ANAK NAKAL BAB 1
Namaku Doni. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang
alim. Ayahku sendiri seorang yang ta'at beragama. Kakakku seorang aktivis di
kampus. Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau
dilihat dari luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak
sebegitunya seperti kakak perempuanku.
Kakakku bernama Kak Vidia. Adikku bernama Nuraini. Ibuku? Oh ibuku ini seorang
ustadzah. Aku sendiri dikatakan anak nakal oleh ibuku, aku menyebutnya bunda.
Ayahku sering menasehatiku untuk tidak bergaul dengan anak-anak geng. Tapi apa
boleh dikata, dari sinilah aku banyak mengenal dunia. Memang sih, aku bergaul
dengan mereka, tapi tidak deh untuk berbuat yang aneh-aneh. Walaupun aku
bergaul dengan mereka tapi aku sadar koq norma-norma yang harus dijaga. Aku
bahkan sangat protektif terhadap saudari-saudariku. Ada temenku yang naksir
saja langsung aku hajar. Makanya sampai sekarang banyak orang yang takut untuk
mendekati kakakku maupun adikku.
Menginjak kelas 2 SMA, keluarga kami berduka. Ayahku kecelakaan. Ketika pulang
kantor beliau dihantam oleh truk. Ia berpesan kepadaku agar jadi anak yang
baik di saat-saat terakhirnya. Kami semua bersedih. Terutama bunda. Ia selalu
menyunggingkan senyumnya tapi tak bisa menyebunyikan raut wajahnya yang
sembab. Otomatis setelah meninggalnya ayah, keluarga kami pun banyak berubah.
Rasanya sangat berdosa sekali aku kepada ayahku. Aku sampai sekarang belum
bisa jadi anak yang baik. Namun aku berusaha untuk berubah, mulai kujauhi
teman-teman gengku. Aku pun mulai membantu bunda untuk bekerja, karena warisan
ayah tak bisa untuk membiayai kami semuanya ke depan. Setelah aku pulang
sekolah, aku selalu menjaga toko kami. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan
kami. Dari pagi sebelum sekolah aku sudah harus pergi ke grosir, membeli
sembako, kemudian menyetok ke toko, setelah itu aku baru pergi sekolah.
Pulangnya aku harus menjaga toko sampai sore. Begitulah, hampir tiap hari.
Jadi tak ada kegiatan ekstrakurikuler yang aku ikuti.
Membiayai Kak Vidia kuliah, membiayai Nuraini sekolah, bukanlah hal yang
mudah. Kak Vidia bahkan untuk uang sakunya sampai rela kerja sambilan. Namun
perlahan-lahan kami pun bisa bernafas lega setelah toko kami mulai besar,
walaupun begitu kami makin sibuk. Akhirnya kami pun memperkerjakan orang.
Anak-anak lulusan SMK. Aku juga sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus.
Bingung mau kuliah ke mana. Apa ndak usah kuliah ya? Melihat bunda kelimpungan
jaga toko mengakibatkan aku pun mengurungkan niatku kuliah.
Aku lulus dan adikku Nuraini masuk SMA. Dua tahun yang berat. Namun akhirnya
toko kami sudah besar, berkat ide-ide yang kami pakai tiap hari akhirnya toko
ini pun besar. Jarang ada toko sembako delivery order. Bahkan tidak sampai
tiga tahun kami sudah ada waralaba. Bisa beli mobil, bisa renovasi rumah dan
sebagainya. Kak Vidia pun sekarang jadi tidak bingung lagi kuliahnya. Ia
sempat cuti 2 semester untuk membantu usaha kami.
Itulah profil keluarga kami. Tapi tahukah kalau dibalik itu semua ada sesuatu
hal yang sebenarnya menarik untuk diceritakan? Sebenarnya ini tak boleh
diceritakan karena aib tersembunyi keluarga kami. Dan karena inilah hubunganku
dengan kakakku, adikku dan ibuku jadi lebih akrab, bahkan aku dianggap sebagai
kepala rumah tangga.
Ceritanya ini dimulai setelah 6 bulan ayah wafat. Aku saat itu benar-benar
masih nakal. Menonton bokep sudah biasa bagiku. Bahkan sebenarnya, terkadang
aku membayangkan begituan dengan bunda, maupun kak Vidia, atau bahkan
terkadang juga dengan Nuraini. Iya, mereka semua pake jilbab, tapi hanya aku
yang tahu bagaimana lekuk tubuh mereka, karena di rumah mereka membuka
jilbabnya dan pakai pakaian biasa.
Awalnya aku benar-benar iseng sekali. Saat itu aku baru saja beli kamera
pengintip. Bentuknya seperti sebuah gantungan kunci, berbentuk kotak kecil.
Ketika ditekan tombol rahasianya, ia akan merekam selama kurang lebih 2 jam.
Harganya cukup murah kalau dicari di internet, sekitar 500ribu. Aku
menggantungkannya di anak kunci, sehingga ketika ke kamar mandi aku selalu
mandi duluan, dan kemudian aku taruh di tempat yang bisa mengawasi semuanya.
Jadi seluruh penghuni rumah, sama sekali tak curiga. Awalnya tak ada yang
tahu, tapi nanti yang pertama kali tahu adalah Kak Vidia, tapi nanti aku
ceritakan.
Aku meletakkan kunci itu di gantungan baju. Aku posisikan agar kameranya
mengawasi seluruh ruangan kamar mandi. Yang pertama kali masuk setelah aku
adalah bunda, kemudian Kak Vidia, lalu Nuraini. Setelah semuanya mandi, aku
masuk ke kamar mandi untuk mengambil kamera pengintai. Aku kemudian ke kamar
untuk menikmati hasilnya. Aku bisa mengetahui tubuh mulus mereka semua tanpa
sehelai benang pun. Misalnya bunda, rambutnya lurus, tubuhnya sangat terawat,
langsing, dadanya besar, mungkin 34C, bahkan yang menarik beberapa minggu
sekali bunda mencukur bulu kemaluannya. Kak Vidia juga begitu, kulitnya putih,
rambutnya panjang, dadanya ndak begitu besar, 32B tapi putingnya yang bikin
aku kaget, berwarna pink. Ini orang bule atau gimana? Tapi begitulah Kak
Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus
seperti bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini
sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja
dadanya gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaan
mencukur bulu kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlah
ntar coba dicukur. Kayaknya lebih bersih.
Selama sebulan itu aku sering ngocok penisku di depan komputer sambil melihat
adegan demi adegan di kamar mandi. Hal itu membuat aku terobsesi kepada
mereka. Saking terobsesinya, aku kadang punya alasan untuk bisa menyentuh
mereka, seperti mencium pipi adikku, mencium pipi bunda, terkadang juga
memeluk Kak Vidia. Tapi mereka semua tak curiga. Dan satu-satunya yang
membuatku kelewatan adalah memesan kloroform kepada salah seorang teman
gengku. Aku pesan beberapa botol. Untuk stok pastinya. Pertama aku coba ke
kucing tetangga. Ketika aku bekep pake sarung tangan yang ada kloroformnya,
pingsan tuh kucing. Aku pun menghitung berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan
oleh kucing ini bisa sadar. Satu jam, dua jam, tiga jam. Lama sekali.
Siapa yang ingin aku coba pertama kali? Kak Vidia ndak mungkin, ia bakal kaget
nanti kalau sudah tidak perawan ketika malam pertama dengan suaminya. Begitu
juga Nuraini, bisa berabe aku nanti kalau dia melapor ke bunda memeknya perih.
Jadi targetku adalah bunda.
BUNDA
Seperti biasa bunda menjaga toko waktu itu. Dan aku menyiapkan teh hangat
untuk beliau. Aku berikan setetes kloroform di minumannya. Tujuanku sih agar
ia pusing saja dan bisa aku suruh istirahat, baru kemudian aku bekap.
"Kamu ndak sekolah Don?" tanya bunda.
"Tidak dulu bunda, mau bantu toko dulu," jawabku.
"Lho, jangan. Ada bunda sama mbak Juni koq. Sekolah saja!" kata bunda. Mbak
Juni adalah pegawai kami. Ia ada cerita untuk nanti. Ia janda, beranak satu,
tapi masih muda. Usianya baru 21 tahun. Menikah muda. Bodynya masih singset.
"Tidak mengapa bunda, Doni udah ijin koq," kataku.
"Baiklah, tapi cuma hari ini saja ya, jangan ulangi lagi," katanya.
Bunda lalu meminum teh hangatnya. Aku pura-pura mencatat barang-barang di
toko. Mbak Juni juga melakukan hal yang sama. Dan memindah-mindahkan karung
beras. Kemudian datang seorang pembeli yang langsung dilayani oleh Mbak Juni.
