Silau cahaya matahari yang masuk menerangi kamar membangunkanku. Badanku terasa segar setelah “berkeringat semalam. “hmmmhh..”, Lena menggumam sambil memelukku. Ku kecup keningnya lembut membangunkannya.
“yang.. bangun.. udah pagi ni..?”, aku mengusap punggungnya. Ku lirik jam dinding bulat bergambar tengkorak bersayap kelelawar. Jam 8.30
“ehemmmhh.. hmmhhh..”, dia menggeliat malas membalik badannya memunggungiku.
“kamu ga mau bangun ni?”, aku bertanya lagi.
“emmmm...”, hanya gumam yang menjadi jawabannya.
Ku remas payudaranya dari belakang dengan lembut untuk membangunkannya. Bukannya malah bagun, Lena malah mendesah dalam gumam “hmmm.. emmhh.. emmhh...”.
Ku jilat leher dan ku permainkan putingnya. Desahannya semakin berat. Dada naik turun mengambil nafas. Penisku yang tegang sedari aku bangun karena HIV *hasrat ingin vivis, ku gesekan di pangkal pahanya. Karena nafsuku mulai naik, ku tidurkan badannya terlentang dan ku hisap putingnya. Aku berlutut di sebelah tubuuh mulus Lena. Tangan kananku turun mencari klitorisnya. Ku goyangkan jariku menempel klitorisnya. Matanya memejam, alisnya bertemu, mulutnya menyeringai lucu dan desahannya semakin erotis.
“shhhhh.. ssshhhh... uuhhhhhh”, semakin keras desahan Lena.
Ku hentikan aktivitasku karena ingin meliat reaksinya. Lena masi terlelap namun nafasnya naik turun bagaikan orang sehabis lari. Aku berpindah posisi di antara pahanya. Ku regangkan paha putih Lena dan ku gesekan penisku yang tegang di belahan vaginanya.
Kembali dia mendesah saat penisku menggesek bibir vagina dan klitorisnya. Bibir vaginanya licin oleh lendir kewanitaan. Kupegang penisku dan kupukul pukulkan di klitorisnya. “emhhh.. emhh.. emh..”, setiap penisku mengenai sasaran dia mendesah tertahan. Ku gesek penisku lagi dari klitoris menurun sebelum kumasukan.
“uuuhhhhhhhh.. “, Lena mendesah panjang saat ku masukan batangku lambat. Ada satu hal yang kusadari, otot vaginanya lebih mencengkram walaupun telah basah dan licin oleh lendirnya sendiri. Ternyata vagina wanita terasa lebih sempit di pagi hari. Suatu pelajaran yang bisa kupamerkan pada Erick si PK.
Kuangkat pinggul Lena dengan tanganku agar penisku masuk lebih dalam tertanam liang kenikmatan. Ku goyangkan pinggulku memuaskan hasrat.
“ahh ahh ahhh ahhh..”, desahnya walau nyawa belum terkumpul.
Kupencet kedua putingnya dengan jari telunjuk dan jempol. Kedua puting payudaranya tertarik seiring goyangan pinggulku.
“Ohhhhh..”, desahan pertamaku keluar akibat remasan otot vaginanya pada selutuh batang penisku. Ternyata tubuh Lena tetap bereaksi walaupun empunya sedang tertidur
“ahhh ahhh ahhh.. kamu ngapain? Ahhh..”, setengah sadar dia terbangun. Antara kaget dan keenakan.
Aku berhenti menggoyang saat penisku hampir lepas dari vaginanya.
“kamu ini lho pagi2 udah.. ahhhh..”, berniat memarahiku, Lena malah mendesah saat ku dorong pinggulku maju.
Tak ada protes lagi saat kembali ku goyang penisku maju mundur. Impuls saraf di dinding vaginanya memacu kerja otak, memerintahkan mulutnya mendesah lebih keras. Lena mulai menggoyang pinggulnya mengiringi tempo keluar-masuk penisku.
“kamu nungging”, perintahku singkat.
Lena membalik badannya pasrah, memperlihatkan bongkahan pantat, anus dan vaginanya dalam satu paket. Kepalanya bertumpu pada bantal, dengan kedua tangannya diregangkan kedua belah pantatnya seakan berkata “masukin cepet.. yang mana aja boleh...”.
Semalam ku masuki anusnya, namun tidak kali ini. Kutuntun batang kebanggaanku menusuk vaginanya. Terlihat jelas bibir vaginanya tertarik kedalam mengikuti arah tusukan penisku, menambah sensasi coitus di pagi ini. Doggy style memang posisi favorit bagi kebanyakan orang karena penis laki2 akan masuk sempurna ke dalam pubang kenikmatan wanita.
Ku goyangkan penisku maju mundur. Ada rasa ganjalan pada ujung kepala penisku. Seperti menabrak dinding empuk.
“ahhh.. ahh.. auww... ahhh... sakkiiittt yaaannggg...”, Lena menjerit diantara desahnya.
Segera kuhentikan goyanganku, “sakit yang?”, sku bertanya khawatir.
“iya sakit.. mules sampe ke perut... tapi enakk... hehehhe..”, jawabnya cengengesan.
Siaall!!, umpatku dalam hati. merasa dipermainkan, aku mempercepat goyanganku. Ku tahan pinggulnya agar tusukanku lebih dalam.
“aww.. aw.. sakit.. enak.. enak yang... sakitt.. aw..”, rintihan plinplan antara kesakitan dan keenakan Lena belum membuatku puas karena merasa dipermainkan.
Pantatnya mulai maju mundur menyambut penisku. Ku naikan badannya hingga lena bertumpu dengan tangan, ku jambak rambutnya hingga kepalanya menghadap ke atas. Terasa makin dalam penisku menghujam.
“ahhh.. ahh.. aw... ahhh... awww... enak.. enaak!!”, Lena menjerit menambah semangatku.
Semakin cepat ku pompa semakin liar goyanganku. Semakin liar desah yang keluar dari bibir tipisnya. Kini dia bertumpu dengan satu tangan. Tangan kanannya merangsang klitorisnya sendiri. Gerakan tangannya bergoyang di klitoris lebih cepat dari goyangan pinggulku. Vaginanya meremas bagaikan menghisap penisku.
“ooowwwhhh fuck me!! fuck me!! fuck!! FFFUUUCKKK!!, kata kasar dalam bahasa inggris itu mengiringi orgasmenya .
Penisku serasa disiram air hangat dari dalam vaginanya. Pinggulnya bergetar hebat, badannya melengkung kedepan penisku terlepas. ada cairan merembes deras dari vaginanya turun ke paha. Lena terjatuh di kasur dalam posisi miring. Kulihat jelas gelombang orgasme memaksa lutut dan sikunya bertemu. Pinggulnya bergerak gerak maju mundur seperti orang kejang.
“ugh.. ugh.. ugh.. ugh..”, suara itu keluar dari mulutnya menyertai kejang orgasme pinggulnya.
Lena meringkuk mengatur nafasnya. Badannya melemas bagai tak bertulang. Segera kuangkat kaki kirinya bersandar di bahuku dan kaki kanannya di bawah, di antara kakiku. Kembali kumasukan penisku yang masih berdiri tegak menantang. Lena hanya bisa pasrah diperlakukan begitu. Liang vaginanya lebih gampang ku masuki karena licin akibat banjir cairan orgasmenya. Kugenjot lubang itu cepat. Aku mengejar nafsu karena belum kurasakan sensasi akan ejakulasi. Mata Lena nanar menghadap kesamping. Sepertinya dia kelelahan dan menyerahkan tubuhnya untuk memuaskanku.
“uhhh..”, aku mendesah karena tiba2 lubang basah ini melakukan kegel. Kupandangi wajah lena yang masi memandang kesamping dengan tak berdosa. Kupelankan goyangan penisku.
“ahhhhh....ohhhhh..”, aku mendesah panjang. Kali ini kegel dilakukannya lama, setiap tarikan dan dorongan penisku pada vaginanya terasa amat sempit. Kulihat sedikit senyum pada wajah yang dibuat tak berdosa itu. Awas kamu ya, aku merutuk dalam kenikmatan.
Kutarik penisku pelan hingga penisku hampir keluar dan kumasukan dengan cepat, “ouuuccchhh”, matanya memejam menahan nikmat.
Kuulangi lagi gerakan yang sama. Setiap hujaman penisku, menghasilkan desahan “ouch” dari mulutnya. Kemudian kupercepat gerakanku. Tangan kanannya meremas susunya sendiri sementara tangan kirinya mulai merangsang klitoris lagi. Nafsunya mulai naik lagi ditandai desahannya yang tidak malu2.
“ahhhh.. ahhh... ayo yang.. ahhh..”, Lena menyemangatiku.
Kupercepat goyanganku agar dia mencapai orgasmenya keduanya yang biasanya jauh lebih cepat setelah orgasme pertama.
“fuk me.. fuck me honey... fuck me..”, dipegangnya kaki kirinya hingga menyentuh pinggang agar penisku masuk lebih dalam.
Aku makin bersemangat memacu hasrat. Bagaikan mesin dengan dua gerakan, hanya maju dan mundur aku membawanya sampai ke puncak. Lena mendorong badanku dengan betisnya hingga penisku tercabut.
“oohh shiiittt!!! Aaaarrggghhhh!!”, jerit histeris menyertai orgasmenya yang kedua.
Badannya melenting menghentak hentak, kakinya menendang nendang kacau, tangannya meremas seprai hingga berantakan. Aku berdiri melihat pemandangan indah yang langka ini. Sungguh liar dan exotis.
Setelah gelombang orgasmenya mereda aku berbaring di sebelahnya. Kuangkat tubuhnya keatas badanku, kembali kumasukan kutuntun penisku masuk ke vaginanya. Kogoyangkan penisku keluar-masuk. Kupegang pinggulnya, kugerakan bergoyang mengikuti irama penisku. Lena lemas tak berdaya.
“uhhhh... uhhhh...”, Lena mendesah lirih.
Kupercepat gerakan penisku hingga kecepatan maksimal yang ku mampu. Desah Lena semakin intens. Ku mainkan klitorisnya dengan tangan kananku. Ku remas payudaranya dengan tangan kiriku. Dengan rangsangan pada 3 daerah sensitifnya, Lena kembali bernafsu. Lena bangkit dan menduduki penisku sementara aku berbaring meremas bokongnya. Bergoyang, berputar, dan naik-turun pantatnya memuaskan penisku. Ku regangkan buah pantatnya agar penisku masuk lebih dalam. Dengan lengan bertumpu pada kakiku, Lena seperti kesetanan bergerak memacu birahi. Lena menyatukan kakinyati antara kakiku, semakin sesak penisku dijepit vaginanya. Jurus terakhirnya ini, membuatku keenakan.
“ahhhh ahhhh aaaaaaaaaaaaaahhhhh...”, Desahannya semakin menjadi.
Perpaduan antara erotis dan histeris. Lena mempercepat gerakannya naik-turun. Lena menunduk dalam goyangannya. Aku merasa puncak kepuasanku sudah dekat. Segera ku dorong badannya kedepan hingga posisinya seperti merangkak. Aku mengambil alih.
Kembali ku tusukan penisku dalam. Lena merapatkan kakinya.
“yes.. yes... yes..”, aku berteriak keenakan.
Lena pun tak kalah histerisnya menyemangatiku,”harder.. harder..”.
Kupegang pinggulnya dan bergoyang liar. Sesaat aku akan mencapai ejakulasi, pinggul Lena bergetar.
“Uuuuuu’aaaaaaahhhhhh!!!”, Lena menjerit dengan nada tinggi.
Kutahan pinggulnya yang berontak ingin lepas. Kutegakan tubuhku duduk. Pinggulnya bergetar amat cepat. Aku menggenjot dari bawah. Kupacu penisku yang akan muntah. Paduan gerakan pinggul Lena, siraman hangat vaginanya dan nafsuku membuat aku tak dapat menahan lagi. Ku tahan vaginanya menempel di pangkal pahaku.
“oohhh.. uhhhh... ooohhhhhhh...”, spermaku menyemprot berkali kali dalam vaginanya, bercampur cairan orgasme.
Tak terkira perasaanku pagi ini. Sensasi pertempuran pagi yang memacu adrenalin. Tubuh Lena limbung ke kanan bagaikan daun jatuh. Penisku terlepas layu. Noda putih agak berbuih melumuri penisku. Akupun tak mampu menahan keseimbangan. Aku jatuh terlentang.
“hhhhh... hhhh... hhhh...”, kami bersama mengatur nafas.
“enak yang?”, aku bertanya pada
Lena tak menjawab, hanya suara desah nafas yg terdengar. Kulirik jam dinding, 12.21, hampir dua setengah jam kami bergumul. Melelahkan namun sebanding rasanya.
Ku elus kepalanya dan ku kecup rambutnya yang basah karena keringat.
“makasi sayang..”, aku berbisik.
Lena hanya mengangguk. Aku bangkit menuju kamar mandi. Ku hidupkan keran air hangat mengisi bathub, aku ingin berendam melepas lelah.
Kumasukan tubuh ku saat bathubnya penuh. Hangat air mandi membuka pori2ku menghilangkan kelelahan setelah bercinta. Nyaman rasa tubuh ini. Akup
“COPPPEEEEETTT!!!”, seorang ibu2 berteriak nyaring.
Suara langkah berderap ramai. Seorang gadis kecil berkulit sangat putih, dan berambut lurus dikepang berlari terburu buru di antara krumunan para pedagang di gang sempit pasar pagi. Beberapa pemuda terlihat mengikuti, mengejar lebih tepatnya, gadis kecil itu. Gadis kecil itu berlari keluar pasar dan menyebrang jalan raya yang ramai.
“Dugh..”, sebuah mobil sedan hitam menyenggol gadis kecil yang berlari kencang itu.
Aaahhhh..”, semua orang yang melihatnya menjerit tertahan.
Gadis itu berguling di jalan, bangun, mengusap lututnya yang berdarah dan kembali berlari.
“duuuhhh... Gustiiiii...”, ibuku mengelus dada melihat kejadian itu.
Kilat menyala menyilaukan mata, “srshhhhhhh... jedhuaaarrrr!!”, petir menggelegar membuat seisi panti ketakutan. Kaca jendela bergetar getar akibat suara petir tadi. Hujan deras membuat suhu udara menusuk kulit. Aku menarik selimut menghangatkan diri
“hu’u.. uuu.. uuu.. hu’uu... uuu... uuuu...”, sungguh mati aku ketakutan mendengar suara itu
.
“stt... deet.. deet...”, Erick berbisik dari bawah ranjangku, “kamu denger ga?”.
“iya.. itu suara hantu..”, aku berbisik juga sambil menutup kepala dengan selimut.
“hssttt.. bukan.. itu suara anak kecil nangis... coba dengerin..”, Erick berbisik lagi pada orang yang tidur di ranjang sebelah atas.
Kusibak selimut dan menajamkan telingaku, “iyah.. hantu anak kecil menangis..”, kembali aku berlindung dalam selimut putih bergaris abu2 ini.
"bukaaaann.. mana ada hantu di dunia ini?”, Erick masih berbisik. Dia bergerak pelan, menuruni ranjang.
“ayoh ikut”, kata Erick mengajakku, masih dalam bisikan. Kusibak selimutku dan kulihat Erick sudah memegang gagang pintu.
“kemana?”, kutanya tanpa suara.
“sudah ayo...”, Erick memaksa
“kau saja.. aku takut..”, aku ikut berbisik seperti Erick, sebenarnya aku takut hantu itu mendengarku.
“ahhh..”, Erick menggeleng kesal. “ ayo.. jangan jadi pengecut begitu..”, Erick menarik kakiku dari bawah.
Akhirnya dengan terpaksa aku turun dari ranjang. Kami berjingkat keluar, takut ketahuan suster karena ini sudah jam malam. Erick mengambil senter besar dan kunci yang tergantung pada paku di tembok.
“kau ambil payung itu..”, bisik Erick menunjuk kumpulan payung yang ditaruh dalam tabung besi di samping rak sepatu.
Aku mengambil payung berwarna hijau. Kami berjalan ke arah pintu depan.
“kau siap?”, bisik Erick menanyakan kepastianku.
Aku menggeleng, “bagaimana kalau itu hantu sungguhan?”.
“tenang... ada Erick disini”, katanya berlagak.
“jeglek”, kami membuka pintu depan. Berdua kami berjalan menyusuri halaman panti.
Sebuah cahaya amat terang muncul tiba2, “srshhhhhhh... jedhuaaarrrr!!”, kilat besar menyambar dikejauhan bagaikan seekor naga turun dari langit. Alangkah indahnya pemandangan itu jika kami berdua tidak berdiri ditengah guyuran hujan dan suasana mencekam ini.
“huuuu... uuuuu... uu... h’uuu.. uuu.. uu...”, suara tangis itu makin keras.
Aku memegang lengan Erick karena takut.
“shhhttt...”, Erick mendesis dengan telunjuk dibibirnya padaku yang ketakutan tak bersuara.
Kami berjalan ke sayap kanan bangunan panti, ke arah tembok luar kamar kami. Erick menyinari kegelapan dengan senternya. Cahaya kilat kembali mengejap, pemandangan mengerikan diperlihatkan tuhan pada kami. Tepat di bawah jendela kamarku. Sesosok anak kecil putih dengan baju putih dan celana pendek putih, sedang berjongkok dan melipat tangannya di lutut terlihat di depan kami.
“jedhuaaarrrr!!”, suara petir membuat bulu kudukku merinding. Suasana semakin mencekam.
“awwwwwww.... huuu.. uuu.. uuu... h’uuuu...”, sebuah suara jerit dilanjutkan dengan tangis datang dari arah dimana makhluk itu berjongkok.
Erick menyinari kegelapan di bawah jendela kamar kami. Ternyata sosok itu bukan efek cahaya kilat.
Mampus!! Mati aku sekarang!!, aku ketakutan setengah mati. Aku belum mau mati ya Tuhan... aku masi muda.. aku belum merasakan naik komedi putar.. merasakan enaknya coklat queensilver.. belum nonton di bioskop.. pokoknya belum semua yang dijanjikan Erick padaku, ratapku pada Yang Kuasa.
Cahaya senter Erick bergoyang goyang. Erick gemetaran memegang senternya. Sinar yang menyinari sosok anak kecil itu timbul tenggelam. Kami amat sangat ketakutan. Aku lebih rela memberikan semua uang tabungan hasil mengamenku daripada berada di sini.
Karena terganggu sinar senter Erick, mahkluk itu mendongak. Makhluk itu berdiri dan berjalan ke arah kami. Lututku gemetar, cahaya senter Erick berputar putar. Deras hujan menghalangi pandangan kami pada makhluk itu. Selangkah demi selangkah mahkluk itu mendekat. Semakin dekat mahkluk itu dengan kami, mau copot rasa jantung ini. Mahkluk dengan sosok anak kecil putih, berpakaian serba putih, hanya kepalanya seperti berambut hitam.
Tapi tunggu dulu... aku..
Aku tahu makhluk ini. Dia adalah gadis kecil yang berlarian di pasar tempo hari.
“ampuni aku... aku minta maaf.... aku janji tidak akan mengganggumu lagi... tolong jangan bunuh aku”, Erick berlutut dan menyembah ketakutan kepada anak kecil yang dikiranya hantu.
Anak kecil itu mendekati kami, tersenyum melihat tingkah laku Erick. Matanya bengkak habis menangis, namun tak mengurangi senyumnya yang manis.
“Rick.. Rick... ini bukan hantu.. dia manusia.. liat aja kakinya”, kataku menenangkan sahabatku yang ketakutan.
Erick mendongakkan kepalanya yang melihat tanah. Meneliti gadis kecil di depannya dari kaki sampai kepala. Kemudian Erick berdiri, membersihkan kaki dan tangannya yang kotor lalu mengangkat telapak tangannya kedepan mengajak berjabat tangan.
“namaku Erick, namamu siapa?”, kawanku bertanya.
“aku Tiffani..”, jawab gadis kecil itu menjabat tangan Erick.
“Fan? Kita nonton yuk? Aku baru dapet duit nie..”, aku mengajak Fani kencan.
“duh.. ga bisa Deet, aku besok ujian”, tolak Tiffani.
“besok ya besok, sekarang kita nonton dulu, ada film The matrix lho di bioskop.
“tapi besok ujian fisika Deet.. kamu ga belajar?”, dia malah bertanya.
“mana pernah aku belajar... yang penting ulangan minimal dapet nilai 9..”, kataku menyombong.
“ya itu kan kamu Deet.. belajar, ga belajar sama aja..”, kata Tiffani entah memuji atau menyindir.
“gini aja.. sekarang kita nonton dulu, nanti pulangnya aku ajarin deh.. klo Cuma fisika sih bisa lah..”, aku merayunya.
Mendengar kata “ajarin”, wajah Tiffani seperti berpikir. “oke deh.. tapi aku mandi dulu ya..”, wajahnya berubah berseri, “kamu yang traktir lho.. aku lg ga ada duit”.
“gampang..”, kataku menepuk dada.
“Deet..”, kata Tiffani di sebelahku.
“hmmm”, jawabku singkat.
“nga pa pa ni kita nongkrong disini? Kan td kita izinnya mau nonton”, dia bertanya lagi.
“yah.. kan kita kehabisan tiket.. ya paling enak maen kesini...”, kataku ngeles.
“bintangnya bagus ya?”, kataku mengalihkan pembicaraan.
“iya.. “, jawabnya singkat.
“kamu tau ga itu namanya bintang apa?”, tanyaku pada Tiffani
“engga.. emang kamu tau?”, dia bertanya balik.
“itu namanya rasi bintang scorpio..”, jawabku asal.
“ni.. kamu liat ni.. bentuknya kan kaya gini.. klo ditarik garis kesini jadi badannya.. trus yang di atas itu ekornya..”, aku menggambar pola khayal di langit, seakan merangkai bentuk bintang yang aku sendiri tidak tahu namanya, meyakinkan Tiffani atas pernyataanku.
“mungkin ga ya kita jadi bintang...”, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Tiffani.
“engga..”, jawabku datar. “kita hanya bisa duduk berdua dan melihat keindahannya..”, aku menambahkan.
Tiffani menyenderkan kepalanya di pundakku. Hembusan angin malam pantai tak merubah kehangatan yang kurasakan saat bersama Tiffani.
“deet.. pelan pelan.. aku takuuutt”, Tiffani memelukku erat.
Memang ketakutan dan pelukan inilah yang aku inginkan. Kuputar gas motor hingga batasnya, motor melaju semakin kencang. Tiffani memelukku lebih erat dari belakang.
“deet aku takuut”, Tiffani merengek padaku
“udah tenang aja, kan ada abang..”, kataku berlagak sambil melihat kebelakang.
“Deet! DEET!!”, Tiffani menjerit
Kupalingkan pandanganku kedepan, seorang bapak mengendarai motor muncul dari gang di sebelah kiriku. Jarak kami begitu dekat. Aku panik. Aku mencoba membelokan stang motor ke kanan untuk menghindar.
“BRAKKK!!!”, sebuah tabrakan terjadi. Ban depan motorku menghantam body motor bapak itu.
Motorku melayang miring beberapa cm di atas aspal membawaku dan Tiffani. Dunia terasa lambat.
“BRUUUAAAAKKK”, kembali terjadi benturan keras, aku, Tiffani dan motorku menghantam aspal.
Aku berguling guling di aspal. Helmku yang memang dari awal tak terikat terlepas, reflek kedua tanganku melindungi kepala. Motorku terseret jauh ke kanan hingga berpindah jalur, menimbulkan bunga api akibat gesekan aspal dan knalpotnya. Beberapa kali gulingan hingga aku berhenti dalam posisi terduduk. Ku gelengkan kepala akibat rasa pusing. Cairan hangat menjalar dari keningku turun. Tangan dan punggungku perih tak terkira.
“KRAAAAAKK”, kulihat motorku terlindas truk besar yang melaju dari arah berlawanan.
“BUUGHH!!, sebuah adegan mengerikan terjadi. Tiffani menghantam tiang listrik dengan punggung nya.
Keseimbanganku hilang, tubuhku terlentang. Aku berusaha bangun namun tak mampu. Ku balik tubuhku dan merayap mendekati Tiffani. Pandanganku mulai kabur. Badanku tak kuat lagi.
“aaaa’.. aaa’.. ”, lidahku kelu, hanya rintihan yang keluar. Tanganku menggapai tubuh Tiffani di kejauhan. Semuanya gelap.
****** Life Fast Die Young ******
Aku terlonjak, “haaahh.. haaah..”, nafasku tak beraturan. Ku lihat sekelilingku, shower, wastafel, kloset, handuk tergantung, shampo, sabun, lemari kaca coklat, dikelilingi dinding marmer putih dan krem serta cahaya terang di sebuah jendela kecil. Kulihat tubuh telanjangku yang sebagian terendam air.
Hanya mimpi.., aku berkata pada diri sendiri.
“tok tok tok tok..”, pintu kamar mandi diketuk dari luar.
“yaaang.. mandinya kok lama amat? Kamu ga pa pa kan?”, suara Lena dari balik pintu.
“g-gaa... ga pa pa.. aku cuma ketiduran... tar lagi aku keluar.. ”, jawabku menenangkannya.
“owwhh.. ya udah.. kirain tadi kenapa kenapa..”
Tiffani..
Kembali aku bermimpi tentang Tiffani. Selalu mimpi yang sama. Dimulai dari pertemuanku dengannya, diakhiri dengan kecelakaan itu, rasa sedih menderaku.
“yaaangg.. klo udah selesai, kita makan yuk? Aku udah masakin nasi goreng lho..”, terdengar suara Lena mengajakku makan, menyadarkanku.
Segera kuraup mukaku dengan air dan bangun dari bathub. Kukeringkan badanku dengan handuk dan memakai baju kaos dan boxer. Ku temui Lena di meja makan.
Aku tidak boleh dihantui mimpi itu lagi.. aku harus hidup dan menatap masa depanku bersama gadis ini, kukecup kening pacarku.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar