Perjalanan hidup memang membawa setiap orang pada titik-titik yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Santo dan Sasha terdampar di negeri orang, meski sebenarnya hal itu tak bisa dilepaskan dari sebab yang mereka pilih atau mereka tentukan.
Pada saat senggang, atau pada saat istirahat, dalam perjalanan itu, maka seseorang biasanya merenung kembali, melihat lagi, apa yang sudah dilaluinya. Mencoba memahami perjalanannya, atau memahami sudah sampai di mana. Karena kadang kala kita hanya fokus berjalan, melangkah, tidak paham dengan sekeliling. Seakan-akan kita sampai di suatu tempat dengan tiba-tiba.
Santo dan Sasha sampai di Melbourne dengan pilihan atau keputusan atau tindakan yang sudah terjadi sebelumnya. Iwan, Reza, dan Doni memiliki hal yang sama, dan mereka menjalani pejalanannya masing-masing. Sampai nantinya apakah perjalanan meraka akan bersinggungan lagi atau tidak, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Selalu menjadi misteri kehidupan.
Seperti halnya ketika Shinta dikejutkan suara halus di depan gerbang gedung apartemen seusai olahraga pagi. "Are you Indonesian?" Seorang perempuan seumurannya tiba-tiba menghentikan langkah Sasha melintas di gedung apartemen.
Sambil menyeka peluh di jidatnya Sasha menjawabnya. "Iya, kenapa Mbak?" Sasha langsung menebak bahwa perempuan itu pastinya juga berasal dari Indonesia. Selain raut wajah Asia, logat bahasa Inggrisnya pun standar dari Jakarta.
"Oooh syukurnya. Maaf ya mbak, saya mencari teman, katanya tinggal di apartemen ini. Dia kuliah di University of Melbourne, namanya Santo. Mungkin kenal atau pernah dengar?" Ujar perempuan itu berharap-harap cemas.
"Santo? Yang ambil kuliah ekonomi?" Sasha ingin memastikan.
"Kalo ambil kuliahnya apa, saya kurang tahu mbak. Tapi dulu di Jakarta dia sekolah di SMA Tunas Bangsa. Saya juga sudah lama tidak ketemu sejak SMP dulu. Kita pernah satu SMP dulu," ujar perempuan yang terlihat sopan.
Sasha terkejut, tentu saja dia tahu Santo yang dimaksud. Tapi Sasha cepat menguasai diri dan mencari tahu siapa perempuan yang mencari Santo itu. "Oooo, tapi ngomong-ngomoing mbak siapa? Saya Sasha," ujarnya sambil mengulurkan tangan.
"Shinta," balas perempuan yang tidak kalah cantik dari Sasha itu.
"O namanya Shinta. Saya tahu Santo Mbak, tapi kita ngobrol di atas saja. Saya sudah kehausan nih," ajak Sasha ke apartemennya.
Dalam hati Sasha ada banyak pertanyaan tentang siapa sosok Shinta yang mencari Santo ini. Sepengetahuan dia, Santo tidak pernah bercerita tentang perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya. Hanya dua orang perempuan yang dia ketahui berhubungan dengan Santo, yang pertama Tante Dona dan yang kedua Vina. Jangan-jangan perempuan ini korbannya Santo juga, gumam Sasha.
"Mbak tinggal di Melbourne juga?," tanya Sasha sambil menunggu lift.
"Ooo, nggak. Saya di Jakarta, saya lagi liburan di sini. Sekalian aja cari tahu soal teman saya. Saya dapat kabar dia di sini," ujar Shinta. "Tapi ngomong-ngomong panggil Shinta aja nggak usah pake mbak, kayanya kita seumuran deh," tambah Shinta.
"He he he, iya kita gak jauh beda kok Shin," Sasha coba berakrab dengan teman barunya. "Kamu berapa lama liburan di sini? Tinggal di mana?"
"Oo, sebulan. Aku ada sodara jauh di sini," balas Shinta.
Mereka pun naik lift dan menuju ruang apartemen Santo. Selama mengobrol dengan teman barunya, Sasha belum menceritakan apa-apa tentang Santo, termasuk tempat yang didatengi ini adalah apartemennya.
"Masuk Shin, tunggu ya. Gue ganti baju dulu ya. Eh kalo mau minum ambil sendiri ya," ujar Sasha sambil berlalu ke kamarnya. Shinta duduk di ruang tengah. Sejenak dia memperhatikan tempat tinggal Sasha. Ruang apartemen itu cukup bagus, dua kamar ridur, ruang tengah, dan dapur. Shinta menduga, Sasha adalah anak orang kaya atau dia tinggal bersama saudaranya yang memiliki pekerjaan bagus di sini. Interior ruangan itu minimalis tapi terkesan modern.
"Loh belum minum? Mau minum apa? Coklat panas aja ya, yang gampang," ujar Sasha setelah berganti baju dengan pakaian rumah.
"Eh gak usah repot-repot, gue cuma mau tanya soal temen gue aja kok. Malah jadi ikut masuk ke sini," Shinta coba bersikap sopan.
"Dah santai aja. Gue juga jarang kok ketemu orang Indonesia di sini. Sekalian ngobrol-ngobrol dulu. Elo dah kemana aja di sini?" Sasha memulai obrolannya.
"Belum, belum kemana-mana," ujar Shinta ringan.
"Oooo, belum kemana-mana. Terus elo malah nyari Santo dulu. Kayaknya Santo orang penting nih buat lo? Ha ha ha," pancing Sasha.
"Ha ha ha, gak juga sih," ujar Shinta yang sadar kalau teman barunya mulai menyelidikinya. Tapi Shinta juga ingin tahu, siapa Sasha yang mengaku kenal dengan Santo ini. "Gue kenal dia waktu SMP. Ya gitu deh, pernah deket. Tapi kan dulu masih kecil gitu," Shinta membuka sedikit tentang dirinya.
"Ooooo, 'pernah deket'," canda Sasha. "Gak bukannya gue mau tahu urusan orang, cuma buat ngobrol aja ya. Gue sebenernya satu SMA sama Santo. Dia anaknya baik, tajir lagi. Dulu banyak yang ngejar dia," ujar Sasha.
"Elo juga ngejar dia Sha?" Gantian Shinta memancing.
"Ha ha ha, kalo gue mah gak ngejar dia Shin, dia yang ngejar gue. He he he becanda. Gak begitu kok," Sasha coba membuka pembicaraan lebih akrab sambil mencari tahu siapa sebenarnya Shinta.
Shinta sebenarnya mulai curiga dengan Sasha. Tapi dia juga tidak punya cara untuk membuka kecurigaannya. Perjalanannya dalam lima tahun terakhir terasa sangat berat. Saat kelas satu SMA, Shinta ikut orangtuanya ke Singapura. Papanya ditugaskan menangani anak perusahaan di sana. Shinta melanjutkan SMA di sana.
Jarak yang jauh dari Jakarta membuat dia harus menahan semua rindunya. Dulu, ketika pacaran dengan Santo, mungkin hanya sebatas cinta monyet belaka. Tapi ketika dia sadar dengan apa yang telah terjadi, dia merasa itu bukan sesuatu yang biasa.
Setiap malamnya dia selalu teringat tentang Santo. Kadang dia marah, kadang dia rindu, tapi pastinya bayangan tentang Santo selalu hadir dalam pikirannya. Bahkan ketika dia sudah merasa tersiksa dengan hal itu, dan berusaha untuk melupakannya, dia malah merasa kehilangan sesuatu.
Sosok Santo yang imajiner di khayalannya memiliki pengaruh yang nyata dalam kehidupannya. Dia putus asa dengan apa yang dihadapinya. Maka kepergiannya ke Australia sebenarnya adalah untuk menjalankan misi utamanya, mendapatkan jawaban atas realita perasaannya. Lalu menentukan langkah apa yang akan diambil.
Kini, dia berhadapan dengan Sasha, perempuan sebayanya yang sepertinya mengetahui banyak tentang Santo. Bahkan, bisa jadi Sasha adalah pacar Santo saat ini. Jika itu benar adanya, Shinta akan lebih mudah untuk mengambil sikap. Tapi untuk mendapat jawaban itu, dia tidak bisa langsung melontarkan pertanyaannya.
Shinta sedang mengukur Sasha, dan sepertinya Sasha melakukan hal yang sama. Kedua perempuan yang baru kenal itu tidak mau nantinya akan terjadi salah paham yang tidak perlu. Mereka ingin mendapatkan pertimbangan untuk menentukan di mana posisi mereka sebenarnya.
Namun kemudian Shinta memutuskan dia yang akan membuka lebih dulu. Karena dia sadar, dia lebih membutuhkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya sendiri. Dia sudah datang jauh-jauh untuk mendapat jawabannya. Apapun jawaban itu, dia harus dapatkan dulu. Setelah itu dia baru akan tahu melakukan apa.
"Sebenernya dulu gue pernah pacaran sama Santo. Gue cuma penasaran saja sekarang dia gimana? Gue denger dia ada di sini, makanya sekalian aja gue mau ketemu dia. Habisnya gue gak punya kontak dia," Shinta mulai membuka satu petunjuk untuk Sasha.
"Ha ha ha...bener tebakan gue. Pasti Santo orang spesial buat elo. Jangan-jangan elo sengaja dateng ke Australia cuma buat nyari dia, bukan sekadar liburan ya..?" Pancing Sasha lagi.
"Ha ha ha....," Shinta hanya bisa tertawa tak mau membuka lebih lanjut. "Btw elo kayaknya deket juga sama Santo ya, atau jangan-jangan elo malah pacarnya dia sekarang ya?" Giliran Shinta yang ingin mengetahui Sasha.
"He he he he.... Gimana ya ngomongnya. Gue bukan pacarnya dia. Tapi gue deket sama dia. Mungkin sahabat-lah. Cuma gue takutnya orang lain salah ngerti persahabatan gue sama Santo yang nganggap kita pacaran. Gue tahu siapa Santo, tapi kita nggak kepikiran untuk pacaran meski gue tahu dia luar dalem. Makanya gue nggak mau elo nanti jadi salah paham sama gue. Kita baru kenal, kalo tiba-tiba berantem gak jelas kan lucu aja," jelas Sasha.
"Oooo jadi elo sahabatan sama dia. Jadi gue bener-bener tepat dong ketemu elo ya. Boleh gak elo ceritain tentang dia sama gue. Gue gak ada maksud apa-apa kok. Maksudnya, gue nggak ada niat jahat, gue cuma mau tahu kabarnya dia, dah lama nggak ketemu," balas Shinta.
"Gimana ya... Gue takutnya elo salah paham. Gini aja deh, elu tanya aja yang mau elo tahu. Kalo gue bisa jawab gue akan jawab," Sasha juga membatasi dirinya.
"Ooo gitu, ya udah. Sekarang Santo tinggal di mana?" Tanya Shinta.
"Kalo itu nanti pasti gue jawab. Ganti pertanyaan yang lain dulu," ujar Sasha.
"Apa ya....?" Shinta bingung memulai pertanyaannya darimana. Tapi dia kemudian mengeluarkan pertanyaannya. "Eeee Santo punya pacar gak sekarang?" Ujar Shinta malu-malu.
"Oo kalo itu jawabannya jelas dan pasti. Gak punya!" ujar Sasha mantap. Muka Shinta pun cerah mendengarnya. Jika dia sempat ragu-ragu, kali ini dia menatap Sasha dengan wajah berbinar. Dia senang sekali mendapat jawaban itu.
"Elo kuliah juga, atau jangan-jangan satu kampus sama Santo?" Tanya Shinta lagi.
"Iya gue satu kampus, beda study aja. Setiap hari gue ketemu dia," balas Sasha.
"Cerita dong persahabatan elo sama Santo. Katanya kenal dari SMA. Apa dulu dia punya pacar di SMA," Shinta meminta seperti anak kecil kepada temen barunya.
Sasha sudah bisa menebak jika teman barunya ini ternyata punya perasaan terhadap Santo. Dia sebenarnya ingin membuka diri, tapi dia juga tidak bisa serta-merta menceritakan semua tentang Santo. Apalagi jika dia langsung berkata dia tinggal bersama dengan Santo di tempat itu.
Sasha pun menceritakan Santo saat SMA dulu. Dia memilah mana yang perlu dikatakan dan mana yang tidak. Dia hanya bisa mengatakan bahwa Santo memang didekati beberapa siswi saat sekolah dulu, tapi ada satu orang yang sempat jadi pacarnya, namanya Vina. Tapi mereka pacaran hanya beberapa bulan saja, dan Vina langsung tidak ada kabarnya.
Sasha juga bercerita kalau Santo memiliki empat sahabat, termasuk dirinya. Sayangnya hanya dia dan Santo yang melanjutkan kuliah di Australia, tiga sahabatnya yang lain ada yang kuliah di Jakarta dan Singapura. Selama di Australia, Santo tidak memiliki pacar.
"Sorry ya Shin, gue memang orang baru buat elo, tapi gue sahabatnya Santo. Elu boleh percaya atau nggak sama gue. Tapi gue ada pertanyaan buat lo. Agak privasi mungkin, karena gue menduga elo bener-bener jatuh hati sama dia. Sekali lagi sori ya dengan pertanyaan gue ini. Eeee....waktu pacaran dulu elo dah pernah ML sama dia, atau mungkin elo diperawanin dia ya?" Tanya Sasha.
"Sorry ya Shin kalo pertanyaan gue terlalu jauh, sementara kita baru aja kenal. Tapi gue sama-sama perempuan, gue bisa ngerasain kok," jelas Sasha coba mengajak berdiskusi sebagai sesama perempuan.
"Eeeee....," Shinta hanya bisa terbata-bata. "Tapi elo bukan pacarnya kan, atau elo gak pernah pacaran sama dia, atau elo nggak punya perasaan apa-apa sama dia kan?" Shinta bertanya balik.
"Tenang aja Shin. Elo bisa dapet jaminan dari gue soal itu. Gue tidak ada apa-apa, tidak pernah ada, dan tidak akan ada apa-apa sama Santo. Dia murni sahabat gue," jelas Sasha. "Dan apa yang elo mau ceritain ke gue, kalo elo minta supaya gue tutup mulut, gue akan tutup mulut," tambah Sasha.
Seketika Shinta menitikkan air matanya. Akhirnya bendungannya jebol, seluruh perasaan yang dulu ditahan selama lima tahun sepertinya akan ditumpahkan saat bertemu dengan Sasha yang baru dikenalnya belum satu jam saja. Shinta merasa bisa mempercayai Sasha. Ia akan menceritakan semuanya, tapi yang pertama-tama dia akan menjawab pertanyaan Sasha dulu.
"Iya Sha......," Shinta tak bisa menahan tangisnya. Sasha refleks memeluk Shinta yang menangis. Dia tahu artinya tangisan perempuan seperti itu. Sasha membelai rambut Shinta dan berusaha meredakan emosi perasaannya. Sasha bisa merasakan kesedihan itu, meski dia punya prinsip yang berbeda dengan Shinta. Kesedihan itu adalah yang terdalam dari seorang perempuan.
Sasha tahu kesedihan Shinta bukan karena soal seks atau keperawanan belaka, tapi karena ada hati yang disia-siakan. Ada mimpi yang dihancurkan. Sepanjang hidupnya, Sasha sangat tahu dengan hal itu. Bagaimana dia disia-siakan oleh ayah kandungnya yang sampai sekarang tidak dia ketahui. Apa salah dia hingga ayahnya tidak mau mengakui dirinya. Tubuh, seks, selaput dara, uang, kekuasaan hanyalah bentuk material, fisik, ilusi dunia belaka. Tapi sebagian besar laki-laki menganggap itu segalanya. Mereka tidak pernah bisa memahami apa yang ada dalam hati perempuan. Seorang laki-laki seakan-akan hebat jika bisa meniduri perempuan, mengambil perawan perempuan, memiliki harta berlimpah, atau memiliki kekuasaan atas orang lain.
Dengan hal itu, laki-laki merasa hebat. Lalu setelah mendapatkan predikat hebat, mereka tidak tahu makna kehebatan itu. Tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kehebatannya. Sampai akhirnya mereka hanya memupuk kehebatannya saja. Terus mencari perempuan untuk ditiduri, menumpuk harta tanpa tahu akan dipakai untuk apa, atau sibuk mempertahankan kekuasaannya, hingga siap bertaruh nyawa untuk menjaga kekuasannya.
Sedangkan perempuan, memiliki persepsi yang berbeda. Dengan nalurinya sebagai makhluk yang butuh perlindungan akan memberikan segala hal untuk mendapatkan perlindungan. Maka ketika semuanya sudah diberikan sedangkan dia tidak dapat perlindungan, maka perempuan itu merasa sudah kehilangan semuanya.
Sasha bisa memahami hal itu melalui kegetiran yang dialami Mamanya. Sepanjang hidupnya, dia tidak menemukan laki-laki yang tidak hanya bicara soal kehebatan saja. Mungkin hanya sedikit laki-laki seperti itu, atau mungkin tidak ada sama sekali. Sasha belum bertemu dengan laki-laki yang benar-benar membutuhkan dirinya untuk melengkapi hidupnya. Laki-laki yang menjadikan dirinya seperti tulang rusuknya yang hilang, dan tidak mau kehilangan lagi.
Kini dipelukannya ada Shinta, perempuan yang baru ditemuinya, dan sepertinya menjadi korban Santo, sahabatnya. Santo memang sahabatnya yang sudah dikenal sejak SMA, tapi Shinta, meskipun baru dikenal satu jam saja adalah manusia yang pantas mendapatkan pembelaannya. Shinta sama seperti dia, seorang perempuan, sama seperti Hawa atau Eva, yang disalahkan karena membuat Adam tertarik hingga dihukum turun ke bumi.
"Sudah Shin...," ujar Sasha coba meredakan Shinta.
"Maaf ya Sha, gue jadi nangis. Soalnya udah lama banget gue gak bisa cerita ke siapa-siapa," ujar Shinta sambil terisak.
"Iya gue ngerti Shin. Udah elo cerita aja kalo elo mau cerita. Gue gak akan bilang ke siapa-siapa. Itu kenapa gue tanya elo soal ML, jawabannya pasti menjelaskan semua hal kenapa elo nyari Santo," ujar Sasha.
Shinta pun bercerita semuanya. Terutama saat mereka berpacaran cinta monyet di SMP. Juga ketika Santo mengajak Shinta ke rumahnya dan kemudian coba-coba melakukan ML. Shinta awalnya tidak mau, tapi kemudian Shinta luluh dengan rayuan Santo.
Sebagai perempuan Sasha bisa memahami apa yang terjadi pada saat itu. Apalagi masa SMP adalah masa yang paling gamang. Pencarian identitas yang tak bermakna apa-apa. Sasha bisa merasakannya, karena pada saat itu dia mencari identitasnya yang tidak lengkap karena tidak ada yang bisa dipanggil ayah, bapak, atau papa.
"Gue takut banget Sha waktu itu. Selepas SMP, Santo minta putus. Gue juga diajak orangtua gue ke Singapura. Gue ngerasa hidup gue hancur. Tapi gue gak bisa cerita ke siapa-siapa, gue pendem sendiri. Setiap malam gue nangis. Gue marah sama Santo, gue marah sama diri gue. Gue pengen ngelupain dia, tapi semakin keras gue berusaha, dia tetep ada di pikiran gue. Gue nyerah, terserah mau apa dengan jalan hidup gue. Bahkan sampai di sini pun gue gak tahu kalau nanti ketemu dia. Gue gak tahu mau bilang apa, apa gue akan marah, apa gue akan mengiba-iba agar dia mau sama gue lagi. Gue gak tahu Sha," Shinta terisak.
Sasha hanya bisa manggut-manggut saja mendengar cerita Shinta. Dia menangguhkan rencana mengatakan bahwa Shinta sudah ada di apartemen Santo. "Iya, gue ngerti. Elu juga bingung kalo ketemu Santo nanti ya. Elo mau apa? Mau minta balik? Mau marah? Sepertinya kita gak punya hak apa-apa sama laki-laki yang sudah nyakitin kita ya?" Sasha coba memahaminya.
"Gue ngerti apa yang elo alami Shin. Gue juga nggak jauh beda kok. Tapi gue bukan disakitin sama pacar, gue disakitin sama bokap gue. Sampe sekarang gue gak tahu siapa bokap gue," ujar Sasha dingin.
"Ha?" Shinta yang tadinya terisak malah tersentak. Diam mendengar pengakuan Sasha.
"He he he. Iya, gue gak punya bokap. Nyokap gue pernah jadi pelacur dulu," tambah Sasha. Shinta semakin terkejut.
"Dah ceritanya nanti aja. Sekarang elo dulu. Elo belom tahu mau apa kalo ketemu Santo? Kalo sekarang gue bilang elo ada di apartemennya Santo pasti elo semakin bingung ya?" Sasha akirnya membuka satu pintu misteri di antara mereka.
"Maksudnya?" Shinta semakin kaget. Kalau tadi dia kaget dengan secuil kisah Sasha, sekarang dia kaget dengan ucapan Sasha.
"He he he. Iya. Elu dah di apartemennya. Yang itu kamarnya Santo, yang ini kamar gue. Kita duduk di ruang tamu, nah kalo itu dapur," Sasha coba membuat ringan dengan menjelaskan denah apartemen itu.
"Ha? jadi elo tinggal berdua?" Shinta bingung dengan informasi baru itu. Kepalanya terasa pusing. Ia berusaha menangkap kenyataan yang datang bertubi-tubi tanpa bisa dipahami sepenuhnya. Pertama, dia seharusnya senang jika ternyata sudah sampai di tempat Santo meski Santo tidak ada. Tapi hal itu sekaligus menyatakan bahwa Santo tinggal bersama dengan seorang perempuan. Bukankah tidak mungkin jika mereka melakukan hal-hal yang jauh. Tapi dia ingat ucapan Sasha bahwa Sasha bisa menjamin tidak ada perasaan apa-apa dengan Santo. Mereka hanya sahabat. Tapi Sasha juga bilang kalau dia punya perjalanan yang pahit, bahkan ibunya adalah mantan pelacur, bisa jadi Sasha juga meniru ibunya. Shinta tambah pening. Dia mengambil coklat hangat yang belum disentuhnya sejak awal.
"Iya minum dulu Shin. Gue juga kayaknya perlu minum," ujar Sasha sambil bergegas ke kulkas mengambil sekaleng bir.
"Elo pasti kaget. Gue juga kaget. Tapi pastinya kita nggak bisa mengelak dari kondisi ini. Mau tidak mau harus kita hadapi. Ini yang mungkin namanya perjalanan hidup yang mempertemukan orang-orang," Shinta berujar sambil menenggak bir dan duduk di depan Shinta.
"Sejak tadi, waktu elo cegat gue di bawah, gue udah feeling kalau ada cerita yang panjang yang belum selesai, atau bahkan akan ada cerita baru yang akan ditulis. Makanya gue ajak elo untuk naik ke atas, masuk ke apartemen ini. Apartemen ini punya Santo, gue cuma numpang aja, diajak nemenin dia. Tapi gue mohon elo jangan salah persepsi dulu ya, nanti gue jelasin."
"Iya Sha..."
"Gue bisa maklum kalo elo posesif sama Santo, tapi kalo elo posesif sama Santo terus kita salah paham malah jadi gak bagus. Karena memang gue gak ada apa-apa. Gue sama kaya elo Shin, perempuan juga."
"Nyokap gue dulunya pelacur, sekarang dah berhenti. Mungkin elo gak pernah ngerasain jadi anak pelacur, tapi gue bangga sama nyokap gue. Nyokap gue nggak pernah ninggalin gue. Nggak se-pengecut bokap gue. Gue dah nggak kepengen ketemu bokap gue, kalau pun ketemu bokap gue sekarang, gue juga akan diem aja. Karena sepanjang hidup gue, gue emang gak punya bokap. Dia ada atau dia nggak ada, gak penting buat gue. Gue dan nyokap gue bisa hidup," tambah Sasha.
"Elo sama gue pasti beda melihat sesuatu Shin, karena memang gue gak dididik seperti keluarga normal. Kalo elo punya persepsi yang aneh-aneh sama gue, juga gue bisa maklum. Di otak lo pasti banyak pertanyaan, kok bisa sahabatan tapi tinggal bareng. Apa mungkin kita gak ngapa-ngapain, atau gak ada apa-apa. Tapi itu nanti pasti gue jawab."
"Sekarang elo mau nanya apa Shin, gue pasti jawab. Gue akan jawab sebener-benernya. Gue gak akan bohong. Elo dateng jauh-jauh dari Jakarta pasti punya banyak pertanyaan kan? Apalagi sekarang elo dah lihat kenyataannya, Santo tinggal bareng gue. Gue akan jujur, meski itu akan jadi terasa sakit buat lo. Tapi lebih baik sakit sekarang daripada nanti elo ngerasa sakit dua kali. Jadi elo mau tanya apa Shin?" Sasha akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan ke tahap yang lebih lanjut.
"Eee tanya apa ya? Elu cerita aja deh, ngomong aja," Shinta tiba-tiba tak punya pertanyaan ketika berhadapan dengan kenyataan itu. Dia bingung.
"Kok gak punya pertanyaan? Ha ha ha, nggak punya pertanyaan apa bingung mau nanya yang mana dulu, atau elo takut bertanya?," Sasha coba membawa obrolan yang dalam itu dengan ringan.
"Iya, bingung sama takut. Nyampur Sha."
"Ha ha ha, takut apa? Takut nyinggung gue apa takut elo sebenarnya gak siap dapat jawabannya," goda Sasha.
"Dua-duanya Shin."
"Kalo soal nyinggung gue, elo gak usah takut. Gue gak akan tersinggung, karena gue emang gak ada apa-apa sama Santo. Kalo soal gak siap, buat apa elo dateng ke sini? Elo dari Jakarta kan mau dapet jawaban. Kebenaran, bukan pembenaran."
"Itu dia mungkin gue gak siap dapet kebenaran yang bikin gue tambah ngilu," balas Shinta.
"He he he, Shinta-shinta, sama aja lo dengan gue. Perempuan kadangkala memang lebih suka dapet pembenaran dibanding kebenaran yang sesungguhnya. Apalagi kebenaran yang menyakitkan, lebih baik dibohongin tapi nggak sakit. Iya kan...?"
"Tapi itu kesalahan kita Shin. Kita lebih senang dibohongi, dan pada akhirnya kita hidup dengan kebohongan, sampe akhirnya kita tersesat di dalamnya."
"Tapi Sha...."
"Kenapa tapi? Gak kuat, butuh waktu? Ya terserah elo sih. Kalo gue sih siap bantu elo," ujar Sasha mantap. "Terus elo dah siap ketemu Santo?"
"Hmmmm.... Gue malah tambah bingung Sha. Satu sisi gue memang kangen sama dia, tapi di sisi lain gue takut. Gue nggak tahu mau ngapain. Sekarang aja, pas gue tahu ternyata gue udah ada di apartemennya, gue malah jadi dag dig dug. Mungkin sebenernya gue gak siap ketemu dia ya. Mungkin lebih baik gue pulang aja sekarang ya," ujar Shinta.
"Loh kok gitu? Emang elo nggak mau ketemu dulu. Elo kan mau ngobrol dulu sama dia. Dah nyantai dulu aja di sini. Atau elo boleh masuk ke kamarnya kok. Nah sana masuk aja, elo liat-liat. Dia pulang jam lima sore nanti kok," ujar Sasha.
"Boleh Sha?"
"Ya boleh lah, asal jangan elo berantakin aja. Kalo diberantakin, gue lagi yang harus beresin, he he he. Nggak kok becanda. Elo masuk aja," ujar Sasha.
Shinta melangkah dengan ragu-ragu ke kamar Santo, sedangkan Sasha masuk ke kamarnya, mengambil handuk untuk mandi. Di dalam kamar Santo, Shinta memperhatikan kamar itu. Tempat tidurnya besar dan rapi, lemari besar menempel di tembok. Sebuah meja di sudut menjadi tempat PC dan tumpukan buku. Beberapa pakaian Santo tergantung di tembok.
Shinta membayangkan Santo yang sedang berada di kamar itu. Santo tidur, mengerjakan tugas kuliah, hingga dia membayangkan Santo berganti pakaian. Namun ketika pikirannya melesat membayangkan Santo berduaan dengan Sasha, dia langsung menghentikan khayalannya. Dia kembali ke ruang tengah yang sudah kosong.
"Sha...," panggil Shinta.
"Gue mandi dulu Shin. Kalo elo mau makan atau apa, langsung aja. Ada makanan di kulkas, tinggal panasin di oven," teriak Sasha dari kamar mandi.
"Oooo, oke," balas Shinta.
Shinta sebenarnya memiliki banyak pertanyaan, tapi dia memendamnya dalam hati. Seperti apakah Santo saat ini? Apakah dia masih bajingan seperti dulu? Apakah Santo dan Sasha hidup bersama tanpa ikatan bahkan tanpa rasa cinta? Lalu, apakah dia akan mempertahankan perasaannya terhadap Santo meski akan ada lagi pengorbanan yang lebih besar? Bukankah semua pengorbanan itu sudah cukup?
Pikiran Shinta kembali melayang ke masa lalu. Saat dia harus memendam sendiri perasaannya. Saat dia hanya bisa menangis, membayangkan Santo lewat foto yang tersisa. Saat dia berharap bertemu Santo. Saat gairahnya memuncak, menginginkan kejadian itu lagi tanpa harus mengeluarkan air mata.
Kini setelah sampai pada perjalanan ini, sampai di apartemen Santo, Shinta gamang menentukan keputusannya. Apakah dia akan benar-benar menemui Santo, ataukah cukup dengan hanya mengetahui kabarnya saja. Shinta tak tahu jika ternyata perjalanan kehidupan memiliki cabang yang sangat banyak. Cabang yang akan berakhir dengan konsekuensi yang berbeda-beda. Lalu konsekuensi apa yang akan dipilihnya?
Sasha keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk. Imajinasi Shinta melenting jauh. Mungkin saja Sasha seperti itu sehari-harinya meski ada Santo. Padahal di tempat lain, dirinya harus menahan perasaannya ingin bertemu Santo. Shinta cemburu.
"Sorry ya Shin...," Sasha berlalu ke kamarnya untuk berpakaian. Shinta hanya bisa bilang tidak apa-apa.
Selesai berpakaian, Sasha keluar kamar hanya menggunakan celana pendek tipis yang celana dalamnya menerawang, bahkan kaos atasnya juga tidak kalah seksi. Shinta hanya berpikir, jika setiap harinya Sasha seperti ini apa mungkin antara Sasha dan Santo tidak ada apa-apa?
"He he he, sorry ya," ujar Sasha mengulang lagi.
"Iya gak apa, gue kalo di rumah juga suka begitu, gak ribet," balas Sinta mengomentari pakaian yang dipakai Sasha.
"Oooo, bukan ini. Gue tahu ini gak sopan pas ada tamu. Tapi gue minta maaf karena pasti elo menduga gue ada apa-apa sama Santo dan elo cemburu, ya kan?"
"Ah nggak, ngarang deh," Sinta coba membantah.
"Udah gak usah bohong, muka lo merah tuh, ha ha ha," Sasha menggodanya. "Kita ngobrol di kamar gue aja yuk," ajak Sasha.
Mereka berdua pindah ke kamar Sasha. Shinta memperhatikan kamar Sasha yang lebih kecil dari kamar Santo. Kamar itu sangat fenimin sekali, sentuhan wanita ada di setiap sudut. "Enak kamar lo Sha," ujar Shinta.
"Iya tapi bukan punya gue. Apartemen ini punya Santo, dan kayaknya gue harus relain kamar ini," balas Sasha sambil mengambil koper besar.
"Maksud lo Sha?" Shinta bingung dengan penjelasan Sasha.
"Tadi di kamar mandi gue sempet mikir. Mungkin ini sudah saatnya gue keluar dari sini. Nah sekarang gue mau ceritain semua ke elo. Mungkin gue akan terasa tega nyeritain semuanya, gak peduli itu bakal nyakitin lo. Karena gue pikir, elo butuh kebenaran. Terserah elo nantinya mau ambil keputusan apa. Gue akan ceritain persahabatan gue dan Santo, juga teman-teman gue yang lain," ujar Sasha.
Sambil duduk di kasur dan memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper Sasha mulai bercerita. Bercerita tentang kehidupan pribadinya, yang menjadi anak dari seorang pelacur. Ia juga berkenalan dengan Doni, yang ternyata bersahabat dengan Santo. Bahkan Sasha menceritakan bagaimana awalnya persahabatan mereka terjalin. Semua diikat dari urusan selangkangan.
Sasha juga menceritakan siapa Tante Dona, Iwan, dan Reza. Bahkan Sasha menceritakan bagaimana mereka pernah menggelar pesta seks semalaman di apartemen Dona. Shinta hanya bisa geleng-geleng kepala. Kadang ia merasa tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Sasha.
"Sampe begitu Sha?"
"He he iya, elo boleh bilang gue cewek murahan kok Shin. Tapi gue gak ada tujuan apa-apa kok, gue gak ngejual badan gue ke orang lain. Kadang gue cuma puas, kalau gue ngerasa bener sama pendapat gue. Laki-laki itu semuanya bajingan," ujar Sasha.
"Terus elo juga jangan salah paham, jangan berpikir kalo gue ngejual badan gue ke Santo. Dia kaya iya, diporotin gampang. Tapi gue gak pernah ngerayu dia supaya dia ngajak gue tinggal di sini, semua dia beliin, dan sebagainya. Mungkin nanti kalo elo ketemu Santo, bisa ngobrol dari hati ke hati, Santo itu sama juga kaya gue, korban kehidupan. Nanti elo bisa tanya keluarga dia kaya apa," tambah Sasha.
Shinta sebenarnya hanya bisa memahami setengah dari cerita Sasha. Dia tak pernah tahu jika masih banyak orang yang memendam kesakitannya dengan sangat dalam. Bahkan terendap di dasar hati yang paling dalam hingga menganggap kesakitan itu bagian hidup yang wajar. Dia mengira, dialah perempuan yang paling sakit hatinya setelah ditinggal Santo. Tapi mendengar Sasha, Shinta menganggap Sasha, Santo, dan kawan-kawannya adalah kumpulan orang yang lebih tersiksa lagi. Lalu apakah dia siap dengan hal itu jika memutuskan akan bersama Santo?
"Nah sekarang gue dah cerita ini semua ke elo Shin, terserah elo Shin. Gue mau pindah dari sini, sudah saatnya gue keluar," ujar Sasha yang telah mengemas kopernya.
"Loh kok elo malah cabut Sha? Maksudnya?," Shinta bingung untuk kesekian kalinya.
"Ya gue sudah harus keluar dari apartemen ini Shin. Sekarang sudah ada elo. Kalo gue di sini, yang ada Santo nggak pernah bisa belajar, terus elo juga akan semakin cemburu sama gue. Dan gue juga sudah harus mandiri," jelas Sasha.
"Eee elo segitunya. Maksud gue, elo bisa mutusin elo pindah dari sini cuma karena gue? Elu percaya sama gue? Terus kan kita belum ketemu Santo juga, hubungan elo sama Santo nanti bagaimana?" Shinta kebingungan.
"Shin, kita emang baru kenal. Gue gak tahu siapa elo. Tapi kalo elo datang, mau ketemu Santo. Bukan hak gue untuk mengizinkan atau melarang. Gue sahabatnya, tapi elo sudah memberikan hati buat dia, gue kira elo lebih berhak dari perempuan manapun atas Santo. Gue yakin, elo akan menjaga Santo lahir batin," Sasha mengutarakan pendapatnya.
"Tapi Shin, setelah gue denger semua cerita elo, gue gak yakin akan menemui Santo. Bayangan gue tidak seperti itu. Gue malah jadi takut sendiri, Sha?" Shinta kembali ragu-ragu.
"Semua terserah elo Shin. Gue cerita apa adanya, menurut versi gue. Mungkin elo juga perlu tahu versinya Santo. Setiap orang berbeda melihat sesuatu, meski melihat pada saat yang bersamaan pada hal yang sama pula. Elo juga harus kasih kesempatan buat diri lo, bukannya elo pengen dapat jawaban dari dia," tambah Sasha.
"Tapi kalo elo pergi gimana gue bisa ketemu Santo?" Shinta berharap Sasha mendampinginya saat bertemu Santo nanti.
"Loh elo kan bisa langsung ketemu dia. Elo bisa tunggu dia sekarang di sini atau elo pura-pura cegat di pintu gerbang kaya elo ketemu gue tadi," balas Sasha.
"Tapi gue masih butuh elo Sha."
"Oooo iya, gue gak kemana-mana Shin. Ini lo catet kontak gue, elo mau apa? Email, facebook, twitter, no HP, semua gue kasih. Elo kontak aja kalo pengeng ngobrol atau ketemuan," ujar Sasha.
Pertemuan dengan Sasha membuat Shinta sadar bahwa jalan hidup tidak pernah bisa diterka. Dia tak pernah membayangkan seperti apa jadinya ketika dia datang ke Melbourne. Sebelum berangkat dia hanya ingin bertemu Santo. Kepada kedua orangtuanya dia hanya izin untuk pergi liburan ke Australia.
"Sha sama siapa lo?" Tiba-tiba ada suara yang memecahkan keheningan sesaat antara Sasha dan Shinta. Kedua perempuan itu langsung kaget mendengar suara laki-laki dari ruang tengah. Muka Shinta langsung merah, dia langsung menerka jika suara itu adalah suara Santo. Sasha langsung memasang mimik bertanya kepada Shinta. Tapi Shinta tak tahu harus apa, apakah dia akan sembunyi, atau langsung menyapa Santo. Dia ternyata belum siap menemui Santo."Sama temen gue To dari Indonesia juga," balas Sasha. Santo yang awalnya menuju kamarnya berbalik arah dan menuju kamar Sasha, penasaran ketika disebut teman dari Indonesia. Sementara Shinta kebingungan karena belum siap menghadapi Santo. Dia belum punya alasan yang bisa diterima secara logika pertemanan. "Sha gimana nih," Shinta berbisik dan memunggungi pintu kamar Sasha, tidak mau wajahnya terlihat langsung oleh Santo.
"Udah gak usah takut, ada gue," Sasha berusaha menenangkan.
"Siapa Sha, gue kenal juga?" Santo sudah berdiri di pintu kamar Sasha. Sekilas dia melihat seorang perempuan duduk di pinggir kasur Sasha.
"Gak tahu kalo elu kenal apa nggak. Elo kenalan aja nih," Sasha menyuruh Santo untuk mendekati perempuan yang duduk dipinggir kasur itu.
Detak jantung Shinta berdetak semakin keras. Dia takut, malu, senang, dan semua berbagai rasa bercampur jadi satu. Saat yang ditunggu-tunggu lebih dari empat tahun akan hadir sekejap saja. Wajahnya tertunduk. Sebagian rambutnya yang panjang menutupi mukanya. Santo hanya melihat seorang perempuan berambut panjang dengan kaos dan celana jins ketat yang menutupi tubuhnya. Dia mengira temannya Sasha pasti tak kalah cantik dengan Sasha.
Santo menjulurkan tangannya, "Santo," ujarnya mengajak berkenalan. Shinta mau tidak mau mengangkat wajahnya, melihat laki-laki di sampingnya yang menjulurkan tangannya. Sejenak dia menatap wajah Santo. Menatap lekat. Membandingkan dengan foto miliknya yang merekam wajah Santo saat masih SMP dulu.
Hatinya luluh ketika matanya beradu dengan tatapan mata Santo. Kekesalan, kemarahan, kebahagiaan, dan penasaran yang terpendam seakan hilang ketika ia menatap mata Santo. Semuanya terasa hilang, ada kekosongan tapi bukan kehampaan yang sedih atau menyakitkan. Sesaat hatinya seperti tanpa rasa.
Semua itu terjadi dalam sepersekian detik saja. Namun Shinta, Santo, dan Sasha bisa menangkapnya. Menangkap dengan perasaan masing-masing. Shinta yang kemudian tersadar menjulurkan tangannya meraih tangan Santo, sambil menyebut namanya dengan pelan
"Shinta?" Santo bingung ternyata perempuan yang duduk di kasur Sasha adalah Shinta, yang dulu pernah jadi pacarnya saat SMP dulu, yang dulu pernah jadi percobaan Santo, yang dulu dia ambil perawannya.
Kini Shinta menjelma menjadi gadis yang sangat manis. Gadis yang tidak kalah dengan teman-teman wanita Santo. Santo sangat senang melihat Shinta. Jauh di lubuk hatinya, Santo tetap mengingat Shinta. Bahkan belakangan, saat dia berpikir, mengenang masa lalu, bayangan Shinta hadir dalam kenangangannya.
"Iya, Shinta. Dulu kita satu SMP kan?" Ujar Shinta sedatar mungkin memendam semua gejolak perasaannya.
"Ya ampun. Ini gue Santo," ujar Santo.
Shinta tidak menjawab dan dia memaksakan senyumnya terkembang. Sambil melepaskan tangannya dari genggaman Santo.
"Kok bisa sampai di sini. Elo kenal Sasha juga? Sejak kapan? Kok lo gak bilang gue Sha," Santo melontarkan pertanyaan membabi buta.
Sasha hanya tersenyum saja, dia menunggu sandiwara apa yang akan dimainkan Shinta, dan dia akan mendukungnya.
"Iya gue lagi liburan, sekalian aja ketemu Sasha. Ternyata dia tinggal di sini sama lo ya," ujar Shinta.
Ada nada sumbang yang terasa ke hati Santo ketika mendengar kalimat terakhir Shinta. Tapi dia langsung mengabaikan dan membalas dengan senyumnya. "Iya, dah hampir setahun. Biar gak sepi sendirian," ujar Santo.
Jika hanya mengandalkan perasaannya saja mungkin Shinta sudah marah mendengar kata-kata Santo. Bagaimana mungkin dia mengucapkan kalimat seperti itu, mengajak Sasha untuk tinggal bersama, agar tidak kesepian. Sedangkan dia harus memendam rasa karena tidak bisa bertemu dirinya. Tapi Shinta sadar, semua yang dirasakan perasaannya adalah dunianya sendiri. Dunia Santo jauh berbeda. Dia tidak bisa memaksakan Santo untuk masuk ke dunianya secara tiba-tiba, merasakan dan memahami perasaannya. Dunia mereka jauh sekali.
Rentang waktu lima tahun sangat relatif, bisa terasa panjang bisa terasa pendek. Keduanya memiliki perjalanannya sendiri-sendiri, itu yang membuatnya memiliki perbedaan. Bahkan perbedannya sangat jauh. Santo tak pernah mengenal sebuah mimpi. Tak mengerti tentang tujuan. Selama ini, perjalanannya hanya sebatas berusaha memahami. Bahkan seringkali dia gagal memahami perjalanannya, dan melarikan diri dari apa yang dia hadapi. Shinta, hidupnya saat ini memiliki tujuan yang satu. Dia ingin menuntaskan gejolak perasannya, bertemu Santo dan membangun hidup bersama Santo. Dia rela berkorban dan perjuangan mendapatkan mimpinya. Maka tak heran jika Shinta menjadi possesif terhadap Santo meski di permukaan hal itu tidak terlihat.
"Terus gimana kabar lo setelah lulus SMP, katanya elo SMA di Singapura ya?" Tanya Santo.
"Iya, gue ikut bokap-nyokap di Singapura. Elo sendiri gimana, kok bisa ke Melbourne?" Balas Shinta.
"Wah panjang ceritanya Shin. Gue juga gak tahu harus mulai dari mana. BTW elo tinggal di mana di Melbourne?"
"Gue? Gue numpang saudara yang ada di sini. Gue gak lama, cuma sebulan doang," Shinta menerangkan sekilas.
"Oooo, elo nginep di sini dulu aja, biar bisa ngobrol-ngobrol. Elo bisa tidur di kamar Sasha ini," Santo menawarkan.
Shinta ragu-ragu untuk menjawab ajakan Santo. Di dalam hatinya dia masih belum bisa menentukan keputusan apa-apa. Hatinya masih bergemuruh dengan letupan-letupan emosinya sejak bertemu Sasha, dan mendapat cerita tentang Santo. Shinta hanya menoleh ke Sasha yang tersenyum saja.
"Betul tuh, gue bisa pindah ke tempat Kevin To. Kalau mau, Shinta pakai kamar ini aja gak apa2 kok," ujar Sasha coba memberi kesempatan kepada Shinta. Tapi mendengar ucapan Sasha, mata Shinta malah melotot. Dia sepertinya tidak setuju dengan rencana Sasha yang tiba-tiba. Dia ingin mengatakan bahwa dirinya masih butuh pertolongan Sasha untuk menemaninya berhadapan dengan Santo.
"Ah nanti-nanti aja, gue juga masih ada di sini kok. Belum satu minggu gue di sini," ujar Shinta sekenanya.
"Sha, elo mau kemana? Kevin siapa? Udah janjian? Ntar dulu deh, kan kita baru ketemu lagi," Shinta coba menahan Sasha dari rencananya.
"Iya nih Sasha. Lagian kan Kevin bisa ketemu kapan aja. Elo gak bosan apa ketemu Kevin mulu," Santo juga butuh Sasha sebagai penyeimbang dari kehadiran Shinta yang tiba-tiba di apartemennya. "Shinta jauh-jauh dateng dari Jakarta, buat ketemu elo, elo malah tinggalin dia Sha, gimana sih lo?" Tambah Santo.
Santo tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya tahu jika Shinta adalah teman Sasha yang datang ke Australia untuk liburan sekaligus bertemu Sasha. Sasha pun akhirnya menyetuji permintaan Santo dan Shinta. "Ya udah, tapi sekalian aja, Shinta nginep di sini ya," ujar Sasha kepada Shinta.
"Tapi...," giliran Shinta yang bingung.
"Dah nginap di sini. To, anterin Shinta ke rumah sodaranya. Sekalian minta izin buat nginep, terus ambil pakaian dia," Sasha setengah memerintah ke Santo.
"Oke siap. Ayo Shin," ajak Santo.
"Eh, eh, gimana nih," Shinta bingung. Tapi Sasha memasang wajah serius dan meminta Shinta mengikuti sarannya. Akhirnya Shinta mengikuti Santo yang keluar dari apartemen itu. Tapi Shinta meminta Sasha untuk ikut ke rumah saudaranya, karena akan lebih mudah mendapatkan izin jika tidak hanya Santo yang mengantarkannya.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil, ketiganya tidak banyak bicara. Shinta dan Santo masih berusaha mengukur sampai di mana perasaan masing-masing. Santo hanya menanyakan hal-hal ringan tentang perjalanan Shinta di Melbourne. Shinta pun menjawab seadanya. Sampai mereka tiba di rumah saudara Shinta, ketiganya sempat ngobrol-ngobrol ringan dengan saudara Shinta, dan Shinta pun dizinkan untuk nginap sementara.
Mereka kembali ke apartemen Santo, namun beberapa saat sebelum tiba di gedung apartemen, Sasha minta untuk turun lebih dulu. Dia ingin membeli makanan untuk makan malam, karena stock persediaan menipis. "Ya udah kita beli bareng-bareng aja," ajak Shinta. Namun Sasha berkeras untuk belanja sendirian. Dia ingin memberi waktu kepada Santo dan Shinta untuk berdua tanpa kehadiran orang lain.
Sepeninggal Sasha, keduanya terlihat kaku, bahkan lebih banyak diam. Setelah sampai, Santo membantu Shinta mengangkat barang bawaannya ke dalam kamar apartemen. Di ruang tengah akhirnya mereka membuka pembicaraan.
"Jadi elo pacaran sama Sasha sekarang?" Shinta coba membuka obrolan dengan pancingan.
"Nggak. Dia sahabat gue dari SMA. Nah elo sendiri gimana bisa kenal Sasha?" Santo juga membalas dengan pancingan yang lain.
"Bener cuma sahabat? Sahabat kok tinggal bareng, hampir setahun lagi. Yakin tuh gak ada apa-apanya?" Shinta terus memancing di perasaannya yang keruh.
"He he he, mungkin orang melihatnya berbeda Shin. Tapi gue sama Sasha bener-bener sahabat, gue gak ada perasaan apa-apa sama dia. Gue juga yakin kalau dia juga gak ada apa-apa sama gue," ujar Santo.
"Tapi meskipun gak ada perasaan elo bisa ML juga kan sama dia?" Shinta langsung menjurus dengan pertanyaannya.
"Kalau itu mungkin elo punya pendapat yang berbeda sama gue dan Sasha. Gue gak tahu apa Sasha udah cerita semua ke elo apa nggak, tapi gue dan Sasha memang sering ngelakuin bareng," Santo coba berterus terang.
"Tapi Shin, gue mau kesampingkan dulu soal gue dan Sasha. Ini kesempatan gue ketemu elo. Gue mau minta maaf sama elo atas kejadian masa lalu. Belakangan ini gue sadar kalo gue banyak nyakitin orang-orang. Elo di antaranya, bahkan sama Sasha pun sebenarnya gue juga nyakitin dia. Gue pasrah, entah elo mau maapin gue atau nggak, tapi setidaknya gue harus minta maaf dulu sama elo Shin," Santo akhirnya mengungkapkan perasaannya.
"Kejadian waktu SMP, bener-bener salah gue Shin. Sekarang kalau elu mau balas ke gue silahkan. Gue memang pantes. Bahkan gue pengecut nggak berani ketemu elo waktu itu. Sampe sekarang gue ini masih pengecut di depan lo Shin. Gue gak tahu harus apa sekarang. Gue cuma berpikir ini kesempatan gue untuk minta maaf ketika gue ngeliat lu ada di sini. Gue kaget elo bisa dateng ke sini," ujar Santo.
Shinta duduk menunduk di sofa mendengar uraian Santo. Dia teringat masa-masa kesepiannya, malam ketika dia memendam marahnya, memendam kerinduannya, memendam semua perasaannya. Semua menjadi bagian dalam perjalanannya selama lima tahun. Kini di depannya, orang yang menyebabkan hal itu mengaku bersalah, mengaku tidak berdaya. Inikah kesempatan untuk balas dendam, mengembalikan semua kesakitan yang sudah ditimpakan kepadanya? Shinta menitikkan air mata. Di balik tirai rambut panjang yang menutupi wajahnya, air mata Shinta menetes ke karpet lantai, tapi Santo tidak menyadarinya.
"Shin, gue ini bukan manusia. Gue ini gak pantes buat siapa-siapa atau apa-apa. Gue sampah. Sekarang kalo elo mau bales dendam, atau elo mau bunuh gue pun, gue bisa terima Shin," Santo berkatan dengan emosi yang terpendam.
Selama ini, meski dekat dengan Sasha, Doni, Iwan, atau Reza, Santo tidak pernah mengutarakan hal yang seperti ini. Bahkan kepada Tente Dona yang dianggapnya lebih tua pun Santo tak pernah mengutarakan perasaannya seperti ini. Kini dia takluk di depan Shinta. Perempuan ini telah menyita rasa bersalahnya yang dalam.
Isakan tangis Shinta mulai terdengar. Santo sadar bahwa dia telah membangkitkan kesakitan masa lalu, tapi dia juga ingin Shinta mengetahui bahwa rasa bersalahnya tak bisa dihilangkan. Isakan tangis Shinta semakin keras, hingga kemudian wajah Shinta tak lagi tertunduk. Matanya menatap tajam ke wajah Santo. Ekspresi mukanya memperlihatkan kemarahan yang sangat besar.
Shinta langsung bangkit dari sofa, menghampiri Santo dengan kemaharannya. Tangan kanannya berayun cepat, menampar pipi Santo. Plak!! Keras sekali Shinta menampar Santo hingga wajah Santo tertoleh kekanan.
Santo masih bisa menahan nyeri di pipinya, tapi dia bisa merasakan kegetiran hati Shinta lewat tamparan itu. Kalau saja dia yang merasakan kegetiran itu, belum tentu dia bisa mengatasinya. Maka dia hanya diam saja dengan perlakukan Shinta. Dia pantas mendapatkannya.
Tak puas dengan menampar pipi, Shinta kemudian menubruk Santo yang tetap duduk di sofa. Shinta membabi buta menyerang Santo, memukul wajah, menjambak rambut, hingga mendorong-dorong tubuh Santo. Shinta menangis keras.
"Elo bangsat. Elo bajingan, elo anjing!" Semua kata-kata kasar dia tumpahkan kepada Santo. Shinta menumpahkan semua kekesalannya. "Elo cuma pengen ngewe doang sama gue, terus elo tinggalin, sekarang elo mau minta maap? Anjing lo!," Shinta mengumpat kasar sambil tangannya menampar pipi Santo. Kali ini tamparan Shinta sangat keras hingga tubuh Santo jatuh dia atas sofa.
Shinta terus memburu Santo dan memukulinya lagi. "Elo gak tahu kalo gue gak pernah bisa tidur nyenyak selama ini, karena gue selalu ingat waktu elo ambil perawan gue. Elo gak pernah tahu kalo gue sampe gak punya rasa percaya diri. Elo anjing! Elo dah ambil semuanya dan elo tinggalin gue. Elo bangsaaattt Santoo...," Shinta mengumpat dengan tangisnya yang menyayat.
Santo hanya bisa diam. Pasrah. Apapun dia terima kali ini. Bahkan kalau Shinta akan membunuhnya juga, dia akan diam saja. Inilah saatnya hukuman untuk dirinya datang. "Elo bisa enak-enakan ngewe sama siapapun, sementara gue selalu teringat sama elo. Anjing lu To...," Shinta terus mengumpat sambil memukul dada Santo dengan keras.
Santo tetap pasrah dengan perlakuan Shinta yang duduk di atas tubuh terlentangnya. Dia hanya diam ketika tangan Shinta menamparnya bolak-balik. Rasa nyeri di pipinya sudah tidak terasa karena lama-kelamaan mulai kebas. Namun amukan Shinta lambat laun mulai mereda. Tangisannya yang menderu perlahan melemah. Shinta kelelehan dengan emosi marahnya, hingga akhirnya tubuh Shinta terkulai di atas tubuh Santo.
"Gue sayang elo To, kenapa elo tinggalin gue?," Shinta tetap terisak sambil memeluk tubuh Santo. "Elo gak tahu apa yang gue rasain. Gue kesakitan elo tinggalin To. Gue bukan sampah yang habis dipake terus elo buang. Gue manusia. Kenapa elo tega? Apa lo nggak punya perasaan?," ucap Shinta terisak di atas wajah Santo.
Santo tetap diam. Wajahnya tidak memberikan ekspresi apa-apa. Tidak kesakitan, tidak juga penyesalan. Dia hanya ingin bisa menerima hukumannya dengan baik. Perasaan? Mungkin sudah mati sejak SMP dulu, batin Santo. Inilah dia, hantu masa lalu datang satu-persatu.
"Gue sayang sama elo To. Bahkan sampe sekarang gue masing sayang To, tapi elo bajingan," ujar Shinta sambil membelai pipi Santo yang memerah karena tamparan tangannya.
Santo tetap diam. Wajahnya tidak memberikan ekspresi apa-apa. Tangannya juga terkulai, dia tak berusaha menangkis, atau menahan tubuh Shinta yang menindihnya. Dia hanya diam. "Santo, kenapa elo sia-siain apa yang udah gue kasih? Elo gak boleh begitu lagi...," Shinta tersedu-sedu.
"Peluk gue To, peluk gue. Gue kangen sama elo....," Shinta menyerah dengan perasaan sayangnya. Santo bergeming. Di dalam hatinya, tak pantas dia memeluk Shinta. Namun Shinta meraih tangan Santo dan menyampirkan di atas punggungnya. "Sekali ini To, peluk gue To....," Shinta memelas.
Santo pun akhirnya menghentikan diamnya. Kedua tangannya memeluk Shinta dengan erat. Dia berusaha memeluk tubuh perempuan di atasnya dengan cara yang berbeda dari perempuan-perempuan lain yang pernah ML dengannya. Tapi Santo tidak bisa, dia hanya merangkulkan tangannya di atas tubuh Shinta. Santo tak tahu bagaimana mencintai seseorang.
Cukup lama mereka bertindihan seperti itu, hingga Shinta reda emosinya. Santo bisa merasakan detak jantung Shinta yang mereda di dadanya. Pipinya basah karena ditetesi air mata Shinta. Dan Shinta pun menggerakkan tubuhnya, ingin bangkit.
Disaat itulah pintu apartemen terbuka. Sasha datang membawa belanjaan. "Ooo..Ups! Soorrry guys.. Dilanjut," ujar Sasha membalik badan keluar dari apartemen ketika dia memergoki Santo dan Shinta dalam posisi seperti itu. Namun Shinta langsung berteriak memanggil Sasha. Shinta bahkan mengejar Shinta ke pintu, dan
minta untuk kembali masuk.
"Sorry Shin," ujar Sasha malu-malu dan mau masuk kembali ke dalam apartemen.
"Elo apa sih," Shinta coba tampil seperti tidak ada kejadia apa-apa, meski dia tetap mengelap sisa air di sudut matanya.
"Elo gak apa-apa Shin?" Giliran Sasha yang menyadari bahwa yang telah terjadi tidak sesuai dengan perkiraannya. Shinta hanya menggelengkan kepalanya. Sasha lalu melihat Santo yang tetap tiduran di sofa. "Elo gak apa To?," ujar Sasha melihat Santo menggeleng tanpa ekspresi.
"Oooo kalo semua nggak apa-apa, berarti gue bisa langsung masak dong. Pasti elo bedua laper kan. Apapun yang barusan terjadi pasti dah ngabisin energi elo berdua. Apalagi elo Shin dari tadi belum makan, sekarang dah hampir malam. Gue masak dulu ya, anggap aja gue gak ada," Sasha langsung membawa belanjaannya ke dapur.
"Eh gue bantuin Sha," Shinta mengiringi Sasha ke dapur. Sasha memelankan langkahnya menunggu Shinta hingga berdampingan. Sasha bertanya ke Shinta lewat gerak bibir, tanpa suara. "Ada apa? Elo nangis?"
"Iya panjang ceritanya, nanti gue ceritain," balas Shinta.
"Elo mendingan ganti pakaian dulu Shin, kalo mau masak-masak," kali ini suara Sasha keluar disengaja.
"Eh iya, sampe lupa kao gue bawa pakaian ya?" Shinta kemudian mengerlipkan matanya ke Sasha. Sasha hanya bisa tersenyum melihat teman barunya itu.
Shinta langsung berganti pakaian di kamar Sasha. Sekilas dia melihat Santo yang tetap tiduran di sofa. Padangan Santo kosong menatap langit-langit apartemen. Namun Shinta membiarkan dan menemui Sasha di dapur.
"Masak apa Sha?" ujar Shinta untuk mengesankan dia hanya melakukan obrolan ringan dengan Sasha, dan Santo tidak perlu curiga.
"Yang gampang aja Shin, nih gue beli spagetti," Sasha mengerti maksud Shinta. Namun setelah itu mereka ngobrol sambil berbisik-bisik. Shinta pun menceritakan apa yang telah terjadi. Sasha hanya geleng-geleng kepala, tersenyum, dan akhirnya cekikikan. "Gue sayang dia Sha...," Shinta mengakhiri ceritanya dengan nada serius.
Sasha langsung memeluk Shinta. Dia terharu mendengar pengakuan Shinta. Sejak awal dia sudah menduga kalau Shinta adalah orang yang bisa dia percaya. Sebagai sesama perempuan, Sasha bisa merasakan kemenangan perasaan Shinta.
"Dah jadi deh," ujar Sasha sambil melepaskan pelukannya. "Ayo makan yuk."
Mereka membawa makannya ke ruang tengah. Santo masih tergolek di atas sofa. Sasha kemudian menyadarkan Santo untuk makan. Santo bangun dengan malas-malasan. Dia tidak sedang bernafsu makan saat ini, bahkan dia tidak bernafsu apa-apa. Dia hanya ingin diam.
Shinta dan Sasha memakan hasil masakan mereka, sedangkan Santo hanya memandang makanan itu.
"To, makan dulu tuh, ntar dingin gak enak," ujar Sasha. "Apa elo mau disuapin?" Santo hanya diam. "Shin, suapin gih."
"Iihh apaan sih Sha, dia bisa makan sendiri kali," balas Shinta. Keduanya pun meneruskan makannya. Bahkan sampai mereka selesai makan, Santo masih dengan posisinya, memandangi makanan.
Sasha kemudian meninggalkan Shinta dan Santo ke kamarnya. Tak berapa lama, Sasha kembali ke ruang tengah sambil membawa koper. "To, gue pindah ke tempat Kevin ya buat sementara. Mungkin nanti gue cari apartemen sendiri," ujar Sasha kepada Santo.
Santo yang sejak tadi diam, langsung memberikan reaksi. "Kok gitu Sha, elu di sini aja. Kenapa elo jadi mau pindah segala?" Santo bingung sekaligus merasa tidak enak.
"To, sekarang elo udah ada Shinta. Sebajingan-bajingannya elo, elo masih mau bener kan? Kemaren elo sempat kepikiran untuk jadi bener. Ini ada Shinta, dia dateng jauh-jauh dari Jakarta cuma buat nyari elo. Mungkin elo nggak pernah tahu yang namanya perasaan, ini kesempatan lo buat belajar. Kalo ada gue di sini yang ada elo gak akan belajar. So gue cabut ya," jelas Sasha.
Santo tak bisa memutuskan apa-apa karena Sasha kemudian meninggalkan Santo dan Shinta. Dia pindah ke apartemen Kevin, teman kampusnya yang asli Australia. Santo sendiri tidak tahu apa apa yang akan diperbuat. Dia sendiri tidak tahu dengan dirinya sendiri.
Shinta juga protes dengan tindakan Sasha. Tapi Sasha berkeras untuk pindah. "Udah, elo di sini aja. Sekarang elo yang jagain dia. Gue percaya kok sama elo. Jangan dibunuh ya temen gue, ntar dia juga mati sendiri. Barang-barang gue masih ada di sini juga kok," canda Sasha.
"Apaan sih Sha. Gue masih butuh elo," Shinta merajuk.
"Ya udah, kalo ada apa-apa, elo telp gue ya. Gue pasti ke sini secepetnya," balas Sasha. "Dah elo baik-baik aja. Elo selesein masalah lo berdua. Nanti kalo udah selese, gue pasti gak akan sungkan-sungkan ikut campur masalah lo bedua, he he he," Sasha bercanda dan meninggalkan mereka berdua.
Kini tinggal Santo dan Shinta di apartemen itu. Shinta sebenarnya canggung sekali. Hari yang ajaib pikirnya. Apa yang dulu pernah diimpikan, tiba-tiba terwujud hari ini. "To dimakan ya makanannya."
"Iya Shin, ntar gue makan."
Shinta kemudian masuk ke dalam kamar yang ditinggali Sasha. Dia kembali menelisik kamar itu. Beberapa barang Sasha masih ada di kamar itu. Dia membuka lemari pakaian, dan melihat ada ruang kosong yang bisa digunakan untuk menaruh pakaiannya. Shinta pun membuka tasnya dan menempatkan beberapa pakaiannya.
Sambil merapikan kamar, Shinta melihat Santo menyantap spageti di ruang tengah. Setelah itu Shinta coba rebahan di kasur yang biasa ditiduri Sasha. Di balik jendela kamar, Shinta tahu jika hari sudah malam. Lampu-lampu kota menyala kerlap-kerlip.
Hari yang melelahkan, gumam Shinta. Ia mencoba mengingat keputusannya untuk mencari Santo hingga ke Melbourne. Dia ingat ketika mendapat kabar dari salah satu temannya yang tahu jika Santo ada di Melbourne. Bahkan dia juga mendapatkan alamatnya. Maka ketika dapat izin dari orang tuanya, Shinta memutuskan untuk pergi. Keinginannya satu, bertemu Santo dan menyelesaikan semuanya. Tapi dia sendiri tidak tahu apa yang ingin diselesaikan. Dia sebenarnya hanya ingin mendapatkan Santo kembali. Dan kini dia ada di apartemen Santo. Tapi apakah Santo benar-benar sudah menjadi miliknya? Dia sendiri tidak berani memastikannya.
"Shin, gue keluar dulu ya," ujar Santo melihat Shinta lagi rebahan di kamar.
"Mau kemana?"
"Cari angin sambil beli makanan ringan."
"Gue ikut, jangan tinggalin gue sendirian," Shinta bergegas menghampiri Santo.
"Ya udah, pake jacket. Di luar anginnya kenceng."
Santo dan Shinta akhinya keluar dari apartemen. Santo mengajak Shinta pergi ke minimarket terdekat. Sebenarnya, Santo tak hanya ingin cari angin, dia butuh minuman. Di saat-saat seperti ini, dia butuh alkohol. Maka ketika sampai di minimarkert, Santo memborong bir dan beberapa botol berlabel hitam.
"Lo mau ngapain beli sebanyak itu To?" Shinta heran.
"Ini buat gue Shin. Jangan kaget, gue kaya gini di sini. Stock di kamar abis, dan saat kaya gini gue butuh ini," ujar Santo.
"Oooo.....," Shinta hanya bisa mengucap huruf itu. Tapi di dalam hati Shinta dia berkata, yang elo butuhin bukan itu To, elo cuma butuh ngobrol, orang yang bisa ngajarin elo kasih sayang. Mudah-mudahan gue bisa.
Setelah berbelanja secukupnya, mereka kembali ke apartemen. Santo mulai membuka kaleng birnya, dan Shinta coba menemaninya. "Elo gak usah nemenin gue, tidur aja istirahat. Kasihan elo," ujar Santo.
Tapi Shinta coba menemani Santo, bahkan dia ikut membuka satu kaleng bir. "Elo minum juga?" Tanya Santo.
"Nggak, setahu gue rasanya pahit kan," Shinta menenggak sedikit bir dan menyipitkan matanya karena rasa pahit.
"Itulah bir, rasanya pahit. Sama kaya hidup gue pahit," ujar Santo.
"Kalo emang nyari pahit, kenapa gak minum jamu aja. Hidup gue juga pahit, tapi gue gak minum bir. Gue minum jamu. Sehat," balas Shinta.
Santo hanya tersenyum. "Hidup lo gak pahit Shin. Gue yang bikin hidup lu pahit. Nah sekarang elo balikin semua kepahitan lo, ini kesempatannya Shin," balas Santo.
Giliran Shinta yang tersenyum. Dia pun mulai memancing Santo. "Dulu gue gak pernah tahu siapa elo To. Mau nggak elo ceritain ke gue, semuanya, dari keluarga lo, temen-temen di SMA, sampe di sini," ujar Shinta.
Santo lalu bercerita tentang dirinya sendiri. Mulai dari dia kecil. Dia cerita bagaimana mama-papanya pisah. Dia juga cerita tentang Tante Dona. Persahabatannya dengan Doni, Iwan dan Reza. Juga Sasha. Dia juga menyebut tentang Vina meskipun sekilas. "Elo sendiri gimana bisa kenal Sasha?" Tanya Santo sambil menenggak kaleng bir yang sudah kesekian kalinya.
"Ntar gue ceritain. Elo cerita dulu aja semuanya. Nanti gue akan jujur sama elo To," ujar Shinta.
"Itu dia Shin. Satu hal yang gue gak bisa terima adalah kenapa jalan hidup gue kaya gitu. Gue gak perlu uang banyak, yang gue butuh cuma orangtua gue. Gue tahu rasanya disia-siain, makanya gue akan terima apa yang mau elu lakuin ke gue Shin. Gue yang bikin hidup lo hancur belakangan ini. Apa yang elo minta dari gue, gue usahaiin bisa memenuhinya Shin," ujar Santo yang kini berganti meminum black labelnya.
"Menurut lo, apa kesalahan lo sama gue To?," tanya Shinta.
"Kesalahan gue yang terbesar adalah menularkan kesakitan gue ke elo Shin. Gue gak bisa hadapi kesakitan gue tapi malah gue tumpahin ke elo," ujar Santo.
"Terus menurut lo, kira-kira hukuman apa yang pantes untuk kesalahan lo itu," tanya Shinta lagi.
"Gak tahu, mungkin elo mau bunuh gue?," ujar Santo.
"Elo siap gue bunuh?," Shinta sedikit menantang.
"Dengan senang hati Shin," Santo berkata dingin.
"He he he, gue gak akan bunuh lo To."
"Kenapa? Bukannya elo akan puas jika gue mati. Atau elo sengaja ngebiarin gue hidup biar gue tersiksa dengan rasa bersalah gue?"
"He he he, gue masih sayang sama elo To," Shinta mengucapkannya sama dinginnya, ditambah dengan senyuman kecil yang ironi. Dia harus mengakui, jika di balik semua kesakitannya, masih ada rasa itu terselip di hatinya.
"Gimana bisa? Elo yang benci sama gue, yang hidup lo udah gue hancurin, tapi elo masih bisa bilang punya rasa sayang sama gue? Gue gak pernah tahu yang namanya cinta, apalagi kasih sayang. Tapi bukannya itu bertolak belakang?," Santo berusaha memahami.
"Gue juga gak ngerti sepenuhnya To. Gue benci elo sebenci-bencinya. Kalo elo bilang gue mau bunuh lo, itu pernah terbersit di benak gue. Tapi gue juga gak bisa kesampingkan kalo gue sayang elo. Gue mau hidup sama elo," ujar Shinta.
"Apa itu artinya elo minta gue nikahin?," Santo coba memperjelas keinginan Shinta.
"Apa elo gak mau nikah sama gue?," balas Shinta.
"Gue akan berusaha memenuhi keinginan lo Shin, karena gue dah bikin lo hancur. Gue mau nikahin elo. Tapi apa lo siap dengan gue. Elo akan punya laki yang hidupnya penuh kesakitan. Apa gak nanti, gue malah terus-terusan nularin kesakitan gue ke elo. Hidup lo akan semakin hancur?"
"Bukannya hidup gue udah hancur To? Elo yang ngehancurin. Kenapa gak sekalian aja? Toh gue sudah terjebak dalam kesakitan yang elo buat," balas Shinta.
"Hhhmmmm....," Santo menenggak satu botol black labelnya hingga tuntas. "Terserah Shin. Kalo itu cara elo ngehukum gue, dengan membuat gue selalu melihat lingkaran kesakitan yang gak putus-putus, gue akan terima. Itu hukuman setimpal, gue akan melihat diri gue menjadi penyebab orang lain sekarat perlahan-lahan. Gue akan menjadi iblis selamanya," ujar Santo.
"Iya elo akan jadi iblis selamanya. Iblis yang kesakitan ketika ada orang lain yang tertular kesakitan lo," ujar Shinta.
"Gue iblis Shin...," Santo membuka satu botol black label lagi dan menenggaknya hingga setengah. Matanya sudah mulai nanar. Santo tak kuasa memahami dirinya. Dia benar-benar jatuh ke jurang kehidupan.
Hampir dua botol black label masuk ke perutnya. Tapi Santo terus menenggak bir, dan ingin minum lagi. Alkohol kali ini sepertinya tidak mampu membuatnya lari jauh dari kenyataan yang ada. Dia tetap melihat Shinta yang membuatnya semakin merasa bersalah.
Shinta mulai khawatir dengan apa yang terjadi dengan Santo. Shinta tidak tahu jika Santo memiliki pribadi yang labil sekali. Santo terus menenggak minumannya. Bahkan setelah mabuk, Santo tak lagi mendengar nasehat Shinta. Tentu saja Shinta khwatir, karena tubuh pasti memiliki batasnya. Dia tak mau Santo benar-benar tewas karena terlalu banyak minum alkohol.
Shinta bergegas ke kamarnya, mencari selulernya dan berusaha menghubungi Sasha. Dia memencet nomor Sasha dan menunggu untuk di angkat. Sayangnya hingga nada tunggu habis, Sasha tida mengangkat teleponnya. Shinta mencoba lagi, dan kembali tidak di angkat. Shinta pun mencoba sekali lagi.
Sebenarnya saat Shinta menelpon, Sasha sedang sibuk memacu birahi bersama Kevin. Tubuh telanjangnya sedang meliuk-liuk di atas tubuh Kevin. Vaginanya membenamkan penis Kevin. Desahan erotis keduanya lebih keras dari pada suara dering telepon. Sasha sempat mendengarnya namun tak lama kemudian berhenti. Dia kembali memaju-mundurkan pinggulnya di atas selangkangan Kevin.
Namun pada dering kedua kalinya, Sasha tersadar mungkin saja Shinta yang menghubungi. Sehingga ia memutuskan untuk berhenti sementara.
"I've to pick up that call," ujarnya ke Kevin yang kecewa Sasha menghentikan goyangannya.
"Ooooh please baby, I'm coming soon," balasnya.
"Just hold a second babe, it's must be important," Sasha langsung mengambil selularnya dan melihat nama Shinta di layarnya.
"Ada apa Shin?" ujar Sasha sambil ngos-ngosan ketika HPnya berdering lagi.
"Ini si Santo," ujar Shinta yang heran mendengar suara Sasha yang tersengal-sengal.
"Iya kenapa dia?" Ujar Sasha menepis tangan Kevin yang menghampirinya saat menjawab telepon.
"Santo mabok, terus minumnya gak berhenti. Gue khawatir," ujar Shinta.
"Ooo, dah berapa botol?," ujar Sasha yang dipeluk Kevin dari belakang.
"Udah botol ketiga, sama bir banyak banget," ujar Shinta. "Gimana berhentiinnya Sha?"
"Oooh shiit," suara Sasha tertahan ketika penis Kevin menyusup dari belakang dan memaksanya untuk menjawab telepon sambil nungging.
"Kenapa Sha, parah banget ya?," Shinta semakin khawatir.
"Oo, bukan shitnya ke Santo. Ini Si Kevin lagi ngerjain gue," ujar Shinta.
"Ooo, sorry Sha, gue ganggu elo," Shinta paham maksud Sasha. "Dah elu terusin dulu, nanti telpon gue ya."
"Gak, gini aja Shin. Cara cepetnya untuk berhentiin Santo minum, elo harus ngeluarin spermanya dia. Kalo udah keluar biasanya dia langsung tidur. Gitu ya lu coba aja," ujar Sasha sambil menutup teleponnya dan menikmati sodokan penis Kevin.
Bikin keluar spermanya? Gimana caranya? Gumam Shinta. Apa gue ajak dia ML? Apa gue siap ML ama dia? Shinta bingung dengan saran Sasha. Tapi dia bisa maklum karena dia sudah dengar tentang kehidupan Santo dan Sasha. Shinta belum memutuskan apa-apa ketika Santo menghabiskan botol ketiganya. Sedangkan di meja tengah, masih ada satu botol tersisa.
Shinta bukannya tak pernah lihat orang mabok. Tapi dia khawatir dengan jumlah alkohol yang sudah masuk ke tubuh Santo. Tapi apa untuk menghentikannya harus dengan ML? Saat dalam kerinduannya, Shinta sebenarnya juga pernah membayangkan bisa ML lagi dengan Santo. Dia ingin melakukannya dengan penuh perasaannya. Tapi kalau dia melakukannya sekarang, Santo sedang mabuk. Dan bisa jadi Santo malah tidak terkendali.
Akhirnya Shinta memutuskan untuk mengikuti saran Sasha saat melihat Santo membuka botol keempatnya. Shinta mendekati Santo yang duduk bersandar di sofa. Dia langsung duduk di pangkuan Santo dan mencumbunya.
Shinta mencium Santo dengan ganas. Dia langsung meluapkan gairahnya yang terpendam selama ini. Bibir Santo yang bau alkohol dilahapnya dengan rakus. Shinta juga meraba dada Santo yang masih dilapisi kaos.
"Shin, elo gak perlu begini Shin...," ujar Santo yang ternyata masih sadar dengan apa yang terjadi.
"Santo, elo jangan minum lagi ya," ujar Shinta lembut sambil membelai pipi Santo.
"Iya, tapi gue haus Shin," ujar Santo pelan.
Shinta pun meneruskan cumbuannya. Dia menciumi wajah Santo. Kemudian turun ke leher, dan meraba tubuh Santo dari dalam kaosnya. Shinta kemudian membuka kaos Santo. Dia melihat tubuh Santo yang tidak atletis. Dulu tubuh ini, dada ini penah menindih tubuhnya. Tubuh ini pula yang sering dirindukannya.
Shinta menciumi dada Santo. Mencium, menjilat, dan meraba dengan penuh gairah. Hal itu membuat Shinta merasa terangsang sendiri. Dia pun membukan kaos tidurnya, juga branya. Shinta kembali mencium bibir Santo dengan mesra.
Karena tidak ada reaksi apa-apa dari Santo, Shinta meraih tangan Santo untuk menyentuh payudaranya. Shinta meminta Santo meremas payudaranya. Setengah sadar, Santo menuruti kemauan Shinta. Dia meraba, dan meremas bukit Shinta yang tidak terlalu besar. Shinta mendesah ketika dia menyentuhkan pentilnya ke bibir Santo.
Shinta mendesah lagi ketika dia mengganti pentil lain untuk diemut Santo. Lama kelamaan Shinta bisa merasakan jika vaginanya telah basah. Maka dia pun bangkit dari pangkuan Santo dan melepaskan celana kargonya. Tak tanggung-tanggung, Shinta juga melepaskan celana dalamnya.
Sebenarnya jika Santo tidak mabok, dia bisa menikmati pemandangan yang indah. Tubuh Shinta sangat mulus, meski kalah padat dari Sasha, tapi Shinta sangat putih dan mulus. Warna putih itu dihiasi dengan rambut kemaluan Shinta yang tipis dan terurai rapi. Tanpa harus dicukur, kemaluan Shinta terlihat bersih.Setelah melepaskan pakaiannya, Shinta pun melepaskan celana Santo. Mulai dari celana jinsnya hingga celana dalam Santo. Shinta sempat kesulitan, namun dia berhasil melucuti pakaian Santo. Shinta melihat penis Santo yang belum tegang.
Shinta kembali duduk di pangkuan Santo. Dia meraih tangan Santo untuk meremas payudaranya, sedangkan tangan Shinta meraih penis Santo dan membelainya. Perlahan penis Santo sepertinya mengeras. Shinta kemudian mencium bibir Santo sambil tangannya mengocok penis Santo. Dia terus melumat bibir Santo dan mengocok penisnya.
Sampai kemudian napas Santo sedikit terengah-engah dan tangan Shinta beloptan dengan sperma Santo. Shinta tahu jika Santo telah ejakulasi, maka dia menghentikan aktivitasnya. Dia sendiri sebenarnya masih dalam gairahnya, tapi itu bukan tujuan Shinta.
Shinta bangkit dari tubuh Santo dan bergegas ke kamar mandi. Dia membersikan tubuhnya. Dan ketika kembali ke ruang tengah, dia melihat Santo sudah benar-benar mengantuk. Dia memapah tubuh Santo dengan sekuat tenaga untuk pindah ke kamar. Dan Shinta pun menemani Santo tidur di kamar itu, menutupi tubuh mereka yang telanjang dengan selimut. Shinta memeluk Santo dengan erat.
Babak baru dimulai dalam kehidupan Santo dan Shinta. Dua manusia yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dengan alasan yang berbeda. Santo putus asa dengan hidupnya, apapun saat ini dia seperti tidak punya pilihan, sedangkan Shinta ingin membuktikan keinginannya. Meskipun dia tidak benar-benar yakin dengan keinginannya.
Manusia memang hanya bisa menjalani hidupnya. Tapi apakah manusia memang benar-benar hanya bisa menjalani takdirnya? Bukankah manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan, setidaknya kebebasan untuk memilih karena semua makhluk terikat dengan hukum alam.
Semua keinginan, harapan, cita-cita tidak bisa dilepaskan dari hukum alam. Tidak akan bisa manusia bercita-cita menjadi sesuatu yang melampaui kodratnya, seperti misalnya menjadi malaikat, setan, atau Tuhan. Karena kodratnya manusia adalah manusia. Ketika seseorang tidak bisa menjadi apa yang diinginkan, diharapkan, bisa jadi bukan karena takdir, tapi karena salah bercita-cita, salah bermimpi, salah berharap. Karena dia tidak memahami kodratnya, tidak memahami dirinya, tidak mengenal batas kemampuannya? Lalu apakah Shinta termasuk yang salah berharap? Berusaha menjalani hidup bersama Santo?
Keesokan harinya Santo bangun dengan kepala pusing. Dia ingat jika semalam dia menenggak alkohol, namun yang membuatnya kaget, ada Shinta yang memeluknya. Santo kaget karena mereka tidak berpakaian sama sekali. Apakah ini juga menjadi salah satu bentuk kehancuran Shinta, seperti kehancuran dirinya?
"Shin.....," Santo berkata pelan membangunkan Shinta.
"Hmmmmpphhh.....," Shinta mengulet. Dia bangun dan melihat Santo sudah terbangun dari tidurnya. "Kamu dah bangun, dah pagi ya?"
"Iya..," Santo berkata pelan.
"Kita semalam...ngapain? Kok sampe telanjang begini?" Santo coba mencari jawabannya.
"Hhmm...nggak ngapa-ngapain. Aku cuma berhentiin kamu minum. Habisnya kamu minum banyak banget. Aku khawatir," ujar Sinta.
"Yakin gak ngapa-ngapain?" Santo yang curiga karena Shinta kini memanggilnya dengan sebutan kamu.
"Nggak, aku cuma ngerjain adik kamu kok. Nggak sampe ML," ujar Shinta.
"Oooo, kok bisa?" Santo terus mengejar.
"Iya aku semalam panik ngeliat kamu minum gak berhenti. Terus aku telp Sasha, dan dia kasih tahu caranya, ya udah aku coba aja, ternyata berhasil," jelas Shinta.
"Nggak, maksudku kamu mau ngelakuin itu," ujar Santo.
"Kenapa nggak? aku jauh-jauh datang ke sini cuma buat nyari kamu To. Bukan mau liburan atau ketemu Sasha," ujar Shinta.
"Ooo, jadi kamu bener-bener nyari aku Shin? Untuk balas dendam?," balas Santo.
"Ya terserah definisi kamu. Bukannya kamu juga rela dan siap untuk ngelakuin apa aja sebagai tanggung jawab dari masa lalu," ujar Shinta.
"Iya," ujar Santo menghela napas.
"Terus kalau sekarang aku mau ML sama kamu, kamu mau?" Tiba-tiba Shinta mengajukan pertanyaan yang mengejutkan Santo. Santo mau tidak mau menatap wajah Sinta yang tidur di sampingnya. Dia melihat sorotan mata Shinta yang penuh harapan. Sekilas dia bingung, apakah tatapan itu benar-benar datang dari lubuk hatinya? Ataukah tatatapn itu pengelabuan dari niat Shinta yang ingin membuat dirinya semakin bersalah lagi?
"Gak salah denger Shin? Maksudnya apa, kok minta itu?," tanya Santo.
"Maksudnya aku mau ML sama kamu, memangnya kurang jelas ya?" Shinta memasang wajah harap sambil menggoda.
Sudah belasan perempuan yang pernah ditiduri Santo. Pernah juga dia mendapat pertanyaan yang sama. Tapi kali ini dia tidak langsung mengiyakan jawabannya. Karena kali ini yang bertanya adalah Shinta.
"Shin, kalau kamu memang mau membalas semua kesakitan kamu dengan terus menyeret diri kamu dalam kehancuran sehingga aku benar-benar hancur melihat kamu hancur, kenapa gak langsung aja. Toh kita berdua sudah hancur? Kamu pengen aku hancur seperti apa?," ujar Santo.
"He he he. Cuma mau ML kok, tapi ngomongnya sampai soal hancur-menghancurkan segala? Dulu kamu sempet kepikiran gak waktu mau ngambil perawan aku soal hancur menghancurkan itu?," balas Shinta.
"Iya aku salah," ujar Santo.
"Kalo aku bilang aku mau ML karena aku sayang kamu, pasti kamu juga nggak percaya ya?," tanya Shinta.
"Iya, karena sebenarnya kamu tidak benar-benar sayang," jawab Santo.
"Itu artinya dulu kamu juga begitu ya?," kejar Shinta.
"Iya," Santo mau tidak mau harus mengakui.
"Meski kamu dulu kamu mengucapkan dengan serius kalau kamu sayang aku?" Shinta terus memojokkan Santo dengan perasaan bersalahnya.
"Iya," Santo pasrah Shinta benar-benar menelanjangi pribadinya.
"Oke. Terus kalau sekarang ini aku benar-benar sayang sama kamu, aku harus membuktikan apa?" Tanya Shinta.
"Gak tahu. Apa rasa sayang itu harus dibuktikan?," Santo balik bertanya.
"Menurutmu? Karena aku hanya ingin ML sama kamu. Tapi kamu terkesan tidak mau, karena jika kita ML, kamu anggap sebagai balas dendamnya aku, bukan sebagai wujud sayang aku. Bukankah kamu bisa ML sama siapa saja tanpa harus ada rasa sayang? Seperti sama Sasha, atau sama aku dulu. Kenapa sekarang rasa sayang itu jadi penting bagimu?"
Santo tak punya logika yang bisa membalik ucapan Shinta. Dia akhirnya menyerah. "Hanya ML, tidak ada yang lain?"
"Hanya ML, tidak ada yang lain," ujar Shinta.
"Ya sudah," Santo benar-benar menyerah.
Entah kenapa sekarang urusan ML jadi terasa berbelit-belit bagi Santo. Padahal biasanya urusan ML tinggal buka baju, penisnya ereksi, ada vagina yang siap dimasukkan, penetrasi, ejakulasi, selesai. Tapi sama Shinta, semua prosesi itu butuh alasan yang mendasarinya. Bahkan kini, meski dia pasrah Shinta akan melakukan apa saja dengan tubuhnya, ada rasa yang mengganjal di hatinya.
Baru kali ini Santo merasa tidak mau ML tapi dia harus melakukannya. Dan dia tidak berdaya untuk menolaknya. Mungkin inikah perasaan yang dulu dialami Shinta atau Vina saat dia mengambil perawannya? Santo pasrah jika itu adalah hukuman yang harus dia terima.
Hari sebenarnya sudah beranjak siang. Namun Santo tidak niat untuk melakukan aktivitasnya. Dia memang ingin malas-malasan di apartemennya. Dan kini, di balik selimut, Shinta mulai mencumbunya. Tangan Shinta meraba tubuhnya, dari dada turun membelai penisnya.
Santo hanya bisa diam saja. Shinta mencium bibir Santo. Mencium dengan hangat, meski tidak tak ada respon apa-apa dari Santo. Shinta menciumi dada Santo. Dia menyibak selimut yang menutupi mereka.
Kini secara sadar Santo melihat dengan jelas tubuh telanjang Shinta. Tubuh Shinta sebenarnya sangat menggiurkan. Jika dibanding Sasha, Shinta memang kurang berisi, tapi Shinta terlihat seksi dengan panggul yang besar. Jika dalam kondisi 'normal' Santo pasti tidak sabar untuk menusuknya dari belakang. Tapi kali ini, Santo tidak dalam kondisi seperti biasanya. Dia masih merasa bahwa sebenarnya dia tidak mau ML dengan Shinta.
Santo tetap diam ketika tangan Shinta menggenggam penisnya dan mengurutnya perlahan. Shinta berusaha agar penis Santo tegang. Santo berusaha agar penisnya tidak tegang karena dia tidak suka dengan perlakuan Shinta. "Kamu rileks aja, nikmatin ya. Kalo kurang enak kasih tahu aku. Biar aku belajar," ujar Shinta.
Kalau saja yang berkata perempuan lain, pasti Santo sudah mendesah-desah keenakan. Tapi ini Shinta, perempuan yang ingin membalas perlakuannya. Shinta mengocok pelan penis Santo. Dia telaten melakukannya karena seringkali penis Santo terlepas dari genggamannya.
Merasa tidak berhasil membangkitkan gairah Santo, Shinta kemudian menurunkan wajahnya ke penis Santo. Dia mengulumnya dengan lembut. Shinta memang tidak punya pengalaman apa-apa tentang ML selain bersama Santo dulu, tapi bukan berarti dia tidak tahu bagaimana merangsang laki-laki.
Shinta kemudian mengemut penis Santo, terus berusaha agar penis Santo tegang. "Sayang, jangan dilawan, nikmatin aja. Enakkan?" Shinta menggoda Santo. Lama-kelamaan, Santo pun mengikuti irama Shinta. Kontrol dirinya pun berkurang, dan lambat laun penisnya mulai menegang.
"Oooo, sudah tegang ya," ujar Shinta ketika sadar penis Santo mengeras. Namun ketika dia bandingkan dengan penis laki-laki yang pernah dia lihat dalam film bokep, penis Santo sepertinya kurang panjang, tidak sampai satu genggaman tangannya. Shinta sempat mengernyitkan dahi, dan hal itu terlihat oleh Santo.
Santo bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Shinta. Namun dia hanya diam saja, di dalam hatinya dia terusik ego kelaki-lakiannya. Dia pun diam ketika Shinta mengubah posisinya, dan berjongkok di atas selangkangannya. Shinta kemudian coba memasukkan penis Santo ke vaginanya.
Terasa susah untuk memposisikan penis Santo tepat di lubang vaginanya. Entah karena penis Santo yang pendek, atau karena vagina Shinta yang masih rapat. Shinta menggunakan tangannya untuk memastikan penis Santo bisa masuk ke dalam.
Pelan-pelan dia menurunkan tubuhnya, coba merasakan penis Santo masuk ke dalam vaginanya. "Aaaauuu....," terasa perih ketika penis Santo menerobos. Rasa perih itu mengingatkannya akan kejadian waktu pertama dulu. Shinta tidak pernah melakukannya lagi setelah kejadian itu. Tapi kini, rasa perihnya masih kalah dengan kepedihan hatinya. Shinta membenamkan penis Santo lebih dalam.
"Aaahhhh....," ketika Shinta membenamkan semua penis Santo. Sementara Santo tidak memberikan reaksi apa-apa. Dia merasa kali ini dia yang sedang diperkosa. Pelan-pelan Shinta mengangkat panggulnya, namun tak sengaja malah membuat penis Santo terlepas. Shinta pun coba memasukkan kembali.
Shinta mengulang prosesnya dari awal, hingga kemudian dia bisa menemukan ritmenya. Pelan namun pasti, Shinta mulai merasakan kenikmatan bercinta. Kenikmatan ketika penisnya disodok penis dengan kesukarelaannya. Dia mengangkat panggulnya, lalu memaju-mundurkan, dia bisa merasakan geli dan kenikmatan menjadi satu.
Dulu, dia seringkali membayangkan adegan ini. Dan kini dia baru tahu apa rasa sesungguhnya. Tanpa sadar, dia pun terengah-engah. Shinta juga mengeluarkan erangan erotis. Sementara Santo hanya pasrah terlentang.
Shinta kemudian mengambil tangan Santo dan memintanya untuk meraba payudaranya. Santo dengan terpaksa mengikuti keinginan Shinta. Dia meraba dan meremas payudara Shinta, sedangkan tubuh Shinta tak berhenti memompa penisnya.
Jika saja yang di atas tubuhnya adalah Tante Dona atau Sasha, mungkin ceritanya akan lain. Santo bisanya dengan rakus melumat payudara itu. Tapi Shinta, Shinta adalah perempuan yang kali ini punya alasan berbeda. Santo tak kuasa melakukannya.
Shinta tak peduli dengan Santo. Dia mengejar orgasmenya sendiri, hingga pada saat memuncak, Shinta menggoyang panggulnya lebih keras dan cepat, dia akan mencapai puncaknya. "Oooooohhhhhh......Santo sayangggg.....," Shinta langsung ambruk di atas dada Santo.
Nafasnya tersengal-sengal. Matanya nanar. Rambutnya tambah acak-acakan. Dia memeluk erat Santo. "Ternyata ML itu enak banget ya, pantesan kamu dulu tega-teganya ambil perawan aku. Atau sekarang kamu bisa ML sama siapa aja," ujar Shinta di wajah Santo sambil tersenyum.
Santo hanya diam. Dia sendiri belum orgasme, tapi dia tidak berniat untuk mendapat orgasmenya. Dia hanya diam melihat Shinta. Hingga Shinta beringsut ke samping, Santo bergeming.
"Kok kamu diam aja? Nggak enak ya mainnya? Aku kurang liar ya?," tanya Shinta.
"Aku sekarang bisa ngerasain gimana rasanya diperkosa. Mungkin dulu kamu seperti ini juga ya, tidak mau tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bisa ngerasain Shin. Aku minta maaf," ujar Santo dingin.
"Kok kamu ngomongnya begitu? Kita kan cuma ML doang. Gak ada yang lain, gak ada pembalasan, gak ada rasa sayang, cuman ML," ujar Shinta.
"Nggak Shin. Aku bisa bedain sekarang, mana yang ML doang mana yang ML pakai rasa sayang atau marah. Kamu pakai emosi, entah sayang atau marah. Aku bisa ngerasain," balas Santo.
"Ya udah, jadi kamu percaya kalau aku sayang kamu?" Ujar Shinta.
"Yang tadi itu perasaan sayang atau pembalasan dendam?" Tanya Santo.
"Gimana bedainnya To? Bukannya itu satu paket? Sama seperti mata uang yang punya dua sisi. Aku sayang sekaligus dendam? Itu aku, bukan Sasha atau perempuan lainnya. Itu aku, Shinta yang punya sayang dan marah sama kamu," ujar Shinta.
"Jadi kamu menghancurkan aku sekaligus menjaga aku? Bagaimana bisa?" Tanya Santo.
"Kenapa gak bisa? Semua yang ada di dunia ini pasti punya lawannya, kebalikannya, antitesisnya, untuk menjaga keseimbangan. Dan satu lagi To, semua hal juga ada prosesnya. Kamu melihat aku hanya dari sisi pandang kesakitan saja. Aku mau menghancurkan kamu. Untuk menghancurkan kamu ada proses yang harus dijalani, kamu tidak langsung hancur. Ketika proses penghancuran itu berjalan, proses menjaga kamu, rasa sayang, juga berjalan sadar atau tidak sadar. Begitupula sebaliknya," ujar Shinta.
"Lalu apa yang kamu cari dari aku?" Santo semakin bingung dengan Shinta.
"Kita jalani saja, nanti juga akan tahu apa yang aku cari? Bukannya kamu ini sekarang dalam posisi pasrah, kosong, hampa, berhenti, dari semua duniamu? Kamu memang butuh diam sejenak, dan aku akan menemanimu," jelas Shinta.
"Hhhmmmm.....kenapa bisa jadi sekompleks ini Shin?"
"Tidak kompleks. Kamu resapi saja apa yang kamu rasakan saat ini. Kamu rasakan keputus asaan kamu, kamu nikmati kesakitan kamu. Tapi sebenarnya ada proses kebahagiaan juga yang berjalan. Apakah nanti kita akan terus bersama-sama, waktu yang akan membuktikannya," jelas Shinta lagi.
"Dah sekarang kamu peluk aku, yang mesra," ajak Shinta. Sejenak Santo merasa canggung untuk memeluk Shinta, namun ia coba menuruti perkataan Shinta. Dia meraih kepala Shinta, merangkulnya, dan mencium kening Shinta.
Ada getaran hebat yang muncul dalam perasaannya. Selama ini Santo tidak pernah merasakan getaran itu, seperti sengatan listrik yang menyentak seluruh tubuhnya. Inikah yang namanya perasaan? Entah itu sayang atau benci? Santo coba menerka. Bagaimana bisa saat mencium kening Shinta dia bisa mendapat hal seperti itu? Ketika berciuman dengan Tante Dona atau Sasha tidak ada rasa seperti itu. Bahkan ketika mencium Shinta dulu pun tidak ada rasa yang dia rasakan tadi. Padahal itu hanya kecupan di kening. Bagaimana bisa?
Santo bertanya dalam hatinya. Dia ragu untuk menanyakan apa yang dialaminya kepada Shinta. Sehingga dia hanya diam saja dan memeluk erat tubuh Shinta. Shinta pun tersenyum.
Musim panas di Melbourne sudah hampir selesai. Sebentar lagi akan jatuh Valentine Days. Shinta memutuskan untuk tetap berada di apartemen Santo hingga perayaan itu. Sesekali dia mengunjungi saudaranya hanya untuk memberi tahu kalau dia baik-baik saja selama menginap di rumah temannya. Kadang kala dia ditemani Sasha, tapi sering juga dia ditemani Santo.
"Gue ngelihat Santo sekarang berubah ya Shin? Ada yang beda kayaknya ya? Apa ya?" ujar Sasha kepada Shinta seusai menemui keluarga Shinta.
"Beda apanya Sha?" Tanya Shinta.
"Beda, kayanya dia punya nyawa sekarang. Ada yang hidup, dulu dia seperti nggak punya nyawa, mati, putus asa. Berarti elo bener-bener kasih sesuatu yang positif buat dia. Elo hebat Shin," ujar Sasha.
"Ha ha ha, masa? Baguslah kalau begitu?" Ujar Shinta. "BTW elo akan terus tinggal di apartemen Kevin. Dah hampir dua minggu elo di sana, kenapa nggak balik aja ke tempat Santo?" Tanya Sasha.
"Masa gue balik ke sana lagi. Mending gue cari apartemen sendiri aja. Gue udah ada beberapa tempat kok yang gue anggap layak, tinggal tunggu kosongnya aja, nanti gue pindah," ujar Sasha.
"Kenapa gak mau balik Sha?" Tanya Shinta.
"Ya di sana kan ada elo. Masa gue ikut nimbrung. Keenakan Santo dong bisa three some, ha ha ha ha," canda Sasha.
"Iya ya keenakan dia. Tapi gue belum pernah tuh Sha, boleh juga dong nyobain," balas Shinta dengan datar.
Sasha menoleh ke arah temannya, apakah pernyataan itu serius atau hanya becanda saja. Tapi dia menganggapinya dengan bercanda. "Ha ha ha, kenapa lo? Gak puas sama Santo?"
"Iya," Shinta tetap datar ekspresinya.
"Ini serius nih, elo gak puas terus mau nyoba three some?" Giliran Sasha yang terpancing.
"Ha ha ha, becanda lagi. Puas gak puas, gue sebenarnya gak tahu Sha. Gue ini gak punya pengalaman selain sama Santo. Makanya kadang-kadang gue cuma penasaran sama fantasi gue. Apalagi kalo inget cerita elo, jadi semakin penasaran. Gimana ya bisa kaya gitu, orgy," ujar Shinta.
"Kalo cuma penasaran doang mendingan gak usah Shin. Rasanya sama aja kok," balas Shinta.
"Iya, elo bisa ngomong begitu karena elo udah pernah, nah gue kan belom. Tetap aja penasaran jatohnya," balas Shinta.
"Shinta-Shinta. Jangan deh," ujar Sasha.
"Tapi elo bisa kan, orgy?" Tanya Shinta.
"Ya kalo gue mah jangan dijadiin patokan," balas Shasa.
"Terus kenapa, gue gak boleh?," tanya Sasha.
"Ya nggak bolehlah, elo anak baik. Masa gue rusakin. Gue juga gak bakal ngijinin Santo ngeruskin elo Shin."
"Loh kok gitu. Emang anak baik gak boleh jadi jahat, anak jahat gak boleh jadi baik. Bukannya setiap orang punya kesempatan yang sama untuk jadi baik atau jadi jahat?"
"Wah ternyata otak lo lebih korslet dari gue Shin. Kacau lo. Santo tahu kalau elo ternyata korslet?"
"Dia tahu, tapi dia nggak bisa memahami kekorsletan gue. Kapasitasnya terbatas, dan dia hanya sibuk dengan kekorsletan hidupnya sendiri," ujar Shinta.
"Hua ha ha ha ha.....," Sasha tertawa keras. Dan Shinta pun ikut tertawa.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar