klik disini

Sabtu, 18 Juni 2016

Silent Rose Series 3

Cintya membuka mata dan menemukan dirinya tertidur dengan busana lengkap, padahal seingatnya, semalam dia tertidur tanpa busana setelah Dimas selesai menyemprotkan sperma ke dalam rahimnya. Cintya duduk dalam bingungnya, memeriksa kaos, bra, hotpants dan celana dalam yang dikenakannya. Celana dalamnya basah namun tidak ada tanda-tanda bahwa semalam tempat tidur itu jadi ajang pelampiasan nafsu teman-temannya. Cintya sedikit kaget saat Gea membuka pintu kamar. Gea memandang Cintya dengan pandangan yang sama herannya.

“Loe kenapa Cin? Kayak abis liat setan”, Gea masuk dan menyisir rambutnya di depan cermin. “Semalam loe tidur pulas banget abis orgasme”, Tambah Gea.

“Orgasme?!”, Cintya mempertegas pendengarannya.

“Iya, loe gua ceritain permainan gua ama pak Kades sambil gua grepe-grepe eh loe orgasme. Gua tinggal ambil minum ke dapur sebentar, gua balik loe udah pulas aja kayak orang wafat”, Gea menjelaskan.

“Jadi semalam gua tidur?, trus cowok-cowok?”.

Gea memandang aneh ke Cintya lalu mendekatinya. “Gua becanda waktu ngomong gua panggilin cowok-cowok!. Ah eloe ni.... atau jangan-jangan loe ngarep ya??", goda Gea.

“Ih.. apaan sih! Udah ah mau mandi”, Cintya beranjak dari tempat tidurnya. Dalam hati dia bersyukur kejadian itu hanya mimpi, meski dia masih merasa ganjil, jika benar mimpi kenapa bisa terasa sedemikian nyatanya?. Tanpa berpikir lebih jauh Cintya mengambil peralatan mandinya dan bergegas mandi.

Saat tiba di ruang makan, Cintya sempat terkejut melihat beberapa hidangan laut tersaji di meja makan. Dimas, Gea dan Tommy tampak asyik menyantap makanan tersebut.

“Eh baru bangun bu? Tumben siang?”, Goda Tommy sambil asyik menyantap sate cuminya. Cintya mengambil kursi dan memandang hidangan-hidangan di meja sambil menggeleng. 

“Ini sih bukan sarapan kalau hidangannya kayak gini”, Gumam Cintya. “Beli dimana?”.

"Enak Loh Cin. Nggak beli kok, tuh kokinya”. Gea menunjuk ke arah Ian yang baru keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi sate cumi-cumi bakar. Ian meletakkan nampan itu di dekat Cintya tanpa bersuara atau berekspresi sama sekali. Cintya terlihat kikuk.

“kayaknya dia masih marah ke gua, ya?”, tanya Cintya pada Gea. Gea mengangkat bahunya tanda tidak tahu. “Eh... Sandy kemana?”, Cintya baru menyadari sang profesor tak ada diantara mereka.

“Tadi sih katanya jalan-jalan di dekat dermaga, biasa... namanya juga anak kota nggak pernah lihat pantai”, Jawab Dimas sekenanya. 

Angin bertiup cukup kencang pagi itu. Beberapa burung camar tampak terbang di atas laut biru yang memantulkan cahaya matahari dengan sempurna. Sandy mencelupkan sebuah tabung untuk mengambil air laut untuk dijadikan sample uji laboratorium. Saat hendak kembali ke dalam rumah, sesuatu di kapal tua Ian menarik perhatiannya. Sandy mendekat ke kapal Ian, sebuah goresan di cat luar kapal bagian bawah terlhat cukup mencolok. Sandy mulai mengira-ngira penyebab goresan itu, imajinasi aktif yang terbentuk karena sering menonton film detektif membuat dia mengambil beberapa kemungkinan penyebab goresan :


1. Kapal ini pernah tersangkut karang, kemungkinan 60%
2. Kapal ini diserang oleh hiu, kemungkinan 10%
3. Kapal tergores kayu dermaga saat merapat, kemungkinan 29%
4. Penyebab lainnya, 1%.

Setelah puas dengan permainan analisa nggak pentingnya itu Sandy beranjak menuju rumah, namun langkahnya tertahan saat melihat sebuah puntung rokok di lantai dermaga. Sandy mengambil dan mengamati puntung tersebut. Dia merasa pernah melihat rokok dengan stempel mawar bertuliskan SR yang kini ada di tangannya. Yang jelas, ini bukan rokok yang dijual bebas di pasaran. Gagal mengingat dimana dia pernah melihat rokok seperti itu, Sandy memasukkan puntung rokok itu ke dalam saku dan bergegas kembali ke rumah.

*_*_*

Seperti hari kemarin, hari itu mereka membagikan angket kepada penduduk di sekitar pulau. Hanya Gea yang tidak ikut membagikan karena dia sudah menyerahkan kepada Kepala Desa yang menyetubuhinya kemarin malam. 

Gea sedang duduk di teras sambil membaca saat dia melihat Ian keluar dari kapalnya dengan bertelanjang dada. Meski badan Ian tergolong kecil, Gea bisa melihat badan Ian cukup berotot. Sedikit iseng, Gea beranjak mendekati Ian.

“Sepertinya sibuk sekali”, Sapa Gea. Sinar mentari yang cukup terik membuat wajah imutnya makin cerah. Ian membalasnya dengan senyuman.

“Tidak keliling seperti yang lain?”, Ian bertanya sambil memaku beberapa kotak kayu berisi ikan hasil tangkapannya semalam.

“Oh... urusanku sudah beres, aku kan lebih cerdik dari yang lain”, Gea memuji dirinya sendiri tanpa menjelaskan arti sebenarnya dari ‘cerdik’ versinya. “Banyak hasil melaut semalam?”, Gea bertanya lagi.

“Banyak yang tertangkap. Namun sedikit yang layak jual”, Ian mengangkat sekotak ikan dan menatanya diatas kotak yang lain. “Hasil laut di sekitar sini kurang begitu segar, aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu”.

“Kualitas ekosistemnya memburuk ya? Itu penyebab gua ama temen-temen kesini. Kita mau survey lingkungan perairan sekitar sini”, Gea bergerak mendekati Ian namun dia membatalkan niatnya saat mencium bau amis dari badan Ian.

“Mungkin... Aku tidak begitu paham soal teknis. Maklumlah aku Cuma bocah laut”, Ian merendah. “Oh itu ganggang kering”, lanjutnya saat melihat Gea asyik memperhatikan sebuah botol berisi serbuk hijau.

“Bukan, itu bukan untuk dikonsumsi, Ganggang itu sudah dikeringkan dan aku yakin siapa yang memakannya akan menghabiskan banyak waktu di kamar mandi”, Kelakarnya sambil meletakkan satu kotak kayu berisi ikan segar. “Banyak hiu di perairan sekitar sini. Ganggang itu mencegah hiu mendekati kita saat kita berenang, mereka tidak suka dengan baunya”.

“Oh... aku baru tahu”.

“Aku juga...”, Ian menjawab dalam hati. Ganggang itu adalah salah satu barang yang dipesan Ian dari Wise Crow, Ian belum pernah mencobanya, namun ia percaya Wise Crow tidak pernah mengecewakan.

Mereka mengobrol sebentar, Gea membatalkan niatnya menggoda Ian karena tidak tahan dengan bau amis ikan yang menyebar dari tubuh Ian. Ian sebenarnya paham kalau Gea terganggu dengan bau badannya. Ian sengaja membiarkan bau menyengat, karena dia telah mempelajari data karakter Gea yang sedikit ‘nakal’ kepada lawan jenisnya, dan bermain dengan tokoh Heroine dalam rencananya, dapat merusak rencana itu sendiri.

Tidak berapa lama kemudian Dimas dan yang lainnya kembali ke pondok dan Gea menyusul mereka.

*_*_*

Sore hari, Boris, anak buah Pak Anton menjemput mereka untuk jamuan makan malam seperti yang telah dijanjikan. Sandy tidak ikut bersama mereka, dia bilang akan meyusul kemudian setelah data yang dikumpulkannya selesai disortir. Merekapun meninggalkan Sandy sendiri di rumah.

Adzan Isya baru saja selesai berkumandang saat Sandy datang menemui Ian di kapalnya. Ian yang saat itu tengah membaca beberapa data tentang case kali ini segera merapikan bahannya setelah menyadari Sandy mendekati kapalnya.

“Ian, loe tau dermaga di rumah pantai keluarga Antonius Handoko?”, Tanya Sandy pada Ian.

“Ya, aku tahu. Mau kuantar kesana?”.

“Kalo loe ga keberatan sih, gua tadi nyusun data dulu jadi ditinggal”.

“Oke, nggak masalah”, Ian beranjak ke buritan kapal dari menarik jangkarnya, lalu kembali dan menyalakan mesin. Ian dapat menangkap sesuatu ada di pikiran Sandy, bagaimanapun Sandy adalah mahasiswa cerdas yang patut diwaspadai.

Kapal bermesin tunggal melaju kencang membelah laut, cuaca malam itu tampak cerah, bulan sabit bertengger dengan gagah di langit. Sandy menyandarkan sikunya pada besi di pinggir kapal sambil menghisap rokoknya, matanya tidak lepas memandang Ian yang sedang memegang kemudi kapal.

“Contoh air laut yang gua ambil di sini jauh lebih buruk dari air laut yang diambil di Jakarta”, Sandy membuka pembicaraan dengan sedikit berteriak, mencoba mengalahkan deru mesin dan angin laut yang kencang. “Padahal masih cukup jauh dari kilang minyak. Gua yakin, air di sekitar kilang pasti lebih buruk lagi”.

Ian menyetel kunci kemudi ke mode otomatis dan bergabung dengan Sandy di dok sambil membawa dua kaleng bir.

“Nggak, thank you...”, tolak Sandy saat Ian menawarkan sekaleng bir padanya. “Loe tau nggak Ian?, masih bisa melaut dan menghasilkan ikan yang segar saja sudah mukjizat di tengah perairan yang tercemar gini”.

Ian menenggak bir kalengnya sambil memandang lautan gelap di hadapan mereka. “Hasilnya tidak sebaik dulu waktu aku masih kecil. Daging ikan yang sekarang lebih cepat busuk”, komentarnya menanggapi ucapan Sandy.

“Betul kan?, perairan ini sudah cukup parah tercemar, kalo gini terus nggak tau deh kalian bisa bertahan berapa lama dari hasil laut”, Sandy menguatkan analisanya. “Mereka yang mencemari laut tidak berbeda dengan koruptor yang mencemari moral bangsa, seharusnya mereka dibinasakan saja, betul tidak Ian?”.

Sandy menatap tajam ke raut wajah Ian, namun sesaat kemudian dia terlihat sedikit kecewa karena raut muka Ian tidak berubah sedikitpun. Tampaknya Sandy mengharapkan sebuah reaksi dari Ian atas pernyataannya barusan, namun Ian tampak tidak mempedulikan komentar Sandy.

“Bagaimana kalian akan memperbaiki laut ini?”, Ian bertanya, masih dengan ekspresi datarnya.

“Oh kami tidak melakukan apa-apa”, Sandy merogoh tasnya, mengeluarkan beberapa lembar kertas dan menyodorkannya pada Ian. “Itu bukti yang akan membuat pemerintah terpaksa menutup kilang minyak sumber pencemaran itu. Gua cuma butuh dokumentasi supaya kertas itu jadi bukti tak terbantahkan. Itu kenapa gua butuh kunjungan langsung ke kilang minyak tersebut”.

Ian membaca sekilas kertas yang disodorkan Sandy padanya, kertas itu berisi data-data pembelian inventaris kilang berupa mesin dan peralatan pertambangan lainnya, lengkap dengan tahun pembuatannya. Ian cukup terkejut dengan data yang didapat oleh Sandy, data otentik seperti ini tidak didapatkannya dari Wise Crow. Darimana Sandy bisa mendapat informasi penting seperti ini?.

“Aku mendapatkan data itu dari orang dalam Pak Anton, saudaraku sendiri sih...”, Sandy menjelaskan, seolah-olah dapat membaca pertanyaan yang timbul di benak Ian. “Bisa tolong sembunyikan berkas itu?, setelah kunjungan ke kilang besok aku akan memintanya lagi”. 

Dalam hati Ian cukup terkejut dengan permintaan Sandy, namun dia tidak menunjukkan keterkejutannya itu. “Oke, akan kuletakkan di laci kemudi. Kau bisa mengambilnya kapan saja”.

“Metode apa yang bakal loe pakai?”, Sandy tiba-tiba bertanya sebuah pertanyaan yang membingungkan.

“Maksudmu?”, dengan terlatih Ian berpura-pura tidak mengerti dengan pertanyaan yang baru diajukan Sandy.

“Loe tau maksud gua”, Sandy menatap tajam ke wajah Ian. “Bagaimana? Racun penghenti jantung?, kecelakaan?, atau tembakan langsung ke otak kecil?”.

Ian balas menatap Sandy dalam diam sebelum menjawab; “Aku nggak ngerti apa yang kamu maksudkan”.

“Ini...”, Sandy melemparkan sepuntung rokok berstempel mawar dan tulisan SR di filter-nya. “Loe ada di daftar tertinggi di kepolisian, dengan sedikit googling saja gua udah bisa tau semuanya”.

Ian menatap puntung rokok itu tanpa reaksi. “Maaf, aku nggak paham”, Ujarnya sambil bergegas kembali ke ruang kemudi. Sandy mengenggam lengannya, menahannya untuk pergi.

“Gua bakal simpan rahasia ini, gua tau track-record loe. Loe cuma membunuh para penjahat yang nggak bisa ditangkap hukum, jujur aja, buat gua, Silent Rose adalah pahlawan bangsa. Jadi loe bisa percaya gua”, Sandy memberikan tekanan di setiap nada ucapannya.

“Kayaknya kamu salah orang, apa itu Silent Rose?”, Ian masih berusaha mengelak dengan wajah tanpa ekspresinya. “Kita hampir sampai”, Tambahnya. Sandy tertawa keras sambil melepaskan genggaman tangannya.

“Loe emang jago dan terlatih Silent Rose!!, apapun itu, gua mendukung, oke?!”, Sandy berkata sambil menyulut sebatang rokok. Ian hanya mengangkat bahu dan kembali ke ruang kemudi.

*_*_*

Acara makan malam sudah akan dimulai saat kapal Ian merapat ke dermaga kecil di kediaman Pak Antonius Handoko yang megah, beberapa kapal boat versi terbaru terlihat merapat rapi di dermaga itu. Sandy turun dan bergegas menemui kawan-kawannya.

“Ini dia profesor kami... dia yang paling jenius diantara kami”, Dimas memperkenalkan Sandy pada Pak Antonius yang segera mengulurkan tangan ke arah Sandy. Pak Antonius tersenyum, wajahnya terlihat ramah dan cukup segar di usia empat puluhannya ini. Sandy menjabat tangan Pak Antonius sambil balas tersenyum.

“Kenapa tidak bareng dengan yang lain?”, selidik Pak Anton, masih dengan nada yang sangat ramah.

“Eh... ada beberapa berkas yang harus saya rapikan dulu”, Jawab Sandy dengan sopan.

Pak Antonius melayangkan pandangannya ke arah kapal Ian, disana terlihat Ian yang sibuk dengan jangkarnya. “Itu teman kalian juga?”, tanyanya kemudian.

“Oh bukan pak, kebetulan kami menyewa pondok miliknya sebagai tempat berkumpul kami”, Dimas menjelaskan. “Dia hanya nelayan biasa”, tambahnya.

Pak Antonius manggut-manggut sambil tersenyum. “Mari, kita mulai acara jamuannya”, Ujarnya mempersilahkan.

Selama pesta berlangsung tidak banyak hal yang dilakukan oleh Ian, tentu Ian tidak ingin tampil mencolok di sarang targetnya. Meski terlihat seperti sedang menggambar sesuatu yang tak jelas, sebenarnya dalam kepalanya Ian sedang menghitung ulang rencananya. Sandy berhasil membongkar samarannya, namun jelas itu bukan hal yang mengejutkan Ian, karena Ian memang dengan sengaja meninggalkan puntung rokok itu di dermaga, sejak awal Ian sudah curiga dengan Sandy, bahwa Sandy punya tujuan lain selain studi. Dan dugaannya tepat, Sandy memiliki data penting yang bisa dia gunakan untuk case kali ini, satu yang jadi ketakutan Ian adalah kemungkinan bahwa Sandy adalah bagian dari Association. Karena selama ini Silent Rose selalu bergerak tanpa campur tangan Association.

Kesendirian Ian berakhir saat dia mendengar langkah kaki menaiki kapalnya. Ian beranjak keluar dari ruang kemudi dan Boris, salah seorang kepercayaan Antonius Handoko sudah ada di atas kapalnya.

“Ada yang harus kita bicarakan”, Ujar Boris sambil menodongkan sebuah pistol ke arah Ian.

*_*_*

Dimas turun dari kapal milik Ian dengan dipapah oleh Tommy, Sandy ikut membantunya sedang Gea dan Cintya sudah masuk lebih dulu ke dalam rumah.

“Ni orang nyusahin banget kalo mabok”, Keluh Tommy sambil memapah Dimas yang mabuk berat. Ian geleng-geleng menatap Dimas yang muntah beberapa meter kemudian. 

Setelah menurunkan jangkar, Ian kembali ke ruang kemudinya, ingatannya kembali ke kejadian di atas kapal saat jamuan di kediaman Antonius Handoko berlangsung.

...

Ian berpura-pura sedikit terkejut saat melihat pistol yang diarahkan kepadanya oleh Boris. Boris memberinya isyarat untuk tetap diam dan mendengarkannya.

“Ada hal penting yang dicuri oleh rombongan mahasiswa tersebut dari kami”, Boris memulai ucapannya. “Bos Anton memintamu bekerja sama dan masa depanmu terjamin”. Sebuah perbuatan bodoh, tidak ada orang yang menawarkan jaminan masa depan dengan moncong pistol terarah.

Boris mendekat ke arah Ian dengan pistol masih terarah dan menyerahkan sebuah ponsel dengan tangan kirinya yang tidak memegang senjata. Ian menerimanya.

“Tugasmu sederhana, besok kau antar rombongan mahasiswa itu ke lokasi yang akan kami sebutkan. Kami akan menghubungimu besok. Mengerti?!!”, Boris memberi tekanan di akhir ucapannya, Ian mengangguk takut, meski sebenarnya melumpuhkan Boris bukanlah hal sulit bagi Silent Rose yang sudah terlatih. Setelah menyerahkan ponsel tersebut Boris beranjak meninggalkan kapal.

Di belakang Boris yang tengah menjauh dari kapal, Ian tersenyum samar karena skenarionya berjalan dengan baik.

.....

Ian langsung siaga saat mendengar langkah kaki menaiki kapal. Tidak lama kemudian, Cinthya muncul di ambang pintu, masih dengan gaun pesta birunya.

“Ada yang ketinggalan?”, Tanya Ian sambil beranjak dari kursinya. Cinthya menggeleng, lalu keadaan hening sejenak.

“Ehm….”, Cinthya membuka pembicaraan dengan ragu-ragu. “Soal kata-kata kasarku tempo hari…”.

“Jangan terlalu dipikirkan”, Ian memotong tegas. “Aku sudah melupakannya”.

“Tapi aku tidak”, Cinthya berkeras. “Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan semuanya”.

Ian membiarkan Cinthya duduk di kursi sebelahnya dan mulai bercerita tentang kehidupannya. Tentang bagaimana dia hidup hanya dengan ibunya, Ayahnya entah kemana. saat menginjak kelas 1 SD, dia harus kehilangan Ibunya, sehingga dia harus dirawat oleh neneknya. Pada usia ke 17 nya, neneknya meninggal dan sejak saat itu dia hidup sendiri dari warisan Ayahnya yang ternyata sangat besar. Cinthya tidak mampu menahan air matanya ketika Ian menanyakan perihal cerita cintanya. Dengan lembut Ian menyodorkan tisu untuk menyeka air mata Cinthya.

“Sebaiknya kau istirahat”, ucap Ian. “Besok adalah hari yang panjang bagi kalian”.

“Oke”, jawab Cinthya sambil beranjak dari kursinya. “Terima kasih mau mendengarkan ceritaku”. Cinthya lantas bergerak turun meninggalkan kapal.

Ian menatap Cinthya yang sesekali menoleh ke arahnya, dalam hati, Ian tersentuh dengan cerita gadis cantik itu, dan itu aneh, tidak pernah sebelumnya dia merasa begitu tersentuh dengan tokoh dalam rencananya. Ian menepis perasaan anehnya, dia punya Case yang harus diselesaikan. Ian bergegas turun ke gudang dan melumuri pakaian selamnya dengan ganggang yang dapat menghalau serangan hiu. Besok, panggung yang sebenarnya akan mulai dibuka.

“Kau yakin data itu aman?”, bisik Tommy pada Sandy di sela-sela perjalanan mereka menuju kilang minyak tersebut.

“Lebih dari aman”, Sandy menjawab penuh percaya diri. “Dengan ini, kita tidak hanya menyelamatkan lingkungan, tapi juga mata pencaharian penduduk di sekitar sini”.

Gea, Cinthya dan Dimas terlihat asyik berfoto ria di geladak kapal, dari ruang kemudi, Ian menatap sosok Cinthya yang beberapa kali sempat mencuri pandang ke arahnya juga. Cinthya terlihat seksi dengan tanktop biru senada dengan hotpants yang terbalut kain pantai bermotif bunga yang dikenakannya. Rambut panjangnya bergerak ringan tertiup angin laut.

“Tiiiiiiiiitttttt…….”.

Penunjuk GPS System yang terpasang di samping kemudi berbunyi, pertanda bahwa kapal telah sampai ke titik koordinat yang dimaksud pada SMS yang diterima Ian dari Boris. Ian menghentikan kapalnya perlahan, lalu menarik tuas rem bersamaan dengan mematikan mesin, mengakibatkan terlihat bahwa kapal berhenti akibat mesinnya bermasalah.

“Ada apa?”, tanya Tommy ke Ian yang bergegas keluar dari ruang kemudi. Ian mengangkat bahu.

“Kalian tenang saja, aku akan memeriksa mesin”, jawabnya sambil bergegas masuk ke ruang mesin di bawah geladak kapal.

“Kenapa kita berhenti?”, Cinthya datang menghampiri. Rambutnya tergerai tertiup angin, membuatnya kelihatan makin cantik.

“Ada gangguan pada mesin”, jawab Ian kalem. “Aku akan memeriksanya”.

Ian masuk ke ruang mesin dan mengunci pintunya, dia membuka sebuah kotak berisi pakaian selamnya dan mengenakannya. Tidak ada orang yang tahu bahwa kapal itu punya pintu rahasia yang langsung menuju ke laut lepas. Ian menyelam ke dalam laut melalui pintu tersebut. Dia meninggalkan para mahasiswa-mahasiswi itu. Kini, Ian hanya berharap pada kecerdasan Sandy agar mereka dapat keluar dari posisi bahaya yang mengancam mereka.

Selang beberapa menit kemudian, sebuah suara terdengar diantara deru-deru ombak lautan. Dari kejauhan terlihat sebuah helikopter mendekat ke arah mereka.

“Wah kebetulan nih, ada tumpangan”. Tommy beranjak hendak keluar dari ruang kemudi namun Sandy buru-buru menahannya.

“Mending tetap disini”, ujar Sandy dengan wajah serius.

Tommy menyingkirkan tangan Sandy di lengannya. “loe kenapa si..”.

Belum selesai Tommy bicara, suara rentetan senapan mesin memecah ritme debur ombak, diikuti ledakan dari sisi belakang kapal. Kontan, mereka langsung menunduk panik.

“Ruang mesin!!”, teriak Sandy sambil bergegas membuka panel di sudut ruang kemudi. “Tom! Dim!! Bantu gua!!!”.

Seolah tersadar, Tommy dan Dimas segera membantu Sandy membuka panel yang merupakan pintu menuju ruang mesin. Setelah pintu terbuka, Sandy memerintahkan mereka untuk masuk. 

“Ayo!! Kita cari Ian!!”, ujar Sandy panik, Cinthya, Gea, Dimas dan Tommy segera bergegas mengikuti Sandy. Mereka berlari menuruni tangga dan menemukan ruang mesin yang kosong, tidak ada tanda-tanda keberadaan Ian, hanya sebuah sekoci kosong yang ada disana.

“Sial!! Dimana tuh anak?!”, Tommy berseru panik. Sandy bergegas mendekat ke arah sekoci. Baginya, sungguh aneh ada sebuah sekoci di ruang mesin. Sandy memeriksanya dan tersenyum.

“Dim! Tomm! Bantuin gua angkat sekoci ini!, kita berlindung di balik sekoci ini!. Kenakan juga pelampung!”. Seru Sandy.

“Apa gunanya bersembunyi di balik sekoci?”, tanya Tommy. Raut wajahnya sudah terlihat panik.

“Sekoci ini tahan ledakan dari luar, ini bukan sekoci biasa!”. Sandy buru-buru menjelaskan sambil kebingungan memeriksa sekeliling.

“Apa yang loe cari San?”, Gea bertanya.

“Hiu!! Masalah kita yang tersisa tinggal hiu!. Perairan ini banyak hiunya!!”, sekali lagi Sandy menunjukkan kelebihannya melakukan analisa cepat di saat darurat.

“Ganggang!! Pasti ada ganggang disini!! Ian menggunakannya untuk menghalau hiu! Lumutkan di seluruh tubuh kita!”, Gea teringat ganggang yang pernah dijelaskan oleh Ian.

“Ini!”, Anton membuka sebotol penuh serbuk hijau kering berlabel ‘Ganggang’, dengan terburu-buru, mereka mengenakan pelampung, melumuri tubuh mereka dengan ganggang dan berkerumun di balik sekoci yang terbalik.

Rentetan senapan masih terdengar sebelum sebuah ledakan menutupi suara itu. Mesin kapal itu meledak hebat.

“Sepertinya cukup…”, ujar Antonius Handoko sambil mengangkat satu tangannya. Boris yang duduk di kursi belakang menghentikan tembakannya.

“Kalaupun ada yang selamat, Cuma akan jadi santapan hiu”, tukas Boris yakin.

“Kita kembali ke rumah”, perintah Anton pada juru kemudi. Helikopter itu berputar arah dan berbalik meninggalkan kapal yang tengah terbakar hebat.

Tanpa mereka sadari, ada sesuatu yang terbang mengikuti mereka.

*_*_*

“Semuanya baik-baik saja?”, tanya Tommy sambil berusaha membalikkan sekoci.

Berkat sekoci berlapis baja tahan ledak itu mereka selamat, bergantian mereka menaiki sekoci tersebut. Dimas mengambil sebuah papan kayu yang belum sempat terbakar untuk digunakan sebagai dayung.

“kemana arah kita?”, Tommy bertanya. Sandy tampak serius memandangi langit biru diatas mereka dan mencari matahari.

“kesana…” jawab sandy mantap. “seharusnya ada pulau kecil disana”.

Sementara itu, didalam helikopternya yang tengah dalam perjalanan pulang, Antonius Handoko, Boris, dan seorang juru kemudi masih belum menyadari bahwa tepat dibelakang mereka, mengikuti dengan jarak yang ketat, sebuah helikopter RC yang telah diisi dengan bom. Tiba-tiba RC itu mempercepat lajunya, menghantam baling-baling helikopter yang ditumpangi oleh Antonius dan seketika meledak. menghancurkan helikopter dan penumpangnya dengan bom yang dibawa oleh RC kecil itu.

*_*_*

Cinthya dan kawan-kawan memang berhasil mencapai ke sebuah pulau yang dimaksud Sandy, yang tidak diketahui oleh Sandy adalah pulau itu sebenarnya tempat Antonius Handoko menyimpan Narkotika yang merupakan salah satu bisnisnya. Sandy, Dimas, Tommy telah mati terbunuh oleh para preman yang menjaga pulau itu. dan kini, kedua mahasiswi cantik itu dibawa ke sebuah gubuk di tengah pulau.

"Cantik juga...", ujar salah satu preman yang mendapat keberuntungan menikmati kemolekan tubuh Gea.

Tawa-tawa beringas dan jeritan-jeritan terdengar dari sebuah gubuk di pulau kecil itu, di dalam sana, Gea tengah diperkosa beramai-ramai. Seorang pria botak bertato tengan asyik menyetubuhi Gea di sebuah meja, sesekali Gea menjerit lemah. Tidak jauh dari mereka. Cinthya meringkuk takut di sudut ruangan.

"Sebentar lagi cewek satunya tuh yang kita kerjain. Hehehe…”, ujar pria brewok berbadan besar yang juga penuh tato.


Pria botak itu mengejang, membenamkan penisnya dalam-dalam, pertanda dia sedang berejakulasi di dalam rahim Gea. Gea tampak lemas dan pasrah. Cinthya meronta saat kakinya ditarik oleh salah seorang dari mereka, tangannya berusaha menggapai pegangan dan… dia berhasil memegang sebilah parang!. Dengan panik Cinthya menebas parang ke arah tangan pria yang menariknya hingga putus, pria itu menjerit kesakitan, Cinthya bergegas panik kabur dari gubuk itu.

“GOBLOK!! Siapa naruh parang disitu!! Kejar cewek itu!!”, perintah pria botak bertato. Gerombolan pria itu segera menghambur mengejar Cinthya keluar gubuk. 

Cinthya berlari tanpa tahu arah, dia berlari ke arah pantai, saat dia menoleh ke belakang, tampak pengejar-pengejarnya semakin dekat. Reflek, Cinthya melempar parang di tangannya, parang itu menancap tepat, membelah dahi salah satu pengejarnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Cinthya untuk terdesak, dia putus asa, memejamkan mata, sekilas ingatannya kembali pada saat mereka sampai di pulau yang ternyata adalah tempat bandar narkoba, bagaimana Sandy, Tommy dan Dimas telah dibunuh oleh gerombolan ini. Bagaimana Gea diperkosa bergiliran oleh mereka semua. Cinthya tersadar saat salah seorang dari pengejarnya itu menjambak rambutnya dan menyeretnya di atas pasir.

Lalu jambakan di rambutnya mengendur….

Lalu laki-laki itu tersungkur dengan lubang di dahinya….

Cinthya tidak sempat bereaksi, dia hanya bisa memandang tubuh-tubuh pengejarnya yang jatuh satu-persatu dan pasir yang mulai memerah terkena darah. Setelah para pengejarnya jatuh, dia melihat sesosok pria berjalan menenteng senapan laras panjang. Ian!!.

“Jangan katakan apapun”, ujar Ian sebelum Cinthya sempat berkata-kata. “diam disini”. Ian lalu berjalan menuju gubuk tempat Gea diperkosa.

*_*_*

Beberapa jam kemudian, 7th Clover Café, Jakarta.

Cahaya remang di seisi ruangan kafe yang kosong tanpa pengunjung itu membuat suasana terasa sedikit relax. Mr. Wise menyuguhkan segelas cappucino ke arah Ian, wajahnya masih tanpa ekspresi, bahkan saat Ian masuk bersama seorang gadis asing bernama Cinthya.

“Kenapa berantakan sekali?”, Mr. Wise berujar pelan sambil mengelap beberapa gelas kacanya. Ian tidak segera menjawab, dia meneguk cappuccino hangatnya.

“Entah”, jawabnya datar. “yang jelas, ini sudah terjadi”.

“oke aku tidak akan bertanya. Kau tahu aturannya, berkas bukti kriminalitas Antonius Handoko sudah masuk ke meja polisi. Kekacauan di pulau sudah kuurus, sekarang, apa rencanamu?”. Mr. Wise mengerling sedikit ke arah Cinthya yang ada di meja sudut ruangan, masih tampak shock dengan apa yang dialaminya.

“dia…”, bibir Ian sedikit bergetar, dia sendiri bahkan tidak tahu kenapa dia malah memutuskan untuk menarik pelatuk demi menyelamatkan gadis ini.

“dia tahu identitasmu sebagai Silent Rose. Kau harus membunuhnya, kecuali kau mau mengambil resiko”. Wise memotong ucapan Ian. Kini ia tampak sibuk dengan botol-botol wine nya.

“dia sebatang kara, aku ambil resiko itu. Dia akan bersamaku”, jawab Ian lirih. sekali lagi dia merasa telah mengambil keputusan yang irasional.

“dia tak bisa bersamamu sebagai dia yang dulu”.

“Aku tahu”. Ian menyulut rokoknya, tampaknya dia sudah mulai menyerah dan menerima keputusan aneh yang dibuatnya sendiri. “Aku butuh identitas baru untuknya”.

“Hmm…” Wise menggumam sejenak. “itu bukan permintaan yang bisa langsung disiapkan begitu saja Rose…”. Wise meletakkan kain serbetnya. “Tapi aku punya identitas yang cocok untuknya”.

“Berapa harganya?”.

“Kau tidak perlu membayarnya dengan uang, aku hanya minta maafmu”.

"Maaf?!”, Ian mengernyitkan dahinya. dia telah merasa cukup aneh hari ini, dan kali ini jawaban Mr. Wise terdengar jauh lebih aneh.

“Saat kau menjalani pendidikan di Jerman, Ayahmu menikah lagi dengan seorang gadis Tasikmalaya, dan dikaruniai seorang anak perempuan”.

“Apa?!", nada suara Ian sedikit tinggi. "aku punya adik perempuan?! Kena..”.

“Ibu dan anak meninggal dalam kecelakaan Bis, saat sang anak berusia lima tahun”, Wise memotong. Ian terdiam, pernyataan Wise Crow membungkamnya.

“Aku menyembunyikan hal ini atas permintaan mendiang Ayahmu. Aku bisa memberi gadis itu...”, Wise mengerling ke arah Cinthya. “identitas adikmu, jadi kalian bisa tinggal serumah sebagai kakak-adik”.

Ian terdiam, pikirannya masih terbawa beberapa kejutan yang tadinya tak diharapkannya. Dia terdiam cukup lama sebelum akhirnya Ian setuju bahwa itu adalah identitas terbaik untuk menjaga kerahasiaannya dan Association.

“beri dia terapi agar bisa sembuh dari traumanya, mungkin dia bisa berguna untukmu, dia gadis yang cantik”. Komentar Wise sambil memandangi Cinthya. “Akan kusiapkan identitas barunya sebagai adikmu”.

“Siapa nama adikku?”, tanya Ian sambil meneguk Cappucino nya.

Mr. Wise terdiam sejenak. “Eva… Evangeline Irene”. Jawabnya kemudian.
*_*_*

Tidak ada komentar :

Posting Komentar