Efek obat mulai terlihat. Bunda memegang kepalanya. Aku pura-pura peduli,
"Kenapa bunda?"
"Entahlah, bunda tiba-tiba pusing," katanya.
"Capek mungkin, istirahat saja bunda," kataku.
"Iya deh, aku istirahat sebentar. Mungkin nanti bisa baikan. Mbak Juni, tolong
ya!" kata bunda.
"Iya, bunda," kata Mbak Juni.
Bunda agak terhuyung-huyung, lalu beliau masuk kamar. Aku pun menyudahi
pura-puraku, kemudian pura-pura ke kamarku, tapi sebenarnya menyusul beliau
ke kamarnya. Aku beri waktu sekitar sepuluh menit, hingga kemudian terdengar
nafas dengkurang halus bunda. Oh sudah tidur. Aku lalu beranikan diri masuk ke
kamarnya. Bunda masih pakai jilbabnya, aku siapkan kloroform ke sarung
tanganku, dosisnya seperti yang aku berikan ke kucing percobaan kemarin. Dan
BLEP!
Bunda tak berontak, mungkin berontakannya tak berarti. Tangannya ingin
menghalau tanganku tapi lemas. Matanya belum sempat terbuka dan ia pun sudah
pingsan. Aku pun sangat senang, ini kemenangan.
Aku lalu kunci pintu kamar bunda. Biar ndak ada siapapun yang masuk. Jantungku
berdebar-debar, antara senang, takut dan macem-macem rasanya. Aku duduk di
sebelah bunda. Di pinggir ranjang itu aku lihat ujung rambut sampai ujung
kakinya. Tanganku mulai bergerilya. Kuraba pipinya, bibirnya, aku buka
sedikit, rahangnya aku turunkan hingga ia membuka mulutnya. Sesaat aku ingat
ayah, tapi karena aku sudah bernafsu, rasa bersalahku pun aku tepis. Aku
panggut bibir bunda. Aku hisap lidahnya. Penisku mulai tegang, bunda
benar-benar tak bereaksi sama sekali, bahkan sekarang bibirnya mulai basah.
Wajah bunda sangat cantik, mungkin seperti Ira Wibowo. Bibirnya sangat lembut,
tak puas aku menciumi bibir itu. Aku pun mulai meremas-remas dadanya walaupun
masih tertutup gamis. Lalu tanganku mengarah ke selakangannya mengelus-elus
tempat pribadinya.
Karena semakin bergairah, aku pun melepas celanaku sehingga bagian bawah
tubuhku tak terbungkus sehelai benang pun. Penisku sudah mengacung tegang.
Urat-uratnya mengindikasikan butuh dipuaskan. Aku arahkan jemari bunda untuk
menyentuh penisku, Ohh...lemas aku. Lembut sekali jemari beliau. Aku tuntun
tangannya untuk meremas telurnya, aku makin keenakan. Seandainya beliau bangun
dan mau melakukannya kepadaku tentunya lebih nikmat lagi. Aku kemudian naik ke
ranjang. Aku berjongkok di depan wajahnya. Penisku aku gesek-gesekkan di pipi,
hidung dan bibirnya yang agak terbuka itu. Aku sangat bergairah sekali. Selain
itu juga takut ketahuan. Aku buka mulutnya, lalu kucoba masukkan kepala
penisku, uhhhh....nikmat banget. Walaupun tak muat, aku buka mulutnya lagi,
tangan kiriku mengangkat kepalanya dan tangan kananku membuka mulutnya lebih
lebar, lalu kudorong penisku masuk.
Di dalam mulutnya penisku berkedut-kedut. Nikmat sekali. Aku makin bergairah
melihatnya yang masih pakai kerudung. Kuambil ponsel dan aku abadikan ketika
penisku masuk ke mulutnya. Kumaju mundurkan penisku sampai mentok,
walaupun giginya mengenai penisku rasanya nikmat sekali. Lucunya lidahnya
bergoyang-goyang, entah ia mimpi apa, itu semakin membuatku terangsang.
Pelan-pelan penisku menggesek rongga mulutnya, kemudian aku tarik keluar.
Sekarang aku posisikan telurku di mulutnya. Karena punyaku sudah tercukur
bersih aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah bunda sedang menjilati telurku.
"Bunda, ohhh...nikmat banget," rancauku.
Kalau terus seperti ini, rasanya aku ingin muntahkan pejuku di wajahnya. Tapi
aku tahan. "Tidak bunda, Doni ingin merasakan ini, bolehkan?" aku meraba
vaginanya.
Aku kemudian melepaskan gamis bunda, kancingnya aku buka semua, hingga ia
hanya memakai bra dan CD. Aku turun ke bawah. Kuciumi seluruh tubuhnya,
perutnya, pahanya, aku jilati semuanya sampai basah. Bahkan mungkin tak ada
satupun yang terlewat. Aku lepas BH-nya. Ohh...dada yang dulu ketika kecil aku
mengempeng, sekarang aku mengempeng lagi. Aku hisap teteknya, putingnya aku
pilin-pilin, kupijiti gemas. Tapi aku tak ingin memberikan cupang di dadanya,
nanti ia curiga. Belum saatnya. Ketiaknya yang bersih tanpa bulu pun aku
hisap, kujilati. Semuanya aku jilati. Aku pun mencium bau yang aneh, ketika
aku menghisapi jempol kakinya. Dan aku lihat CD-nya basah. Bunda terangsang?
"Bunda terangsang? Mau dimasukin bunda?" tanyaku.
Aku pun segera melepaskan CDnya, Dan kuikuti aku telanjang juga sekarang.
Punyaku makin berkedut-kedut dan di lubang kencingnya muncul cairan bening.
Aku melihat memek bundaku tersayang. Warnanya pink kecoklatan. Inikah tempatku
keluar dulu? Betapa bersihnya, ada cairan keluar. Aku segera membuka pahanya,
kepalaku mengarah ke sana, kujilati, kuhisap dan klitorisnya aku tekan-tekan
dengan lidahku. Intinya lidahku menari-nari di sana seperti lidah ular,
menjelajahi seluruh rongga vaginya. Setiap cairan yang keluar aku hisap,
rasanya asin-asin bagaimana gitu. Aku makin bergairah dan sepertinya bunda
juga bergairah, ia sangat banjir, bahkan ketika aku colok-colok dengan
lidahku, lebih dalam lagi kakinya bergetar. Ia mengeluh....dan mendesis,
walaupun masih tidur dan tidak sadarkan diri tapi dia merasakannya. Mungkin ia
bermimpi sedang begituan. Kepalanya yang masih memakai jilbab mendongak ke
atas, Dan kemudian pantatnya diangkat, tubuhnya bergetar hebat, memeknya
mengeluarkan cairan yang sangat banyak, menyemprot bibirku. Aku lalu duduk.
"Bunda orgasme?" tanyaku.
Tentu saja beliau tak menjawab. Sepertinya bunda sudah siap, aku posisikan
penisku di ujung vaginanya. Kepala penisku sudah ingin masuk saja. Aku tak
sabar, dan....BLESSS....lancar banget, ohhhh....HANGATT....ini ya rasanya
memek wanita itu. Aku lalu ambruk di atas tubuh bunda, ia kutindih. Toketnya
dan dadaku berpadu, Penisku berkedut-kedut dan anehnya memeknya juga seperti
meremas-remas penisku. Ngilu rasanya, tapi nikmat.
"Bunda, seperti inikah bunda rasanya ngentot?" tanyaku. Aku mengabadikan
peristiwa ini ke ponselku, kuclose up wajah bunda yang tidur, vaginanya yang
sekarang penisku masuk ke sana juga kuabadikan, bahkan posisiku menindih
bundaku pun aku abadikan.
"Doni...ohh...puasin bunda..." terdengar suara bisikan bunda. Apa maksudnya,
apakah bunda sadar?
Sejenak aku bingung, ternyata bunda memimpikan aku, bermimpi bersetubuh
denganku. Itu membuatku makin bergairah. Aku kemudian menaik turunkan
pantatku perlahan-lahan, menikmati saat-saat ini. Tapi aku hanya punya waktu 3
jam kurang lebih, tak ingin aku sia-siakan kesempatan ini. Kugoyang pantatku
naik turun, makin lama makin cepat.
"Bunda...oh....Doni kembali masuk ke tempat bunda," rancauku, makin lama makin
cepat. Bunda aku tindih, pahanya terbuka lemas. Dan aku sepertinya akan
keluar, oh sperma perjakaku....kemana ya harus keluar?
"Bunda, ke wajah bunda aja ya keluarnya....oohhh...keluar bunda!" seruku.
Aku segera mencabut dan berlutut di depan wajah bunda. Penisku kuarahkan ke
situ. CROOT....CROTT...CROOTTT.... Banyak sekali tembakannya, aku sudah tidak
perjaka lagi. Bunda sendiri yang menghilangkannya, spermaku belepotan di wajah
bunda, sebagian masuk ke mulutnya, aku terus mengocoknya hingga tetes
terakhir, lalu aku bersihkan sisa di ujung penisku ke mulutnya.
Momen ini tak bisa aku lewatkan segera aku abadikan ke ponselku. Aku lalu
berbaring lemas di sampingnya.
"Bunda, nikmat bunda," kataku. Aku peluk dia dari samping sambil memeluk
toketnya.
Butuh waktu 15 menit bagiku untuk istirahat sebentar, kemudian aku bersihkan
wajahnya dengan tisu yang ada di meja riasnya. Agar tidak bau sperma aku seka
wajah ibuku pakai pelembab, biar tak ketahuan. Disaat membersihkan itulah aku
terangsang lagi melihat payudaranya. Aku kenyot lagi dua buah toket besar itu.
Kubenamkan wajahku ke tengah payudara, kuhisap aromanya yang harum. Aku
kemudian menghadapkan tubuh ibuku miring ke tepi ranjang. Ternyata tepat di
depan bundaku ada kaca lemari. Sehingga aku bisa melihat tubuhnya di sana.
Penisku yang tegang lagi ingin mencari mangsa. Kuposisikan kepala penisku dari
belakang pantatnya. Karena masih basah, mudah sekali penisku masuk.
SLEB...Oh...kembali kedut-kedut vaginanya. Aku angkat sebelah kakinya,
sehingga aku bisa melihat dari kaca penisku masuk di sana. Aku lalu bergoyang
maju mundur, kuturunkan kaki bunda, tanganku beralih ke toketnya. Pantatnya
benar-benar membuatku terangsang hebat. Enak sekali.
Aku tak sadar siapa yang kusetubuhi sekarang. Yang aku inginkan adalah puncak
kenikmatan. Tapi aku tetap pada pendirianku jangan keluarkan di dalam.
Belum waktunya. Aku terus menggoyang pantatku maju mundur. Pantat bunda beradu
dengan selakanganku. PLOK...PLOK....PLOK, bunyinya sangat menggairahkan. Dan
sepertinya. Setiap kali aku ingin orgasme. Aku istirahat sebentar. Menciumi
bibirnya, ketiaknya, dan menghisap putingnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi.
"Duh bunda, maaf ya aku keluar lagi," aku langsung cabut penisku dan
kukeluarkan di pantatnya. Spermaku masih banyak aja. Enak rasanya penisku
sampai berkedut-kedut berkali-kali setiap spermaku muncrat keluar. Aku
istirahat sebentar sambil mengumpulkan tenaga. Ngilu sekali penisku. Aku lalu
bangkit membersihkan pantat bunda yang belepotan dengan spermaku.
Aku melihat jam dinding, oh tidak, setengah jam lagi bunda akan sadar, tak
sadar aku sudah lama ngentotin bunda. Aku bergegas memakaikan lagi pakaiannya.
Jilbabnya yang terkena sedikit sperma aku bersihkan juga. Aku memakaikan lagi
branya, tapi entah kenapa aku terangsang lagi. Maklum masih perjaka dan ada
mainan baru. Aku lalu melakukan titfuck. Dada bunda mengocok penisku, aku
melakukannya sambil sesekali menengok jam dinding, masih ada waktu, aku harus
cepat. Aku bantu payudara bunda untuk mengocok penisku, dan aku keluar lagi,
spermaku muncrat di belahan toket bunda. Tapi jumlahnya ndak sebanyak tadi,
karena mungkin sudah mulai kosong kantong produksinya. Aku segera bersihkan
cepat-cepat, kuposisikan tubuh bunda seperti tadi tidur, aku berpakaian lalu
keluar dari kamar bunda. Aku lalu mandi dan membersihkan diri.
Bunda terbangun setengah jam kemudian. Ia keluar kamar ketika aku masih
menghitung stok toko. Ia menggeliat.
"Kenapa bunda?" tanyaku.
"Entahlah, bunda koq tidurnya nyenyak ya? Tapi badan bunda pegel-pegel semua.
Seperti habis olahraga aja," jawab bunda. Tapi dalam hati aku senang sekali
karena tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Hari itu aku membantu menjaga toko sampai sore. Dan setelah itu aku habiskan
waktuku di kamar sambil melihat foto-foto hasil ngentotku dengan bunda tadi.
Aku melakukan coli berkali-kali sampai penisku ngilu dan lemas. Malam itu aku
tidur nyenyak sekali, entah berapa banyak tissu yang kuhabiskan yang jelas aku
baru sadar tissue di meja kamarku tinggal sedikit sekali.
Hari-hari setelah itu aku jadi berbeda. Siang hari setelah aku pulang sekolah,
aku menyiapkan teh hangat untuk bunda, kemudian pasti ia mengantuk dan tidur.
Setelah itu aku pasti ngentotin beliau seperti sebelum-sebelumnya, dan kini
aku tidak takut lagi seperti dulu. Tapi aku tak melakukannya setiap hari,
hanya kalau ada kesempatan saja. Dan itu tidak pasti atau jarang. Kalau aku
sedang kepingin saja. Kalau tiap hari bisa bikin bunda curiga. Aku ingin
bercinta dengan bundaku dalam keadaan sadar, karena aku setiap ngentot dengan
bundaku selalu aku dengar rintihannya memanggil-manggil aku dalam mimpinya. Ia
seperti membayangkan ngentot dengan aku. Ini tanda tanya besar. Dan itu
terjawab ketika aku melihat rekaman di kamar mandi pada suatu siang setelah
aku pulang dari ujian di sekolah.
Aku melihat rekaman video bunda mastrubasi dengan jarinya di kamar mandi. Ia
mengocok-ngocok memeknya, sambil berkali-kali memanggil namaku. Kenapa? Apakah
ia mengalami "mother complex"?? Setelah ia mengeluh panjang, ia lalu menutupi
wajahnya sambil menggumam.
"Kenapa dengan aku? kenapa? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku menginginkan
anakku sendiri?" DEG....betapa kagetnya aku mendengar pengakuan bundaku
sendiri dari rekaman itu. Ternyata benar, bunda menginginkan aku. Aku jadi
ingin saja ngentotin dia setelah ini. Obsesiku kepada ibuku sendiri makin
besar. Terlebih ketika tahu bahwa bunda masih haidh, masih produktif berarti.
Malamnya bunda sedang menghitung-hitung penghasilan. Kami di rumah sendirian.
Nuraini ikut mabid atau apalah namanya. Kak Vidia juga sedang nginap di
kampus ada kegiatan apa gitu. Aku sedang menonton tv sambil sesekali mengamati
bunda, mengamatinya saja bikin aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan
tegangnya penisku.
"Bunda, bunda capek kayaknya, ndak istirahat?" tanyaku.
"Nanti dulu Don, masih kurang dikit lagi," katanya.
"Kalau bunda capek, aku menawarkan diri untuk mijitin bunda kalau tidak
keberatan," kataku.
Bunda tersenyum renyah kepadaku. Ia kemudian masih melanjutkan pekerjaannya.
Hingga kemudian acara tv selesai dan aku mematikan tv. Bunda kemudian duduk di
sampingku. Aku hampir aja beranjak.
"Lho, katanya mau mijitin bunda?" tanyanya.
"Oh jadi toh?" kataku.
"Iya dong," katanya.
Bunda kemudian membelakangiku. Aku lalu mulai memijitinya. Ia masih memakai
kerudungunya yang lebar. Aku mulai memijiti pundaknya.
"Oh, enak sekali Don, pinter juga kamu memijat," katanya.
"Siapa dulu dong," kataku.
Aku berinisiatif kalau malam ini aku harus bisa ngentot ama bunda. Aku pun
mulai pembicaraan.
"Bunda, boleh tanya?" tanyaku.
"Tanya apa?" tanyanya.
"Doni waktu itu lupa sesuatu, trus pulang lagi ke rumah. Nah, Doni mendengar
bunda manggil-manggil nama Doni di kamar mandi sambil merintih, emangnya
kenapa itu bunda?" tanyaku.
Bunda terkejut. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung mau jawab apa. Ia pun
bertanya balik, "Kapan itu?"
"Beberapa waktu lalu, emangnya bunda ngapain sih di kamar mandi?" tanyaku.
"I...itu...nggak ada apa-apa koq," jawabnya.
"Tapi koq, manggil-manggil nama Doni?" tanyaku.
Bunda terdiam. Aku lalu memeluk bunda dari belakang. Dari situlah aku tahu
bahwa jantung beliau berdebar-debar. Bunda lalu bersandar di dadaku. Matanya
berkaca-kaca. Ia lalu menutup wajahnya.
"Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq. Mungkin
wajah Doni mirip ama ayah," kataku.
Bunda lalu terisak, kami berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak
berani melihat wajahku. Ia terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang
panjang. Cukup lama ia bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai
memberanikan diri untuk melihat wajahnya.
"Maafkan bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengan
sentuhan ayahmu," katanya.
"Boleh Doni minta sesuatu bunda?" tanyaku.
"Apa itu?" tanyanya.
"Doni ingin mencium bunda," kataku.
Ia tersenyum, "Boleh saja, kenapa memangnya?"
"Tapi bukan di pipi, di sini," kataku sambil menyentuhkan telunjukku di
bibirnya.
"Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan kekasihmu," kata
bunda.
"Sekali saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please....sekali saja,"
kataku.
Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang
sekali, tersenyum. YES! dalam hatiku.
Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bundaku tarik ke arahku dan bibirku
menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel, selanjutnya aku mulai menghisap
bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami berpanggutan. Nafas bunda mulai
memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.
"Tidak Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh
beginian," katanya.
"Lalu kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?" tanyaku.
"Kamu tahu?" tanyanya.
"Iya, Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?" tanyaku. "Sampai berfantasi
ama Doni."
Ia tak menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba
lagi. Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku
disambut. Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpanggutan,
nafas ibuku makin memburu.
Aku lalu menarik wajahku lagi, "Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak ada
yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya tahu."
"Tidak Don...hhmm...", bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata.
Ia berusaha mendorongku. "Sudah Don, sudah....bunda ndak mau, ingat kita ibu
dan anak."
"Lalu kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?" tanyaku lagi. Kucium lagi
bibirnya.
"Itu...hmmmm...itu....itu karena bunda khilaf, maafin bund...hhmfff," bunda
tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari luar
gamisnya. Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi.
"Baiklah,..baiklah...bunda memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu,
ayo ngentotin bunda! Sekarang!" katanya. "Buka bajumu!"
Aku lalu menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku
mengurungkan niatku. Aku berdiri. "Maafin Doni bunda. Maaf!"
Aku mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur
aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak
kutanggapi, aku pun tertidur.
***
Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan
karena ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos.
Aku terkejut dan mematung.
"Doni!!??" bunda terkejut.
"Oh, maaf bund," aku segera menutup pintu kembali. Untuk beberapa saat aku
diam di depan pintu kamar mandi. "Biasanya DOni mandi duluan, ndak tau kalau
bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci sih."
"Kamu mau mandi?" tanyanya. "Masuk aja!"
"Lho, bundakan di dalam," kataku.
"Gak papa, sama bunda sendiri koq malu?" katanya.
Aku agak ragu, tapi kemudian aku pun masuk. Bunda melirikku sambil tersenyum,
"Ndak usah malu, copot sana bajunya."
Aku pun mencopot seluruh pakaianku. Bunda menyiram badannya di bawah shower.
Terus terang hal itu membuatku terangsang banget. Penisku langsung menegang.
Dan setan pun masuk ke otakku, aku melihat bundaku seperti seorang bidadari,
segera aku memeluknya dari belakang, penisku yang sedang tegang maksimal
menempel di pantatnya.
"Bunda, maafin Doni, tapi Doni ndak tahan lagi!" kataku. Bunda terkejut dengan
seranganku. Aku meremas-remas toketnya, kupeluk erat bunda.
"Doni...sabar Don, sabar!" kata bunda.
"Tapi, aku tak mau melepaskan bunda," kataku.
Bunda mematikan shower, kemudian membelai tanganku. Aku menciumi lehernya dan
menghisapnya dalam-dalam.
"Oh, Doni...anak bunda sekarang sudah besar....," katanya. Tangan satunya
tiba-tiba menyentuh kepala penisku. Penisku yang sudah tegang itu dipegangnya,
makin tegang lagi, lebih keras dari sebelumnya. Kemudian bunda mengocoknya
lembut. "Kamu ingin ini kan?"
Aku mengangguk.
"Bunda tahu koq, kamu kan anak bunda," katanya. "Lepasin bunda sebentar."
Aku lalu melepaskan pelukanku. Bunda berbalik, tinggi kami hampir sama, tapi
aku lebih tinggi sedikit. Matanya menatapku lekat-lekat.
"Bunda, mengakui punya hasrat kepada anak bunda sendiri. Bunda tidak bohong.
Itu semata-mata bunda rindu dengan belaian ayahmu. Dan bunda selama ini juga
takut untuk bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi...bunda berpikir
keras, apa jadinya kalau bunda berhubungan dengan anak sendiri, itu kan
tabu...tapi bunda merasa nyaman bersamamu, hanya denganmu bunda sepertinya
ingin, bukan lelaki lain. Dan bunda juga butuh itu," kata bunda sambil terus
mengocok lembut otongku yang udah tegang max.
Aku makin keenakan tak konsen apa yang diucapkan olehnya, tapi ketika ia
berlutut di hadapanku dan menciumi kepala penisku, aku baru yakin dan ini
bukan mimpi. Bunda mengoral penisku.
"Oh bunda," kataku.
"Bunda akan berikan sesuatu yang engkau tak pernah sangka sebelumnya," kata
bunda. Ia lalu menjilati kepala penisku. Lubang kencingku dijilati seperti
kucing. Kedua tangannya aktif sekali, yang satu meremas-remas telurku yang
satunya mengocok-ngocok penisku. Penisku yang sudah tegang makin tegang saja.
"Bunda,...bunda...enak sekali," kataku.
Lidah bunda menjelajah seluruh permukaan penisku yang tanpa rambut itu. Bunda
menjilati pinggiran kepala penisku, membuatku lemas saja. Lalu seluruh
batangku dijilatinya. Kemudian dimasukkanlah kepala penisku ke mulutnya. Ia
kemudian perlahan-lahan memaju mundurkan kepalanya. Penisku yang besar itu
makin masuk ke rongga mulutnya. Ia kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku
makin lemas. Lemas keenakan.
Bunda lalu mengusap-usap perutku, sesekali meremas-remas pantatku, tanganku
pun secara otomatis meremas rambutnya. Kalau misalnya ini film bokep aku pasti
sudah coli. Tapi ini tak perlu coli karena ada yang bertugas mengocok penisku
di bawah sana. Dengan mulutnya dan oh...lidahnya menari-nari mengitari kepala
penisku, aku benar-benar keenakan.
"Bunda...oh...enak banget, udah bunda,
bunda....Doni...kelu...aaaaarrrr.. AAAAHHHH!" aku keluar. Spermaku tak bisa
ditahan lagi. Bunda makin cepat memaju mundurkan kepalanya, penisku seperti
ingin meledak dan SRETTT CROOOTTT CROOOOTTT, entah berapa kali aku menekan
penisku ke kerongkongannya sampai ia agak tersedak. Spermaku banyak sekali
muncrat di dalam mulutnya.
Bunda mendiamkan sebentar penisku hingga tenang dan tidak keluar lagi. Ia lau
menyedotnya hingga spermanya tidak keluar lagi. Ia lalu mengeluarkan penisku.
Ia menengadahkan tangannya, kemudian ia keluarkan spermaku. Mungkin ada kalau
5 sendok makan. Karena pipi bunda sampai seperti menyimpan banyak air di
mulutnya.
"Banyak banget spermamu," Bunda lalu menciumi baunya. "Baunya bunda suka."
Bunda lalu berdiri menyalakan shower. Membersikan mulut dan tangannya.
"Mandi bareng yuk," kata bunda.
"I...iya," kataku.
Kami pun mandi bersama. Pertama bunda menyabuni tubuhku. Dari dadaku, perutku,
punggungku, kakiku dan penisku pun disabuni. Penisku tegang lagi.
"Ih...masih ingin lagi," kata bunda sambil menyentil penisku.
"Habis, bunda seksi sih," kataku.
Bunda tersenyum. "Nanti ya, habis ini."
Aku pun bergantian menyabuni bunda. Saat itu mungkin aku bukan menyabuni, tapi
membelainya. Aku jadi tidak malu lagi untuk mencumbunya. Aku menggosok
tubuhnya. Punggungnya aku sabuni, ketiaknya, dadanya aku pijat-pijat,
putingnya aku pelintir-pelintir, ia mencubitku.
"Anak Nakal! Ibu nanti jadi terangsang. Sebentar, sabar dulu," katanya.
Aku tak peduli, shower aku nyalakan untuk membersihkan sabun-sabun di tubuh
kami. Aku memanggut bibir bunda. Kemudian aku menetek kepada bunda, kuhisapi
putingnya.
"Don, di kamar bunda aja yuk," katanya. "Mumpung Vidia sama Nur belum pulang."
Aku mengangguk.
Bunda mengambil handuk dan membersihkan air di tubuhnya, aku pun melakukannya.
Dan agak mengejutkannya aku segera membopongnya.
"Eh...apa ini?" ia terkejut.
"Doni, ndak sabar lagi," kataku.
"Oh...anak bunda, jiwa muda," katanya.
Kami keluar dari kamar mandi, aku masih telanjang, demikian juga bunda. Kami
lalu masuk ke kamar bunda. Segera bunda aku letakkan di ranjang, kamar aku
kunci. Bunda segera mulutnya kupanggut, kuciumi lehernya, payudaranya pun aku
hisap-hisap. Kuremas, putingnya aku pelintir-pelintir, kuputar-putar, bunda
menggelinjang. Ia remas-remas rambutku. Kuhisap buah dadanya yang putih dan
ranum itu hingga membentuk cupangan. Cupangan demi cupangan membekas di buah
dadanya.
"Nak...ohh....bunda terangsang banget," katanya.
"Bunda, ohh..", aku menciumnya lagi.
Sekarang aku turun ke perutnya, lalu ke tempat pribadinya. Aku tak tinggal
diam, segera aku ciumi, aku jilati, aku sapu memeknya yang basah sekali itu.
"Ohhhh...., Donn.....i...itu....aahhh...," bunda menggelinjang. Kakinya
terbuka aku memegangi pahanya. Kulahap habis itu memeknya, klitorisnya pun aku
jilati, hal itu membuatnya menggelinjang hebat.
Nafas Bunda mulai memburu. Ia meremas-remas rambutku, ketika aku menuju titik
sensitifnya ia semakin menekan kepalaku. Aku pun makin semakin menekan
lidahku, hal itu membuatnya bergetar hebat.
"Don...bunda...bunda keluar...aaahhhh.....ahhhh....ahhhhhhhh!!" pinggul bunda
bergetar. Sama seperti orgasme-orgasme sebelumnya. Aku pun segera bangkit,
melihat reaksi bunda. pahanya menekan pinggangku. Saat itulah penisku sudah
menegang, siap untuk masuk ke sarangnya.
"Bunda...bunda siap?" tanyaku.
"Masukkan...masukkan! Bunda sedang orgasme," katanya.
Aku pun memposisikan penisku tepat di depan lubangnya, kugesek-gesek, bunda
lalu mengangkat kepalanya. Matanya memutih, saat itulah pinggulnya naik dan
penisku masuk begitu saja. BLESS!!!
"Ohhhh.....!" mulut bunda membentuk huruf O, menganga merasakan sesuatu yang
selama ini ia inginkan. Ia memelukku, dada kami beradu dan aku memanggutnya.
Bunda merebahkan dirinya lagi. Aku menindihnya. Aku peluk bundaku.
"Bunda, Doni masuk lagi. Masuk lagi ke tempat Doni lahir," kataku.
"Doni...ohh....iya, iya,....sudah masuk, rasanya penuh....ohhh," kata bunda.
Aku lalu menaik turunkan pantatku. Penisku otomatis menggesek-gesek rongga
vaginanya yang becek. Kami berpandangan, mata kami beradu. Pinggul bunda
bergerak kiri-kanan membuat penisku makin enak.
"Bunda, bunda...ohh....perjaka Doni buat bunda....ohh...enak bunda....bunda
apain penis Doni?" tanyaku sambil melihat matanya.
"Anakku, ohh....bunda enak banget, kepingin keluar lagi, ohh....bunda ndak
pernah keluar berkali-kali seperti ini....ohh...aahhh....sshhh," bunda
menatapku lekat-lekat. Kening kami menempel. Bibir kami saling mengecup
berkali-kali.
Tak hanya di situ saja, aku sesekali menghisap puting susunya. Keringat kami
setelah mandi keluar lagi. Tubuh bundaku yang seksi ini membuatku makin
bersemangat untuk menyetubuhinya. Bunda....aku ingin menghamilimu.
"Bunda...ohhh...keluar ....ahh...ahh...di mana?" tanyaku.
"Ohh....ahh..ahh, terserah Doni," kata bunda. "Tapi...ohh...jangan di
dalam...di luar aja...bunda takut hamil....."
"Maaf bunda, tak bisa, Doni ingin menghamili bunda. Bunda, Doni
sampai....Sperma perjaka Doni buat bunda.....ini...ini...!!"
"Jangan...jangan.....Doni....ahhh...aduh...bun da juga
keluar.....sama-sama...tapi...ahkhh...jangan di dalam....ahhhhhhhhhhh!" bunda
mengeluh panjang.
Aku mencium bunda bibir kami bertemu dan pantatku makin cepat bergoyang dan di
akhirnya menghujam sedalam-dalamnya ke rahim bunda. Spermaku memancar seperti
semprotan selang pemadam kebakaran. Kutumpahkan semua kepuasan ke dalam
tempatku dulu dilahirkan. Mata bunda memutih. Pantatnya bergetar hebat karena
orgasme. Ia mengunci pinggulku, aku menindihnya dan memeluk erat dirinya
sambil menciumnya. Entah berapa kali tembakan, yang jelas lebih dari sebelas.
Karena saking banyaknya orgasme itu berasa lama. Memek bunda berkedut-kedut
meremas-remas penisku, aku masih membiarkan penisku ada di dalam sana.
Butuh waktu sepuluh menit hingga penisku mengecil sendiri, dan kakinya
melemas. Aku pun kemudian bangkit. Bunda tampak lemas, ia seakan tak berdaya.
Penisku serasa ngilu. Aku melihat ke vaginanya. Tampak cairan putih menggenang
di dalam lubang vaginanya. Aku tersenyum melihatnya. Aku kemudian merebahkan
diri di sebelah bunda. Kemudian bunda memelukku, kami pun tidur terlelap.
Siang hari kami terbangun. Aku dulu yang terbangun. Melihat tubuh bundaku
telanjang memelukku membuatku terangsang lagi. Aku menciumi bibirnya. Bunda
masih tertidur. Aku lalu menggeser badanku, kemudian bangkit. Penisku sudah on
lagi, mungkin karena melihat tubuh bundaku. Aku kemudian membuka pantatnya
mencari lubang vaginanya. Kemudian segera saja aku masukkan. SLEB...bisa
masuk! Masih basah. Mungkin karena sebagian spermaku masih ada di dalam sana.
Aku pun menggoyang-goyang. Maju mundur. Posisiku berlutut sambil bertumpu
kepada kedua tanganku. Pinggulku mengebor pantatnya. Bunda membuka matanya, ia
tersenyum melihat ulahku.
"Dasar anak muda, ndak ada puasnya," katanya.
"Bunda...Doni enak bunda....," kataku.
Bunda cuma diam melihatku. Aku sesekali meremas toketnya. Aku goyang terus
sambil kulihat wajahnya. Bunda memejamkan mata, mulutnya sedikit terbuka,
mengeluh pelan.
"Bunda, enak banget.....hhhmmmmhh....keluar...Doni keluar lagi bunda...."
kataku. "Pantat bunda enak banget."
"Doni...ahhh....aaaaahhh...bunda juga...koq bisa ya??" kata bundaku.
Tangannya menarik tanganku, aku berlutut sambil menghujamkan sekeras-kerasnya
ke memeknya. Aku pun keluar lagi. Tapi tak seperti tadi. Kali ini cuma lima kali tembakan,
tapi begitu terasa. Setelah itu aku mencabut penisku dan ambruk.
"Bunda, Doni cinta ama bunda," kataku.
"Cinta karena nafsu, kamu bernafsu dengan bunda, makanya seperti ini,"
katanya.
"Tapi bunda juga bukan?" kataku menyanggah.
Bunda diam.
"Bunda tidak bangun? Tidak buka toko?" tanyaku.
"Toko tutup dulu, kemarin ibu bilang ke Mbak Juni untuk tutup dulu," kata
bunda. "Bunda ingin istirahat dulu. Badan bunda serasa sakit semua, sebab
sudah lama tidak bercinta lagi."
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, Doni pergi dulu," kataku.
"Ke mana?" tanyanya.
Aku terdiam.
"Ke mana?" tanyanya lagi.
"Bunda merasa kehilanganku? Berarti bunda juga mencintaiku," kataku.
Ia mencubit perutku.
"Maunya," katanya. Kami berpanggutan sebentar untuk beberapa lama sebelum
kemudian aku meninggalkan kamar bunda tanpa baju.
*****
Setelah itu, hubunganku dengan bunda berjalan sembunyi-sembunyi. Bunda sering
dan selalu melarangku untuk mengeluarkan spermaku di dalam rahimnya, tapi aku
tak peduli. Kalau ada kesempatan, saat itulah kami bercinta. Di dapur apalagi.
Dan itu pengalaman yang sangat mendebarkan. Bunda bertumpu kepada wastafel.
Dan aku menyodoknya dari belakang. Kami melakukan fast-sex karena saat itu Kak
Vidia dan Nuraini ada di rumah. Bahkan terkadang kami mencicil hubungan sex
kami ketika Kak Vidia dan Nuraini bolak-balik ke dapur.
Belum, bunda belum hamil. Ia masih menstruasi. Tapi nanti ada saatnya beliau
hamil. Karena aku yang memaksanya. Tapi itu nanti. Sekarang beralih ke Kak
Vidia.
KAK VIDIA
Sebagai seorang aktivis di kampus, kak Vidia selalu memakai jilbab lebar.
Bahkan terkadang ia curhat juga kepadaku. Karena saking baiknya terkadang aku
masih diperlakukan seperti anak kecil. Namun melihatku yang sangat berbakti
kepada bunda, hal itu membuatnya menjadi iri. Ia ingin bisa juga berbakti tapi
karena ia masih kuliah, ia pun menyadari bahwa ia tak bisa sepertiku. Makanya
ia sangat menghormatiku. Apapun yang aku inginkan pasti diturutinya.
Seandainya saja ia mau melepas keperawanannya untukku.
Well, jatah kloroformku masih banyak koq. Tapi kayaknya aku tak kan
menggunakannya lagi. Bukan untuk kak Vidia.
Bunda sekarang mulai rajin senam, padahal tubuhnya masih bagus lho. Buah
dadanya juga masih padat, kulitnya masih mulus. Tapi hal itu semata-mata ingin
mengimbangiku di ranjang aja katanya. Aku bebas menginginkan bundaku kapan
saja. Bagaimana awal mula aku dengan Kak Vidia?
Awalnya adalah aku harus menemaninya naik gunung. Nah lho? Yup, karena ia
adalah seorang aktivis maka aku harus menemaninya. Muhrimnya bo'. Awalnya aku
menolak, tapi ia bilang, "Aku belum punya suami, dan kamu adikku!"
Yah, jadinya aku ikut deh. Acara naik gunung itu merupakan acara ekstra
kampus. Kami terpisah jadi beberapa group. Aku pun berkenalan dengan
teman-teman kakakku, terutama yang cewek dong. Mengetahui hal itu malah aku
dijewer ama kak Vidia. Tingkah polah kami memang kekanakan kalau bersama-sama.
Hal itu membuat hiburan tersendiri bagi teman-temannya. Karena tak biasanya
kakak adik seakrab itu.
Nah, ketika malam harinya setelah acara api unggun. Kak Vidia memanggilku. Aku
yang sedang ngobrol dengan teman-temannya menghampirinya.
"Ada apa kak?" tanyaku.
"Aduh, kebelet pipis nih!" katanya. "Anterin dong."
"Waduh...." kataku.
"Koq waduh, kayak kita bukan saudara aja," katanya. "Tolong anterin! Masak aku
minta anak cowok lain?"
"Iya deh, iya deh," kataku.
Kami berdua pun menjauh dari kemah. Agak jauhan dikit sih tapi itulah sialnya.
Aku lupa jalan. Kak Vidia membawa tissu. Kemudian ia bersembunyi di balik
pohon. Aku cuma bawa senter saja. Setelah beberapa saat kemudian, kak Vidia
selesai.
"Udah, balik yuk!" katanya.
"Yuk!" kataku.
Nah, saat itulah aku lupa arah.
"Sebentar tadi kita ke kanan atau ke kiri?" tanyaku.
"Waduh, aku ya mana tau? Kamu gimana sih?" tanyanya panik.
"Ya udah, kita ke kanan aja," kataku.
Kami pun ke kanan. Karena ini bukan jalan setapak, tapi rerumputan dan semak
belukar, kami pun bingung. Setelah lama berjalan, kami makin jauh masuk ke
dalam hutan. Perfect. Mana malam hari lagi.
"Lho, koq makin jauh ke hutan?" gumamku.
"GImana sih? Tersesat kaaaan?????" katanya.
"Sebentar...balik lagi yuk," kataku. Aku pun berbalik lagi. Kami
berputar-putar hingga tak tahu arah. Saat itulah aku pun makin sadar bahwa
kami makin tersesat.
"Bagus, sekarang kita makin tersesat," kataku.
"Aduh...gimana dong?" tanyanya.
"Aku ndak bawa Handphone nih," kataku.
"Aku juga, tapi di sini mana ada sinyal dodol!" katanya.
"Eh, situkan yang suruh dianterin, mana aku tahu kalau kita nanti bakal
tersesat?" kataku.
"Wooooiii!!" teriak kakakku.
"SSSTTTT!!" kataku.
"Apa sih? Biar ada orang yang denger tauk!" katanya.
"Bego ya kamu? Kalau kamu teriak-teriak, siapa yang akan datang? Kita ini di
hutan! Ingat itu!" kataku.
Kak Vidia menangis. Ia memelukku.
"Koq jadi begini???" tanyanya. Ia menangis tersedu-sedu, "Bunda, Vidia mau
pulang."
"Udah ah, koq nangis sih? Kita cari sungai saja. Biasanya kalau ada sungai
maka kita tinggal ikuti aja muaranya pasti akan ketemu peradaban," kataku.
Aku mencoba menghibur kak Vidia. Akhirnya ia berhenti menangis. Kami pun
berjalan lagi, membelah hutan, tanpa arah. Akhirnya kami menemukan suara yang
deras. AIR TERJUN!
Tapi karena malam hari, kami tak tahu apapun dan bagaimana pemandangannya.
Hanya nyala senter saja yang bisa menerangi sekarang ini. Kemudian saat itulah
aku melihat sebuah gua. Lho? Ada gua?
"Lihat, ada gua!" seruku. "Kita istirahat di situ saja dulu. Besok kita
lanjutkan. Ini sudah malam dan dingin banget."
Kabut pun makin tebal. Kak Vidia dan aku masuk ke gua itu. Cukup bersih. Gua
itu ada di sebelah air terjun. Kak Vidia duduk di dalam gua, aku mencari kayu
bakar dan mencoba menyalakan api. Cukup susah payah agku melakukannya sampai
kemudian aku pun bisa menyalakannya. Untung saja aku membawa korek api. Paling
tidak malam ini jadi tak begitu dingin.
Aku duduk bersandar di dinding gua sambil menjaga api agar tetap hangat. Saat
itulah kak Vidia tampak menggigil. Sebenarnya aku juga menggigil. Aku pun
mendekat ke kakakku dan memeluknya. Kami pun berpelukan erat untuk mengusir
dingin.
Malam makin larut. Api mulai menghangati ruangan gua.
"Aku takut Don, ndak ketemu bunda lagi," katanya.
"Jangan gitulah, besok kita pasti akan tahu jalan pulang. Karena percuma kalau
sekarang kita paksa juga, ndak tau jalan. Kalau saja kita tahu arah utara,
mungkin kita bisa pulang, karena kalau terus ke utara kita akan ketemu posko
pintu masuk tadi," kataku.
Kak Vidia mengangguk. Api mulai mengecil, kayunya pun mulai habis. Aku makin
erat memeluk kak Vidia. Kak Vidia juga makin erat memelukku. Dan...apinya
padam. Hawa dingin mulai menusuk lagi.
"Kak, sebaiknya kak Vidia aku pangku saja," kataku.
"Ih, ogah ah, Kenapa memangnya?" tanyanya.
"Biar hangat, coba deh sini," kataku.
Kak Vidia pun mengikutiku. Ia duduk di pangkuanku. Trus memelukku, "Begini?"
"Bukan, buka baju kakak bagian atas!" kataku.
"Kamu gila ya? Aku ini kakakmu jangan macam-macam!" katanya.
"Kita ini darurat, aku janji deh ndak macam-macam. Ikuti saja!" kataku.
Kak Vidia ragu. Ia berpikir. Sambil giginya gemertuk.
"Ya udah deh, tapi ingat jangan macem-macem ya!?" katanya.
Ia membuka kancing bajunya. Aku tak bisa melihatnya karena gelap. Aku pun
membuka bajuku yang atas.
"Sudah," katanya.
"Peluk aku," kataku.
Ia pun memelukku.
"Eh, tunggu!" kataku. "Branya dicopot juga dong!"
"Kamu udah gila ya?"
"Kak, kita perlu menghangatkan diri pakai tubuh kita, kakak mau mati
kedinginan di sini?" tanyaku.
Ia pun akhirnya luluh juga. Dicopot pengait branya. Kemudian ia naikkan
branya, sehingga buah dadanya terekspos. Sayangnya gelap. Aku tak bisa jelas
melihatnya. Sementara yang di bawah sana tak bisa diajak kompromi. Langsung
tegang.
"Sekarang peluk aku!" kataku.
Dan kami pun berpelukan, tanganku masuk ke dalam bajunya. Tangan kakakku juga
masuk ke dalam bajuku. Kami saling mendekap erat untuk memberikan kehangatan. Dadaku beradu dengan
buah dadanya. Aku bisa merasakan putingnya yang mengeras karena dingin menekan
dadaku. Dan, yang agak mengejutkan adalah selakangan kami saling
menempel. Tentu saja kakakku merasakan sesuatu di bawah sana.
"Dik, jangan macem-macem ya, ingat aku kakakmu," katanya.
"Iya, aku mengerti kak, tapi akukan juga lelaki normal," kataku.
Lama kami berpelukan seperti itu. Dada kami mulai menghangat.
"Mulai hangat dek," kata Kak Vidia.
"Iya," kataku.
"Kak Vidia, maaf ya. Aku melakukan ini," kataku.
"Tidak mengapa. Kakak ngerti koq," katanya.
Saat itulah, entah kenapa aku menggosok-gosok punggung kakakku. Dia juga
demikian. Aku masih ingat warna pink puting kakakku. Setan pun datang. Aku
berdebar-debar. Kak Vidia bisa merasakan debaran jantungku. Dia juga demikian.
"Baru kali ini kakak beginian dengan lelaki, rasanya nyaman," katanya.
"Kak, boleh Doni memegang dada kakak?" tanyaku.
"Dek, ingat aku kakakmu," katanya.
"Iya, aku tahu, sebentar saja kak. Doni ndak pernah megang punya wanita,
kepengen aja. Gakpapa kan? Kita juga kan pernah mandi bersama dulu," kataku.
"Tapi kan itu kita masih kecil," katanya.
"Boleh ya kak, sebentar saja," kataku.
Kak Vidia ragu. Ia takut membuatku marah akhirnya tak bisa menghangatkan diri
lagi dan bisa mati kedinginan. Ia pun bilang, "Iya, sebentar saja ya."
YeS pikirku.
Tanganku pun bergerak memegang buah dada yang sejak dulu ingin aku pegang dari
dulu. Pertama aku cuma memegang saja, selanjutnya, aku meraba, mengusap, dan
memijatnya lembut. Penisku makin tegang aja di bawah sana. Putingnya yang
berwarna pink itu aku pencet-pencet.
"Dek...udah...jangan....!" katanya.
Aku terus melakukannya, merempon istilahnya. Sambil sesekali
memelintir-melintir. Kak Vidia mulai gelisah. Kalau ia lepas pelukannya, maka
ia takut, kalau ia biarkan, maka aku akan bebas melakukan apapun kepada
tubuhnya. Dan dugaannya tak meleset. Kak Vidia lalu mengeluarkan tangannya
dari balik bajuku dan memeluk leherku.
"Jangan dek....aku kakakmu!" rintihnya.
Tanganku bergantian meremas buah dadanya. Kiri kanan. Sedangkan tangan kiriku
mengusap-usap pantatnya dengan memasukkannya ke dalam roknya dan CDnya.
Ruangan gua makin panas. Kak Vidia dilema. Ia cuma membiarkanku melakukan hal
itu kepadanya. Aku lalu berhadapan dengannya, aku tak tahu raut wajahnya
seperti apa sekarang, tapi aku tahu tempat bibirnya di mana. Bibirku kemudian
menempel di bibirnya. Kak Vidia makin pasrah. Ia membiarkan lidahku
menari-nari di dalam mulutnya menghisap lidahnya, menyapu langit-langitnya.
French Kiss itu membuat Kak Vidia klepek-klepek.
"Kak, aku cinta ama kakak," kataku.
"Dek Doni..., jangan..hhhmmm," aku menciumnya lagi. Aku lalu turun ke dadanya,
kuhisap putingnya. Kujilati. Manis sekali. "Deeekk....oohhh...hhhmmm.."
Aku terus meremas, menciumi dan menyusu ke dadanya. Kak Vidia makin gelisah.
Kalau ia melepaskanku ia takut kedinginan. Akhirnya ia pun nekat, ia
mendorongku. Ia menjauh dariku.
"Adek, kenapa adek melakukan hal ini?" tanyaku.
Aku diam.
Cukup lama aku diam menunggu reaksinya. Kemudian aku merasakan ia meraba-raba
dalam gelap mencari kakiku. Ketika ia merasakan kakiku, ia pun memelukku.
"Maafkan kakak, karena salah kakak adek jadi begini," katanya.
Aku tak tinggal diam. Aku tak ingin melepaskannya lagi. Segera aku peluk dia,
kupangguti bibirnya. Ia gelapan. Aku baringkan dia di atas batu gua. Aku
kemudian menurunkan celana trainingnya, juga CDnya. Roknya aku naikkan.
Celananya sudah lepas dan aku melepaskan celanaku, aku segera turun ke sana
dan menghisap memek perawanya.
"Dek...jangaaan....aahhkk!" keluhnya.
Ia meronta-ronta, tapi tak ingin melepaskanku. Aku menjilati memeknya yang
bersih itu, tak ada bau kencing, bukti bahwa ia sangat bersih menjaga tempat
privasinya. Aku sapu lidahku di bibir vaginanya. Lalu aku jilat-jilat seperti
kucing, kucolok-colok di lubangnya. Dan yang terakhir aku hisap klitorisnya.
Klitoris kakakku ini lebih besar dari punya bunda. Aku hisap hingga pinggulnya
terangkat.
"Deekk...enak...kakak enak..." katanya.
Aku mengulangi lagi "memakan" daging kenyal itu. Kuhisap-hisap, dan
kutekan-tekan lubang itu dengan lidahku. Klitorisnya aku mainkan, kuhisap,
kujilat dan kupijat-pijat dengan bibirku. Kak Vidia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Dek...kakak mau pipis....kakak mau pipis....maaf dek....pipiiiiiiiissss!!"
kata kak Vidia.
Benar saja, kak Vidia banjir. Ia orgasme. Aku mengisapnya. Beberapa lendir itu
kuminum. Agak hangat dan asin. Aku membersihkan bibirku. Kak Vidia lemas di
atas batu gua. Aku tersenyum. Kuposisikan penisku. Kuangkat pantatnya. Penisku
pun mulai masuk perlahan....perlahan...Kepalanya masuk, tapi susah.
"AAhhkkk...deekk...sakit....jangan!" katanya. Tangannya meraba memeknya dan
mendorong perutku. Tapi tak begitu kuat. Aku dorong lagi. Jemarinya menyentuh
penisku. Memeknya berkedut-kedut, seolah-olah menyedot-nyedot punyaku.
Aku tarik lagi kemudian dorong, pelan-pelan. Tarik dorong-tarik dorong. Setiap
aku dorong tubuhnya bergetar, kudorong, bergetar lagi dan...SREETTT...aku
seperti merobek sesuatu dan tiba-tiba seluruh penisku masuk semua.
"Adeeeekk.....oooohhh....," ia meraba penisku yang sudah masuk semua. "Kenapa
adek melakukan ini? Kenapa adek rela memerawaniku?"
"Kak, aku cinta ama kakak," kataku. Kemudian aku menggoyang. Aku menindih
tubuhnya. Ruangan itu menjadi panas. PLOK PLOK PLOK, suara selakangan kami
beradu. Rasa dingin sudah tak ada artinya lagi. Yang ada adalah usaha untuk
meraih kenikmatan bersama.
Awalnya kak Vidia mengeluh sakit dan perih. Tapi lama kelamaan ia cuma
mengeluh nikmat. Ah dan uh keluar dari mulutnya. Pikiran kami cuma ada nafsu.
Gua itu menjadi saksi bisu bagaimana kedua kelamin kami bersatu. Aku menghisap
putingnya lagi. Putingnya sangat mengeras. Aku yakin ia sangat menggairahkan
kalau aku bisa melihatnya. Aku masih membayangkan mulusnya dan putihnya kulit
kakakku dari video-video yang aku simpan.
Pantatku terus bergoyang hingga aku tak tahu lagi kapan aku bertahan dengan
posisi seperti ini, tapi aku makin cepat menggoyangnya.
"Dek, kakak mau keluar lagi. Kakak mau pipis," katanya.
"Kak, aku juga udah di ujung. Keluar bareng yuk," kataku.
"Jangan di dalam dek, plisss...jangan....," katanya.
"Ndak bisa kak, enak banget soalnya. OOOHHH....AAAHH," kataku.
"Dek....kamu brengseeekk....kakakmu sendiri dientot
....pejumu...pejumu...muncrat!!", katanya.
"Banyak kak, banyak banget!" kataku. "OH....memek kakak enak, seret, penisku
nagih kak....keluar....ooooohhhh!"
"Deek...adeku yang ganteng...jadi bapak anakku...ini masa suburku dek, aku
hamil...ohhh...hamil deh...aaaahhkkk!" rancaunya.
Satu, dua, tiga, empat, lima,....sepuluh kali semprotan. Spermaku banyak
banget memancar di rahimnya. Kami berpelukan erat sekali. Dan akhirnya, karena
kedinginan dan kelelahan, kami pun tertidur.
Sinar matahari membangunkan kami. Gua menjadi hangat. Kak Vidia terbangun
pertama kali, disusul aku. Ia melihat vaginanya yang mengeluarkan lendir putih
dan merah darah. Darah perawannya. Kak Vidia menoleh ke arahku, lalu ia
menamparku dengan keras.
"Kenapa? Kenapa adek melakukan ini?" tanyanya. "Adek sudah janji bukan?"
"Maafin adek kak," kataku. "Doni khilaf"
"Enak saja, khilaf. Kalau kakak hamil mau tanggung jawab?" tanyanya.
"Iya, aku akan tanggung jawab," kataku.
"Lalu bagaimana kalau sampai bunda tahu? Betapa malunya bunda," kata kakak
sambil menangis. Ia memeluk kakinya yang tak tertutup apapun itu. Aku lalu
memeluknya. Ia tak menolakku.
"Aku akan bertanggung jawab," kataku. "Mulai sekarang Doni yng jadi suami
kakak."
Kakakku diam. Ia cuma menangis. Tangisnya mulai berhenti ketika aku
mengusap-usap tubuhnya. Dan aku pun memanggutnya, kami berpanggutan lagi.
"Dek, sudah dek," katanya. "Kita pulang yuk!"
"Sekali lagi kak," kataku.
"Adekku...suamiku," katanya.
Aku menciumi bibirnya, kami lalu telanjang. Sinar matahari sudah masuk, kini
aku bisa melihat jelas tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Aku menciumi dan
menjilati lehernya yang jenjang. Wangi tubuhnya aku hirup. Dadanya aku
cupangi, ketiaknya aku hisap hal itu membuatnya menggelinjang hebat. Kami
memberikan usapan dan ciuman, serta hisapan. Bibir merah muda kakakku pun
menciumi tubuhku, putingku, leherku, bibirku, semuanya. Bahkan penisku pun
diciuminya.
Aku menuntunnya untuk menungging. Aku posisikan penisku tepat di bibir
vaginanya, aku dorong pelan. BLESS...masuklah semuanya. Aku lalu mulai
menggoyangnya. Kakakku merintih-rintih keenakan. Ia sepertinya tak terasa
sakit lagi. Aku menyodoknya sambil meremas-remas toketnya yang putingnya
berwarna pink itu. Cukup lama aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya
membentur-bentur selakanganku. Aku pun meremas-remas pantatnya, sambil kubelai
dengan kukuku punggungnya.
"Ampun dek, ampun, jangan! ahh...ahh....oh..." keluhnya.
"Kak, pantat kakak enak, memek kakak juga enak," kataku.
Aku terus memompa keluar masuk. Sepertinya waktu itu sangat lama. Aku bisa
menikmati setiap centi penisku menggesek kulit rongga vagina kakakku. Dan aku
terkadang menghujam sedalam-dalamnya, vaginanya benar-benar menyedot-nyedot
penisku. Aku kemudian berhenti. Kak Vidia tampak lemas. Saat penisku dicabut
ia menjerit kecil, "Aww.."
Ia terkulai, kubalikkan tubuhnya. Kubantu ia untuk bangun. Kusuruh ia duduk di
pangkuanku. Sebelumnya aku memposisikan kemaluanku masuk lagi ke dalamnya.
SLEB...SRETTT...lagi-lagi rongga vaginanya menghisap dan meremas penisku.
Oh...seperti inikah rasanya perawan itu. Kami sekarang berhadap-hadapan. Tak
ada rasa malu lagi. Ia masih memakai kerudungnya, tapi bawahnya polos.
"Aku cinta ama kakak," kataku.
"Ini cinta nafsu dek, ini ndak bener," katanya.
"Tapi kakak suka kan?" tanyaku sambil menekan pantatku ke atas.
"Ohh....adekku yang nakal, habis ini udah ya, kakak capek," katanya.
Aku lalu merebahkan diri. Ia duduk di atasku. Di posisi ini ia mengangkat
pantatnya naik turun, sesekali ia gerakkan maju mundur. Buah dadanya aku
remas-remas, ia memegangi tanganku.
"Ohh...dek, kakak hina sekarang....sekarang kakak seperti pelacur....
ohh,...kakak malu," katanya.
"Engkau pelacurku kak," kataku. "Oh...kak Vidia."
"Sebenarnya aku tak mau, tapi penismu dek, ohhh....bikin ketagihan. Kakak
ingin saja diperkosa kamu....hhhmmm...ohh....ahh," katanya.
"Terus kak, goyang!" kataku.
Kak Vidia menggoyang-goyangkan pantatnya, hingga makin lama makin cepat.
"Dek, kakak mau sampai...mau sampai...samp...." ia menutup mulutnya dengan
kedua tangannya dan kedua pahanya menghimpit pinggangku. Aku merasakan sesuatu
cairan membasahi penisku. Ia lalu ambruk di atasku.
Pinggulnya bergetar, merasakan nikmatnya orgasme yang baru saja ia raih. Aku
pun kemudian melepaskan kerudungnya, tampaklah sesosok wajah yang cantik.
Matanya jeli, bibirnya tipis dan lembut. Rambutnya panjang disanggul. Aku pun
melepaskan sanggul itu. Kini rambutnya terurai. Kak Vidia diam menikmati
sisa-sisa orgasme. Aku kemudian berguling. Kini bergaya misionari.
Mata Kak Vidia masih terpejam. Aku kemudian mulai bekerja lagi. Aku sedikit
berjongkok, Pahanya aku naikkan hingga lututnya sampai ke samping kepalanya,
dengan posisi ini aku lalu memompa penisku naik turun. Kak Vidia pasrah, ia
hanya menjerit nikmat ketika penisku menggesek-gesek rongga kemaluannya.
"Aaahhkkk....deekk...nikmatt banget..,terusss....," katanya.
Aku pompa terus keluar masuk. Kemaluannya yang gundul tanpa rambut membuatku
makin terangsang saja. Pagi-pagi kami sudah mandi keringat. Aku bisa melihat
peluh sebesar jagung di keningnya. Bahkan tubuhku pun basah oleh keringat.
Setelah itu tak berapa lama kemudian aku merasa ingin keluar. Aku posisikan
diriku menindihnya, berbaring. Kupeluk dan kucium dia. Pantatku naik turun
dengan cepat.
"Kak, aku keluar....ohh....kakk...kakkk, penisku mau nembak lagi," kataku.
"Deekk...hamili kakak dek,...ahhhkkkk....kakak pasrah...., tembak rahim kakak
ama pejuh angetmu!!" katanya.
"Kaaaakkk.....muncraaat!" kataku.
CROOOOTTT!!...CROOOTTT!! CROOOTT CROOOOTT CROOOOOTT CROOOT
Kedua bibir kami menyatu, rasanya kami semua melayang ke awan. Kakakku rela
menerima spermaku kali ini. Ia memelukku erat, kakinya mengapit dan mengunci
pinggangku. Spermaku terbenam semua di dalam vaginanya. Aku biarkan beberapa
saat penisku ada di sana. Meresapi kedutan-kedutan rongga kemaluan Kak Vidia.
Hingga kemudian penisku mengecil sendiri. Aku kemudian menariknya.
Tampak spermaku meleleh dari kemaluannya. Kak Vidia lemas. Ia mengatur
nafasnya, matanya terpejam pahanya terbuka. Aku lalu merebahkan diri di
sebelahnya.
***
Kami setelah itu membersihkan diri di air terjun. Tentu saja mandi keramas,
tapi tanpa shampoo. Dingin sekali airnya, setelah itu kami mengikuti arah
matahari, sehingga akhirnya sampailah kami di pos yang aku maksudkan.
Rombongan kami ternyata juga mencari kami. Kami kemudian bercerita bahwa kami
tersesat kemudian bermalam di gua. Insiden itu mengubah hidup kami berdua.
Kami seperti orang pacaran sekarang. Kak Vidia selalu manja kepadaku. Awalnya
bunda tidak curiga terhadap hal ini. Bahkan Kak Vidia sekarang berani untuk
tidur di kamarku, dan kami terkadang melakukannya lagi di kamarku.
Baiklah ini cerita Kak Vidia. Hubungan kami sangat rahasia sebenarnya. Aku dan
bunda masih melakukannya, juga dengan kak Vidia. Dan untunglah, kak Vidia juga
masih menstruasi. Tidak jadi hamil.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar