Bab XIII. Bed Of Roses
“Yang.. bangun yang.. udah jam 11 ni..”
Setengah sadar aku mendengar suara perempuan dan merasakan tubuhku diguncang.
“Kamu kok tidurnya kaya orang mati sih? Bangun dong..”
Kembali tubuhku diguncang. Kali ini aku mengenali suara perempuan yang berbicara. Ku angkat kepalaku, mataku mengerjap mencari fokus pandangan. Lama ku pandangi plafon rumahku. Berkali-kali kepalaku menggeleng menghilangkan pusing. Kulihat Lena berjongkok disampingku. Ternyata aku tertidur di sofa ruang tamu. Aku bangkit dan duduk untuk menyatukan kesadaranku.
“Ambilin minum dong.. palaku pusing..” aku meminta pada Lena
“Kamu kemaren mabok ya?” Lena bertanya dengan nada curiga.
“Engga..” jawabku singkat.
“Kok bisa tidurnya disini?” Lena tambah curiga.
“Aku.. aku ga inget..” jawabku sambil kembali menggelengkan kepala mencari fokus pada mata.
Aku sering minum alkohol dan mabuk, tapi tidak pernah merasa seperti saat ini. ini jauh lebih pusing tetapi aku tidak muntah begitu bangun tidur.
“Ambilin aer dulu.. sama aspirin.. kepalaku pusing ni..” kembali aku meminta pada Lena.
Lena mengambilkan air putih dan sebiji aspirin untukku. Aku segera meminum obat peghilang sakit kepala itu untuk meredakan pusingku. Aku bersandar di sofa dan memejamkan mataku, menunggu pengaruh aspirin membawa dampak yang lebih baik untuk kepalaku. Perutku terasa lapar tapi badanku malas untuk bergerak. Pusing dan lapar adalah perpaduan sempurna untuk menyiksaku.
Lena duduk di sebelahku, telapak tangannya menempel di dahiku.
“Kamu sakit yang?” Lena bertanya khawatir, “kok badannya dingin?”.
Aku menggeleng, tubuhku lemas tak bertenaga.
“Kamu mau makan apa?” Lena bertanya seolah mengerti apa yang kurasakan.
“Masakin spaghetti aja.. dikasi bakso sama sosis..” jawabku lemah.
“ya udah.. tunggu bentar ya..” Lena mengecup pipiku dan berjalan ke dapur.
Aku mencoba mengingat kejadian semalam. Nani, wawancara, Rolling Stones, gadis cantik berkacamata, suara terbata orang gugup, brownies dan jus jeruk. Potongan ingatan acak berputar dikepalaku, bagai menonton film di dvd bajakan. Semuanya buram.
Kudengar suara air mendidih dari arah dapur.
“Yang.. pake saus bolognese atau tuna pedas?” Lena bertanya dari dapur.
“Terserah.. yang penting enak..” jawabku padanya.
Masakan Lena memang enak. Untuk ukuran anak orang kaya yang lulusan fakultas manajemen, Lena termasuk pandai memasak.
Beberapa menit kemudian, Lena datang membawa sepiring spagheti di tangannya, “kamu makan dulu ya.. biar ga sakit..”.
Aku hanya mengangguk dengan mulut penuh saat dia menanyakan rasa masakannya.
“Tar sore kita jalan yuk? Kan jarang kita punya hari libur..” kata Lena mengajakku.
Aku menoleh padanya, mengangguk dan meneruskan makanku.
“Kita ke pantai di Anyer,” katanya lagi.
Kembali aku mengangguk pada Lena.
“Nanti kita nginep disana.. jadi bisa liat sunset.. bisa berenang.. hmm... pasti romantis..” Lena berkhayal dengan mata melihat ke atas.
“Boleh... nanti kita bisa make villa nya Abe.. tar aku telepon dia.” Jawabku yang baru selesai makan.
“Sip sip..” kata Lena menunjukan kedua jempol tangannya.
“Nih..” Aku menyerahkan piring kotor padanya.
“Uhh.. dasar pemalas...” walaupun menggerutu, Lena tetap berjalan ke arah dapur membawa piring kotor bekas makanku.
****** Life Fast Die Young ******
Sebelum sore hari, aku dan Lena berkendara ke arah barat kota. Mobilku menempuh perjalanan tiga jam untuk sampai ke Anyer. Ditangah perjalanan aku berhenti di sebuah toko bunga dan membelikan serangkai bunga mawar merah untuk Lena.
Kami sampai saat jarum pendek jam tanganku berada di angka 5. Deburan ombak pantai menyambut kami yang baru turun dari mobil. Angin pantai sore berhembus dingin menerpa pipiku. Matahari berada di atas garis cakrawala membuat bayangan merah terpantul di air laut.
“Villanya Abe bagus ya?” kata Lena bergitu memasuki ruangan villa.
“Iya.. “ jawabku singkat saat mengangkat barang bawaan kami.
“Nanti kalo kita nikah kita beli villa gini yuk? Buat bulan madu..” usul Lena.
“Katanya mau ke Jepang?” aku mengingatkannya.
“Ya abis dari Jepang, bulan madu lagi di anyer..” Lena ngeles.
“Di Bali aja.. di Lovina.. view nya lebih keren..” aku menawarkan.
“Boleh.. eh, aku belom pernah ke Lovina lho..” kata Lena.
“Yaudah.. besok nikah trus beli villa trus bulan madu ke Lovina..” jawabku asal.
“Iuuwwwhhh... gak.. aku belom siap.. “ kata Lena menirukan ekspresi “iuwh” di sinetron.
“Hahahhaha... nikah ga mau, tapi sama ini mau kan?” aku menunjuk retsleting jeansku.
“Engga kok.. weeekk!” lena menjulurkan lidahnya mengejekku.
“Nah.. ya itu.. itu.. udah pas.. “ kataku menunjuk selangkangan dan lidahnya bergantian.
“Huh! Dasar rocker mesum..” Lena memalingkan badannya.
“Biar mesum kamu juga suka..” kataku ngeles.
Kami duduk berdua di teras belakang villa milik Abe. Lena membuatkan roti bakar dan segelas kopi untukku. Matahari mulai berwarna merah menyala di ujung garis pandang. Ombak lautan di ujung cakrawala membuat pantulan merah-jingga matahari seakan menari.
“Cantik ya..” Lena takjub memandang sunset.
“Iya.. kaya kamu..” jawabku merayunya.
“Huuu.. boong.. Agnes Monica kamu bilang cantik.. Katty Perry juga..” kata Lena.
“Iya.. tapi kamu lain..” Aku tak melanjutkan kalimatku, karena aku sendiri bingung mau melanjutkannya bagaimana.
Lena tersenyum dan bersandar di dadaku. Tangan kiriku merangkul pundaknya. Suasana sore yang romantis di Anyer, ditemani segelas kopi, sebatang rokok, piring roti bakar yang isinya habis kami makan dan seorang wanita yang menemaniku saat senang dan susah. Mungkin inilah yang dikatakan para pujangga tentang surga dunia. Perasan damai menyelimuti hatiku seiring lenyapnya matahari berganti bulan purnama.
****** Life Fast Die Young ******
“Uhmm... ehmmm.. mmm” bibirku menempel erat pada bibir Lena.
Suasana romantis tadi sore membawa tubuh kami berpelukan di dalam kamar. Hasrat ingin bercinta begitu besar. Perasaan cinta yang tulus bercampur naluri hewani menuntut kami untuk melakukan persetubuhan yang indah.
Tangan Lena mengalung di pundakku, jemarinya meremas rambut di belakang kepalaku. Bersama dengan ciuman bibirku, tangan ini mengelus punggung lena. Aku remas bokongnya perlahan. Membawa reaksi gerakan kepala miringnya dan lidahnya yang bersemangat masuk ke dalam mulutku. Mungkin pancaran hangat matahari terbenam, membakar nafsunya.
Hanya desah dan desis pelan yang terdengar dari mulutnya. Detik demi detik berjalan amat lambat kurasakan saat mencium bibir tipisnya. Perlahan kuturunkan retsleting di punggungnya. Lena menurunkan tangannya saat aku hendak melepas dress merah dari bahan satin mengkilap yang dia kenakan. Aku berjongkok menaikan rok yang menyatu dengan dress tanpa lengan. Kuangkat pakaian yang menutupi tubuh wanita terindah di hadapanku. Lena tersenyum pasrah menerima perlakuanku. Sekarang hanya bra dan celana dalam hitam yang menghalangiku memandang tubuh polosnya.
Kembali kucium bibir Lena. Tanganku bergerak ke belakang punggungnya, melepas kait penutup payudara gadis manisku. Kukecup pundaknya saat melepas bra Lena perlahan. Lena tertawa geli saat ciumanku naik kelehernya.
“you’re so sexy..” kubisikan kata mesra di telinganya dan ku kecup pipinya.
Kedua tanganku mengelus punggungnya turun, masuk ke dalam celana dalamnya. Aku kembali meremas kedua bongkahan pantat Lena, sembari menurunkan celana dalamnya sedikit demi sedikit, membuat Lena mendesah lirih. Celana dalamnya kini sudah turun sampai ke paha, aku berjongkok di depannya melanjutkan melepaskan penutup bagian paling dilindungi oleh wanita.
Aku menidurkan Lena di ranjang. Ku ambil setangkai bunga mawar merah dari rangkaian yang aku beli tadi sore saat perjalanan. Kusentuhkan kelopak mawar dari bibir menurun ke lehernya perlahan.
“Uuhhhh... ssshhhhh...” Lena mendesah dan memejamkan matanya saat ku putar kelopak mawar merah di sekitar putingnya.
Tubuhnya bertopang pada siku tangan, dadanya dibusungkan menyambut tangkai mawar yang kumainkan di payudaranya. Tubuhnya sedikit terlonjak setiap kali kusapukan kelopak mawar menyentuh putingnya. Kepalanya mengayun lembut menikmati permainanku diikuti desah menahan nafsu.
Kuturunkan mawar itu ke perutnya dan berputar di pusarnya, Lena tertawa geli. Kakinya membuka lebar seakan ingin kuturunkan tangkai mawar ini semakin ke bawah. Kuikuti kemauan Lena. Kusapukan kelopak merah bunga yang dianggap lambang cinta dan gairah di klitorisnya. Desahan bercampur rintihan Lena keluar tanpa malu-malu.
Cairan bening menetes dari belahan vagina saat pinggulnya terangkat akibat rangsanganku pada klitorisnya. Ku hentikan permainanku dan berdiri mengambil rangkaian bunga mawar di meja. Tanganku menempel di bibir saat melihat ekspresi “protes” Lena. Kupatahkan satu persatu tangkai bunga mawar hingga tersisa hanya kelopaknya. Kuletakan kelopak-kelopak mawar itu di ranjang, mengelilingi tubuhnya. Kepala Lena berputar melihat sekelilingnya. Senyum terkembang di bibirnya, titik air muncul di sudut matanya.
Jarang aku melihat Lena menangis. Lena yang ku kenal adalah wanita yang sangat kuat. Kali ini dia menangis bukan karena bersedih. Lena mendudukan tubuhnya di atas ranjang yang dipenuhi bunga mawar.
Aku mengambil lilin-lilin pendek di dalam tasku. Ku nyalakan satu per satu dan kuletakan acak di dalam kamar. Kumatikan lampu untuk menambah efek cahaya lilin. Cahaya temaram membuat tubuh polos duduknya terlihat semakin cantik.
Lena berdiri dari ranjang dan memelukku.
“makasih sayang... makasih..” Lena terharu dengan perbuatanku.
Kuhapus air mata yang mengalir di pipinya. Aku memeluknya dan berdansa dengannya. Kunyanyikan sebuah lagu mengiringi tarian kami.
“I wanna lay you down in a bed of roses
For tonight I'll sleep on a bed of nails
I wanna be just as close as your Holy Ghost is
And lay you down on a bed of roses”
Kami bergerak perlahan mengikuti irama reffrain lagu Bon Jovi yang kunyanyikan berulang ulang. Dagunya bersandar di pundakku. Tubuh telanjangnya dan tubuhku yang memakai pakaian lengkap sangat kontras terlihat walaupun dalam temaram cahaya lilin.
Lena mencium bibirku saat ku hentikan lagu yang ku ulang-ulang. Kali ini ciumannya makin ganas, seakan seluruh nafsunya diluapkan pada diriku. Tangannya bergerak membuka baju kaosku. Lena melepas ciumannya dan meloloskan bajuku ke atas. Lena berjongkok di depanku dan melepaskan celana dan celana dalamku sekaligus. Di pegangnya penisku dan diarahkan ujung penisku kebibirnya. Tangan Lena menggerakan penisku dibibirnya seolah sedang memakai lipstik. Rasa geli menggelitik kurasakan dari ujung penisku yang merah. Lena menatapku dengan mata nanar. Mata wanita yang meminta dipuaskan. Lena mengangkat penisku tepat di atas hidungnya dan menjilat batang penisku dari batas buah zakar ke arah kepala. Aku memegang kepala persis orang yang sedang migrain, menahan permainan lidahnya di penisku.
Lena mendorongku duduk di ranjang dan mengulum penisku dengan posisi berjongkok. Kepalanya maju-mundur di selangkanganku. Aku mendesah saat lidahnya menggelitik bagian bawah kepala penisku. Ku pegang kepalanya agar memasukan penisku lebih dalam.
Lidahnya memutari batang kejantananku. Aku menjambak rambutnya menahan nikmat.
“Kamu naik yang.. “ kataku padanya.
“Hu’um,” Lena mengangguk saat penisku ada di dalam mulutnya.
Lena naik menduduki tubuhku. Aku menggeleng padanya. Kubaringkan badanku dan kuarahkan pinggulnya ke wajahku. Lena mengerti dan memposisikan kakinya mengangkangi mukaku. Jariku memainkan bibir vaginanya. Cairan vagina Lena melumuri labia mayoranya saat jariku mengusap ke kanan dan ke kiri.
“Aaahhhh...” Lena mendesah saat kutusukan jari tengah tangan kiri ku ke dalam lubang anusnya.
Kujilat klitoris kecilnya dan mulai menggerakan jari tengahku di dalam anusnya. Lena mendesah-desah seperti orang kepedasan. Hisapannya pada penisku semakin ganas.
“Uhhh.. ssshhhh.. aahhhh..” giliran aku mendesah .
Kubukan bibir vaginaku dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan, ku masukan lidahku ke dalam liang vaginanya dan kugerakan keluar-masuk.
“aaakhhh.. ahhhh..” Lena berteriak keras.
Semakin aku memainkan vaginanya, semakin hebat penisku dirangsangnya. Pinggulnya bergoyang menekan kepalaku. Pinggulku pun bergoyang menusukan penisku ke dalam mulutnya. Desahan, rintihan dan teriakan kami saling bersahutan. Seakan berkompetisi, siapa yang lebih hebat memuaskan pasangan.
Tubuh Lena bergerak memutar dan berjongkok di atas pinggulku. Dengan kedua tangannya, Lena membuka lebar vaginanya sendiri dan duduk, memasukan penisku ke dalam vaginanya. kami mendesah lega bersamaan.
Tangan Lena bertumpu di dadaku, pinggulnya menempel di selangkanganku dan digerakan maju-mundur, bagaikan menaiki kuda pacuan. Gerakan pinggul Lena divariasikan dengan gerakan memutar. Penisku bergesekan dengan seluruh dinding vaginanya. serasa vaginanya menjepit dari segala arah.
“Gimana? Hah.. ahhh.. enak.. enak kan?” Lena bertanya diantara desahnya yang memburu.
Aku mengangguk dengan ekspresi meringis.
Kupeluk tubuh Lena mendekat padaku. Ku hisap kedua puting payudaranya bergantian. Goyangan pinggulnya berubah arah, menjadi naik-turun.
Keringat menetes dari leher ke payudaranya yang mulai terasa asin. Lena Merintih mengiringi gerakan pinggulnya. Vaginanya semakin basah dan licin. Kakinya menekuk berjongkok di atasku. Kutahan pinggul Lena dengan tanganku agar dia berhenti bergerak. Ku goyangkan pinggulku, penisku menusuk-nusuk vaginanya dengan cepat.
“Aaahhhh.. sshhh... aaahhh.. sshh.. aahhhh..” Lena berteriak keras menahan hujaman penisku dari bawah.
Kedua tangan Lena meremas seprai di samping kepalaku. Kepalanya melihat ke langit, matanya memejam, kedua alisnya bertemu. Kugoyangkan pinggulku semakin cepat, tanganku meremas bokongnya keras.
“Yang.. cepetin yang.. yang..” Lena berteriak begitu cepat, tangannya memukul-mukul pundakku.
Aku semakin bersemangat menggenjot penisku, hisapanku pada putingnya semakin kuat. Jari kiriku kumasukan ke dalam anus Lena dan kugerakan bagai sebuah penis menyodominya. Kutarik pinggul Lena menempel di selangkanganku saat penisku menusuk vaginanya. Sensasi bercinta lebih nikmat terasa saat selangkangan kami beradu. Penisku memasuki vaginanya lebih dalam.
“Aw.. yang.. enak yang... enaaaakk..” Lena meracau keras.
Rasa geli mulai terasa di penisku. Aku mempercepat goyanganku agar Lena cepat mencapai puncak. Cairan vagina Lena mengalir deras merembes mengalir melewati penisku. Rasa ingin ejakulasi semakin menjadi akibat cairan vagina Lena yang deras.
“Ayo yang.. dikit lagi.. ahhh.. dikit.. ahhh..” pinggul Lena bergerak liar memacu nafsunya.
Goyangan Lena semakin cepat. Nafas kami satu-satu. Lena menegakkan tubuhnya dan mengocok klitorisnya sendiri dengan cepat.
“AAAAHHHHH!!” kami berteriak bersamaan.
Tubuh Lena melenting, pinggulnya bergerak-gerak. Carian vaginanya membanjiri penisku. Ku tahan pinggul Lena menempel padaku saat penisku menyemprotkan sperma ke dalam vaginanya.
“Ahh.. ahh... ahh..” pinggul kami bergerak-gerak bersama denyut sisa kepuasan.
Tubuh Lena membungkuk ke depan dan rubuh di atasku. Aku memeluknya yang kelelahan. Hembusan nafasnya hangat menerpa leherku. Matanya terpejam dan dadanya naik turun. Detak jantungnya terasa sangat jelas di dadaku. Bagaikan aku memiliki dua jantung dalam satu tubuh. Aku yang kelelahan terbaring tak berdaya, begitu juga Lena. Perlahan rasa lelah, puas dan lega membuat mataku terasa berat. Aku menutup mataku untuk beristirahat dengan Lena yang menindih tubuhku.
Bulan maduku bersama Lena yang terlalu dini, berjalan dengan indah. Anyer, villa milik Abe menjadi saksi bisu peraduan. Dua hari dua malam kami habiskan bersama. Beberapa hari lagi, tur poromo album akan dilakukan. 22 kota di 22 provinsi negara ini, ditambah 2 kota besar di australia. 5 bulan lamanya aku akan jauh dari rumah. Mungkin aku akan merindukan ibu kota yang terkenal dengan banjir dan kemacetan ini.
Untuk tur kali ini, tidak ada persiapan khusus yang aku lakukan. Tetap menjual kualitas bermusik, improvisasi liar, suara prima dan aksi panggung yang membuat jantung nenek di rumah copot. Memang performance kami di atas panggung sangat di tunggu penggemar dan media gosip, tetapi aku tidak cukup gila untuk menggigit leher kelelawar sampai putus atau bertelanjang-ria di atas panggung.
Semakin dekat hari konser pembukaan yang dimulai di kota Medan, Lena jadi semakin cerewet.
“Yang, kita ke mall yuk?” ajak Lena.
“Ngapain?”
“Ada baju yang cocok ni buat kamu..” kata Lena sambil menunjukan katalog belanja suatu departement store.
“Ihhh... warna ijo gitu.. ogah!!” melihatnya saja aku mual, apalagi memakainya.
“Tapi bagus yang.. lebih cerah..”.
“No Way!” aku memperlihatkan jari telunjuk yang bergerak seperti whiper mobil.
“Kalo ini gimana yang?” Lena membalik halaman katalog di tangannya dan terlihat model mengenakan jaket kardigan loreng-loreng.
“Pake itu? aku bukan rocker lagi donk? tapi dangduter.. ogah ogah!” aku menggeleng keras.
“Ni.. ini bagus ni..” Lena menunjukan foto seorang model memakai baju ketat berkilap-kilap.
“Gaakkk! Aku bukan gay..” kutekankan pada kata “gay” sambil meniru ekspresi “hoek”
“Trus mau make apa donk?”.
“Tar.. tunggu bentar,” aku menyuruhnya menunggu dan masuk ke dalam kamar.
Lima menit kemudian aku keluar hanya mengenakan boxer hitam, kaos kaki putih dan sarung tangan kulit yang kupotong di bagian jari-jarinya.
“Gimana? Keren kan?” aku memamerkan gayaku padanya.
“Hhm!!” Lena melemparkan katalognya ke mukaku.
****** Life Fast Die Young ******
Sore itu, aku duduk di depan tv menonton siaran infotanment yang dipenuhi berita mbah Bubur. Mbah Bubur ini, sudah tua tapi istrinya banyak, bahkan bisa merebut istri orang. Banyak pro dan kontra di seputaran kisah hidupnya.
“Ahh.. ada-ada aja ni tukang bubur.. ni acara tipi juga lebay.. dagang bubur yang istrinya banyak aja digosipin..“ aku pun menganti saluran tv, mencari siaran mengenai kehidupan binatang.
Terlihat di layar televisi, ada seekor singa jantan yang tiduran di padang savana bersama lima ekor betina dan beberapa anaknya. Kembali aku disuguhi tayangan poligami, mirip kisah mbah Bubur.
Lena sudah pulang karena ada janji dengan temannya yang akan menginap di tempat kosnya.
Pintu depan dibuka dari luar. Muncul Nani dan seorang temannya, gadis berambut panjang dengan kacamata bergagang persegi. Dadanya yang cukup besar terekspos dengan balutan kaos putih yang ketat. Kulitnya yang putih bersih sangat cocok dengan paduan wajah oriental.
“Kak, kenalin temen kuliah Nani..” kata Nani padaku.
“Sore.. nama saya April..” gadis itu mengulurkan tangannya.
Rasanya aku pernah bertemu dengan perempuan ini.. April.. April.. dimana aku pernah bertemu dengannya.. , aku tertegun melihat gadis itu.
“Iya.. saya Radeet..”, jawabku menyalaminya.
“April ini nge-fans sama kak Radeet..” kata Nani menjelaskan.
“Hehehe..” April nyengir malu-malu.
Aku tersenyum melihat April, tidak seperti penggemar lain yang langsung berteriak histeris, meloncat-loncat atau langsung minta berfoto dan tanda tanganku, April termasuk sopan.
Nani mengajak temannya naik ke lantai dua. Badanku yang terasa gerah, memaksaku bangun menuju kamar mandi. Saat menyalakan shower, kembali aku mengingat-ingat dimana aku pernah bertemu dengan temannya Nani. Aku mandi sambil mengingat nama “April”. Semakin aku mencoba mengingatnya, semakin kabur ingatanku.
Ahh.. andaikan aku punya ingatan seperti roll film 8mm yang dapat diputar setiap saat.., aku menyesal akan penyakit pikun yang sudah menyerang pada umur 27 tahun.
Setelah selesai mandi dan memakai pakaian, aku keluar dari kamarku dan mencium bau harum masakan memenuhi ruangan. Aku berjalan ke dapur dan melihat Nani dan April sedang memasak dan bergosip. Aku tersenyum melihat dua orang gadis remaja yang bertingkah bagai ibu-ibu pkk ini.
“Baru selese mandi ya kak?” sapa Nani melihat rambutku yang masih basah.
“Iya.. kalian masak apa?” perutku yang lapar memaksaku menanyakan masakan mereka.
“Ada deh.. kakak tenang aja, kita bikin 3 porsi kok.. tar kakak kebagian..” sahut Nani.
“Ga kebagian juga ga pa pa.. aku bisa masak sendiri..” kataku, walaupun sebenarnya hatiku bersorak gembira.
“Masakan kakak kan beracun.. tar kalo keracunan ga jadi konser.. mending nyobain masakan kami..” Nani berpromosi.
“Yaudah.. tapi nanti kalo aku masuk rumah sakit, kamu yang tanggung jawab ya.. “ Aku jual mahal.
Nani mencubit pinggangku tapi aku menghindar dari cubitan “maut” Nani. April tertawa melihat tingkah kami berdua yang seperti anak kecil.
****** Life Fast Die Young ******
“Kak, udah mateng ni..” kata Nani membawa dua buah piring berisi mie goreng yang bercampur dengan sayuran dan gorengan berbalut tepung yang bentuknya mirip tempura ke ruang tamu.
Dibelakangnya April menyusul membawa mangkuk besar berisi sayuran berkuah.
“Wah wah.. Chinese food ya? baunya enak..” komentarku melihat tiga jenis makanan yang mereka taruh di depanku.
“Iya.. ini resep keluarganya April..” kata Nani yang kembali berjalan ke dapur mengambilkanku nasi.
“Hmm.. Sip sip.. enak juga ya..” kataku memuji sesendok capcay yang kucicipi.
“Hehehhe.. iya kak..” April tersenyum malu-malu.
“Ni nasinya..” kata Nina membawa sebuah nampan dengan tiga piring nasi di atasnya.
Aku, April dan Nina makan masakan kedua gadis ini. Memang enak masakan mereka, setara dengan masakan Lena, pacarku. Aku makan dengan lahap makanan yang ada di depanku. Sebatang rokok ku nyalakan begitu merasa perutku penuh.
“Uff.. kenyaaannggg..” aku menyenderkan badan di sofa.
“Kak, ini ada kue buat cuci mulut..” April menawarkan sepiring brownies kukus.
“Aduh.. ga usah deh.. udah full ni..” aku menolak sambil menepuk-nepuk perutku.
“Dicoba aja dulu kak.. ini kita juga yang bikin tadi..” April merayuku.
“iya deh..” kugigit sepotong brownies kukus berwarna coklat gelap.
“Gimana kak?” tanya Nani.
“Enak juga..” jawabku mengambil sepotong lagi kue di atas meja.
“Tuh kan enak.. sampe kak Radeet nambah..” Nani berkata pada April.
Entah setan apa yang merubah pandanganku. Tiba-tiba terlintas pikiran mesum, April dan Nani yang berbicara dengan mengenakan bikini. Penisku sedikit demi sedikit mengembang tanpa aba-aba, membuat celana jeansku sesak. Mataku mengerjap, berharap otakku menghentikan khayal erotis ini. Bukannya kembali normal, pakaian mereka berganti-ganti semakin menggoda setiap aku membuka mata.
Apa ini?, aku betanya dalam hati.
Nani dan April mendekatiku. Mereka duduk di sebelah kanan dan kiriku. Kepalaku sedikit pusing. Saat aku akan berdiri dan pergi ke dapur, Nani menahan kepalaku dan mencium bibirku. Alih-alih aku menolaknya, malah aku menikmati ciuman Nani.
April meraba pahaku yang tertutup celana jeans. Aku mengalihkan pandangan pada April, wajahnya begitu dekat dengan wajahku, bibirnya sedikit membuka. Refleks aku mencium bibir merah April tanpa melepas kacamatanya. Ciumanku dengan april membuat bayangan-bayangan berkelebat dalam pikiranku.
Seorang wanita berambut hitam panjang dan berkacamata gagang persegi duduk di sofaku sambil membolak-balik naskah wawancara. Wartawan baru yang gugup dari majalah Roling Stones. Jus jeruk yang dibawa Nani. Wanita itu menunduk sambil memegangi kepalanya. Suara benda jatuh dan langkah kaki.
Shit!! Ini kan wartawan yang waktu itu.., aku tersadar siapa yang sedang menciumku
April menghisap bibirku dengan bernafsu, tangannya meraba dadaku. Nafsuku meninggi, ku dorong April rebah di sofa. Gadis ini pasrah ku perlakukan, walaupun tahu apa yang akan jadi kelanjutannya. Kembali aku mencium bibir april yang merekah. Perlahan tanganku mengangkat baju kaosnya. Tubuh April bangkit, mempermudah aku meloloskan bajunya. Payudaranya yang besar berguncang di depanku.
Kerlip cahaya putih berpendar dari arah sampingku, seperti blitz kamera saat jumpa fans. Aku tak peduli, yang ada dalam otakku adalah hasrat menyetubuhi badan putih mulus seorang gadi cantik dengan payudara besar di hadapanku.
“Hmmm... emmmmhhh..” April mendesah saat kuhisap bibirnya.
Mata April memejam saat kuremas payudaranya yang masih terbungkus bra. April melenguh tertahan ciumanku. Tangannya berusaha melepas baju kaosku. Kulepaskan bibirku dari bibir April dan melepas sendiri bajuku. Kini aku dan April bertelanjang dada.
Nani masih sibuk memfoto kami berdua. Nalarku tidak sempat memikirkan tujuan Nani mengabadikan adegan mesum kami. Tegangan penisku memaksa fokus melepaskan bh April. Aku mengikuti naluri hewanku untuk memenuhi kebutuhan biologis.
Payudara April terlihat jelas saat ku lepaskan penutupnya. Payudara yang besar untuk keturunan ras dengan mata sipit kontras dengan puting kecilnya yang berwarna merah muda. Puting April yang lucu, memancing mulutku menghisapnya.
“Ahhhh..” desahan keluar dari bibir merah April saat kuhisap puting kiri payudaranya.
Puting kanannya kucubit lembut dengan jariku. Dada April makin membusung menyodorkan payudaranya. Ujung lidahku berputar-putar mengelilingi putingnya, membuat April meringis keenakan. Tangan April menjambak rambutku saat puting kanannya ku tarik cukup keras.
“Aww!!” April berteriak.
“Sakit?” kulepaskan hisapanku dari putingnya.
“Hu’um.. tapi enak kak..”
Kulanjutkan menghisap dan menarik-narik putingnya. Berkali-kali April meringis namun dia tak menghentikanku. Hanya tangannya yang makin keras menjambak rambut ini. Tengah Asik-asiknya mempermainkan April, aku merasakan tepukan di pundakku. Aku menoleh ke belakang dan ku lihat Nani memegang jepit jemuran.
“Pake ini aja kak” Nani menyodorkan jepitan jemuran padaku.
“Buat apaan?”
“Toketnya dijepit aja..”
“Jangan.. sakit..” April menggeleng keras.
“Udah tenang aja, enak kok.. aku sering make ini.” kata Nani sambil menjepit puting April.
April yang ketakutan berusaha mengelak. Jepitan di tangan Nani berkali-kali meleset dari sasaran.
“Kak, pegangin dong..” kata Nani pada ku.
Entah kenapa aku menurutinya. Aku tahu April pasti akan kesakitan tapi sepertinya lucu juga melihat gadis manis ini dijepit kedua putingnya dengan jepitan jemuran. Akupun memegang lengan April agar tidak bergerak. April memohon untuk dilepaskan tapi aku tak perduli.
“Aaaaaaaawwwhhh!!” kepala April menggeleng saat Nina menjepit putingnya.
Wajah oriental April memerah menahan sakit pada payudaranya. Kepalanya menggeleng keras, matanya memejam, bibirnya terbuka memperlihatkan giginya yang mengatup. Urat darah April terlihat di sekitar putingnya. Tangannya meronta-ronta mencoba melepaskan peganganku.
“Sabar.. tar lagi enak kok.” Nani mengelus bahu kawannya, menenangkan
Aku melihat April yang mulai tenang. Tangannya kini tak bergerak liar, wajahnya memandang putingnya yang terjepit plastik berwarna hijau. April melipat bibirnya, matanya kembali memejam. Entah kesakitan atau apa yang dirasakannya, perlahan April tubuh April bergerak-gerak pelan dengan ekspresi wajah menikmati suatu sensasi.
“Enak kan?” tanya Nani.
“Hu’um, Sssshhh..” April mengangguk dan mendesah, “tapi masi sakit..”
Aku kembali terangsang melihat April yang menggeliat di depanku. Tangan April ku lepaskan namun bukannya melepas jepit pada putingnya, April malah meremas payudaranya hingga membusung di depanku.
“Kak, lepasin celananya.. Nani masi punya mainan lagi..” kata Nani yang berjalan menaiki tangga.
Kubuka retselting jeans April yang masih meremas-remas payudaranya sendiri. April mengangkat pinggulnya saat kuloloskan celananya turun. April menekuk kakinya dan membuka pahanya di depanku, memamerkan g-sting hitam yang kontras dengan putih pahanya. Kutempelkan jempolku pada klitorisnya dan kuputar searah jarum jam.
“Aaaaahhhh... kaaaaakk..” April mendesah erotis.
“Celana dalemnya juga dilepas kak..” kata Nani yang menuruni tangga, membawa sebuah tas ransel.
Aku yang sudah terbawa nafsu tak peduli omongan Nani. Melihat vagina April yang hanya ditutupi segitiga hitam kecil, aku menegakkan badan dan menurunkan celanaku hingga ke paha. Melihat penisku yang tegak, April makin lebar membuka pahanya, tangan kanannya menggeser g-stringnya, menampakan bibir vaginanya yang sejak tadi bersembunyi di balik g-string keparat itu.
“Kak.. masukin kak..” April merayuku.
Aku tersenyum dan menggesekan kepala penisku di bibir vaginanya yang mulai basah. Lendir vaginanya mulai keluar diiringi desahan April. Sesekali kupukulkan kepala penisku di klitorisnya. Arpil menjerit lirih menikmati perlakuanku. Tiba-tiba Nani menggenggam penisku keras.
“Dibilangin nakal ya!! hmm!! Buka dulu celana dalemnya April..”
Aku mengangguk ngeri. Cengkraman tangannya membuat penisku ngilu. April menurut saat kulepas g-stingnya walaupun dengan wajah kecewa.
“Nah sekarang kaki lo dinaikin gini..” Nani memasang sabuk kulit pada pergelangan kaki April, “mana tangan lo bawa sini.”.
“Eh, lo mau apa?”
“Udah cepetan.. loe mau ngentot ama kakak gue ga?”
April mengangguk dan merelakan tangan dan kakinya diikat dengan benda yang ternyata bukan sabuk tetapi rangkaian mirip borgol dari kulit. Pergelangan tangan dan pergelangan kaki April diborgol tiap sisinya, membuat kaki April mengangkang lebar.
“Tuh kan.. bagus kan? Jadi kakak gue sekarang bisa liatin memek lo dah..”
April tersenyum melihatku memandang vaginanya yang dicukur halus.
“Pake ini aja kak..” Nani mengeluarkan sebuah dildo elektrik bening berbentuk penis panjang dan besar, lebih besar daripada penisku, saat aku hendak menyentuh vagina April.
“Gila lo Ni.. gede banget itu..” April menggeleng, ”jangan dimasukin!! Bisa robek memek gue!”.
Aku mengerti kemauan Nani. Segera Aku turun dari sofa dan melihat Nani beraksi. April yang terikat pada kaki dan tangannya mencoba menurunkan kakinya untuk menghalangi Nani memasukan dildo ke dalam vaginanya. Tapi tangan kanan Nani naik menahan kaki April dan tangan kirinya mengarahkan dildo menuju vagina kawannya itu.
“Ni jangan Ni..” April menggeleng, “Aaaaaaahhhh!!!!”.
Sebuah teriakan keras April keluar dari bibir sexy-nya. Air mata menetes di pipi April.
“Sakit Ni.. lepasin.. sakit banget Ni..” April memohon.
Nani bukannya simpati, malah tersenyum dan mulai menggerakan dildo itu maju-mundur perlahan. Rengekan April diselingi rintihan kecil saat Nani menggerakan dildonya.
Aku berjalan ke arah kepala April yang sedang menangis. Kujambak rambutnya dan kuarahkan penisku ke bibirnya. April menggeleng dan menutup mulutnya rapat-rapat.
“Aaaaaaahhhhhh!!” mulut April terbuka saat Nani menghidupkan dildo di tangannya.
Melihat kesempatan, segera kudorong penisku masuk mulut April yang membuat teriakannya tertahan penisku. Dildo bergerak-gerak dalam vaginanya sementara penisku menutup mulutnya. Pantat April bergerak-gerak saat jari Nani bermain di klitorisnya, kakinya terangkat tinggi tanpa bantuan tangan Nani.
Kurasakan mulut April tidak lagi menolak penetrasi penisku. Hisapannya membuat penisku ngilu. Tampaknya dia mulai menikmati penyiksaan ini.
“Enak say?” Nani bertanya pada April.
“Hu’umph” jawaban April terdengar tidak jelas.
Nani kembali mengambil sesuatu dari tasnya. Kali ini dia mengeluarkan sebuah vibrator kecil berbentuk mirip peluru dengan kabel yang menyambung pada kotak plastik dengan bulatan pemutar seperti pencari sinyal pada radio.
“Tambahin ini.. pasti enak.” Kata Nani sembari memasukan vibratornya ke anus April.
“Eeeehhmmmppp’!!!” teriakan April tertahan penisku saat Nani menghidupkan vibratornya.
Vagina dan anus April dipasangi dildo dan vibrator yang bergerak, membuat hisapannya pada penisku semakin buas. Pinggulnya bergerak liar mengikuti irama kedua benda yang memasuki lubangnya.
Nani berdiri mendekatiku dan mencium bibirku. Kurangkul pinggang Nani lebih merapat. Sensasi mencium seorang wanita saat penisku dioral wanita lain, sungguh sangat memacu adrenalin. Logika, pemikiran dan tingkat kewarasanku dikalahkan nafsu birahi untuk menyetubuhi kedua gadis muda ini.
Tiba-tiba April melepaskan penisku dari mulutnya dan berteriak, “Ni.. Nani!! Lepasin Ni.. gue mau nyampe!! gue mau nyampe!!”.
Nani segera memegang dildonya, bukannya melepaskan, Nani malah mengocok vagina April dengan dildo itu. Pinggul April bergerak-gerak seirama dengan kocokan Nani. Rintihannya keras seperti orang gila menggema dalam ruang tamu.
“Aaaarrrrggghhhh!!!” pantat April terangkat belasan senti dari sofa.
Nani menarik dildo elektrik keluar dari vagina April. Cairan menetes dari vagina April jatuh membasahi sofa. Pantat April yang telah jatuh bergerak-gerak akibat gelombang oergasmenya. Wajah dan badannya memerah, matanya memejam seperti orang kelelahan. Nafasnya tak beraturan dan mulutnya mendengus seakan mendorong sesuatu.
“Gimana enak ka.. hmmmpppphh!!” kucium bibir Nani sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
Aku yang sudah sangat bernafsu, tidak mau menunggu berlama-lama. Kulepaskan kaos dan rok Nani secepat yang aku bisa. Nani tertawa kecil melihatku yang terburu-buru.
“Uuhhhh..” Nani melenguh saat ku remas payudaranya yang masih tertutup bra.
Entah setan apa yang sudah merasukiku. Nani, gadis kecil yang dulu selalu kujaga dan kusayangi bagaikan adik kandungku sendiri, sekarang terlihat begitu menggoda dengan tatapan sayu dan desah erotis berdiri di depanku. Persetan dengan persaudaraan panti, payudara dan pantat montok ini lebih menggoda.
Kulepaskan baju dan bra yang menutupi dadanya. Payudara indah Nani telah terpampang jelas, kuremas kedua buah payudara itu secara bersamaan, terasa hangat dan kenyal. Mulut kami pun masih saling beradu, seperti layaknya sepasang kekasih yang merajut cinta terlarang, sungguh permainan bibir dan lidah yang panas, keras, saling serang antara aku dan Nani, seperti itulah gambaran kondisiku sekarang dimana nafsu dan naluri telah mengambil otak warasku.
Tangan Nani bergerak menggenggam penisku yang tegang dan mengocoknya maju-mundur. Badanku terasa panas, aliran darah begitu cepat. Kuhisap leher Nani hingga meninggalkan bekas kemerahan pada kulitnya. Mata Nani memejam menikmati sapuan lidahku pada lehernya. Kurapatkan badanku dengannya agar tanganku bisa meremas bokongnya. Tanganku meraba leher menurun hingga pantatnya. Baru kusadari kulit Nani semulus ini. kedua tanganku meremas pantatnya, sementara lidahku bermain di telinganya.
Nani yang sedang mendesah, tiba-tiba menjerit manja begitu kupukul pantatnya dengan telapak tanganku. Perlahan kuarahkan tubuh Nani ke arah sofa dan ku dorong hingga dia terduduk. Kembali kucium bibirnya dan kurangsang puting Nani dengan kedua tanganku.
"Hmmmmmm.. eeeeeemmmmhhhhh." hanya suara desahan yang terdengar dari mulut Nani, akibat rangsangan yang kuberikan di payudaranya.
Jari-jemariku perlahan memutar dan memilin puting yang kiri dan kanan. Nani menjerit erotis menahan gejolak birahinya.
Kugerakkan jari jemariku ke atas dan ke bawah menggesek puting Nani,
"Uuuuhhh," desahan yang terdengar dari bibir Nani.
Kuusap-usap payudara Nani, mulai dari puting hingga kulit payudaranya.
"Hah.. ah.. hahh," nafas Nani mulai memburu, rangsangan yang kulakukan berhasil memaksa Nani hingga keujung batas nafsunya.
Ku lepas pagutan bibirku, "Nan sambil rebahan ya?" kataku kepadanya. Nani menurut pasrah saja saat aku memposisikan tubuh Nani rebahan di sofa.
"Hmmm," kembali kukecup bibirnya, tanganku pun melanjutkan pergerakannya di payudaranya, Nani membalas ciumanku dengan lembut dan mesra.
Kuturunkan ciumanku ke lehernya. Kuhisap kulit lehernya beberapa kali hingga meninggalkan banyak bekas merah. Kepala Nani terangkat membiarkanku menjilati lehernya. Jilatanku turun hingga payudaranya. Kuhisap putingnya kanan dan kiri bergantian. Nani pun menjadi mendesah-desah, "aaaaahh.. iya kak terus.. uhhh.." racaunya sambil terkadang meremas gemas kepalaku dan sesekali dijambaknya secara kasar.
Kuhisap putingnya yang telah basah oleh air liurku hingga payudara Nani pun seperti terhisap masuk seluruhnya memenuhi mulutku.
"Aaaaaaghhhhhhhh kak Radeeeeettttt," tubuh Nani tampak mengejang dan sedikit tertarik keatas mengikuti arah hisapan mulutku ke payudaranya.
Pandanganku tertuju kepada vaginanya yang masih tertutup oleh CD merah berenda yang dipakai oleh Nani tampak basah. Kupegang kedua paha Nani dan kubuka lebar-lebar, kemudian kutarik paksa CD merahnya hingga terlepas. Akhirnya terlihatlah vagina Nani yang ditumbuhi sedikit bulu, sungguh pemandangan yang membuat jantungku berdetak semakin kencang memompa cepat aliran darahku.
Kuarahkan wajahku mendekati bibir vaginanya, kucoba menghirup aroma khas daerah kewanitaannya itu. Kutarik dalam-dalam nafasku untuk menghirup segarnya aroma itu. Kucoba arahkan lidahku tepat dibibir vaginanya, kemudian kujilat perlahan, "slurrrppppp."
"Aaaaahh iyaaaahhhhh kak, Terus... enak kak..." terdengar kata-kata dari Nani yang seperti tertahan oleh nikmat yang terus kuberikan di vaginanya.
kuhisaplah bagian clitoris Nani dengan sesekali kugigit-gigit kecil.
"Aaah ah ahhhh aaaahh," Nani meracau tidak jelas, kepalanya bergerak ke kanan kadang ke kiri, pahanya pun kadang menjepit kepalaku erat-erat di depan selakangannya kadang dilonggarkannya. Kepalaku dijambak dan ditekan ke arah vaginanya.
Pinggul Nani bergerak maju-mundur, jambakannya pada rambutku semakin erat. Tiba-tiba badannya kaku disertai dengan jepitan erat pahanya seolah Nani tak mau melepaskan kenikmatan yang sedang dialaminya. Nani berteriak, "aaaaaaaaahhhhhhhh kakkk Radeeett!!"
Badan Nani mengejang hebat. Bergetar bagaikan vibrator. Dari vagina Nani keluar cairan yang berwarna bening encer, yang segera kuhisap sampai habis. Nafasnya tak beraturan, wajahnya layu kelelahan, matanya sayu memandangku dengan senyum puas tersungging di bibirnya.
Aku berdiri dan menyalakan sebatang rokok sembari menunggu Nani yang sepertinya baru mengalami orgasme. Kakinya terbuka lebar di sofa, badannya yang telanjang basah oleh keringat terlentang tak berdaya, payudaranya naik turun mengikuti hembusan nafasnya. Sungguh pemandangan yang indah dari tubuh seorang Nani.
Setelah rokok habis ku hisap, kudekati Nani yang tiduran di sofa. Kujambak rambutnya hingga dia duduk dan kuarahkan penisku ke depan bibir Nani. Tanpa menunggu lama, Nani segera memasukan penisku dalam hisapannya.
"Aaaaahhhh," aku hanya bisa mendesah begitu kepala penisku dihisap oleh Nani. Dia menghisap, menjilat, menyedot dan mencium penisku dengan buas. Bagaikan singa betina yang melihat zebra melenggok di gurun sahara.
Sial, dimana dia belajar oral sex begini hebat?, aku bertanya dalam hati.
Segera kutahan kepalanya sebelum aku ejakulasi dan tanpa membuang waktu kuarahkan penisku pada vagina Nani. Kugesekkan dengan lembut kepala penisku di bibir vagina Nani.
"Aaaahhh gelii kak, masukin donk, udah gak tahan kak," desah Nani sambil memelas.
Kudorong perlahan kepala penisku memasuki bibir vagina Nani, sedikit demi sedikit, senti demi senti memasuki vagina Nani. Tak ada sedikitpun hambatan saat aku memasukan penisku dalam vaginanya.
kugoyangkan pantatku maju mundur yang mengakibatkan hujaman penisku keluar masuk vagina Nani.
"Uhhhh," wajahnya meringis menahan nikmat, "Aaaghhh kak Radeett."
Nani sedikit berteriak saat kuhujamkan penisku hingga menyentuh mulut rahimnya dan beberapa kuulangi hal itu, kulihat wajah Nani semakin sayu dan memerah akibat perlakuanku, hal itu semakin membuatku terbakar nafsu birahi.
Aku genjot vagina Nani dengan cepat dan semakin dalam.
"aaaaaaaaahhh,... aaaaaaaahhhhhh...aahahhhh," Nani hanya bisa mendesah.
walaupun sudah semakin lama kugoyang dan semakin cepat kugoyang malah semakin sempit saja rasanya vagina Nani. Kakinya mengait di pinggangku, pinggulnya pun ikut bergoyang mengikuti irama tusukan penisku pada vaginanya. Kuhisap bibirnya dengan penuh nafsu. Jilatan lidah kami pada rongga mulut masing-masing membuat ludah kami bercampur dan bertukar.
Sedang asik-asiknya berciuman dan bergoyang, tiba-tiba Nani menarik kepalanya dan membuat ciumanku terlepas. “Ayo kak, cepetan!! Nani dah mau nyampe lagi!!”
Akupun semakin bersemangat menggoyang. Kurasakan otot-oto vaginanya bagaikan meremas penisku. Tak lama kemudian dari liang vagina Nani terasa ada cairan hangat menyembur perlahan membasahi kepala penisku, disusul dengan lengguhan panjang Nani, "aaaaaaa kaaaaaaaaakkkk!!!"
Kutancapkan penisku dalam-dalam. Kakinyapun mengait pada pinggulku semakin erat. Sensasi luar biasa kurasakan pada penisku yang disiram cairan hangat vagina Nani. Ditambah jepitan otot vaginanya yang berdenyut kencang.
Karena aku merasa belum puas dan menginginkan yang lebih akhirnya kupeluk Nani, dan kurangkulkan tangannya ke leherku. Kuangkat tubuh Nani hingga dia menggendong padaku yang berdiri. Nani kelihatannya tahu akan inginku yakni penetrasi sambil berdiri.
Segera dilebarkan pahanya dan dia menopang berat tubuhnya dengan menggelayutkan tangaku ke leherku, tak perlu waktu lama, karena bantuan Nani yang memperlebar jalan penisku ke vaginanya seakan mengundang penisku untuk segera dimasukkan ke sana.
segera kumasukan kembali penisku pada vaginanya.
"aaaaah" desah Nani kembali terdengar begitu penisku membelah vaginanya, terasa kepala penisku menyentuh hingga ke dalam rahim Nani sampai mentok, rasanya sungguh nikmat, kemudian kugoyangkan saja pantatku untuk memaju mundurkan penisku di vaginanya.
"hahhh haahhhh". "haahhh hhhhhaaaaah," desahan kami berdua saling bersahut-sahutan seakan menandakan jika kami sedang berlomba meraih kenikmatan demi kenikmatan yang ingin digapai sampai akhir.
Kulihat lekat-lekat wajahnya yang tepat berada di depan mataku, wajah Nani pun tampak semakin seksi menurutku, akibat dari sodokanku di vaginanya wajahnya jadi tambah merah menahan hasrat nafsu birahinya. Tiba-tiba timbul niat isengku saat melihat dildo yang digunakan Nani untuk menyiksa April tadi tergeletak disofa.
Sambil penetrasi yang tak kulepas dari vagina Nani, kucoba berjongkok sedikit guna mengambil dildo itu, namun bukannya bisa dengan mudah menjangkaunya malah penisku menusuk semakin dalam pada vagina Nani.
"Awwww!! Sakit kak!" teriaknya yang saat aku mencoba jongkok tadi.
Kucoba mempertahankan keseimbanganku dan kucoba kembali memposisikan tubuhku untuk kembali mengambil dildo itu. Akhirnya ujung jemariku berhasil meraih dildo itu.
Dalam posisi yang masih setengah berjongkok itu pun kuludahi tanganku dan kuelus-elus pantat Nani dan lebih banyak rangsangan-rangsangan yang kufokuskan pada pantat dan anus Nani.
"Kak? Mau apa kak?” Nani bertanya kebingungan
Ku arahkan dildo tadi tepat dibibir anus Nani.
"Jangan kaaakk, janggaaaaaaan disitu, plissss," katanya mengiba kepadaku, saat aku mencoba memasukan dildo itu pada anusnya.
Tanpa belas kasihan segera saja kumasukkan dildo itu ke anus Nani.
"Aaaahhhh!!! Kak.. sakit kak..." katanya, saat dildo itu masuk seluruhnya ke dalam anus Nani.
Tak kupedilikan rengekkannya, yang aku inginkan hanyalah memuaskan seluruh hasratku, seluruh anganku hingga tuntas. Kemudian kugoyangkan saja dildo dan penisku secara bersamaan.
"Aw!!Ahh!!" Nani pun kembali berteriak saat kedua lubang miliknya mendapatkan penetrasi.
"Ah ah..sssh..uuh." terdengar desahan dari bibir Nani, kelihatannya Nani merasakan kenikmatan akibat hal itu. Kulihat tadi saat aku akan memasukkan dildo itu ke lubang anus Nani dia bergerak-gerak berusaha untuk menghindarinya. Entah apa yang dipikirkan olehnya, mungkin dia ingin segera merasakan double penetration atau mungkin dia takut karena baru pertama kali atau bisa juga dia masih ingin mencari kenikmatan lebih dariku dan dia takut terjatuh akibat renggangnya pelukannya kepada ku
Dildo yang memasuki anus Nani membuat jepitan otot vaginanya semakin menyempit. Penisku merasakan sensasi gelitikan getaran dildo yang menjalar hingga lubang vagina Nani. Lubang vaginanya sekanan berubah menjadi vibrator yang menjepit penisku.
.
Kulanjutkan saja aktifitasku mengerjai dua lubang milik Nani, yakni dengan menaikkan intensitas seranganku kepadanya. Gerakan penisku semakin kupercepat, sementara dilubang anusnya yang dari tadi mendapatkan serangan dari dildo dengan kecepatan yang kunaikkan sedikit dildo yang ada di anus Nani adalah type dildo bervibrator, dengan ukuran sekitar 20 cm, berwarna merah mengkilat.
Saat kumasukkan ke anus Nani tadi setelan dildo hanya kuset normal. Begitu Nani sudah terbiasa dengan dildo itu, kurubah setting dildo menjadi fast, tentu saja hal itu menimbulkan perubahan gerakan dildo di anusnya.
"Kak!! Uhh.. enak kak!" Nani meracau tidak jelas saat kedua lubangnya kumasuki sekaligus dengan tempo yang semakin cepat, tatapan matanya tampak kosong, tubuhnya ingin terus mereguk semua kenikmatan itu.
"Aaahhh...aaahhh", desahanku pun terdengar semakin cepat juga, berpacu mengimbangi penisku yang terus menghujam semakin cepat di vaginannya.
“Kak, ayo kak!! Ayo!! Ini udah...” wajah Nani berubah kaku, bibirnya meringis dan pantatnya ditarik kebelakang membuat penisku terlepas dari vaginanya. cairan hangat kembali menyembur dari vaginanya. bagaikan keran air, cairan vaginanya membasahi punggung kakiku. Pinggulnya bergerak gerak monoton diikuti dengan jeritan erotis yang menggema di ruang tamu.
"hah...haaah....hhhaah", Nani tampak terengah-engah setelah mendapatkan orgasme yang kesekian kalinya, dengan dildo yang masih menancap pada anusnya.
Capek juga ML dengan kondisi berdiri gini, pinggang dan lutut terasa capek, pikirku.
Kulepaskan dekapan Nani kepadaku dan kuturunkan dia di atas karpet. Nani yang kelelahan hanya bisa berbaring tak berdaya. Aku masih belum puas karena sampai saat ini penisku masih tegak berdiri meminta jatah selanjutnya. Aku berjongkok dan meregangkan kaki Nani. Kumasukan penisku dalam vaginanya dari belakang.
"Ughh!!", kembali desahan Nani terdengar, membuatku semakin bersemangat. kumaju mundurkan penisku membentur pantatnya, "plak, plak" bunyinya, kutampar sesekali pula pantatnya seperti aku mengendarai kuda. settingan dildonya kurubah menjadi faster dimana gerakan dildo semakin cepat dan bergetar tidak beraturan dalam lubang anusnya. Nani tampak semakin liar, gerakannya tidak jelas, kepalanya bergoyang-goyang, pinggulnya bergerak ke kanan dan kekiri, mengikuti gerakan dildo yang tertancap di anusnya.
"Ahh ahh ssshhhaaahhhhh," desahan Nani semakin kencang, akupun jadi tambah bernafsu untuk menyetubuhinya, kupercepat gerakan penisku manusuk vaginanya. Pinggulnya kupegang dengan kedua tanganku agar penetrasiku lebih dalam. Suara desahan kami bersahutan memenuhi ruangan.
Nani yang tadinya berbaring pasrah, menunggingkan pantatnya menerima tusukan penisku. Tangannyapun menopang badannya, hingga gaya persetubuhan kami menjadi doggy style. Vaginanya yang dimasuki penisku terlihat jelas berada di bawah anusnya yang terganjal dildo. Iseng kuhentikan goyanganku dan menggerak-gerakan dildo yang menancap pada anus Nani dengan tanganku, maju dan mundur.
Nani bereaksi dengan melakukan kegel. Desahannya berubah menjadi rintih panjang, kepalanya menunduk menahan birahi. Nani menggerung bagaikan kucing yang kawin di atas atap rumah. Getaran dildo ditambah kegel-kegel cepat pada otot vagina Nani mulai membuat penisku merasakan tanda-tanda akan ejakulasi.
Kembali kugoyangkan penisku untuk memacu hasrat. Kutahan pinggul Nani agar penisku masuk lebih dalam pada vaginanya. perutku yang menempel pada pantat Nani mengenai ujung dildo yang menancap pada vaginanya setiap aku bergoyang maju. Rintihan Nani semakin menjadi. Rasa gatal pada ujung penisku mulai melanda. Kugoyangkan semakin cepat untuk mempercepat ejakulasi, tapi apa daya, tubuh Nani tiba-tiba bergerak maju dan rebah ke karpet. Kakinya terbuka lebar, pinggulnya menghentak-hentak maju menggesek karpet ruang tamu. Cairan vaginanya merembes membasahi dan meninggalkan noda bekas air pada karpet kesayangan Lena. Nani terkapar lagi dengan sukses.
“Oh Shit!!” aku memaki pada Nani yang begitu cepat mencapai orgasmenya lagi, padahal aku sedikit lagi akan ejakulasi. Ditengah kebingunganku yang tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis yang bisa membuat setiap laki-laki normal di dunia pusing tujuh keliling ini, tiba-tiba kudengar suara lirih
“Kak...”
Kupalingkan pandanganku mencari sumber suara, ternyata aku melupakan sosok April yang terbaring manis dengan tangan dan kaki yang masih terikat dengan borgol kulit. Tak ku sia-siakan kesempatan ini, aku langsung berlutut di atas sofa di depan April. Kupegang borgol kulit yang mengikat kaki dan tangannya dan kuangkat ke atas, menyebabkan kaki April juga terangkat mengikuti tanganku. Vagina April yang kemerahan begitu menggoda untuk dimasuki. Kugesekan kepala penisku pada bibir vaginanya yang membuat April mendesah kegelian. Kakinya sedikit berontak saat kusentuh klitorisnya dengan penisku.
“Ssshhhhh,” April mendesah saat kumasukan penisku dalam vaginanya.
Kurasakan penisku agak susah memasuki vaginanya. Rupanya lubang vagina April masih agak kering, walaupun tadinya dia mengalami orgasme. Perlahan tapi pasti, kugerakan pinggulku maju dan mundur. kembali aku mendaki birahi yang tadinya sempat terlantar. Kurangsang klitoris April dengan jempol kiriku. April bereaksi dengan menggoyangkan pantatnya mengikuti tempo tusukan penisku.
Cairan hangat perlahan mengalir dari lubang vagina April . Vaginanya semakin basah memudahkanku untuk melakukan penetrasi. Goyangan kami semakin cepat, nafas kami semakin memburu. Kudorong kaki April ke depan, hingga menempel dengan dadanya. April hanya pasrah bergoyang menerima perlakuanku. Wajah dan tubuh putihnya memerah menahan gejolak hasrat. Desis-desis erotis dikeluarkan bibirnya yang sexy bagai orang kepedasan.
Penisku terus menggesek dinding vaginanya. jepitan otot vagina April tidak kalah dengan Nani. Kutaksir umurnya masih belasan, namun kemampuannya mereka dalam urusan jepit-menjepit patut kuacungi jempol. Hangat rembesan cairan vaginanya membuat penisku kembali merasakan sensasi gatal yang menjalar. Kupercepat goyanganku, kali ini aku tak mau merasakan frustasi untuk kedua kalinya.
Desis April berubah menjadi jerit manja keenakan. Rupanya dia tak mau kalah, gerakan kegelnya pada penisku membuat persetubuhan ini semakin asik. April yang dari kesan pertama aku melihatnya, bagaikan seorang anak kuliahan yang banyak bergaul di perpustakaan, kini mengimbangi permainanku dalam urusan sex.
Aku menyelipkan badanku masuk diantara kedua kakinya. Kaki dan tangannya yang terikat kini telah melingkari punggungku. Tanganku menopang tubuhku tepat di sisi kanan dan kiri kepalanya. Berkali-kali April menjulurkan lidahnya padaku. Aku tersenyum melihat tingkah liarnya. Kuturunkan tubuhku menempel pada tubuhnya dan kucium bibirnya. Penisku berpenetrasi pada vaginanya, lidahku berpenetrasi pada mulutnya.
Dadaku yang menempel pada payudara April, membuatku bisa merasakan denyut jantungnya. April melepas ciuman kami dan meringis begitu tusukan penisku kudorong semakin dalam. Kupercepat gerakan pinggulku yang diimbangi April dengan gerakan pinggulnya. Desah kami saling bersahutan, bukan desahan lirih, bahkan sudah menjadi rintih dan jeritan. Rasa nikmat pada genital masing-masing memaksa kami bergoyang secepat mungkin dan merasakan klimaks se-segera mungkin. Hasratku sudah di ubun-ubun. Wajah April yang liar kemerahan, desah dan jerit erotisnya, hangat lubang vaginanya ditambah jepitan kegelnya membuat aku tak tahan lagi.
“Ahhh ahhh!!!dikit lagi kak!!dikit lagi,” seru April menyemangatiku.
Rupanya April juga akan mencapai klimaksnya. Goyangan pinggulnya semakin liar dan cepat. Tubuhnya sudah sewarna dengan kepiting rebus. Bulir keringat membasahi tubuh kami. Jeritan April terdengar keras dan lantang diakhiri denga jeritan panjang memekakkan telinga bersamaan dengan tusukan dalam penisku yang menyemburkan sperma dalam vaginanya.
Pinggul April terus menghentak-hentak maju, seakan ingin panisku masuk lebih dalam, padahal pinggul kami sudah menempel. Kembali kurasakan sensasi semburan hangat dari vagina wanita, tapi kali ini nyaris bersamaan dengan ejakulasiku. Penisku sengaja kutusukan lebih dalam setiap kali spermaku menyembur. Setiap semburan penisku dibarengi dengan remasan vaginanya.
Tubuhku rubuh di atas tubuh April beberapa detik setelah tetes terakhir spermaku keluar. Kelelahan dan kelegaan mulai melanda tubuhku. Rasa kantuk mulai menyerang. Perlahan aku mulai tertidur dengan kepala bersandar pada pundaknya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar