Sore itu Sasha ikut pulang ke apartemen Santo. Sasha ingin mengambil beberapa barang yang dibutuhkan. Dalam perjalanan, Shinta bercerita tentang rencana kepulangannya ke Jakarta pada musim gugur nanti. Dia sempat berpesan kepada Sasha untuk titip Santo. Bahkan dia meminta Sasha untuk kembali tinggal di apartemen Santo jika dia kembali ke Jakarta. Shinta merasa lebih tenang jika ada Sasha di apartemen Santo. Shinta percaya dengan Sasha tapi Sasha tidak langsung mengiyakan permintaan Shinta.
"Santo, ada tamu dateng..," ujar Shinta ketika membuka pintu apartemen.
Santo yang berada di kamar langsung menghampiri teriakan Shinta. Begitu melihat Shinta datang bersama Sasha, penasaran Santo langsung hilang. "Wah kalo itu mah bukan tamu, dia itu anak ilang yang kabur dari rumah," ujar Santo.
"Tuh kan Sha, elu bukan tamu. Elo itu anak ilang, artinya elo bagian dari apartemen ini. Jadi nanti elo harus balik lagi nemenin Santo kalo gue dah balik ke Jakarta. Boleh kan To?" Ujar Shinta.
"Loh kamu mau balik kapan Shin?," Santo merasa belum diberi tahu Shinta tentang rencananya.
"Mungkin akhir bulan ini sayang, kenapa? Bakalan kangen ya?" Goda Shinta ke Santo.
"Ooo, kok gak ngasih tahu."
"Loh ini ngasih tahu," balas Shinta.
"Iya, aku kira kamu ngasih tahu aku duluan," balas Santo.
"Oo, jadi kamu cemburu, aku kasih tahu Sasha duluan di banding kamu. Tenang aja Santo sayang, aku gak ada perasaan apa-apa sama Sasha kok," canda Shinta.
"Hua ha ha ha, rasain lo To. Kena batunya sekarang lo," timpasl Sasha.
Sasha langsung masuk ke dalam bekas kamarnya. Tapi dia heran karena kamarnya tidak ada yang berubah, masih seperti dulu. "Lo gak pakai kamar ini?" Tanya Sasha ke Shinta yang ikut masuk ke kamar.
"Nggak, gue sempet taro pakaian di lemari. Tapi akhirnya gue pindahin ke kamar Santo, biar lebih praktis," ujar Shinta.
"Iya ya, ngapain elo bedua pakai dua kamar. Salah pertanyaan gue," ujar Sasha.
"He he he..."
"Eh Sha, sekarang aja elo langsung pindah ke sini. Lagian lebih rame kalo ada elo," ujar Shinta yang sedang mengambil barang-barangnya.
"Ih ogah, ntar gue denger elo lagi oh yes oh no, gue cuma blingsatan sendiri," ujar Sasha.
"Ya elo langsung masuk aja. Kan gue dah bilang tadi, asyik ya kalo three some," goda Shinta.
"Ah emang elo dah niat pengen coba gituan ya, ha ha ha," ujar Sasha.
Mereka tertawa bersama. Shinta bahagia bisa saling berbagai dengan Sasha. Bahkan Shinta tidak lagi cemburu seperti saat dia datang pertama kali. Dia bisa merasakan bahwa Sasha adalah perempuan yang tangguh. "Nih Shin, kalo elo kurang puas, elo pake ini aja," ujar Sasha sambil menunjukkan dildo simpanannya.
"Iih apa tuh Sha?," Shinta penasaran. Sasha kemudian memberikan benda itu dan menjelaskan fungsinya. Sasha menyebutkan bahwa dildonya bisa bergetar dan membuat gerakan memutar.
"Ooo, pantesan elo santai-santai aja. Punya ini ya. Gede Sha...," ujar Shinta takjub.
"Ha ha ha ha, buat elo aja deh. Anggap aja hadiah dari gue," ujar Sasha. "Inget ya, kalo abis pakai, cuci yang bersih, pakai alkohol. Simpen lagi di tempatnya," tambah Sasha.
"Ah coba ah," ujar Shinta langsung mengangkangkan kakinya sambil duduk di atas kasur.
"Gila lo ya," ujar Sasha. Tapi Shinta malah melakukan gerakan erotis sambil memaju mundurkan dildo itu di depan vaginanya yang masih terbungkus celana pendek sambil tertawa.
"Santo, cewek lo gillaaaa....," teriak Sasha memanggil Santo.
Mendengar Sasha teriak, Shinta semakin menjadi menggoda Shinta. Dia menghampiri Sasha yang sedang membereskan barang-barangnya. Shinta lalu menarik tubuh Shinta hingga terjatuh terlentang di atas kasur. "Sekarang elo gue perkosa!," ujar Shinta pura-pura serius.
"Ooohhh....mau dong....," Sasha membalas menanggapi Shinta. Tanpa ragu-ragu, Shinta langsung menyergap tubuh Sasha. Dia menggerayangi tubuh Sasha. Sampai Sasha merasa kegelian dan tertawa terbahak bahak. "Santooo...cewek lo gokil....," Shinta terus teriak.
Shinta tambah gila lagi. Kali ini dia meraba vagina Sasha. "Shinttaaaaa....elo gilaaaa....," Sasha berusaha merapatkan pahanya. Namun Shinta berusaha merenggangkan paha Sasha. Shinta kemudian menggesek-gesekkan dildo di atas selangkangan Sasha. Sasha sampai tak kuat tertawa dan ngos-ngosan sendiri.
"Ampun Shin, ampun ...," Sasha menyerah dengan candaan Shinta, dan Shinta pun menghentikan aksinya. Mereka tertawa bersama sambil berbaring berdampingan. "Gila lo Shin, ha ha ha," ujar Sasha.
"Eh kok meki gue jadi gatel beneran nih," ujar Sasha.
"Nah lo, terus?," Shinta yang merasa berhasil mengerjai Sasha.
"Ya elo tanggung jawablah...," ujar Sasha yang gantian meraih tubuh Shinta.
"Iiihhh... Ada Santo tuh...minta Santo sana," Shinta berusaha berontak.
"Gak mau sama Santo. Sama elo aja," Shinta sudah menduduki Shinta yang terlentang. "Sekarang elo yang gue perkosa!" Ujar Sasha.
Kali ini sepertinya Sasha tidak benar-benar bercanda. Dia meraba payudara Shinta yang masih terbalut kaos. Shinta menanggapi candaan Sasha dengan erangan-erangan erotis. Tapi sebenarnya, Shinta juga mulai menikmati rabaan Sasha.
"Sha udah Sha, nanti gue pengen beneran," pinta Shinta menyudahi candaan mereka.
"Ya udah sekalian aja, dari tadi kan elo mancing gue mulu," balas Sasha sambil terus menggerayangi payudara Shinta. Bahkan Sasha kemudian meraba payudara Shinta dari balik kaosnya. Dia mengangkat kaos Shinta, sehingga payudara yang masih terbungkus bra krem terlihat jelas.
"Hhhmmm toket....," ujar Sasha mendesis, memancing gairah Shinta. Sasha meremas halus payudara yang masih terbungkus bra itu, namun tak lama kemudian dia langsung menyingkap bra Shinta dan meraup payudara Shinta. Dia meraba, dan memilin putingnya.
Dua puting langsung dia kerjakan sekaligus. Shinta tentu saja blingsatan. Namun dia langsung sadar bahwa yang memancing birahinya adalah Sasha, sesama perempuan. "Sha...udah...Sha...," pinta Shinta memelas.
"Udah elo nikmatin aja, kan elo yang penasaran," balas Sasha.
"Udah Sha, gue belum pernah...," Shinta terus merajuk, meski desahannya tidak berhenti.
"Gue juga belum pernah Shin. Ini pertama kalinya gue sama perempuan," balas Sasha.
Sasha langsung menghisap puting Shinta. Sebagai sesama perempuan, dia tahu titik-titik mana yang langsung membakar gairah seorang perempuan. Maka tak ayal Shinta kelabakan.
Tak puas menghisap puting Shinta, tangan Sasha menyusup ke balik celana Shinta. Tangannya langsung menuju vagina Shinta. Jari-jarinya melewati bagian kasar di bawah pusar, dan terus mencari belahan di bawahnya. Shinta mendesis ketika satu jari Sasha melintas di atas klitorisnya.
"Aaaahhhhh..... Sha...." Sasha menambah frekuaensi ransangan di bagian sensitif Shinta. Tidak hanya satu jari, jari tengah dan jari telunjuk berkolaborasi memberi ransangan pada klitoris Shinta. Dua jari itu menekan dan menjepit tonjolan daging lunak di atas lubang vagina Shinta. Sementara itu lidahnya mengulum puting Shinta.
"Shaaaaaa.......sssshhhhsssss....," Shinta terus mendesis keenakan. Melihat Shinta yang menikmati rangsangan itu, Sasha memberi kode agar Shinta melepaskan semua pakaiannya. Serta merta Shinta bangkit dan melepaskan pakaiannya. Sasha pun tidak mau kalah, dia juga melucuti satu persatu pakaiannya.
Shinta yang selesai lebih dulu, langsung rebah kembali di atas kasur, sedangkan Sasha mengambil dildo yang tadi jadi barang candaan mereka. Sambil memegang dildo, wajah Sasha menghampiri vagina Shinta. Lidahnya menjulur membelai rekahan labia mayora Shinta.
"Ooooo......shit...., enak Sha," Shinta berkomentar dengan mata terpejam. Sasha memberikan servis yang maksimal. Dia tahu bagian mana saja yang menjadi titik sensitif perempuan. Setelah lidahnya menekan klitoris Shinta berkali-kali, akhirnya dia memasukkan dildo ke dalam vagina Shinta.
"Oooohhhhh....," Shinta mendesis lagi. Perlahan dildo itu dibenamkan. Sasha tahu sensasinya vagina ketika disumpal dildo yang besar. Dia memasukkan pelan-pelan, selain untuk menghilangkan nyeri, juga untuk memberi kesempatan pada syaraf seks di vagina bekerja maksimal.
Sasha mencabutnya perlahan dan berusaha tetap tidak terlepas. Sasha kemudian mengkombinasikan sodokan dildo itu dengan hisapan di puting Shinta. Mulutnya berganti-gantian menghisap dan menjilat puting Shinta. Dan sodokan dildonya pun mulai semakin cepat.
Shinta tersengal-sengal dengan gairah yang besar. Tubuhnya seakan-akan tidak mampu menahan semua gejolak seks yang dimunculkan oleh Sasha. Puncaknya adalah ketika Sasha menyalakan mode getar dan gerak dildo itu. Shinta semakin blingsatan.
"Sssshhhaaaaa.....," Shinta tahu tahu lagi harus berbuat apa. Puncaknya adalah ketika Shinta menarik kepala Sasha dari payudaranya dan wajahnya didekatkan ke wajahnya. Shinta langsung menyosor bibir Sasha. Dia tak peduli kalau dia mencium perempuan. Birahinya sudah hampir sampai, dan dia butuh penyaluran emosinya.
"Hhhhppphhheeeeppphhh...pphheepp...," hanya suara itu yang keluar dari mulut keduanya ketika tangan Shinta memeluk erat tubuh Sasha, dan badannya menengang. "Hhhhhaaaaahhh.....," Shinta melepaskan cimumannya di bibir Sasha. Lega rasanya semua birahinya terlampiaskan.
"Gila, enak banget Sha," Shinta tersengal-sengal. Dia mengatur nafasnya perlahan, sedangkan Sasha masih menindih tubuhnya. "Sekarang gantian elo," ujar Shinta.
Sasha pun bangkit dari posisinya. Dia langsung mengarahkan selangkangannya yang sudah basah di atas mulut Shinta. Shinta tahu apa yang diinginkan Sasha. Lidahnya menjulur menjangkau belahan vagina Sasha.
Sasha menurunkan sedikit panggulnya, agar usapan lidah Shinta terasa oleh titik-titik syaraf seks vaginanya. Ketika lidah Shinta terasa di vaginanya, Sasha merangsang sendiri payudaranya. Kedua tangannya meraba payudaranya.
Sekilas Shinta melihat aksi Sasha. Tangannya bersusah payah untuk menjangkau payudara Sasha sambil tetap menjilat vagina. Shinta belum berpengalaman, sehingga remasan di payudara Sasha terkesan asal saja. Sasha memandu tangan Shinta.
"Iya begitu Shin," ujar Sasha ketika Shinta melakukan tugasnya dengan benar. "Eeemmmppphhhhh...," Sasha menahan erangan suaranya sendiri. Tahu jika lawan mainnya kurang jam terbang, Sasha bangkit dan berganti posisi menjadi terlentang di kasur. Dengan posisi ini Shinta lebih mudah untuk memuaskan dirinya.
Shinta meneruskan pekerjaannya, mengorek vagina Sasha dengan lidahnya. Tangannya kembali meraba payudara Sasha. Dan kali ini, Shinta melakukan tugasnya lebih leluasa. "Shin masukin jari lo ke memek gue," pinta Sasha.
Shinta menyanggupi permintaan itu. Telunjuknya menerobos vagina Sasha yang sedikit terbuka. Terasa basah sekali, dua kali tusukan, Sasha minta Shinta mengganti jarinya dengan jari tengah. "Pake jari tengah lebih enak Shin," ujar Sasha.
Terus saja Shinta mengocok vagina Sasha engan jari tengahnya, dan dia berprovisasi dengan mengulum puting payudara Sasha. Shinta mencontoh apa yang dilakukan Sasha kepadanya tadi. "Ooooohhhhhh.....anjrit enak isapan lu Shin," ujar Sasha menyemangati Shinta.
Shinta mengagumi payudara Sasha yang lebih besar darinya. "Toket lo montok Sha, lebih empuk dari punya gue," ujarnya di sela-sela perpindahan isapan puting.
"Sabar sayang, nanti Santo yang bikin toket lo gede," ujar Sasha sambil terpejam menikmati semua birahinya. Shinta terus menyodok dan mengulum puting Sasha. Sampai dia sendiri sebenarnya ikut terangsang.
"Shin, pake dildo," pinta Sasha.
"Belum dicuci Sha."
"Gak apa, bekas lo ini," balas Sasha. Shinta langsung mengambil dildo yang ada di atas kasur. Dia memasukkan dildo itu perlahan, sama ketika Sasha memasukkan ke vaginanya tadi.
"Oooohhhhh.....," Sasha melenguh ketika dildo itu dilumat vaginanya. Shinta kemudian mengocok vagina Sasha dengan dildo dengan perlahan. Tangan Shinta yang lain kemudian meraba payudara Sasha. Shinta gemas dengan bentuk payudara Sasha yang menggiurkan laki-laki, sehingga dia meremasnya.
Shinta kemudian mengganti tangannya dengan lidahnya. Dia mengulum puting Sasha. Namun tak berapa lama kemudian Sasha meminta Shinta untuk menjilat klitorisnya. Maka Shinta pun menjilat klitoris Sasha.
Sasha menikmati apa yang dilakukan Shinta. Dan dia meminta rangsangannya ditambah. "Shin, nyalain vibratornya. Terus elo tetep jilatin itil gue dong," pinta Sasha. Sasha langsung berimporviasasi. Setelah menyalakan mode bergetar, dia mendiamkan dildo itu tertanam di vagina Sasha. Lidahnya tetap menjilat klitoris Sasha, sedangkan kedua tangannya memilin puting Sasha. Hasilnya, Sasha kelojotan.
"Ooooohhhhh Shiiinnnn...... Elo pinter....," ujar Sasha. Shinta terus memanjakan klitoris dan kedua puting Sasha. Dan tak lama kemudian, badan Sasha menegang, melengkung, dan orgasme. "Oooooooooo.......sshhiiitttt.......," Sasha melolong keenakan.
Nafasnya tersengal, dan tangannya langsung mencabut dildo yang masih tertanam. Shinta rebah di samping Sasha, menatap sahabatnya yang sedang menikmati orgasme. "Makasih ya sayang...," ujar Sasha sambil membelai pipi Shinta. Shinta tersenyum manis.
Kedua perempuan itu mendapatkan pengalaman baru. Sasha, meski sudah malang melintang dalam urusan seks, namun dia belum pernah mencumbu dan dicumbu oleh sesama perempuan. Sedangkan Shinta, baru dua minggu terakhir melakukan aktivitas seks secara rutin bersama Santo. Dan dia langsung mendapat pengalaman yang lebir liar bersama Sasha.
"Eh sayang, kamu ngapain di situ. Nonton live show ya," Shinta memergoki Santo yang ternyata sudah memindahkan kursi di depan pintu kamar Sasha menyaksikan aksi Sasha dan Shinta.
Sasha yang baru sadar Santo melihat aksinya langsung berusaha menutupi tubuhnya dengan bantal dan guling. Sedangkan Shinta bangkit menghampiri Santo.
"Kamu kenapa gak gabung aja? Yuk sini," ajak Shinta.
"Gak ah. Kalian berdua ternyata..." Santo tidak berani meneruskan kata-katanya.
"Apa? Lesbi? Biseks? Kita cuma cari pengalaman berbeda aja kok. Gak sampai pakai perasaan," ujar Shinta yang kemudian memeluk Santo meski tubuhnya masih telanjang.
"Kamu gak pengen dilayani dua perempuan? Yuk sini gabung," tangan Shinta sambil bergelayut di leher Santo. Santo tak bisa mengelak ketika Shinta menarik dirinya untuk masuk ke dalam kamar.
"Kok elo tutupi Sha, kenapa?" Shinta heran melihat Sasha yang menutupi tubuhnya dengan kain yang ada.
"Malu tahu," ujar Sasha yang mukanya merah.
"Malu? Inikan Santo," ujar Shinta.
"Iya Santo. Santo kan cowok lo," ujar Sasha.
"Ha ha ha ha...," Shinta malah tertawa.
"Kok elo malah ketawa Shin?"
"Ya iyalah. Gue baru dua minggu dateng ke sini. Padahal sebelum gue ke sini, elo berdua fine-fine aja," ujar Shinta.
"Ya bedalah. Sekarang dia punya elo. Meski dia sahabat gue, tapi dia cowok lo," ujar Sasha.
"Ha ha ha. Ya udah gini ya. Gue memang sayang sama Santo. Kita mungkin memang pacaran, meski gak ada kata-kata jadian. Tapi gue juga tahu kalo elo berdua sahabatan dari lama. Gue beruntung ketemu elo Sha. Gue bisa percaya sama elo. Nah nanti, kalo gue pulang ke Jakarta, gue pengen elo bantu gue, jagain Santo. Santo, kamu cuma boleh ML sama Sasha ya, nggak boleh sama yang lain. Sha, tolong ya, kalo cowok gue lagi butuh elo kasih ya, kan elo bedua dah sahabatan dari lama," ujar Shinta setengah bercanda.
"Iiiih apaan sih lo Shin," ujar Sasha.
"Iya, kenapa juga begitu?" Santo coba membantah Shinta yang duduk di kasur.
"Ya terus gimana? Kalo kamu lagi kepengen apa kamu onani terus? Kan pasti pengen ngerasain meki juga kan? Nah dari pada aku gak tahu kamu sama perempuan lain, mending kamu sama Sasha aja. Dah jelas, aku tahu siapa orangnya. Dan aku percaya sama Sasha ini," jelas Shinta
"Iiih kayaknya nggak gitu deh Shin, gue mendingan cari yang lain. Maaf ya To," balas Sasha.
"Iya, Sha. Gue juga mending onani sendiri aja kalo emang gue gak boleh sama perempuan lain," timpal Santo.
"Iya-iya. Gue ngerti kalian gak mau nyakitin gue. Atau kalian ternyata sudah punya batas masing-masing. Terserah kalian. Tapi kalau suatu saat kalian ngelakuin, aku gak akan marah. Dan gak usah ditutup-tutupi ya," ujar Shinta. "Kamu sini To, tidur di samping aku," Shinta mengajak Santo rebahan di sampingnya sedangkan Sasha di sisi yang lain.
"To gue mau tanya sama elo deh?" Sasha membuka ganjalannya.
"Apa Sha?"
"Elo sayang sama Shinta?"
"Mungkin. Gue belum tahu," ujar Santo.
"Iya gak apa. Elo beruntung To. Ada orang yang cinta sama elo To. Bukannya dah lama elo nyari orang yang bener-bener sayang sama elo?"
"He he he, sejujurnya gue masih bingung Sha. Sinta ini bener-bener sayang sama gue apa dia mau balas dendam? He he he," ujar Santo.
"Kamu kok masih belum percaya kalau aku sayang kamuuuu Santo," ujar Shinta sambil mencubit badan Santo. Santo yang mengelak malah membuat Shinta berusaha menguasai tubuh Santo. Shinta yang telanjang pun menduduki tubuh Santo.
"Nih kalo nggak percaya aku sayang kamu," ujar Shinta yang langsung melumat bibir Santo. Sambil mencium Santo, Shinta kemudian berusaha membuka kaos Santo. Kaos itu dengan mudah dilepas karena Santo membantunya. Tak puas dengan kaos, Shinta melucuti celana Santo. Sehingga dalam sekejap, Santo sudah bugil.
Shinta mencumbu tubuh Santo seperti yang dia lakukan setiap malam selama dua minggu itu. Dia tak peduli jika di sampingnya, Sasha memperhatikannya. Shinta langsung saja mengulum penis Santo agar segera ereksi.
Setelah ereksi, Shinta memasukkannya ke dalam vaginanya. Dia memompa pelan. Namun perlahan gerakannya semakin cepat, naik-turun, maju-mundur. Gerakan tubuh Shinta terlihat erotis bagi Sasha. Terpancing dengan adegan itu, Sasha bangkit dan menghampiri Shinta. Sasha mencium bibir Shinta dengan lembut. Tangannya meraba payudara Shinta. Shinta benar-benar memacu birahinya dengan cepat. Dia ingin segera mendapatkan orgasmenya.
Tapi kemudian Sasha menempatkan selangkangannya tepat di atas wajah Santo. Dia ingin vaginanya juga mendapatkan pelayanan. Maka Santo langsung menjulurkan lidahnya mencari vagina Sasha yang sudah dia hapal.
Santo kini melayani dua perempuan di atas tubuhnya. Lidahnya menjilat klitoris Sasha, penisnya menyelusup ke vagina Shinta. Sedangkan, dua perempuan di atasnya saling mencumbu. Mereka saling meraba payudara lawan mainnya, dan bibir mereka berciuman.
Shinta yang awalnya ingin cepat-cepat mendapat orgasme malah ingin menikmati rasangan itu lebih lama. Sejenak dia menghentikan goyangannya di atas penis Santo. Dia lebih fokus mencumbu payudara Sasha. Tapi usahanya gagal, rangsangan di semua titik sensitif membuatnya dia tak bisa menahan birahinya.
Panggulnya maju mundur lagi, dan langsung lebih cepat. Ciumannya di bibir Sasha pun semakin kuat. Sasha tahu jika Shinta akan segera mendapatkan puncaknya, dan dia membantu dengan memilin-milin puting Shinta.
"OoooooooooOhhhhhhhhh.....," Shinta akhirnya orgasme. Sasha langsung memeluk Shinta dengan erat. Ciuman mereka terlepas, tapi Shinta mendapatkan kehangatan dari pelukan Sasha. Sejenak kedua perempuan itu tersenyum.
Di bawah, Santo tidak peduli dengan yang terjadi pada kedua perempuan itu. Penisnya yang butuh oragasme tetap menyodok-nyodok vagina Shinta. Lidahnya juga menerobos klitoris Sasha. "Tooo....," Sasha protes karena Shinta baru saja mendapatkan orgasmenya. Namun Santo terus mengerjai klitoris Sasha. Akibatnya, Sasha juga ingin menyusul Shinta.
"Oohh...oohhh...oohhh...," Sasha meraih tangan Shinta dan menempatkan di payudaranya. Shinta tahu jika Sasha juga segera ingin orgasme. Tak hanya Sasha, Santo juga sudah tak sabar untuk menyemprotkan spermanya. Pinggul Santo menyodok keras berbenturan dengan pantat Shinta. Maka giliran Shinta yang melayani sahabat dan pacarnya.
Panggulnya ikut naik turun, bibirnya mencium liar bibir Sasha, dan tangannya memilin kedua puting Sasha. "Ooooooohhhhhhhh....," Sasha melepaskan ciumannya dan melenguh keras. Lidah Santo benar-benar membuatnya orgasme.
Sementara itu Santo menghentak kuat panggulnya. Meski tidak mengeluarkan erangan karena mulutnya tertutup labia mayora Sasha, Shinta tahu jika Santo orgasme. Dia merasa senang bisa membuat kekasihnya meraih kenikmatan. Akhirnya ketiga orang itu rebah di kasur melepaskan lelah. Santo terkulai di tengah antara dua perempuan, satu adalah sahabatnya dan satu lagi orang yang mencitainya.
"Gilaa...," ujar Sasha setelah gejolaknya mereda. Sedangkan Santo dan Shinta hanya tertawa. Shinta memeluk Santo.
"Shin kok sekarang elo yang malah ancur sih. Padahal dua minggu lalu elo yang terkaget-kaget denger cerita gue tentang persahabatan gue sama Santo," Sasha menyelidik perubahan drastis Shinta.
"Ya gimana Sha? Elo berdua bertolak belakang sama gue, tapi gue sayang Santo. Sekarang gimana gue bisa memahami Santo, kalo gue masih berada di luar dunianya? Gue pengen memahaminya supaya gue bisa ajak dia keluar dari jurangnya," ujar Shinta.
"Tapi itu cara yang ekstrim Shin. Elo sebenarnya gak perlu harus ikut-ikutan. Bukannya kadang kala kita justru harus di luar kubangan untuk mengangkat orang yang terjebak di kubangan lumpur? Karena bisa jadi kita sendiri yang ikut tenggelam," tanya Sasha.
"Bener Sha. Tapi Sha, meski kita di luar kubangan belum tentu kita selamat. Bahkan, bisa saja orang yang kita angkat untuk keluar malah menarik kita untuk ikut masuk dalam kubangan. Karena yang kita tolong sebenarnya tidak mau ditolong. Nah sekarang gue mau mastiin, apa yang ditolong mau keluar dari kubangan lumpurnya atau nggak? Masa meski udah sama-sama masuk dalam kubangan yang ditolong gak mau keluar juga," jelas Shinta.
"Terus gimana keluarnya kalo dua-duanya ada di dalam lumpur?" Tanya Sasha.
"Ya, sebelum masuk ke kubangan, seharusnya kita tahu ada jalan yang bisa didaki untuk keluar. Terus kalau mau lebih aman lagi, kita sudah ikatkan tubuh kita dengan tali. Jadi kalau mau keluar tinggal menarik tali itu," tambah Shinta.
"Hhhmmm....tetep ekstrim Shin," Sasha menghela napas.
"Iya, abis yang gue mau tolong ekstrim sih," ujar Shinta.
"Iya ya. Ngerti gak lo To?" Sasha mengalihkan pertanyaannya ke Santo.
"Setengah-setengah," ujar Santo lugu.
"Ha ha ha. Kan gue dah bilang Sha, kapasitasnya dia terbatas. Jangan kasih muatan yang banyak. Dia sibuk menjaga kepalanya supaya tetap di atas lumpur. Belum bisa berenang," canda Sasha.
"Ha ha ha ha.....," Sasha tertawa renyah. "To elo beruntung. Elo ketemu Sasha. Orang yang benar-benar peduli sama lo. Sekarang tinggal elo. Elo mau keluar dari lumpur ini atau nggak. Jangan sia-siain dia To," ujar Sasha.
"Iya Sha. Nah elo sendiri gimana? Elo juga masih akan begini terus?" Shinta yang coba mengulik Sasha.
"Gue? Gue belum ketemu laki-laki yang kaya elo Shin," ujar Sasha.
"Lah gak mungkin elo ketemu laki-laki kaya gue. Gue kan perempuan?" Canda Shinta.
"Bukan, maksud gue, gue belum ketemu laki-laki yang datang untuk menolong atau setidaknya menyadarkan gue untuk ninggalin kubangan ini," ujar Sasha.
"Itu Doni gimana Sha?" Tiba-tiba Santo nyeletuk.
"Ha?" Sasha pura-pura tidak jelas mendengar ucapan Santo. Padahal mukanya bersemu merah.
"Nah tuh, Doni? Sahabat kalian ya?," timpal Shinta.
"Iya Shin, Doni. Aku sih curiga Sasha punya hati sama Doni. Iya kan Sha? Ngaku aja lo," tambah Santo.
"Iiihh...Santo elo nebak-nebak aja deh," Sasha coba menghindar.
"Alah gak usah malu kali Sha. Ini gue. Elo sama gue ketemu terus tiap hari, masa elo gak mau ngaku juga?," desak Santo.
"Rese lo To. Ya udah deh, sekarang Doninya mana? Dia gak dateng ke kubangan lumpur gue. Dia gak ada di sini. Dia nggak ngajak gue untuk keluar dari kubangan gue. Dia gak kaya elo Shin, yang datang ketemu orang yang elo cintai, dan ajak untuk keluar dari kubangannya," Sasha mengeluarkan isi hatinya.
Sasha menitikkan air matanya. Jauh di relung hatinya ternyata dia menyimpan perasaan terhadap Doni. Meski dia pernah bilang tidak akan memberikan hatinya kepada keempat kuartet penjahat kelamin itu, nyatanya terselip rasa untuk Doni. Dan Sasha menyimpannya dalam-dalam.
Shinta tahu jika Sasha mengeluarkan isi hatinya yang terdalam. Dia pun langsung pindah ke tengah, menggeser Santo, untuk memeluk Sasha. Tubuh dua perempuan yang masih telanjang itu berpelukan erat. Sasha menangis dalam pelukan Shinta.
"Gue sebenarnya sayang dia Shin, tapi gue gak mau kejadian yang menimpa nyokap gue terulang sama gue. Udah cukup. Gue tahu rasanya jadi anak yang gak pernah kenal bapaknya. Gue tahu rasanya disia-siain, makanya gue takut punya anak," ujar Sasha sambil terisak.
"Iya Sha," Shinta coba menenangkan Sasha. Sementara Sasha terus menangis. Semua kesakitan yang dipendam dirinya keluar. Santo hanya bisa memaklumi sahabatnya itu. Selama ini Sasha selalu memandam perasaannya terhadap Doni. Santo hanya bisa menerka-terka saja, tapi kini semuanya diakui Sasha.
"Gue ajak Doni tinggal di sini ya Sha?" Santo mengusulkan sesuatu.
"Huussshh! Kamu diem aja Santo sayang. Kamu nggak ngerti apa-apa," Shinta menghardik Santo.
"Ya terus gimana? Kan Sasha mau Doni ada di sini. Gue bisa suruh dia dateng," ujar Santo.
"Maksudnya Sasha. Doni itu datang sendiri, bukan disuruh dateng. Doni punya kesadaran untuk menolong dia," jelas Shinta sambil mengusap rambut Sasha.
"Oooooo....," Santo hanya bisa membulatkan bibirnya.
"Ooooooo....bulet!" Shinta sedikit kesal.
"Shin, gue sebenarnya gak tahu apa yang gue lakuin ini bener atau nggak. Gue punya kubangan gue sendiri. Gue datang ke sini, nyari penjahat kelamin Santo ini, karena ini cara gue untuk keluar dari kubangan gue. Gue butuh dia untuk angkat gue keluar dari kubangan gue. Tapi ternyata dia punya kubangannya sendiri. Jadi gue harus tolong dia dari kubangannya agar nanti dia tolong gue dari kubangan gue. Gue cuma berharap menjaga tali pengaman gue supaya nggak putus di tengah jalan. Mudah-mudahan elo gak perlu sampe kaya gue Sha," ujar Shinta.
Sasha semakin terisak, dan Shinta memeluknya lebih erat. Santo menarik bed cover untuk menyelimuti dua perempuan yang sedang saling menjaga lewat nalurinya. Santo tidak bisa memahami sepenuhnya kedua orang itu. Dia hanya berpikir terlalu banyak labirin dalam kehidupan seseorang, termasuk kehidupannya. Mungkinkah seseorang tahu labirin itu akan membawanya kemana?
Melbourne hanyalah pelarian Santo. Metropolis modern ini sebenarnya lebih sunyi di hati Santo di banding Jakarta. Lebih dingin karena tak ada kasih sayang yang didapatnya. Namun kehadiran Shinta membalik keadaan itu. Santo mulai belajar bagaimana dia mengembalikan lagi perasaannya. Menghidupkan lagi kemanusiaannya yang dulu pernah dia miliki sebelum remaja.
Dia memulainya dengan merayakan Valentine Days bersama Shinta. Tidak ada acara yang mewah, namun Shinta membuat Santo merasa memiliki sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Rasa.Bunyi telepon genggam berdering keras. Santo masih terlelap di balik selimut. Ia malas sekali untuk bangun dan mengangkat telepon. Dia menduga telepon itu dari Shinta, karena biasanya Shinta mengabsen dirinya pagi, siang, malam.
Sudah hampir enam bulan, Shinta kembali ke Jakarta dan belum bertemu Santo lagi. Sedangkan Sasha memutuskan untuk pindah apartemen, tidak lagi tinggal bersama Santo. Sasha memilih hidup mandiri.
Selama enam bulan itu, Santo sebenarnya memulai sesuatu yang baru. Menata pribadinya agar lebih baik. Dia memiliki motivasi dan merasa dimiliki oleh Shinta. Namun Santo salah lagi meniti jalannya untuk keluar dari kubangan. Ketika Shinta dan Sasha tidak ada, Santo malah terjerumus menjadi pemakai narkotika.
Sasha yang mengetahui hal itu sempat marah. Dia juga marah kepada teman-temannya yang membawa Santo menjadi pemakai. "Mereka juga anak-anak Indonesia Shin. Anjing tuh mereka, bikin Santo jadi pemakai. Kayaknya harus elo yang nyadarin dia Shin. Omongan gue dah gak mempan," ujar Sasha lewat telepon ketika dia mengetahui apa yang terjadi dengan Santo.
Bahkan Sasha berharap Shinta bisa datang lagi ke Melbourne untuk menyadarkan Santo. Tapi Shinta tak bisa menemui Santo karena dia juga harus menyelesaikan kuliahnya di Jakarta. Shinta hanya bisa menjaga Santo lewat telepon saja. Mengabsen setiap waktu agar Santo terus teringat motivasinya bersama dia.
Santo menduga yang meneleponnya kali ini adalah Shinta. Shinta selalu bertanya tentang kondisi dirinya. Sudah hampir satu bulan ini Santo selalu bertengkar dengan Shinta. Shinta tahu kalau dirinya sekarang menggunakan narkotika. Santo merasa terganggu.
"Kamu semakin dalam di lubangmu Santo. Bagaimana aku bisa mengangkatmu?" Suatu kali Shinta mengingatkan Santo.
"Shin, yang elo mau kan gue hancur. Nih sekalian gue hancur. Kenapa sih elo gak ngerelain gue mati sekalian," ujar Santo disaat dia putus asa.
Entah kenapa Santo kembali pada jurangnya lagi, padahal dia sempat merangkak naik. Sedemikian dalamnya lubang Santo hingga dia putus asa dan memutuskan untuk hidup di dalam lubang itu selama-lamanya? Santo sendiri tidak pernah berani untuk menjawabnya.
"Apa....?," Santo akhirnya mengangkat telepon itu.
"Ini mama To," suara di sebrang yang berbeda dengan suara Shinta.
"Oohhh mama. Ada apa ma? Tumben telepon? Uangnya masih ada kok," ujar Santo ketika dia tahu yang menelpon adalah mamanya. Biasanya jika mamanya telepon maka urusannya tidak lain menanyakan kondisi keuangan Santo. Apakah sudah dikirimkan uang oleh papanya atau belum.
"Bagus kalau masih ada," ujar mamanya. "Eee, begini To, ada kabar buruk. Kamu lagi baik-baik aja kan?" Tanya mamanya lagi.
"Iya, kabar buruk apa Ma?"
"Papamu ditangkap polisi," ujar mamanya.
"Ha? ditangkap kenapa ma?"
"Mama juga belum tahu. Tapi katanya penggelapan. Nah sekarang ini semuanya di sita polisi. Rumah, perusahaan, rekening papa, semua disita. Bahkan uang mama juga mau di ambil. Nah mendingan kamu selamatkan uangmu yang ada di rekeningmu. Di pindahin dulu ke rekening temanmu atau beli dollar dulu, supaya tidak disita," ujar mamanya.
"Oohh begitu. Iya mah secepatnya Santo tarik semua. Santo cairin di sini aja. Terus mama tinggal di mana sekarang?" Santo mulai khawatir dengan kondisi mamanya.
"Gampang, mama banyak teman, bisa nebeng sebentar. Sambil tunggu masalah papamu selesai," ujar mamanya.
Kabar pagi itu menyentakkan Santo. Dia pun bergegas untuk menyelesaikan urusannya. Dia segera mencairkan uang yang masih ada di rekeningnya. Dia sempat meminjam rekening Sasha untuk menyimpan sebagian uangnya.
"Gue kayaknya bakal balik ke Jakarta Sha," ujar Santo kepada Sasha setelah menceritakan yang menimpa keluarganya. Sasha pun menyetujuinya dengan harapan Santo akan lebih baik tinggal di Jakarta. Selain menyelesaikan masalah keluarganya, di Jakarta ada Shinta yang lebih memperhatikannya, sehingga Santo tidak lagi menggunakan narkoba.
Mau tidak mau Santo kembali ke Jakarta. Dia untuk sementara menghentikan kuliahnya. Setelah sampai di Jakarta, dia langsung menemui mamanya. "Ini rumah siapa ma?" Santo bertanya ketika bertemu mamanya di sebuah rumah yang jadi tempat tinggal sementara mamanya.
"Ooo, ini rumah kenalan mama. Dia tolong mama untuk tinggal di sini, selama rumah kita di sita. Kamu bisa tinggal di sini juga kok," ujar mamanya.
"Terus rumah kita? Perusahaan papa? Disita semua?," Santo seakan tak percaya, kejayaan materi keluarganya tiba-tiba ambruk.
"Iya. Bahkan papa tidak ninggalin sepeserpun buat mama. Semua hartanya diambil. Mama hidup dari pertolongan teman-teman," ujar mamanya Santo.
"Uang Santo masih ada kok ma. Cukup kalau untuk hidup beberapa bulan," balas Santo. "Terus urusan papa gimana? Apa kita kena seret juga?" Tanya Santo lagi.
"Mama gak paham soal urusan hukum To. Tapi katanya dia sewa pengacara," ujar mamanya.
Santo tahu jika mamanya sudah tidak ambil peduli dengan kondisi papanya. Sejak berangkat ke Australia, papa dan mamanya sudah hidup sendiri-sendiri, meski mereka belum memutuskan untuk bercerai. Santo pernah bertanya kenapa mamanya tidak minta bercerai jika kondisi rumah tangga mereka tidak bisa dipertahankan lagi. Saat itu mamanya menjawab menunggu Santo selesai kuliah di Australia.
"Terus mama gimana?" Tanya Santo tanpa henti.
"Kayaknya mama mau minta cerai aja To. Kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi. Mama mempertahankan pernikahan ini karena mama ingin dapat jaminan agar dia tetap membiayai kamu. Tapi sekarang, dia membiayai dirinya sendiri juga tidak mampu," jelas mamanya.
"Mama tega ninggalin papa dalam kondisi seperti ini?" Tanya Santo.
"Tapi kondisi ini juga bukan alasan mama untuk mempertahankan pernikahan kan? Mama menjaga pernikahan hanya untuk melindungi hak kamu. Kalau sekarang tanpa dia kita harus hidup, kenapa dipertahankan?" Balas mamanya.
"Orang lain mungkin melihatnya mama tega ninggalin papa dalam kondisi seperti ini. Bahkan kamu juga tanya hal itu. Tapi kalau mereka di posisi mama, mereka akan meninggalkan papa, saat kamu masih kecil dulu. Saat mama tahu kalau dia sudah menghancurkan pernikahan kami. Tapi biarlah, orang lain hanya bisa berkomentar, ini jalan yang harus mama lalui. Semua pilihan itu kini harus mama ambil konsekuensinya," tambah mamanya Santo.
"Tapi dia pernah membahagiakan mama kan? Dia pernah melindungi mama kan?," kejar Santo lagi.
"Iya, tapi kebahagiaan itu semu To. Mama hanya dibohongi saja," ujar mamanya dingin.
"Bukannya semuanya memang semu ma. Semua yang ada di dunia ini cuma ilusi saja? Bahkan kesakitan ini juga sebenarnya ilusi saja? Lalu di mana batasnya ma?," Santo bingung sendiri.
Mamanya hanya bisa mengernyitkan dahi tak bisa menjawab pertanyaan Santo. Ibu dan anak itu sama-sama merasakan kesakitannya sendiri-sendiri, namun mereka mengambil langkah masing-masing untuk mengobatinya. Santo lari dengan obat-obatan yang secara instan mampu membius dirinya dan melupakan kesakitannya. Sedangkan, mamanya mencari ilusi lain dengan mencari laki-laki yang seakan-akan mampu melindungi dirinya. Dan ketika berhadapan dengan realita yang membuat mereka kesakitan lagi, mereka lari. Keduanya tak mau mendapat kesakitan tambahan.
"Sebenarnya realita itu yang mana Shin?" ujar Santo ketika Shinta meminta Santo tidak lagi menggunakan obat-obatan terlarang setelah dia di Jakarta. Santo tidak bisa lagi membedakan mana realita dan mana ilusi. Jika semua yang ada di dunia ini hanyalah ilusi, kenapa rasa sakit dan senangnya terasa nyata. Obat-obatan itu mampu membuat Santo melompat, dari dunia realita ke dunia ilusi, atau sebaliknya.
Shinta tahu bahwa realita yang dialami Santo adalah apa yang dirasakannya sekarang. Jika saat ini terasa sakit, maka itulah realitanya, begitu pula sebaliknya. Shinta tahu bahwa kesakitan yang dialami Santo adalah karena masa lalunya. Orang bisa bilang 'masa lalu biarkanlah berlalu', tapi bukahkah masa lalu yang membentuk perjalanan kita sekarang? Kita tetap harus tetap berhadapan dengan masa lalu. Berhadapan! Bukan lari darinya. Karena masa lalu tidak boleh menghancurkan masa depan.
Kesakitan yang ada saat ini adalah akibat dari pilihan masa lalu, dan itu realita. Sama halnya ketika orang melakukan kebajikan, belajar yang rajin, menabung, maka akan menikmati kebaikan, kepintaran, dan materi yang cukup. Apakah manusia bisa memilih hanya menerima kebaikan saja, kebahagiaan saja, kekayaan saja. Sedangkan, ketika datang ketidakbahagiaan, kebodohan, kemiskinan, mereka akan lari? Bukankah itu hukum alam yang sederhana, jika ada kesakitan maka akan ada kebahagiaan, jika ada air maka akan ada api. Dunia ini diciptakan dengan keseimbangan yang sangat sempurna. Dua hal yang bertolak belakang itu bisa jalan bersama-sama dalam waktu yang bersamaan.
Kebahagiaan, kesakitan, dan semuanya yang seperti itu bukan takdir, tapi proses dari sebab-akibat. Takdir berbeda dengan hukum alam itu sendiri. Kehendak Pencipta tidak memerlukan proses hukum alam, meskipun Pencipta tetap menggunakan hukum alam agar manusia mampu memahami kehendakNya.
Lalu dimanakah batas takdir dan hukum alam itu? Mungkin batasnya tergantung dari kemampuan setiap manusia memahami apa yang harus dijalaninya. Ada pepatah ketika seseorang tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan dalam hidupnya, maka dia akan bilang "Hanya Tuhan yang tahu." Jika sudah sampai pada batas itu, maka seharusnya kembali pada logika yang paling sederhana untuk menghadapi realita yang paling dekat, kondisi yang dia hadapi saat itu. Dan seseorang tinggal memilih, apakah dia akan menanam kebajikan pada saat itu atau kebalikannya, karena dia akan mendapat buahnya di masa depan nanti.
Shinta tahu tentang hal itu. Dia juga tahu bahwa realitanya Santo saat ini adalah penuh dengan kesakitan, tapi sebenarnya di balik kesakitan itu ada kebahagiaan. Hanya saja kebahagiaan itu masih diliputi misteri. Shinta sebenarnya mau mengajak Santo bersama-sama menyingkap misteri kebahagiaan itu. Tapi Shinta sudah pada batas kemampuannya. Kubangan lumpur Santo mencengkram kuat, hingga Santo tidak mampu untuk melakukan apa-apa.
"Kesakitanmu terlalu besar To. Mungkin aku sudah tidak bisa menolongmu. Aku mencintaimu, tapi aku juga harus hidup," ujar Shinta ketika dia putus asa dengan Santo. Kalau hanya untuk menghentikan Santo tidak menggunakan narkoba lagi, Shinta bisa melakukan banyak cara. Tapi Santo sendiri tidak bisa lepas dari pikirannya yang selalu diliputi kesakitan, putus asa, dan kebencian kepada dunia. Tak ada pertolongan yang bisa dilakukan orang lain jika yang ditolong tidak mau ditolong.
Shinta hanya bisa menahan tangisnya. Tangisnya bukan karena penyesalan karena dia gagal mengajak Santo untuk bangkit. Bukan karena penyesalan karena dia pernah ikut bersama-sama terjun ke kubangan lumpur yang sama agar sama-sama bisa bangkit. Tangisnya Shinta adalah karena keharuan terhadap dirinya sendiri. Keharuan terhadap kemampuannya yang menemukan batasnya. Perasaan cintanya yang menemukan tepinya, bahwa di titik itulah dia harus melepas. Merelakan rasa cintanya untuk tidak terwujud. Dan dia menerima semua itu dengan lapang. Karena dia sadar, dia sendiri harus hidup, seperti layaknya semua makhluk di alam semesta yang berusaha bertahan dari kematian hingga ajalnya tiba dengan sendirinya.
"Kamu harus berjuang sendiri To. Aku hanya bisa mendoakan kamu. Suatu saat kalau kita bertemu, aku cuma berharap kondisinya tidak seperti ini," ujar Shinta yang harus melepas Santo.
"Aku sudah menduga kalau kamu akan seperti ini. Kamu yang mengaku mencintai aku akan meninggalkan aku. Jangankan kamu, ibuku yang melahirkan aku saja tetap meninggalkanku. Sama seperti Sasha yang juga ditinggalkan oleh bapaknya. Aku tidak marah Shin. Sejak awal aku sudah tahu, cinta kamu hanya ilusi saja," ujar Santo.
"Aku malah bersyukur, karena justru di sinilah aku sudah menyelesaikan satu masa laluku. Aku sudah bertanggung jawab dengan kamu. Kita selesai sampai di sini. Aku senang karena aku, kamu, menyelesaikan persoalan kita. Dan kita akan melangkah pada tahap berikutnya," ujar Santo.
"Terserah dengan apapun yang kamu katakan, tapi apa yang kuberikan bukan atas dasar kebencian dan dendam. Semua karena aku punya mimpi bersama kamu. Aku punya cinta. Tapi sepertinya cintaku kurang besar untuk mengobati keakitanmu. Kamu membutuhkan cinta yang lebih besar lagi. Mudah-mudahan kamu benar-benar mendapatkan kebahagiaanmu, kalau tidak di dunia ini mungkin di kehidupan lain," Shinta tak mampu lagi berkata-kata setelah itu.
Santo meninggalkan Shinta tanpa rasa apa-apa, hambar saja. Baginya satu tahap sudah dia selesaikan. Sedangkan Shinta, mengenal lebih jauh akan dirinya. Ada batas-batas yang tidak bisa dilampaui dirinya, dan dia harus menerima itu dengan ihklas, karena itu adalah dirinya sendiri.
Santo berkelana tanpa arah. Mama-papanya kemudian benar-benar cerai. Papanya terbukti bersalah dan harus menerima hukuman penjara. Tidak hanya itu, sebagai pengganti kerugian, semua harta papanya disita pengadilan. Santo benar-benar memulai hidupnya dari nol. Sementara itu, mamanya menikah lagi dengan laki-laki lain. Santo sudah tidak peduli lagi dengan mamanya. Dia punya urusan sendiri yang harus dia selesaikan. Satu persatu dia akan menghadapi masa lalunya yang belum tuntas.
Selama hampir dua tahun Santo menjalani kehidupan tanpa arah. Ketergantungannya terhadap narkotika semakin menjadi-jadi. Bahkan dia tak lagi sebagai pemakai, dia juga bandar. Penghasilannya lebih dari cukup untuk bertahan hidup. Sampai suatu waktu dia mendengar kabar jika Sasha selesai kuliah dan kembali ke Jakarta.
"Jadi elo dah putus sama Shinta To?," tanya Sasha ketika mereka bertemu lagi.
"Iya Shin. Dia gak kuat sama gue. Sejak awal, gue memang sudah tahu kalau dia gak bakalan bisa sama gue," ujar Santo.
"Terus kehidupan elo gimana sekarang?" Tanya Sasha.
Santo pun menceritakan semua perjalanan hidupnya setelah kembali dari Melbourne. Dari perihal keluarganya, Shinta, hingga tentang kecanduannya dengan barang haram. Sasha hanya bisa geleng-geleng kepala. Sasha merasa bahwa Santo sudah sulit untuk ditolong lagi. Ketergantungannya terhadap narkotika sudah membawa dia terlalu jauh. Jauh dari keinginan Santo untuk kembali kepada niat baiknya.
"Elo gimana Sha? Eh ngomong-ngomong Doni apa kabarnya?," tiba-tiba Santo bertanya tentang Doni.
"Loh elo yang duluan dateng ke Jakarta. Emang elo gak ketemu dia?" Balas Sasha.
"Pernah, tapi waktu itu gue lagi buru-buru ada pesenan barang jadi gue nggak sempet ngobrol banyak," ujar Santo.
"Oooo, kalau elo gak sibuk dia sebentar lagi datang kok. Elo tunggu aja di sini," ujar Sasha.
Sasha bercerita jika dia sudah sebulan kembali dari Australia. Kini dia menempati sebuah apartemen yang tidak terlalu mewah namun cukup bersih. Dia juga cerita jika dia sering bertemu Doni di Jakarta. Doni sekarang sedang merintis karier di tempatnya bekerja. Ada rencana Doni akan ikut tinggal bersama Sasha.
"Oo, jadi elo pacaran betulan sama dia Sha, syukurlah. Itu yang elo mau dari dulu kan?," Santo merasa senang.
"Ha ha ha. Belum betulan To. Gue sama dia lagi penjajakan," ujar Sasha.
"Penjajakan apa lagi? Elo sama dia dah kenal dari dulu. Luar dalem, apa lagi?," balas Santo.
"Elo tahu gue kan, elo juga tahu dia. Kita tetap aja punya ketakutan masing-masing. Dan kita lagi ngukur masing-masing. Gue gak mau terus-terusan sakit, dia juga. Jadi ya kita sedang penjajakan," ujar Sasha.
"Oooo begitu. Baguslah Sha. Elo berdua beruntung Sha," ujar Santo.
"He he he, elo juga sebenernya beruntung To. Tapi elo gak mau mengejar keberuntungan lo kok," balas Sasha.
Saat mereka ngobrol itulah. Bel apartemen Sasha berbunyi, dan saat pintu dibuka ternyata yang datang adalah Doni. Santo langsung menghampiri sahabat lamanya itu. Doni kini terlihat lebih necis, lebih bersih, lebih segar.
"Apa kabarnya bro. Gile makin ganteng aja lo," ujar Santo.
"Ha ha ha biasa aja man. Elo gimana? Lama gak ada kabar, kayak menghilang aja," balas Doni.
Santo dan Doni akhirnya bicara panjang lebar. Mereka bercerita tentang Iwan yang sedang berada di Singapura dan tentang Reza yang meneruskan usaha bapaknya.
"Kalo gue sih begini aja To. Mulai dari nol. Berjuang sendiri," ujar Doni.
"Apa lagi gue Don. Gue nih gagal sama hidup gue," Santo merasa tidak bisa menandingi Doni. "Sabar man, nggak selamanya elo di bawah, roda pasti berputar," ujar Doni. "Eh gue denger kabar soal Vina, To. Katanya dia mau married sama Dimas, temen seangkatan kita. Elo denger kabar itu gak?" Ujar Doni.
"Ha? Nggak Don," ujar Santo.
"Ooo, kirain elo denger. Eh To, elo tinggal di mana sekarang?," tanya Doni mengalihkan pembicaraan.
"Ha ha ha, nomaden bro. Di mana aja gue bisa tidur," ujar Santo.
"Elo di sini aja To. Bareng-bareng. Gak apa kan Sha?," tanya Doni memastikan ke Sasha.
"Ya gak apa-apa. Tapi elo di sini juga kan?," ujar Sasha kepada Doni.
"Iya gue di sini," ujar Doni.
"Ha ha ha gak usahlah bro. Gue bisa tinggal di tempat lain. Ntar aja kalo gue lagi pengen main, ngobrol sama elo-elo, gue ke sini," ujar Santo.
Santo, Doni, dan Sasha kemudian ngobrol panjang lebar. Mereka bercerita tentang kenangan mereka saat SMA dulu. Mereka tertawa, kemudian ketiganya terdiam karena ternyata masa lalu mereka terasa begitu kelam. "To, gue sahabat lo. Gue cuma bisa ngingetin doang, nggak bisa ngapa-ngapain. Mungkin sebaiknya elo tinggalin kerjaan elo yang sekarang. Kalo cuma numpang hidup, elo bisa sama gue atau Sasha, yang penting elo harus mau bangkit," ujar Doni akhirnya menasehati Santo.
"Iya Don, suatu saat gue memang harus bangkit. Dan pastinya gue akan dateng ke elo berdua kalo gue butuh bantuan," ujar Santo.
Hari itu dia senang sekali bisa berkumpul lagi dengan sahabat-sahabat terdekatnya. Namun satu hal yang mengganjal pikirannya adalah ucapan Doni tentang Vina. Tiba-tiba saja Santo terusik pikiranya ketika mendengar nama Vina.
Dia teringat peristiwa saat SMA dulu. Vina tak ubahnya seperti Shinta. Tapi kini dia mendengar bahwa Vina malah ingin menikah. Shinta, yang pernah mendatanginya untuk meminta tanggung jawab malah belum dikabarkan rencana untuk menikah. Santo merasa terusik.
Rasa terusik itu tidak hilang hingga beberapa hari kemudian, sampai dia memutuskan untuk mencari tahu sendiri tentang kabar Vina. Dia mulai menghubungi beberapa teman yang kira-kira tahun tentang Vina. Bahkan Santo sempat mengintai rumah Vina.
"Elo ngapain sih To nyari dia segala. Sudahlah, biarin aja dia hidup sendiri," ujar Sasha menasehati Santo agar tidak menganggu Vina.
"Gue cuma mau minta maaf Sha," balas Santo.
"Percuma minta maaf To. Permintaan maaf lo nggak akan mengubah apapun. Dia tetap dengan apa yang harus dia jalani," ujar Sasha.
"Terus gue harus apa Sha?" Santo bingung.
"Ya elo gak bisa apa-apa. Emang elo mau ngapain, tanggung jawab? Nikahin dia? Elo sendiri yakin bisa tanggung jawab sama orang lain, elo tanggung jawab sama diri lo aja belum tentu bisa To!" Balas Sasha.
"Gue masih punya rasa bersalah Sha," balas Santo.
"Ya itu hukuman yang harus elo tanggung To. Rasa bersalah itu adalah hukuman buat elo seumur hidup lo. Elo mau kaya Shinta. Bisa selesai dengan tuntas? Mungkin akan berbeda To. Shinta bukan Vina, dan sebaliknya. Kalau dia sekarang mau menikah, ya artinya dia sudah bisa bangkit dari masa lalunya. Entah dia ngelupain masa lalunya atau tidak, itu sudah bukan urusan lo lagi," jelas Sasha.
Santo sepertinya tidak peduli lagi dengan nasehat Sasha. Dia terus mencari Vina. Santo berhasil mendapatkan nomor telepon Vina dan Dimas. Dia pun mengirim pesan singkat kepada Vina. "Vin, ini gue Santo, temen SMA dulu. Masih inget kan? Apa kabar?"
Pesan singkat itu tidak mendapat respon apa-apa. Tapi Santo terus berusaha untuk menghubungi Vina. Mulai dari mengirim pesan setiap hari sampai berusaha menelpon Vina. Berbagai cara dia lakukan, termasuk mengganti nomor teleponnya sendiri.
Tak hanya Vina, dia juga berusaha menghubungi Dimas, teman seangkatannya yang kabarnya akan menikahi Vina. Tapi sama dengan Vina, Dimas juga tidak memberi respon apa-apa. Sampai akhirnya Santo mendatangi rumah Vina.
"Ya mas ada perlu apa?" Santo ditanya papanya Vina ketika tiba di rumah Vina.
"Saya Santo om. Saya dulu temannya Vina. Saya mau ketemu Vina," ujarnya.
Namun tanggapan ayahnya Vina berbeda dengan cara bicara Santo yang berusaha santun.
"Jadi kamu yang namanya Santo? Yang dulu pernah pacaran sama anak saya?" Ujar papanya Vina yang mengetahui sebagai Santo sebagai laki-laki yang pernah menghancurkan anaknya.
"Iya om," ujar Santo tak berkutik dibentak seperti itu.
"Kamu ngapain datang ke sini. Kamu bukan manusia. Keluar kamu dari rumah saya," hardik papanya Vina.
Namun Santo bersikeras untuk bertemu Vina. "Saya cuma mau minta maaf om. Kalau memang saya harus bertanggung jawab, saya akan bertanggung jawab," ujar Santo.
Tapi apapun perkataan yang keluar dari mulut Santo, papanya Vina sudah tidak mau melihat muka Santo lagi. Serta merta orang tua itu mencengkram leher Santo dan menariknya keluar dari ruang tamunya.
Satpam yang melihat kejadian itu pun datang menghampiri. Awalnya satpam yang sudah berumur melerai majikan dan tamunya. Tapi setelah diberi tahu siapa tamu mereka kali ini si satpam malah menghajar Santo. Otomatis tukang kebun dan pembantu laki-laki yang lain pun ikut memukuli Santo.
"Jadi elo bangsatnya. Elo yang ngancurin Mbak Vina. Anjing lo," ujar penjaga keamanan rumah itu. Santo pun digelandang ke tepi jalan dan dibiarkan terseok-seok kesakitan. Tapi kesakitan yang dirasakan Santo masih kalah dengan rasa sakit penyesalan yang harus ditanggungnya.
"Bro, sudah bro. Jangan ganggu Vina dan Dimas," Doni menasehati Santo ketika Santo menginap di tempat Sasha. Doni meminta Santo untuk tidak menganggu Dimas dan Vina karena mereka akan melangsungkan pernikahan. Entah bagaimana caranya, Dimas berhasil mengontak Doni dan meminta Doni agar menasehati Santo tidak menganggu kehidupan mereka.
Doni hanya bisa mengiyakan saja permintaan Dimas. Dia tahu, dia juga punya andil dalam kebrengsekan Santo waktu itu. Maka sebisa mungkin, Doni mencegah Santo untuk menghubungi Dimas atau Vina. Tapi Santo tidak peduli hingga dia mencegat Dimas dan Vina yang sedang mengecek gedung lokasi resepsi pernikahan mereka.
Di gedung itu, Dimas berkelahi dengan Santo hingga dilerai oleh petugas keamanan. Santo sempat diusir. Namun saat Dimas dan Vina masuk ke dalam mobil, Santo menerobos masuk dan ikut ke dalam mobil. Vina panik hingga Dimas dan Santo berkelahi lagi.
Setelah keluar dari lokasi gedung, ternyata Santo tetap mengikuti mereka. Dia menyewa tukang ojek untuk membuntuti Dimas. Di sebuah lokasi yang sepi, Dimas menghentikan mobilnya. Ia menyambangi Santo dan kembali berkelahi. Tukang ojek yang tidak tahu apa-apa kemudian meninggalkan mereka. Dimas kembali naik pitam. Santo yang sedang mabuk dihajar habis-habisan oleh Dimas. Dimas benar-benar meluapkan kemarahannya. Dimas tak ingin lagi melihat muka Santo.
Santo ditinggalkan bak sampah jalanan yang sudah tak ada artinya lagi. Santo pingsan di pinggir jalan, hingga kemudian di tolong oleh pengguna jalan dan bisa kembali ke tempat tinggalnya sementara.
Kubangan lumpur telah mengikat Santo erat-erat, hingga dia merasa tidak bisa lagi keluar dari kubangan itu dengan selamat. Maka dia pun memutuskan untuk segera saja menentukan batas akhirnya.
"To, kalo elo macem-macem, gue gak mau nampung elo lagi. Gue gak mau terbawa-bawa urusan elo ya," ujar Sasha ketika dia tahu Santo sudah semakin liar.
Sasha tahu jika sekarang Santo membawa senjata api saat pergi kemana-mana. Santo beralasan jika senjata itu untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu dia mendapat masalah. Senjata itu dia dapatkan dari jaringan narkotikanya.
"Tenang aja Sha. Gue gak bakalan bawa-bawa elo dan Doni. Gue udah beruntung punya elo dan Doni, sahabat-sahabat gue yang nemenin gue sampai akhir," ujar Santo.
"Maksud lo To?," Sasha bingung dengan ucapan Santo.
"Gak tahu Sha. Gue ngerasa waktu gue sudah sebentar lagi. Dari semua yang udah gue jalanin, gue bener-bener gak bisa bangkit dari kubangan gue Sha. Gue dah masuk dalam banget, sampe gue gak bisa lagi liat apa-apa. Lumpurnya dah bikin mata gue buta Sha," ujar Santo di apartemen Sasha.
"Kok lo ngomongnya begitu To? Ada apa? Soal Vina? Bukannya udah jelas, elo seharusnya gak usah ganggu dia lagi?" Balas Sasha.
"Nggak cuma soal Vina Sha. Semua. Elo mungkin masih inget obrolan-obrolan kita sejak dulu. Semua yang gue lakuin gak pernah bisa menghasilkan kebaikan buat gue. Entah, mungkin gue memang titisan iblis. Iblis yang terjebak dalam kedengkiannya sendiri, sampai-sampai Tuhan sudah tidak bisa menolongnya lagi," ujar Santo.
"Nggaklah To. Nggak begitu. Elo manusia bukan iblis. Elo pernah seperti iblis, tapi lo bukan iblis. Elo masih ada kesempatan untuk berubah. Elo masih bisa," ujar Sasha. "Kenapa elo terus-terusan putus asa? Kenapa elo selalu melihat hidupnya sebagai kesakitan, sebagai kubangan lumpur. Elo masih bisa bahagia To," ujar Sasha.
"Nggak Sha. Gue dah putus asa. Gue pengen ketemu Tuhan. Gue pengen tanya, kenapa Dia nggak kasihan sama gue. Atau sebenernya Tuhan memang nggak ada Sha," ujar Santo yang sudah putus asa.
Saat mereka ngobrol itu, tiba-tiba pintu apartemen Sasha diketuk orang. Sasha sempat curiga karena tidak biasanya ada tamu datang ke apartemennya. Doni pun hari ini tidak berencana nginap di tempat Sasha, karena sedang dinas keluar kota.
"Siapa ya?" Sasha penasaran.
"Bukan Doni Sha," ujar Santo setengah berbisik.
"Doni lagi keluar kota," balas Sasha pelan. Santo pun meminta Sasha untuk diam, tetap di tempat duduknya. Lalu suara keras terdengar dari luar pintu.
"Buka pintunya!," bentak suara laki-laki dari luar pintu. Santo dan Sasha terkesiap. Namun Santo tahu apa yang akan dihadapinya. Hanya saja dia tidak punya waktu banyak untuk menjelaskan kepada Sasha.
"Bangsat lo semua!!!" Santo beranjak dari kursinya. Ia menerjang seorang laki-laki yang baru saja mendobrak pintu. Tanpa perhitungan, ia maju sambil tangannya merogoh sesuatu di pinggangnya. Tapi kecepatan tangannya kalah dengan kecepatan sebutir timah panas yang menembus iga kirinya. Badannya tersentak, Santo tidak menyadarinya. Ia hanya mendengar letusan nyaring. Badannya tersentak lagi, dan letusan yang kedua membuat dia sadar kalau dia telah tertembak. Santo ambruk ke lantai. Peluru kedua menembus pangkal lehernya. Darah pun berhamburan di lantai.
Sasha yang melihat kejadian itu dengan jelas langsung histeris. Ia tak peduli dengan teriakan beberapa laki-laki untuk tetap diam. Dari kursinya, Sasha menghambur ke arah Santo. Ia menangis. Hanya bisa menangis. Tak tega melihat Santo yang nafasnya tersengal-sengal. Darah keluar deras dari lubang di balik kaos hitam dan leher Santo. Mata Santo mendelik, entah ia merasakan sakit atau apa. Tapi Santo tahu ajalnya sudah dekat.
"Santooooo, hu hu hu hu...," Sasha berusaha mengangkat kepala Santo ke pangkuannya. Ia tak tega melihat sahabatnya berakhir seperti itu. Hidupnya berakhir sebagai sampah masyarakat.
"Sha, gua minta maaf sama elo. Tuhan ternyata ada. Gue dipanggil duluan, gua dah selesai..." Santo terbata-bata menyelesaikan kalimatnya dengan nafas yang masih tersisa. Sasha menangis semakin keras. Ia mengguncangkan tubuh Santo karena Santo benar-benar tidak bergerak. Mata Santo terbuka dan mulutnya menganga. Darah melumuri celana pendek dan paha Sasha. Santo kehilangan nyawanya.
Dua laki-laki berbadan tegap berambut gondrong langsung memisahkan Sasha dari tubuh Santo. Seorang laki-laki lain yang tidak memegang senjata mengamankan dirinya, sedangkan dua orang yang memegang pistol menggeledah tubuh Santo. Sasha hanya bisa pasrah. Ia tak tahu harus berbuat apa. Untuk kesekian kalinya ia merasa perjalanan hidupnya akan menemui titik bawah lagi.
Sasha merasa badannya sangat lemah dan lemas. Bahkan logikanya seakan terhenti setelah menyaksikan apa yang telah terjadi. Ketika tersadar, dia merasa sedang duduk di dalam mobil.
"Bawa cewek ini ke kantor. Supri, kamu ikut saya, kejar Johan. Barangnya ada sama dia, nggak ada sama tikus itu," Sasha masih bisa mendengar laki-laki di samping supir memberi perintah kepada laki-laki yang ada di dalam mobil itu.
Sasha pun terdampar di kantor polisi. Ia dicecar sejumlah pertanyaan. Bahkan dia diminta untuk diambil sample urinnya. Sasha takut sekali. Seumur hidup dia tidak pernah berurusan dengan polisi hingga dia harus mendekam dipenjara. Maka ketika diberi kesempatan untuk menghungi keluarga, dia pun menghubungi Doni. Dia meminta Doni segera pulang ke Jakarta, untuk menemuinya di kantor polisi itu.
Keesokan sorenya, Doni datang menjemput. Tapi Doni juga tak luput dari interogasi polisi. Doni dan Sasha bisa membuktikan bahwa mereka tidak termasuk dalam jaringan narkotika seperti yang dituduhkan kepada Santo. Keduanya bisa keluar dari kantor polisi.
"Don...," Sasha berujar pelan ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
"Kita sepertinya sudah harus serius mikir hidup kita Don. Aku gak mau sendirian, aku takut," ujar Sasha yang terisak.
"Iya Sha. Aku tahu. Mungkin inilah saatnya kita memutuskan langkah kita ke depan Sha. Sudah saatnya kita menikah Sha," ujar Doni.
"Iya Don. Kamu mau menikahi aku?," ujar Sasha yang isakannya terdengar semakin kencang.
"Iya Sha," Doni berkata pelan namun jelas.
"Kamu akan terima aku apa adanya, dengan kesakitan, dan ketakutanku, dengan semua mimpi burukku?," tanya Sasha.
"Semuanya Sha. Kita akan hadapi tanggung jawab dari masa lalu bersama-sama. Kalau kita tidak memulai kebaikan, kapan kita bisa keluar dari kubangan kita. Ini saatnya Sha. Santo sudah memberi contoh buat kita," ujar Doni.
Sasha memeluk erat Doni, tak peduli jika Doni sedang menyetir kendaraannya. Mau tidak mau Doni pun menepikan mobilnya untuk berhenti. Dia membalas pelukan Sasha dengan erat. Lebih erat dan hangat dari pelukan yang pernah dia lakukan sebelumnya. Doni tak peduli jika di balik jendela mobilnya para pengguna jalan mengumpat karena mobilnya berhenti tiba-tiba dan membuat jalanan macet.
"Woiiii, pacaran jangan di sini. Cari hotel aja!" ujar pengendara motor yang protes dengan mobil Doni yang berhenti dan melihat sepasang manusia sedang berpelukan di dalamnya. Doni melepaskan pelukan Sasha, membuka jendela, dan membalas umptannya.
"Woooiii.....nnggeeennnhhpp," Doni yang ingin membalas tidak bisa meneruskan kata-katanya. Tangan Sasha langsung membekap mulutnya.
"Sudah Don, nggak usah ditanggapin," ujar Sasha pelan.
"Iya Sha. Selamat datang di realita," ujar Doni meneruskan perjalanannya.
#####
Tidak ada komentar :
Posting Komentar