk kami tapi mengingat banyaknya pembajakan di negara ini, teknik pemasaran pak Raka cukup efektif dari segi bisnis. Kerugian band kami akibat pembajakan cd album berkurang, keuntungan didapat dari penjualan tiket konser, mengisi acara baik on air maupun off air di tv, penjualan merchandise dan rbt. Walaupun idealis, kami butuh uang untuk mengidupi ke-idealis-an kami, tentunya dengan tujuan utama menghibur penggemaar kami.

Ada sedikit kesepian yang kurasakan di hari ini. orang yang paling aku sayangi, selain ibu, tidak ada untuk menemani. Lena sudah lima hari pergi ke rumah orang tuanya di bagian timur pulau Jawa. “Show must go on”, katanya padaku saat kuusulkan mengundur acara peluncuran album.

Acara peluncuran album ini dimulai dengan jumpa pers. Lima belas pertanyaan dari wartawan harus kami jawab untuk acuan mereka dalam membuat berita nanti. Puluhan cahaya blitz mengabadikan momen wawancara ini. Beberapa cameraman dari tayangan infotainment memfokuskan lensa ke arah kami.

“Apa yang paling berkesan untuk kalian saat pembuatan album ini?”, salah seorang wartawan bertanya.

“Kalau buat saya..”, Erick sengaja menahan kalimatnya, agar terdengar serius, “...dalam proses rekaman album ini, saya tidak pernah memakasi celana dalam..”.

Aku, Teddy dan Abe menunduk terkikik. Seluruh wartawan yang meliput pun tersenyum. 

“Kami mendapat bocoran bahwa album ke-6 ini memiliki sebuah lagu kontroversial, apa benar begitu?”, tanya wartawan lain.

“Kontroversial? Tergantung dilihat dari sudut pandang mana.. kalau menurut Abraham Lincoln, kontroversi selalu ada dalam sesuatu yang besar”, Abe menjawab dengan cerdas, seperti biasanya.

“Dari album ke-6 ini, lagu apa yang menjadi andalan?”, kembali seorang wartawan bertanya.

“Semua lagu di album ini saya suka.. tapi anda harus mendengarkan lagu ‘flesh and blood’..”, aku yang mendapat giliran menjawab pertanyaan itu.

“Lagu-lagu di album ke enam Traffic light hampir semuanya menggunakan lirik bahasa Inggris, apa benar isu yang mengatakan Traffic Light akan go internasional?”, pertanyaan terakhir dilontarkan.

Kami berempat memandang manajer dan tersenyum.

“Benar.. kami telah menandatangani kontrak dengan label, album ke enam ini akan di release juga di australia dan jepang.. semoga untuk ke depannya band ini dapat bersaing di kancah musik dunia”, jawaban dan harapan diucapkan oleh pak Raka.

“Baiklah, sesi wawancara ini kami akhiri, dilanjutkan sesi penanda tanganan album baru, langsung oleh personel Traffic Light”, pak Raka mengakhiri sesi wawancara ini.

Selain konser, sesi inilah yang paling aku sukai sebagai musisi. Aku bisa bertemu langsung dengan pengemar band kami setelah hanya melihat mereka berdiri beramai-ramai 5 meter di depan panggung saat mereka menonton pertunjukan musik kami. 

Sebagai seorang musisi, suatu kebanggan bila penggemar bersama-sama menyanyikan lagu yang kami mainkan di panggung. Seakan-akan lagu itu ciptaan kami dan penggemar. Ada rasa haru saat melihat ribuan cahaya korek api atau tongkat fosfor yang diangkat penonton saat kami menyanyikan lagu sedih, koor mereka menambah suasana sedih yang membuatku merinding di atas panggung. Ada rasa senang melihat mereka meloncat mengikuti irama lagu bertempo cepat yang kami mainkan. Tanpa penggemar, kami hanyalah empat orang yang bermain musik. Memiliki penggemar, membuat kami melupakan lelah setelah tur keliling negara ini.

100 fans berbaris mengantri di depan meja kami. Satu per satu kotak wadah cd bergambar pintu berhias ukiran Eropa dengan bayangan hitam dan merah kami tanda tangani. Beberapa fans juga meminta untuk berfoto. 

Melihat senyum di wajah penggemar kami, membuatku senang. Ada kepuasan tersendiri membuat mereka bahagia. Apa yang mereka rasakan saat ini pernah aku rasakan beberapa tahun yang lalu. Saat Helloween menggelar konser di negara ini, Erick mengajakku ke acara jumpa fans mereka. 

Sesi jumpa fans berakhir hampir tengah malam. Aku segera memacu mobilku pulang ke rumah. Kegiatan hari ini benar2 menguras tenagaku. Aku benar-benar merindukan tempat tidurku. Begitu memasuki kamar, kuhempaskan badanku ke atas kasur tanpa berganti pakaian dan langsung tertidur.


****** Life Fast Die Young ******

Aku berjemur di kursi malas dan Lena berenang di sebuah kolam renang besar, mengenakan baju renang sexy berwarna merah. Lena melambai memanggilku. Tersungging senyum dibibirku namun kepalaku menggeleng lemah. Lena melepaskan bra berbentuk segitiga kecil yang hanya menutupi puting dan sedikit bagian disekitarnya. Lena menggodaku dengan meremas-remas payudaranya di dalam kolam. Kembali kulihat kepalaku menggeleng. Lena tersenyum dan melepaskan penutup selangkangannya kemudian menaiki tangga besi kolam renang.

Tubuh basah telanjang Lena keluar dari kolam renang berjalan mendekatiku tubuhku yang berbaring dengan kacamata hitam di kursi malas. Dia duduk di atas perutku dan menggesekan vaginanya. Jari tangannya memutar puting payudaranya sendiri. 

“Shhhh... hhhssshhhh”, Lena mendesah dalam goyangannya.

Aku kembali tersenyum. Tanganku memegang dan meremas pantat Lena. Lena mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku dan menyodorkan putingnya padaku. Aku menghisap puting merah muda kecoklatan yang telah menegang. Lena kembali merintih, selangkangannya berpindah mundur ke atas celana pendekku, tepat di atas tonjolan penisku.

Tanganku menepuk bokong mulus pacarku,”plak!!”, meninggalkan bekas merah telapak tangan. Lena menjerit manja dan tersenyum. Kulihat bibirku mencium bibir Lena, kembali tanganku menepuk gemas pantatnya.

“Hmmph!!”, suara jeritan Lena tertahan ciumanku.

Lena melepas ciumannya, menjilat dan menghisap leherku. Daguku naik menikmati sensasi rangsangan Lena. Jilatannya turun ke tenggorokan lalu ke dadaku. Lidahnya berputar disekitar putingku yang mengeras. Matanya memandang ke arahku dan bibirnya tersenyum. Lena mengulum putingku, tangannya meremas penisku yang tegang dari luar celana. Lena memegang batang penisku dan mengocok naik turun, tetap dari luar celana.

“Emmhhh..”, aku mendesah menikmati perlakuan Lena.

Lena menghisap kulit di atas dadaku dan meninggalkan bekas merah. Kembali dia menjilat tubuhku, turun hingga ke perut. Kulihat tangan Lena menarik turun celana pendekku. Penisku yang menegang dirangsang Lena, tegak menunjuk langit. Lena menjilati pusarku saat tangannya menggenggam penisku dan mengocoknya naik turun dengan pelan. 

Aku meringis menahan nafsu, Lena sepertinya sengaja melakukan kocokannya pada penisku secara perlahan. Tanganku mengarahkan kepala Lena ke bawah, ke arah selangkanganku. Aku berharap penisku dimasukan ke mulutnya tetapi dia malah menjilat dan menghisap pahan kananku. Rasa geli dan sedikit ngilu membuat penisku menegang tertahan selama beberapa detik. Tangannya yang bergerak lambat ditambah jilatannya pada pahaku, seakan mempermainkan nafsuku. 

Lidah Lena berpindah menjilat paha kiriku.

Ohhh shiiittt...”, aku merutuk pelan, tanganku mengenggam pinggir kursi.

Jilatannya berpindah ke tengah, pada buah zakarku. Kedua bijiku ini dihisapnya, tangannya masih bergerak pelan. Sensasi ngilu-ngilu-enak ini sungguh sangat menyiksaku. Lena memandangku dengan ekspresi puas. Puas melihatku tersiksa nafsu birahi. 

Ku jambak rambut Lena dengan kedua tanganku, memberinya isyarat bahwa aku sudah tidak tahan lagi dengan siksaan termanisnya ini. Kepala Lena bergerak, bibirnya mendekat pada kepala penisku, mulutnya membuka seakan hendak memakan penisku. Dengan perlahan kepala merah penisku masuk ke mulutnya.

“Uhhhh....”, aku melenguh saat penisku masuk ke mulutnya.

Hangat dan basah kurasakan di batang selangkanganku. Mulut Lena menyedot penisku dengan kuat. Kurasakan tarikan hisapannya saat dia mengangkat bibirnya hingga kepala penisku. Jambakanku pada rambutnya semakin kuat. Lena mempercepat tempo hisapannya pada penisku.

****** Life Fast Die Young ******

“Ugghhh”, aku mengerang menahan hisapan kuat pada penisku.

Perlahan kulihat rambut basah Lena yang ku jambak berubah kering. Tubuhnya kini telah mengenakan kaos berwarna merah muda. Wajah tirus Lena agak membulat. Celana pendekku berubah menjadi jeans hitam yang turun mendekati lututku. Kursi malas kayu berwarna cokelat menjadi ranjang dengan seprai putih dan bedcover hijau bermotif bunga. Yang sama hanya penisku tegak dihisap oleh seorang wanita. Wanita itu menunggingkan pantatnya sambil mengoralku. Sebelah tangannya meraba selangkangannya sendiri.

“NANI?!?”, aku berteriak kaget dan mundur menjauhinya.

Nani yang kaget karena aku terbangun dan berteriak, diam tak bergeming.

“KAMU.. KAMU.. KELUAR!! TUNGGU AKU DI RUANG TAMU!!”, aku berteriak sambil menunjuk pintu kamarku yang terbuka.

Nani turun dari ranjang dan berbalik ke arah pintu. Sekilas kulihat ekspresi kecewa di wajahnya. Aku bangun dan mengunci pintu kamar. Rupanya semalam aku terlalu lelah dan mengantuk hingga tak sempat menutup pintu kamarku.

Aku berjalan ke kamar mandi, menghidupkan shower dan berdiri di bawah guyuran air. Kutempelkan kedua lenganku di dinding kamar mandi, ku pejamkan mataku, perlahan kepala ini kutempelkan di dinding. Aku tak habis pikir, kenapa Nani bisa kaya gini sekarang...

Bertahun tahun aku tak bertemu dengannya, hingga dia tinggal satu atap denganku, baru ku sadari Nani telah berubah. Seorang gadis kecil yang dulu aku manjakan kini berubah menjadi seorang gadis remaja yang berani. 

Kembali kepalaku menggeleng, seakan tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Orang yang sudah kuanggap adik sendiri, mencuri kesempatan, menghisap kemaluanku saat aku tertidur. Apa yang dia pikirkan?, aku bertanya pada diri sendiri.

Lama aku terdiam dibawah siraman shower. Dinginnya air shower menurunkan emosiku. Penisku yang tadi tegang dioral Nani telah menyusut ukurannya. Tak ada nafsu lagi, yang tersisa hanya penyesalan. Bukan penyesalan kepada Nani, tetapi kepada jalan takdir yang membawa Nani dan aku pada peristiwa tadi pagi.

Kali ini bukan akibat perubahan hormon remaja.. Nani memang sengaja melakukannya.. ini harus di hentikan.., kembali aku berbicara meyakinkan diriku.

Aku segera mandi untuk menyegarkan badan dan pikiranku yang kacau. Kuputuskan untuk menyewa sebuah apartemen untuk Nani. Aku tak ingin kejadian ini terulang untuk kedua kalinya. Aku yakin lain kali dia akan bertindak lebih jauh.

Selesai mandi aku segera mengeringkan tubuhku dan berpakaian. Aku akan berbicara pada Nani saat ini juga. Semua kata yang kurangkai menjadi kalimat pengusiran secara halus di bawah siraman shower tadi sudah lengkap. Aku ingin Nani keluar dari rumah ini namun tidak ingin dia merasa aku mengusirnya. Ku tarik nafas panjang untuk memantapkan niat hatiku. Kubuka pintu kamarku dan kulihat seorang gadis telah duduk disamping Nani.

“Baru selese mandi ya sayang?”, Lena bangkit dari sofa dan berjalan ke arahku.

Lena memeluk tubuhku erat. Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku terpana melihat permainan takdir dalam hidupku. Tak mungkin aku mengusir Nani di depan Lena. Tak mungkin juga jika kukatakan Nani harus pergi dari rumah ini karena dia telah berani menyentuh penisku tadi pagi. Lena tidak akan percaya padaku. Bahkan aku yakin tak akan ada yang percaya jika ku katakan kejujuran itu, begitu melihat topeng wajah polos tak berdosa Nani. Topeng itu sempat juga menipuku.

“Kok udah pulang? Katanya besok?”, aku bertanya pada Lena agar dia tak curiga pada kebisuanku.

“Iya.. aku mau bikin kejutan buat kamu.. muach!”, bibir tipis Lena mencium pipiku.

Takdir kali ini memihak pada Nani. Sepintas kulihat senyum licik Nani saat memandang kami berdua. senyuman seorang penghianat.

Bab XII. Who Is To Blame



Sejak kejadian “hari Minggu pagi” yang meresahkan, aku berusaha menghindari bertemu dengan Nani. Aku memikirkan berbagai cara untuk membuat Nani pergi dari rumah ini. Kembalinya Lena dari menjenguk orang tuanya, membuat semua rencanaku mengalami jalan buntu. Aku tidak mendapatkan alasan yang tepat untuk menjelaskan pada Lena jika Nani nantinya pergi pindah dari rumahku.

Dua minggu sudah aku menghindari Nani. Kami hampir tidak pernah satu sama lain. Hanya menyapa dan berbicara seperlunya. Nani bersikap seakan tidak pernah terjadi apa2. Nani selalu memasang wajah polos tak berdosa bila Lena ke rumahku. Untungnya kesibukanku sangat mendukung, sehingga aku tidak perlu berduaan dengan Nani dalam jangka waktu yang panjang di rumah.

Peluncuran album keenam bandku membuat banyak wartawan dari berbagai majalah, tabloid dan infotainment memburu aku, Teddy, Abe dan Erick untuk melakukan sebuah sesi wawancara eksklusif. Abe dan Erick yang merupakan “media darling”, dengan senang hati menerima tawaran wawancara ini. Teddy yang lebih tertutup pada media, tidak pernah terlihat sendirian baik di layar kaca maupun foto di media cetak. Teddy hanya mau berbicara pada media saat dia bersama kami. Sebagian fans menganggapnya pemalu tapi Teddy hanya tidak ingin diganggu kehidupan pribadinya oleh pemberitaan media. 

Beberapa kuli tinta pun sempat meneleponku untuk mengadakan perjanjian wawancara eksklusif. Aku mengatakan pada mereka untuk menghubungi manajer pribadiku, Lena. Lena memang sangat berhati-hati memilih media yang akan memberitakan berbagai hal tentang kehidupanku. Dia tidak ingin media menyebarkan berita bohong sensasional yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Akupun tidak ingin mencari ketenaran semu yang hilang ditelan waktu. Yang aku ingin adalah tempat di hati masyarakat yang menilaiku sebagai seorang musisi, bukan selebritis. 

Lena mengatakan padaku bahwa 2 hari lagi, hari Selasa, akan datang seorang wartawan dari majalah Rolling Stones I untuk melakukan interview di rumahku. Aku menyerahkan semua keputusan padanya, karena memang dia yang mengatur semua jadwal kegiatan ku sebagai seorang rock star. Kerja Lena sebagai manajerku sangatlah profesional, diluar perannya sebagai teman dan kekasihku. Lena bersikap disiplin saat menjadi manajerku. Dia tidak segan untuk memarahiku saat aku lupa mengikuti kegiatan yang sudah terjadwal. Terkadang dialah yang datang menjemputku saat aku telat bangun tidur. Dia adalah seorang manajer yang galak sekaligus pacar yang manis.


****** Life Fast Die Young ******

Sore itu aku tiduran di sofa sambil menonton tv. Seharian aku di rumah, menikmati waktu senggang yang jarang ku dapat beberapa minggu terakhir. Minggu depan Traffic Light akan mengadakan Tour promo album ke seluruh provinsi yang akan menjadi hari yang melelahkan selama setengah tahun kedepan. 

Aku menonton layar tv yang menayangkan kumpulan video klip musik luar negeri di Chanel Vi. 

“Huuaaaaahhmmm..” aku menguap menahan kantuk, mataku berair.

Aku membetulkan letak bantal yang menopang kepalaku. Badanku tak bertenaga karena mengantuk dan lapar. Kudengar suara langkah kaki menuruni tangga. 

“Kak... barusan kak Lena sms aku, katanya entar ada orang mau dateng, mau interview sama kak Radeet,” Nani berkata padaku.

“Iya.. kamu dah makan?” aku basa-basi padanya.

“Belom kak.. kak Radeet dah makan?” Nani balik bertanya.

“Belom..” jawabku singkat.

“Kalo gitu Nani masakin ya? kak Radeet mau makan apa?” Dia menawakan.

“Hmmm.. kamu telepon delivery aja.. aku mau makan pizza,” aku menjawab tanpa melihatnya. 

“Owwhh.. ya udah..” Nani berjalan mendekati telepon rumah yang menempel di dinding dapurku.

Begitulah jenis obrolan kami, hanya basa-basi dan seperlunya. Lebih sering kami bicara tanpa melihat satu sama lain. Bagaikan dua orang asing yang tinggal dalam satu atap.

Seperti biasa, Nani melakukan rutinitasnya sore itu, membersihkan rumah. Nani menyapu ruang tamu tanpa berbicara. Akupun terdiam, hanya suara televisi yang terdengar. 

“Teeeeetttt!! teeeeetttt!!” bel rumahku berbunyi.

Nani berjalan ke pintu depan untuk melihat siapa yang membunyikan bel. Dia membuka pintu dan melihat seorang laki-laki dengan pakaian seragam berwarna merah dan hitam serta sebuah motor dengan warna yang sama. Laki-laki itu membawa 2 kotak pizza di tangannya.

“Kak.. pizza nya udah dateng,” kata Nani padaku.

Aku mengulurkan dua lembar uang berwarna merah bergambar dua tokoh pendiri negara ini pada Nani. Dia mengambil uang itu dan berjalan ke arah gerbang. Tak berapa lama Nani datang dengan membawa 2 kotak karton Pizza Hit. Aku bangun dari sofa, badanku kembali bergairah. Rasa laparku mengalahkan berat mata karena mengantuk. Nani menaruh Kotak pizza di atas meja kaca di depanku. 

“Ni’, ambilin kola dong, di kulkas,” kataku padanya.

Nani berjalan mengambil minuman tanpa bicara dan menaruh minuman itu di atas meja. 
“ayo sini.. kita makan,” aku mengajak Nani makan bersamaku.

Nani duduk di sofa, di sebelah kananku. Kami mengambil sepotong pizza dan makan dalam diam. Aku berpikir sekaranglah saat yang tepat untuk mengatakan padanya. 

“Kak..”, “Ni’..” suara kami keluar hampir bersamaan.

Untuk beberapa saat kami kembali terdiam.

“Kakak mau ngomong apa?” kata Nani memecah keheningan.

“Kamu sendiri mau ngomong apa?” aku bertanya balik padanya.

“Umm.. soal yang kemaren itu..” Nani menghentikan kalimatnya, “Nani ga enak sama kak Radeet ma kak Lena.. Nani khilaf..”

Nani menunduk dan menutup mukanya. Terdengar tangis sesenggukan Nani. 

“Na-Nani sayang sama kak Radeet.. huk huk.. Nani cinta.. ta-tapi Nani tau kak Radeet sukanya sama kak.. kak Lena.. huk huk.. Nani minta maaf kak.. ma-maafin Nani..” Nani bicara diantara tangisnya.

Air mata mengalir membasahi tangan kirinya. Badannya berguncang saat dia menangis. Hatiku tak tega melihat Nani menangis begini di sampingku. Kuurungkan niatku memindahkannya ke apartemen. Aku mengelus punggungnya untuk menenangkan Nani. 

“Ya udah aku maafin.. tapi lain kali kamu ga boleh gitu lagi.. aku sayang sama kamu.. tapi rasa sayangku beda.. kamu dah kuanggap adik sendiri dari kita di panti.” keteguhan hatiku kalah oleh tangis remaja tanggung ini.

“Makasih ya kak..” Nani memelukku.

“Iya.. nah, sekarang kamu udahan nangisnya..” kataku mengambil tisu yang ada di atas meja dan menyerahkan pada Nani, “itu ingusnya di lap dulu”.

“Enak aja..” kata Nani memukul pundakku, “kak Radeet tu yang dulu ingusan.”

****** Life Fast Die Young ******

“Kaak.. kaaaakkk.. ada yang nyariin tuh..” kata Nani menggedor pintu kamarku.

Aku yang hendak berpakaian setelah mandi menjawab, “siapa?”.

“katanya wartawan dari majalah apa gitu.. mau wawancara.” Kata Nani di balik pintu.

Ya udah.. suruh nungguin.. kamu bikinin minum ya Ni’.” Jawabku

Beberapa menit kemudian aku keluar. Kulihat seorang wanita muda berwajah cantik berpakaian kasual duduk di sofa. Dia membolak-balik sebuah kertas putih di tangannya. Wanita ini berambut sebahu, berkacamata dengan gagang persegi dan memakai tanda pengenal yang dikalungkan. Disampingnya terlihat sebuah recorder kecil berwarna hitam.

“Maaf.. tadi saya habis mandi.. dengan mbak siapa?” aku mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman.

“Sa-saya April.” wartawan itu berdiri dan menyalami tanganku.

“Dari mana?” aku menanyakan nama kantornya.

“Saya? Saya dari Jkt,” April salah menjawab.

“Maksud saya.. mbak dari media mana?” aku menjelaskan pertanyaanku.

“Oww.. saya dari majalah Rolling Stones I..” jawabnya sambil menunjukan tanda pengenal.

“Kita interview nya disini aja ya..” aku duduk di sofa, berseberangan dengan April.

“I-iya..” April ikut duduk di sofa.

Nani datang membawa nampan yang di atasnya terdapat 2 gelas kaca berisi minuman berwarna kuning dan piring lebar berisi kue brownies.

“Silahkan mbak..” Nani menawarkan saat menaruh minuman di depan April.

“Iya mbak.. eh, makasi mbak..” April mengangguk dan tersenyum pada Nani.

Nani berjalan kembali ke arah ruang makan.

“Ga usah tegang mbak.. santai aja..” aku menenangkan April yang gugup.

“Iya mas.. eh, Pak.. eh,”.

“Panggil nama aja.. biar lebih santai..”, aku memotong ucapan kikuk April.

“Iya pak.. eh, Deet..”, kata April yang masih gugup.

“Kamu tarik nafas dulu.. minum dulu.. gimana mau wawancara kalo tegang begini?” aku memberinya saran.

April mengangguk, dia menarik nafas panjang sambil memejamkan matanya. Ekspresinya kini terlihat lebih tenang. Tangannya mengambil gelas di atas meja dan minum jus jeruk buatan Nani. Akupun minum jus jerukku.

“Kamu wartawan baru?” aku bertanya padanya.

“Iya.. baru dua bulan,” kini jawaban April terdengar lebih mantap.

Pantes tegang gini... kasian.. baru dua bulan udah disuruh interview.., aku berkata dalam hati.

“Trus kamu mau nanya apa?” aku bertanya pada April.

Wartawan itu segera mengambil lembaran kertas dan recorder di sebelahnya. Setelah memencet tombol recorder di atas meja, interview pun dimulai.

“Bagaimana... pendapat anda tentang album... ke enam ini?” April bertanya dengan mata mengerjap dan suara terbata.

Mata April memejam, kepalanya menunduk seperti orang sakit.

“Kamu ga..” suaraku tertahan.

Kepalaku terasa ringan. Mataku mengedip-ngedip mencari fokus pandangan. Kulihat April memegang kepalanya di seberang sana, badannya menjadi dua, pandanganku mulai mengabur, tubuhku tak dapat ku gerakan. Sekilas ku lihat dunia berputar. Aku mendengar suara benda jatuh dan langkah kaki mendekat sebelum semuanya menjadi gelap.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar