Aku, Erick, Abe dan Teddy menyatukan keempat telapak tangan kami di belakang panggung yang dibangun di lapangan Benteng. Dengan sedikit ketegangan dan rasa grogi kami membangun kepercayaan diri. Walaupun sudah berkali-kali tampil di depan penggemar, rasa tegang masih menyerang kami. Sementara teriakan penonton yang sudah tidak sabar melihat kami di atas panggung terus menggema.
“Traffic Light!! Traffic Light!! Traffic Light!!”
Kupandangi satu per satu mata kawan yang selama ini menemaniku membangun kejayaan. Keheningan meliputi kami berempat. Sangat kontras dengan keramaian di depan sana.
“Traffic Light!! Traffic Light!! Traffic Light!!”
Aku menganggukan kepala pada Erick yang disambut dengan senyumnya. “Ya Tuhan, berikanlah kami kekuatan, keselamatan dan keberhasilan dalam menghibur mereka yang membeli tiket dan masuk gratisan malam ini.”
“Traffic Light!! Traffic Light!! Traffic Light!!”
Aku berjalan ke atas panggung yang gelap, dituntun cahaya garis fosfor di lantai panggung. Kulihat ratusan cahaya dari korek api dan handphone diantara lautan manusia yang memenuhi lapangan Benteng. Penonton masih meneriakan nama band kami, tanpa tahu kehadiran kami di atas panggung yang gelap.
Asap buatan merayap di antara kakiku. Aku menunduk di depan microphone, menunggu sinyal dari kru. Satu lampu sorot tiba-tiba hidup dan menerangiku, itu tanda bagiku untuk menyapa penonton.
“Selamat malam Medaaaaaaaaannn!!” teriakan penonton bergemuruh menyambut salam dariku. Seluruh tangan mereka terangkat ke atas, lampu sorot menerangi barisan penonton di depanku.
“Are you ready to rock???!!!”
“Yeeaaaahhh!!!”
“Are you ready to get some f*ckin’ rock??!!!”
“Yeeeaaaaah!!!”
“We dedicated this song to the people who tells you, you never get fuckin anywhere with your life. This is a song call : double talkin jive ************.”
Abe mulai memainkan intro lagu kami. Lampu dipanggung hidup bergantian, berputar dan berkedip menyinari kami. Merah, putih, kuning dan biru. Ribuan kepala lautan manusia di depanku mengangguk mengikuti irama. Setiap hentakan suara yang keluar dari sound sistem membangkitkan gairahku untuk bernyanyi.
“Found a head and an arm in da garbage can
Don't know why I'm here
Livin' on the run for oh so long
I gotta go collect
Double talkin' jive
Get the money ************
'Cause I got no more patience
Double talkin'
I got (Lies)
No more patience man”
Don't know why I'm here
Livin' on the run for oh so long
I gotta go collect
Double talkin' jive
Get the money ************
'Cause I got no more patience
Double talkin'
I got (Lies)
No more patience man”
Penonton semakin menggila mendengar lagu kami dimainkan. Panitia menyiramkan air dari selang milik pemadam kebakaran untuk meredam emosi penonton. Konser kali ini berjalan cukup aman. Hanya ada beberapa kejadian kecil, namun dapat ditenangkan kembali.
Dalam satu setengah jam kami membawakan lima belas lagu. Lima lagu baru dan sepuluh lagu dari album lama kami. Konser kali ini ditutup dengan kembang api besar yang menghiasi langit kota Medan.
****** Life Fast Die Young ******
“Nih!!” kata Teddy saat melemparkan sekaleng bir Banteng dingin yang kutangkap sebelah tangan. Keringat membasahi tubuhku, lelah dan letih kurasakan bersama rasa puas dengan suksesnya pementasan pertama rangkaian tur promo album keenam ini.
Abe merebahkan badannya di sebelahku. “Kalian tadi liat kan? Cewe yang ngangkat kaosnya tadi, di toketnya ada tatoo Traffic Light,” katanya sambil mengkompres kedua lututnya.
“Iya,” sambung Teddy sambil menunjukan bra berwarna merah muda, “dia lempar behanya, ada nomer hapenya man!!”
Kami serempak menertawakan Teddy yang memutar-mutar bra itu di atas kepalanya.
“Abis ini kita manggung dimana yang?” tanyaku pada Lena.
“Tiga hari lagi, kalian konser di Padang. Aku kemaren udah hubungin panitia promotor disana, izin polisi juga udah beres.”
“Oke, next stop.... Padang!!” kata Erick yang mengangkat kaleng bir nya tinggi, “For alcohol...”
“Sex...”
“And rock n’ roll...”
Aku, Abe, Teddy, Erick, Lena dan Shanti mengangkat menyatukan kaleng minuman kami dan serempak berteriak, “life fast, die young!!”
****** Life Fast Die Young ******
Begitu memasuki hotel, aku langsung mandi untuk menghilangkan penat. Air hangat shower membuka pori-pori kulitku. Lena menggedor pintu kamar mandi dan berkata, “yang, ada telpon nih.”
“Dari siapa??”
“Ga tau, ga ada namanya.”
“Ya udah, ga usah diangkat, biarin dulu.”
“Oke deh... Tar kita mau turun makan atau pesenin aja??”
“Pesenin aja, aku capek.”
Tak ada jawaban lagi dari Lena. Segera aku menyelesaikan mandiku, penasasaran dengan nomor yang menelepon hpku. Aku keluar dari hanya kamar mandi hanya berlilitkan handuk di pinggang. Lena sedang tiduran di ranjang sambil memutar musik dari hpnuya. Aku meminta hp nokia senterku dan menelepon kembali nomor yang tadi menghubungi. Terdengar nada sambung standar operator nasional.
“Halo?” aku memulai percakapan.
“Halo, tadi lagi ngapain sayang?” kudengar suara yang amat sangat kukenal di ujung sana.
“Bentar ya...”aku segera berjalan ke arah pintu kamar.
“Mau kemana?” Lena bertanya padaku.
“Keluar bentar, ini dari panti, di dalem ga kedengeran.”
“Tapi Deet, kamu kan...” katanya sambil menunjuk padaku.
“Bentar aja kok.” Akupun berjalan keluar kamar, bersandar di depan pintu dan kembali mendekatkan hp pada telingaku. “Hapemu kenapa?”
“Ga’ pa pa kok.”
“Kenapa pake nomer baru??”
“Lagi pengen aja.”
“Trus ngapain nelp?”
“Ihh, kok gitu sih? Ga kangen sama aku ya?”
“Gak!! Aku lagi sama Lena, kamu ga usah telp pake nomer baru kenapa?”
“Kalo pake nomer yang biasa nanti ada yang curiga loh..”
Aku berpikir sejenak, apa yang dikatakannya ada benarnya. “Ya udah, pake nomer ini aja. Tapi sms dulu kek.”
“Iya deh... eh, tadi gimana? Sukses?”
“Ya... kira-kira begitu.”
“Kapan-kapan aku mau dong diajak tur, masa kak Lena terus?”
“Kamu kan lagi kuliah? Nanti pas liburan kuajakin.”
“Bener ya?”
“Iya... eh, aku makan dulu ya, ini room service udah dateng,” kataku saat melihat seorang berpakaian seragam putih-hitam datang dari ujung lorong mendorong kereta makanan ke arahku. Kereta makanan yang didorongnya berhenti tepat di depanku.
“Ya udah... makan yang banyak ya, biar sehat.” Orang di telepon berbicara bersamaan dengan pegawai hotel. Kutunjukan telapak tanganku pada pegawai hotel, tanda kusuruh dia untuk menunggu. Pegawai itu malah melihatku dari atas ke bawah, gerak-geriknya yang sedikit aneh membuatku heran.
“Iya...” jawabku pada orang di telepon.
“Salam buat kak Lena juga... dah kakak.. muach!!” suara ciuman mengakhiri pembicaraan kami.
“Tadi gimana mas?” aku meminta pegawai hotel yang memakai name tag bertuliskan “Odan” untuk mengulang perkataannya tadi.
“Ini ada pesanan layanan kamar untuk kamar 212,” jawabnya dengan suara lemah lembut agak mirip perempuan yang membuat aku menaikan sebelah alisku.
“Ohh, iya ini kamar 212.” Cepat aku tersadar dari keheranan melihat orang dengan badan tegap, rambut pendek namun dengan suara kemayu.
“Mas, badannya sexy lho,” katanya saat aku hendak membuka pintu kamar. Aku melihat pakaianku yang baru kusadari hanya memakai selembar handuk menutupi pinggang. Aku menoleh ke belakang untuk menanyakan maksudnya, tapi kuurungkan niatku saat dia menjilat bibirnya dan mengedipkan matanya padaku.
Dengan cepat aku memasuki kamar dan mencari Lena yang masih tiduran di ranjang.
“Ada apa? Kok kaya dikejar setan??” tanya Lena keheranan.
“Ada itu.. itu..” jawabku sambil menunjuk arah pintu kamar.
Dengan cepat Lena bangun dan berjalan ke arah pintu kamar. Kulihat dia berbicara pada pegawai hotel. Tak berapa lama dia masuk membawa kereta makanan sambil menahan tawa.
“Orangnya udah balik? Udah ga ada kan?” tanyaku dengan curiga.
“Ada salam, cup cup muach gitu deh,” katanya sambil tertawa, salam yang membuatku bergidik mendengarnya. “Katanya rocker? Masa sama yang begituan aja takut?? Payah...”
“Rocker juga manusia.”
“Banci juga manusia kan?”
“Tapi yang ini beda, mending ketemu sama setan daripada manusia kaya gitu.”
Lena tertawa terbahak bahak mendengar jawabanku.
“ya udah... yuk kita makan dulu yuk?” aku mengalihkan pembicaraan.
****** Life Fast Die Young ******
Aku terbangun oleh suara isak tangis perempuan. Kulirik jam tanganku, ini masih pukul 3 pagi. Kulihat di ujung ranjang, Lena duduk menunduk memegang kepalanya. Badannya bergetar, dia menangis sesenggukan. di sebelah kakinya ada sebuah koper berwarna biru muda.
"Ada apa sayang? ngapain packing malem gini? mau kemana?", pertanyaan ini keluar dari mulutku sewaktu kupeluk tubuhnya.
Dia hanya menggeleng dan mendorongku menjauhinya. aku tak habis pikir, kenapa dia begini? kucoba memeluknya sekali lagi. kali ini dia tidak mendorongku, namun menyandarkan kepalanya di dadaku. Lirih suaranya diantara tangis yang memilukan, "kamu... jahat Deet... kamu jahat.."
(Mulai dari sini kita akan memakai sudut pandang orang ke tiga)
“Deet!! Ayo, mereka sudah mememanggil kita!!” Teddy mengajak Radeet yang masih terdiam menatap layar handphonenya untuk naik ke atas panggung.
Sudah sebulan sejak kepergian Lena, tak ada satupun kabar yang terdengar. Bagai ditelan bumi gadis itu menghilang tanpa jejak. Traffic Light sengaja menutupi kabar inin dari media. Rangkaian tour tetap berjalan. Pak Raka dengan menunjuk Anton, orang kepercayaannya untuk sementara menggantikan Lena sebagai manager band.
Kepergian Lena tanpa alasan yang jelas tampaknya masih membuat pemuda itu bersedih. Dengan malas Radeet melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju panggung yang masih gelap gulita. Hanya selotip flourscene berwarna hijau muda membentuk jalur terang sebagai penunjuk arah. Teriakan penonton yang sudah tak sabar menunggu keterlambatan satu jam dari jadwal seakan tak menggugah perasaan pemuda itu. Permainan gitarnya masih sama, kualitas suaranya nyaris tak berubah. Namun dia memainkan alunan musiknya dengan jiwa yang kosong. Pikirannya pergi mencari pencuri hatinya.
Abe, Teddy, dan Erick mengkhawatirkan keadaan teman mereka. Mereka mengadakan rapat dan sepakat membatalkan tour tapi disanggah oleh Radeet. “Apapun yang terjadi, tour ini harus tetap berjalan!! Gue gak mau masalah pribadi dicampur sama kerjaan!! Gue disini kerja, bukan main-main!” Radeet berkata dengan nada tinggi sebelum membanting pintu dan meninggalkan kawan-kawannya.
****** Life Fast Die Young ******
Gadis itu berhenti di bawah pohon kelapa dan mulai membentangkan kain pantainya. Tanpa banyak bicara gadis itu duduk dan menekuk kakinya dan memandang ke laut lepas. Pandangannya tidak bisa dibilang kosong, namun tak dapat juga dikatakan berfokus pada suatu hal. Hanya lurus pada titik dimana nantinya matahari akan terbenam. Tanpa bicara dan nyaris tanpa ekspresi. Anak-anak kecil yang bermain air beberapa meter di depannya pun tak mampu memancing senyumnya.
Setiap hari gadis itu melewati jalan yang sama, menuju tempat yang sama dan melakukan hal yang sama. Sudah belasan hari dia melakukannya. Bagaikan suatu rutinitas, namun juga tampak seperti ritual. Seluruh penduduk sekitar tidak ada yang tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu. Mereka enggan bertanya banyak pada gadis itu, karena tahu gadis itu tak akan menjawab satupun pertanyaan yang mereka ajukan. Hanya satu hal yang mereka tahu, gadis aneh itu merupakan kerabat pemilik hotel Nembrala, Ester Halla, istri dari Estofanus Halla.
Matahari mulai tenggelam. Sinar jingganya menghiasi garis cakrawala. Gadis itu mengambil handphone nya dan mulai memutar sebuah lagu. Lagu yang tak pernah berubah sejak hari pertama sejak dia mulai rutinitas “memandang laut”-nya. Lagu yang awalnya asing di telinga penduduk pulau Rote dan kini, penduduk sekitar mulai hapal lagu itu. Sebuah lagu yang memang belum begitu terkenal, karena hanya dirilis pada album terbaru Traffic Light.
“…dalam enggan janji ingatkan
Satu selalu ada harapan
Agar selalu terucap
Ungkapkan penuh makna
Rasa ini jangan pernah berakhir
Genggam erat hatiku
Raih juga tanganku kekasih
Aku kembali…”
* Boomerang-Kembali
Satu selalu ada harapan
Agar selalu terucap
Ungkapkan penuh makna
Rasa ini jangan pernah berakhir
Genggam erat hatiku
Raih juga tanganku kekasih
Aku kembali…”
* Boomerang-Kembali
Begitulah syair lagu terdengar dari handphone milik wanita itu. Perlahan, sedikit demi sedikit air matanya mulai menetes. Badannya gemetar, raut wajahnya berubah. Kedua tangannya menutupi wajah. Tangis lirih terdengar memilukan di pantai Nembrala.
Dua orang yang berdiri di belakang gadis itu beberapa menit yang lalu menggelengkan kepalanya. Ester dan Estofanus Halla bersedih melihat sahabat mereka tiap hari bersedih dan menangis sejak menginjakkan kakinya di Pulau Rote. Eksotisnya alam Rote tak mampu meredakan rasa pilu yang dipendamnya. Kedua pasangan Halla tahu pasti alasan kenapa sahabat mereka begitu berduka.
“Sampai kapan Lu mau begini?” Ester membuka percakapan pada temannya.
“Aku gak tau… gak tau…”
“Bikin apa Lu nangis buat dia e? laki-laki macam dong tu banyak he.”
Mendengar ucapan temannya, tangisan gadis itu bukannya berhenti, malah semakin menjadi. Eston Halla, menarik nafas panjang melihat cara istrinya menghibur gadis itu. “Ester, Kau diam sudah! kau bicara banyak, bikin nona manangis memang.”
Ester yang dibentak begitu oleh suaminya, bersungut tanpa bicara. Dipeluknya sahabat baiknya agar lebih tenang. Semilir angin pantai petang itu menambah keharuan di hati ketiga orang yang tersisa di pantai Nembrala.
Dengan sabar kedua pasangan Halla menunggu hingga gadis itu tenang. Mereka paham kondisi sulit yang dialami gadis itu. Sejak menjemput gadis itu di bandara DC Saudele, Ester sudah melihat kondisi gadis itu yang pucat dan lebih kurus daripada yang terakhir dilihatnya di layar televisi. Wajahnya pun murung tanpa henti.
Jam 9 malam, Gadis itu akhirnya menyetujui bujukan Ester untuk mengajaknya pulang. Sepanjang perjalanan gadis itu diam seribu bahasa. Kedua pasangan Halla pun tidak berucap sepatah katapun. Ketiga orang ini menyusuri jalan kapur setapak yang diterangi cahaya obor menuju Hotel Nembrala.
****** Life Fast Die Young ******
“Ter, Ton… maafin ya aku dah banyak ngerepotin kalian…” Gadis itu membuka suara saat makan malam.
Pasangan Halla kembali menggelengkan kepalanya. Keduanya terkejut dengan ucapan gadis itu.
“Lu bicara apa? Sejak kapan Lu bisa bikin Be repot?” Ester memotong ucapan gadis itu.
“Tapi…”
“Nona, Lu tenang sa… Ester pung kawan itu Be pung kawan ju… Nona bisa diam disini sampai Nona bosan, sampai Nona mau pulang…” kali ini Eston menimpali omongan istrinya.
Sesaat Gadis itu terdiam kemudian tersenyum lemah, “makasih ya Ester, Eston…”
“Nah, itu… Lu pung muka tu dikasi cerah boleh,” Ester berkata sambil menunjuk sahabatnya, yang mau tak mau membuat gadis itu mulai sedikit tertawa. Tawa yang sudah hampir sebulan ini dia lupakan caranya.
****** Life Fast Die Young ******
Abe bersemangat memukulkan stik drum di tangannya. Hi-hat bergetar mengeluarkan bunyi mendesis mengatur tempo permainan drum Abe. Suara Bass Teddy mengikuti dengan pola titi nada yang unik. Dan suara Radeet pun mulai terdengar di speaker.
“Di sudut kota ini…
Pernah terucap janji hati
Untuk slalu kembali…
Merangkai angan dalam pasti”
*Boomerang – Kembali
Pernah terucap janji hati
Untuk slalu kembali…
Merangkai angan dalam pasti”
*Boomerang – Kembali
Lengkingan gitar Erick menjembatani antara syair bait pertama dan kedua. Terdengar menghanyutkan dan melankolis. Ratusan cahaya korek api bermunculan diantara penonton bagaikan bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Suasana akrab yang terjalin antara penggemar dengan pujaannya tidak merubah suasana hati Radeet. Tak ada senyum dari front man band Traffic Light itu.
Suasana meriah konser di Lapangan Tegalega malam itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah suara mengerikan. Menggelegar bagai halilintar di siang bolong. Sebuah suara mirip dengan letusan senjata terdengar keras. Radeet dengan mata kepalanya sendiri melihat kejadian yang amat mengerikan. Bagaikan dalam gerakan lambat, tubuh seorang laki-laki kurus berotot dengan tattoo menghiasi seluruh tubuhnya, terjatuh ke belakang. Terbanting tanpa perlawanan, menghantam lantai panggung. Cairan merah hangat merembes memberi warna lain pada kaus singletnya yg berwarna putih. Radeet mencampakan gitarnya dan berlari mendekati tubuh itu. Raut wajahnya berubah, kengerian melanda begitu melihat luka terbuka pada dada orang itu. Bingung apa yang harus dilakukan, Radeet hanya bersimpuh di samping tubuh kawannya dan berteriak minta tolong. Abe dan Erick juga berlari mendekati orang yg berbaring. Suasana akrab berubah menjadi kepanikan luar biasa. Hampir seluruh penonton berhamburan. Hanya satu orang yang berjalan mendekat kearah panggung. Senyumnya menyeringai, wajahnya menampakan kepuasan. Orang itu menenteng Phyton Revolver di tangan kanannya. Ujung pistol itu masih hangat dan kini mengacung mengarah ke atas panggung.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar