klik disini

Jumat, 10 Juni 2016

sebuah kisah 3

Disaat yang bersamaan


Magenta Kurniasari (Tata)

Di belakang sebuah panggung, yang beberapa jam sebelumnya digunakan untuk pelaminan pernikahan Ara dan Budi, nampak sepasang manusia beda usia tengah bergumul. Sang wanita berdiri menungging dengan menopangkan kedua tangannya di sebuah meja kecil, sementara sang pria menyenggamainya dari belakang.

Wanita muda itu sudah tidak lagi mengenakan celana dan celana dalamnya, sementara kemeja yang dia kenakan sudah lepas semua kancingnya, dan bra yang dipakai pun sudah tersingkap ke atas. Sang pria tua sama saja, hanya tinggal kemejanya yang masih terpasang rapi di badannya.

“Aaahhh paakk, udaaahh paaakk saya udaah capeekhh,” keluh sang wanita.
“Eeemmhh,, aahhh bentar lagi non, bapak belum beres inih,” jawab sang pria tua.

“Aaakkh, pelan paakh Sar, bool saya masih sakithh,” rintih sang wanita.
“Aahh,, Aahh,, kapan lagi saya ngentotin boolnya non Tata, abis ini kan nggak ketemu lagi non,” jawab pria itu.

Sarbini, supir dari keluarga Ara memang bukan sekali ini saja berhubungan dengan Tata, namun sudah beberapa kali saat mereka bertemu untuk membahas perihal pernikahan Ara yang dipercayakan pelaksanaannya ke WO tempat Tata bekerja.

Setelah acara ini selesai, tentunya kesempatan mereka berdua bertemu akan semakin kecil. Tak masalah bagi Tata yang memiliki kehidupan yang bebas, tapi bagi Sarbini tentu lain soal. Karena itulah malam ini, dia ingin sepuasnya bercinta dengan Tata untuk yang terakhir kali.

Sudah hampir 30 menit mereka berada disini, setelah Renata kakak dari Budi menemuinya, Tata langsung saja ditarik ke belakang panggung oleh Sarbini. Pria tua itu sudah tak tahan lagi. Setelah mengantar Ara dan Budi ke rumahnya, dia segera kembali ke tempat acara ini untuk menjemput sang boss, namun ternyata pak Wijaya masih asik menindih seorang wanita muda yang entah siapa.

“Woo j*nc*k, malah disuruh nungguin orang ngentot,” umpat Sarbini kesal. Dia jengkel dengan bossnya itu. Kebanyakan orang tahunya Pak Wijaya adalah sosok yang baik hati, penuh kharismatik dan menjadi contoh ayah dan suami ideal di lingkungannya. Tapi diluar itu, Sarbini sendiri menjadi saksi bagaimana majikannya itu beberapa kali berjumpa dengan wanita-wanita muda tanpa sepengetahuan siapapun.

Sarbini tidak bisa mengenali wanita-wanita majikannya karena selalu menggunakan topi lebar dan kacamata hitam, namun bisa dia simpulkan bahwa wanita-wanita itu masih berusia muda, mungkin seumuran anaknya.

Sarbini makin kesal, karena semakin malam dia pulang, pasti tidak akan mendapatkan jatah dari istrinya, yang jam segini pasti sudah tidur, dan pasti akan mengamuk jika tiba-tiba dibangunkan selarut ini. Dia memang ingin segera pulang, karena dipikirannya ingin segera menuntaskan nafsu birahinya.

Selama mengantar Ara dan Budi pulang tadi, Sarbini terkagum-kagum oleh kecantikan Ara. Sebenarnya gadis itu sudah setiap hari dilihatnya, namun malam ini beda dengan balutan gaun pengantinnya, apalagi terbanyang di benak Sarbini apa yang akan dilakukan oleh Ara malam ini setelah dia antar pulang.

Tapi bagaimanapun Sarbini tetap menghormati keluarga Wijaya, keluarga yang menolongnya dari kesusahan, memberikan pekerjaan yang tetap untuk dirinya, membiayai pengobatan istri dan anaknya yang menghabiskan ratusan juta rupiah, dia berhutang nyawa dan kehidupan di keluarga ini, karena itu dia tidak akan berani macam-macam.

Namun malam ini dia benar-benar kesal, niatnya untuk cepat pulang justru terhalang oleh kelakuan majikannya. Secara tak sengaja dia melihat dari celah jendela, majikannya sedang menindih tubuh telanjang seorang wanita, namun tidak jelas siapa wanita itu karena cahaya ruangan yang redup dan juga tertutup oleh badan sang majikan.

Bertambahlah kejengkelannya. Jengkel karena horny, yang tak bisa dia lampiaskan. Apalagi ketika melihat Tata, perempuan yang sudah beberapa kali digaulinya, sedang berbincang lama dengan Renata, membuatnya semakin jengkel saja.

Tapi tak lama kemudian dia tersenyum, dilihatnya Renata menjauh. Kemudian didekatinya Tata dan segera ditarik menuju belakang panggung. Tata yang terkaget dengan sikap Sarbini ini hanya cekikikan saja melihat tingkah orang tua yang seperti cacing kepanasan menahan birahinya ini.

Sudah 30 menit Sarbini menyodoki Tata. Sudah sempat dia menyemburkan spermanya di vagina Tata yang juga sudah dua kali orgasme, kini dia memasukkan penisnya yang masih keras ke lubang yang lebih sempit lagi.

Sarbini masih menggoyangkan dan memompakan kelaminnya menumbuki liang anus Tata, sambil meremasi kedua dadanya yang besar menantang. Mulutnya melumati bibir tipis Tata dan menghisap-hisap lidahnya.

Tata sendiri senang diperlakukan seperti ini. Dia memiliki pengalaman seks yang cukup banyak dengan berbagai macam tipe orang. Dia menyukai permainan Sarbini karena meski sudah cukup berumur, tapi Sarbini memiliki penis yang cukup besar dan tahan lama, yang menjadi syarat untuk memuaskannya.

Tata yang bisa dibilang seorang maniak sebenarnya juga sanggup bertahan lama dalam berhubungan badan, bahkan dengan beberapa lelaki sekalipun. Namun pekerjaannya hari ini cukup menyita pikiran dan fisiknya, sehingga kini sudah letih sekali dia melayani nafsu Sarbini.

“Aahh,, Ooohh non, bool non mantep bener, bapak mau keluar lagi non,” lenguh Sarbini.
“Aaahh, iyaa pakk, keluarin ajaaahh,” jawab Tata.

Kemudian Sarbini mencabut penisnya, membalikan tubuh Tata dan memintanya berjongkok.

“Non, sepongin kontol bapak non,” pintanya.

Tanpa banyak menjawab Tata langsung mengulum penis besar itu, dia keluar masukan penis itu, disedot-sedot dan dijilati permukaannya, hingga tak lama kemudian,

“Aaaahhh non bapak keluaarrhh, telen pejuh bapak nooonn, oooohhh,” Sarbini mencapai klimaksnya, sambil menahan kepala Tata dan menekankan penisnya masuk ke mulut Tata.

Tanpa merasa jijik Tata menelan semua sperma Sarbini, kemudian menjilati permukaan kepala penisnya itu, lalu mengulumnya lagi beberapa saat, hingga penis itu mengecil baru dia keluarkan dari mulutnya.

“Haaahh, makasih yaa non, non emang mantep deh, moga-mogaa abis ini bisa ketemu non lagi, hehe,” ucap Sarbini sambil merapikan pakaiannya.

“Hihihi iya pak, sama-sama, kali aja nanti kita bisa ketemu lagi pak, hehe. Saya duluan yaa pak, kerjaan belum beres ini, cup,” jawab Tata sambil merapikan pakaiannya, lalu beranjak pergi setelah sebelumnya memberikan kecupan di bibir Sarbini, yang membuatnya hanya terkekeh saja.

***
Kembali ke ruangan Catering

 
Renata Dwi Hapsari


Devina Ratna (Ci Devi)

To tersenyum memandangi wanita yang sedang bersimpuh di depannya itu. Mimpi apa dia, malam ini bisa menikmati tubuh wanita cantik ini. Dia melirik pacarnya, yang mukanya baru saja menerima sperma dari temannya, dia bandingkan dengan Rena. Masih kalah, padahal Rena jelas lebih tua, tapi justru masih lebih menarik dibandingkan pacarnya itu.

To segera menelanjangi Rena. Tanpa perlawanan sama sekali, To berhasil melolosi seluruh pakaian yang dipakai Rena. Dia memandang kagum tubuh wanita ini. Hampir sama dengan pacarnya, tubuhnya yang mungil berhiaskan dua bukit cantik di dadanya. Tidak besar, tapi pas dengan tubuhnya. Pantatnya padat sempurna, dengan perut yang masih langsung tanpa ada timbunan lemak. Tubuh wanita ini bahkan lebih indah daripada Ci Devi yang sudah beberapa kali dia nikmati.

Melihat keindahan seperti ini membuat To tak tahan lagi. Penisnya sudah tegak mengacung sempurna. Langsung saja di telentangkan tubuh Rena, dia buka lebar-lebar kedua kakinya. Matanya nanar menatap vagina Rena yang tembem, sudah begitu basah siap untuk menerima perkenalan dari penis besar To. Diapun menggesek-gesekan ujung kepala penisnya di bibir vagina Rena.

Rena yang menyadari ada gesekan di vaginanya langsung membuka mata, terkejut melihat penis besar itu. Lebih besar dari punya suaminya. Dia mencoba menahan, namun To lebih cekatan. Dipegangnya kedua tangan Rena, sementara penisnya dia majukan, menerobos, membuka lipatan bibir kemaluan Rena.

“Aaahhh, maass jangan aahh, aku udahh punya suamii maass, jangaaaaaaannn aaaaahhh,” teriak Rena saat penis besar itu menerobos masuk ke rongga kewanitaannya langsung hingga mentok menyentuk dinding rahimnya. Rena terpejam, cukup sakit dia rasakan.

“Aaaahh sakiiit maaassshh,” keluhnya, matanya terpejam, kemudian dia menggigit bibir bawahnya menahan sakit.
“Bentar lagi juga enak kok mbak, memek mbak enak banget, masih sempit mbak.”

“Gimana rasanya To?” tanya Ci Devi yang kini sedang mengocok penis pemuda yang tadi ditunggangi oleh gadis berambut ikal sebahu.
“Wuuih, enak Ci, masih sempit, legit banget, hehe,” jawab To sambil mulai menggoyangkan pinggulnya.

“Enak mana sama memeknya cewekmu ini To?” tanya Yon yang sekarang sedang men-doggie pacarnya.
“Hehehe, entar kamu coba sendiri lah Yon,” jawab To, sungkan kepada pacarnya.

To pun mulai menggoyangkan pinggulnya dengan santai, dia ingin menikmati setiap sentuhan antara penisnya dengan dinding vagina sempit mili Rena. Untung saja Rena sudah sampai tiga kali orgasme sehingga tidak terlalu sulit memasuki vagina sempitnya. Vagina sempit hasil senam rutin Rena selama ini, karena setelah melahirkan dia mendapat komplain dari suaminya yang merasa vaginanya melebar. Kini, selain suaminya, malah ada pria lain yang menikmati hasil senamnya selama ini, dan bahkan mungkin ketiga pria lainnya juga akan menikmatinya juga.

Rena hanya mendesah-desah kecil, dia menahan desahannya, tidak ingin terlihat menikmati permainan To. Bagaimanapun juga dia adalah istri orang, yang sebelum ini adalah seorang istri yang sangat setia kepada suaminya. Ia ingin menjaga martabatnya sebagai istri setia dengan tidak menikmati permainan To.

Namun lambat laun desakan birahinya tak bisa ia bendung lagi. Permainan To, penis besarnya, goyangannya, sungguh terlalu nikmat. Pinggulnya bahkan mulai merespon setiap gerakan To. Dari bibirnya mulai terdengar desahan-desahan lembut. Nuraninya tidak ingin menikmati, namun kali ini kalah dengan naluri kewanitaannya.

“Aaaahh,, aahh,, aaahhh,, oohhh,, ooohhh,” desahan Rena semakin terdengar saat To mencumbui payudara indah Rena. Masih kencang, meski sudah dipakai menyusui. To menggigit-gigit payudara itu meninggalkan sejumlah cupangan disana. Dia juga membuat jejak-jejak di sepanjang leher hingga ke dada Rena.

Rena hanya berharap ketika suaminya pulang nanti bekas-bekas cupangan ini sudah hilang semua. Dia tidak mau perbuatannya ini sampai tercium oleh suaminya.

“Gimana mbak, enak kan kontol saya?” tanya To sambil menciumi telinga Rena.
“Eeemmhh,, aahhh,, aaaahhh,” dia tak mau menjawab, meski tak bisa dipungkiri oleh tubuhnya, ini sangat nikmat.

To mempercepat goyangannya, dia memeluk erat tubuh Rena. Dirasakan vagina Rena semakin berkedut, nampaknya akan segera membanjiri batang penisnya. Rena semakin mendesah, dia merasakan puncaknya sebentar lagi akan datang. Namun dengan sangat tiba-tiba To menghentikan gerakannya.

Rena memandang nanar To, seolah sesuatu yang amat ia inginkan hilang begitu saja. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan TO untuk melanjutkan gerakannya. Klimaksnya sudah diujung tanduk. Namun To hanya tersenyum saja membelai wajah Rena, tanpa melanjutkan gerakannya.

To bahkan merasa ada sedikit gerakan di pinggul Rena, bergerak lembut menjemput klimaksnya. To tahu Rena masih malu untuk meminta, tapi To ingin mendengar Rena meminta, memohon dituntaskan birahinya, yang artinya adalah penyerahan total diri Rena kepada dirinya.

“Gimana mbak? Enak nggak kontol saya? Kok diem aja,” tanya To sambil tersenyum menggoda Rena.

Rena tersipu, wajahnya makin memerah, lantaran birahi bercampur rasa malunya. Dia berpaling, lalu mengangguk kecil. Dia masih terlalu malu untuk mengakui dirinya menginginkan lebih, ingin segera dipuaskan.

“Kenapa mbak? Kok ngangguk gitu? Nggak enak ya kontol saya? Ya udah deh tak cabut ya mbak,” kata To semakin menggoda Rena, dengan menarik lembut penisnya.

Rena reflek, menahan gerakan To dengan kedua kaki dan tangannya. To hanya tersenyum melihat mangsanya yang semakin tersipu itu.

“Iyaa mas, enak,” ucap Rena lirih, sangat lirih nyaris tak terdengar.
“Apa mbak? Saya nggak dengar, mbak ngomong apa tadi? Lagian mbak ngomong sama siapa kok nengok kesana?”

Dengan wajah yang sudah memerah, Rena memalingkan wajahnya menatap To, wajah yang jauh dari kata fotogenik itu. Dia kalah, dia menyerah, Rena takluk pada birahinya, dia membuang semua rasa malunya, lalu,

“Iya mas, penis mas enak banget di vagina saya,” ucap Rena lebih keras.
“Apa mbak? Penis? Vagina? Apa itu mbak?” tanya To dengan ekspresi pura-pura bodoh.

“Iya maaas, kontol mas enak banget di memekku, entotin aku lagi maaass,” Rena menyerah, tak pernah sekalipun sebelumnya dia sevulgar ini. Kedua tangan dan kakinya semakin erat memeluk To sambil digoyangkan pinggulnya.

“Enakan mana sama kontol suamimu mbak? Oh iya mbak namanya siapa?” tanya To lagi.
“Enakan kontolmu mas, kontol suamiku kecil, oohh entotin aku mas, entotin Renataaaahhh,” kali ini To langsung memompa kembali penisnya dengan kuat, sambil ia lumat bibir Rena. Renapun kali ini membalas setiap lumatan To, dia menghisap-hisap bibir tonggos itu, membelit-belit dan menghisapi lidahnya. Rena sudah tidak peduli lagi, dia hanya ingin nafsunya dituntaskan.

Kedua insan berlainan jenis itu terus mengayuh birahinya. Diriingi tawa dari semua orang yang ada di ruangan itu, tawa mendengar pengakuan jujur dari Rena, tawa melihat Rena telah sepenuhnya takluk dalam permainan mereka.

“Aaaahhh,, aaaahhh teruss maashhh Rena mau dapet, teruss entotin Rena masss,” pinta Rena tanpa sungkan lagi sekarang.
“Terima kontolku ini mbak, nikmati kontolku ini, aahh,, aahh,” To pun mendesah menikmati betapa legitnya liang vagina Rena.

“Akuu mau dapeet mass, aakhuuu aaahhhhhh,” Rena memeluk erat tubuh To, dia klimaks lagi, lebih nikmat dari sebelumnya. Badannya mengejat-ejat, pinggulnya terangkat, liang vaginanya meremas kuat penis To di dalamnya.

Tanpa memberi banyak waktu istirahat kepada Rena, To membalikkan tubuh mungil itu, lalu menusukkan lagi batang kemaluannya ke vagina Rena yang masih berkedut. To memompa penisnya dengan kasar, dia tak mampu bertahan lebih lama lagi, vagina ini terlalu nikmat buatnya. Tak sampai 3 menit kemudian,

“Aaaahhh mbaak Renaaa, aku mau keluaarrrh, aaahhh,” ucap To, pompaannya makin kasar.
“Aaahh jangaaan di dalaaamm maassss aahhhhhh.”
“Terima ini mbaakkhh aaaahhhhh aku keluaaaaarrrrhhh,” To menancapkan penisnya dalam-dalam, tangannya meremas kuat pinggul Rena.

Croot,, Croot,, Croot,, banyak sekali sperma keluar di vagina Rena, sementara badan Rena pun mengejang, dia mendapatkan orgasmenya lagi akibat semburan sperma To. To segera mencabut penisnya, membalikkan badan Rena, dan dengan cepat memasukkan penisnya ke mulut mungil Rena.

“Bersihin kontolku mbak, isepin semua pejuhnya,” kata To.
“Eeeemmmpphh,, Eeeeemmmpphhh,” Rena gelagapan menerima penis To, dirasakan cairan asin bercampur dengan bau cairan kewanitaannya. Mau tidak mau Rena segera menjilati membersihkan penis To agar cepat ditarik dari mulutnya.

“Aaahh, nikmat banget kamu mbak, hahaha,” kata To saat penisnya keluar dari mulut Rena dan melihat Rena terbatuk-batuk karenanya. 

Rena terpejam, dirasakannya ada cairan yang meluncur keluar dari lubang vaginanya, terasa menggelitik liang kemaluannya. Dia masih terengah-engah, menikmati persetubuhan paling nikmat dalam hidupnya. Sesaat dia melupakan suaminya. Saat ini dia hanya menikmati apa yang sedang dirasakannya.

Belum selesai ia menikmati kepuasan yang baru saja didapatnya, dia merasa kedua kakinya diangkat, dan di renggangkan, kemudian sebuah penis yang tak kalah besarnya dari punya To dari merangsek memasuki vaginanya. Rena membuka matanya, Yon. Pria yang tadi menyetubuhi Ci Devi dan pacarnya To, kini menyetubuhinya.

Sementara pacar To mendekati dirinya, menciumi bibirnya dengan ganas, melumati setiap inchi dari bibir tipis itu. Tak berapa lama gadis itu berjongkok tepat di atas muka Rena, memposisikan vaginanya tepat di atas bibir Rena.

“Jilatin memekku mbak, bersihin pejuhnya si Yon,” perintah gadis itu.

Entah karena sudah terbawa birahi atau apa, Rena menurut saja. Ini adalah pertama kalinya dia menciumi kelamin seorang wanita. Rasanya aneh, apalagi bercampur dengan sperma pria-pria yang tadi menyenggamainya. Saat vaginanya sedang dioral Rena, pacar To kemudian mengulum penis pria lain yang ada dihadapannya.

Dari sudut matanya Rena melihat To sedang bergumul dengan gadis berambut ikal, sedangkan Ci Devi nampak sedang menunggangi seorang pemuda kurus. Pemandangan yang sangat erotis, dimana 4 pasang pria dan wanita sedang bergumul dengan panasnya. 4 orang wanita yang secara wajah maupun bentuk tubuh yang bisa dibilang di atas rata-rata, sedang memacu birahi dengan 4 pemuda yang wajahnya di bawah rata-rata, namun memiliki senjata yang mampu membuat keempat wanita ini klepek-klepek.

Permainan ini terus berlanjut hingga jam 3 pagi, hingga semua orang tak sanggup lagi melanjutkannya. Keempat wanita itu terbaring berdekatan, dengan lelehan sperma yang memenuhi wajah, badan, hingga lubang vagina dan anus mereka.

Permainan yang membawa Rena ke sebuah pengalaman baru. Selama tiga tahun pernikahan yang dia jalani, dia adalah seorang istri yang memegang teguh norma kesetiaan. Tak pernah sekalipun dia berpikir untuk menyeleweng dari suaminya. Beberapa lelaki yang mendekati dia tolak dengan halus, karena kesetiaannya kepada suaminya.

Namun malam ini, kesetiaan itu sirna sudah. Bukan hanya satu, tapi empat orang pria telah berhasil menancapkan penis kokoh mereka ke vaginanya. Mulutnya yang selama ini hanya pernah mengulum penis suaminya, malam ini sudah mengulum empat penis lain, bahkan juga menjilati vagina ketiga wanita di sampingnya itu, hal yang sama sekali tak pernah terpikir olehnya.

Malam ini juga menjadi saksi, To mengambil keperawanan lubangnya yang tersisa, dan diteruskan dimasuki oleh ketiga lelaki lainnya. Dia menikmatinya, bagaimana bercinta dengan pria lain, bagaimana bercinta dikeroyok tiga orang sekaligus yang masing-masing memasukkan penisnya ke tiga lubang yang dia punya.

Sakit hanya dia rasakan di awal, namun selanjutnya betapa dia menikmati permainan ini. Badannya penuh dengan peluh dan sperma. Sekujur leher dan dadanya penuh dengan bekas cupangan dari keempat pria itu, kondisi yang tidak berbeda jauh dialami oleh ketiga wanita yang lainnya.

Renata segera berbenah, dia harus segera kembali ke hotel. Dia memakai pakaiannya seadanya. Pakaian dalamnya tak bisa dia temukan, entah sudah terlempar kemana. Pakaian yang dia pakai pun penuh dengan bercak sperma yang mulai mengering. Bau sperma yang cukup menyengat itu dia tutupi dengan menyemprotkan parfum ke seluruh permukan tubuh dan bajunya.

Dia berjalan tertatih, masih terasa perih di selangkangannya. Akhirnya pria kurus yang terakhir menyenggamainya tadi menawarkan diri mengantarkannya. Rena sempat menolak, tapi akhirnya mau setelah dipaksa Ci Devi. Dengan perlahan Rena dituntun masuk ke mobilnya, kemudian si pria kurus ini mengemudikan mobil itu menuju hotel.

Sesampainya di hotel, ternyata Rena tidak bisa langsung beristirahat. Dia digarap habis-habisan lagi oleh pria kurus itu hingga tak sadarkan diri, saat keduanya terlelap berangkulan dengan kedua kelamin yang masih menyatu, tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh mereka.

***
June, 20th 2014

POV Safitri

Safitri Rahmadianti

Banyak orang yang bilang, atau mungkin punya keinginan, bahkan cita-cita, ketika saatnya nanti kita harus pergi dari dunia ini, itu adalah saat dimana kita sedang melakukan apa yang kita suka, yang menjadi profesi kita, yang menjadi hobby kita, apa yang menjadi passion kita. Untuk apa? Demi sebuah penghargaan? Atau untuk kebanggaan? Lalu apa gunanya semua itu kalau sudah tidak ada lagi di dunia ini?

Yang tersisa hanyalah kesedihan dan rasa kehilangan bagi yang ditinggalkan. Seperti apapun prosesnya, apalagi harus dengan cara yang tragis, kepergian orang yang kita cintai tetaplah membekas sebagai sebuah kesedihan dan kehilangan. Memang, siap atau tidak kita harus merelakannya, tapi rasa sedih dan kehilangan tak lantas pergi begitu saja.

Setahun lalu, ketika orang yang aku cintai dan mengisi kehidupanku selama hampir 6 tahun, harus pergi selamanya saat menjalankan tugas. Sebuah penggerebekan gembong narkoba yang berakhir harus dengan baku tembak karena bocornya informasi. Beberapa korban dari kedua belah pihak, dan salah satunya adalah suamiku. 

Kabar yang meruntuhkan duniaku saat itu. Kebahagiaan yang sedang kami bangun, saat kami sedang menyaksikan Andin tumbuh menjadi gadis kecil yang menggemaskan. Tiba-tiba kami harus kehilangan seorang lelaki yang begitu baik dan bertanggung jawab. Seorang pelindung sekaligus pengayom bagi keluarga kecil ini.

Tangisan tiada henti nggak akan mengembalikannya ke tengah-tengah kami lagi. Pada akhirnya, senyuman polos dari wajah Andin lah yang menguatkanku untuk menjalani hari-hari ini, dan selanjutnya.

***
Hari sudah sore, saat aku masih berdiri di tempat peristirahatan terakhirnya. Hari ini tepat setahun kepergiannya. Sebait doa telah terucap beriring dengan tetesan air mata. Bukan hanya tetes air mata kesedihan atau kehilangan. Tapi juga pada sebuah penyesalan dan rasa bersalah yang sangat mendalam. Rasa bersalah atas dosa dan pengkhianatan yang telah terjadi. Sebuah pemaksaan pada awalnya, namun tak bisa aku hindari selanjutnya, dan hingga saat ini.

Drrrttt.. Drrrttt.. Drrrttt.. Kulihat layar ponsel pintarku yang ku setting mode senyap, lalu segera kujawab panggilan itu.

“Hallo, assalamualaikum mah,” salamku.
Waalaikumsalam. Kamu belum pulang Fit?,” jawab mama mertuaku dari ujung sana.
“Iya mah ini udah pulang kok, lagi mampir ke tempat Mas Guntur,” jawabku.
Oh ya udah kalau gitu, nanti pulangnya beli lauk sekalian ya Fit, mbak Wati nggak sempat masak tadi, dia pulang duluan katanya suaminya sakit,” terang mama mertuaku.
“Oh iya mah nanti Fitri belikan lauk sekalian, ada lagi mah?” tanyaku.
Udah itu aja, kamu ati-ati ya pulangnya nanti, assalamualaikum,” tutupnya.
“Iya mah, waalaikumsalam," pungkasku.

Aku memasukan lagi ponsel pintarku ke dalam tas, lalu berpamitan pada suamiku.

Mas, Fitri pulang dulu. Semoga tenang disana mas, dan maafkan Fitri,’ batinku meminta pamit, dengan rasa sesak di dadaku dan air mata yang kembali menetes.

Malam itu kami makan malam bertiga. Suasana ceria dengan celotehan Andin yang lucu dan menggemaskan, yang selalu menjadi penghibur bagiku dan neneknya. Besok aku libur, akan kuajak dia jalan-jalan, sekalian membeli beberapa perlengkapan sekolah, karena sebentar lagi Andin akan masuk ke dunia barunya.

Aku sudah berbaring di ranjangku, yang setahun ini aku tempati sendiri. Mataku terpejam, namun masih belum bisa terlelap. Hampir setiap malam seperti ini, masih merindukan sosok mendiang suamiku berada di sampingku, memeluku memberikan rasa nyaman dan damai. Bayangan-bayangan indah yang selama ini kami lewati muncul lagi, membuat bibir ini tersenyum, namun air mata juga ikut menetes.

Karena bayangan lain juga ikut muncul. Bayangan seorang lelaki yang telah memaksaku mengkhianati janji setiaku, yang menjadi mimpi-mimpi burukku lebih dari setahun yang lalu. Kemudian diikuti bayangan seorang lelaki lainnya, yang sempat menjadi penyelamatku pada awalnya, namun membawaku ke pengkhianatan lain pada akhirnya.

***
“Aaahh,, oohh,, memek kamu masih sempit aja Fit, peret dan menggigit,” ucap seorang pria yang sedang menyetubuhiku dari belakang.

“Hhmm,, mmmmpphh,” aku menutup erat bibirku, menahan agar tidak merintih, menolak untuk menikmati pergumulan ini.

“Oough,, aaahh,, ngentotin kamu pake seragam gini, bikin aku tambah bergairah Fit,, ooughh nggak bosen-bosen aku ngentotin memekmu Fit,” ceracaunya lagi melecehkanku.

Aku berdiri menungging, tubuhku tertelungkup di meja, sementara kedua tanganku ditelikung di punggungku sambil dipeganginya. Baju seragamku masih lengkap, bagian atas belum terbuka sama sekali, sedangkan rok cokelat tuaku sudah tersingkap hingga ke pinggang. Celana dalamku? Ah entah kemana rimbanya. Begitupun lelaki di belakangku. Atasannya masih lengkap, sementara celana dan celana dalamnya melorot sampai mata kaki.

Penis hitam itu sudah 5 menitan mengaduk-aduk liang peranakanku. Aku berusaha keras untuk tidak menikmati permainan kasarnya. Wajahku menempel di meja, bibir terkatup dan mata terpejam, menekan keinginan untuk menikmati cumbuan lelaki itu. Air mata juga sudah sedari tadi menetes, namun tak ada iba darinya, tidak ada. Hanya nafsu binatangnya yang membuat kini dia mengasari liang vaginaku.

“Oouhh,, oooghh,, ngentot istri orang memang lebih mantap, apalagi memek kamu Fit, memek wanita terhormat, jauh lebih nikmat daripada pelacur-pelacur di pasar bunga itu,” aku semakin dilecehkan, bahkan dibandingkan dengan pelacur. Sakit rasanya hati ini, perih dan terhina, namun aku tak mampu berbuat banyak.

Tiba-tiba, BRAAAAKKK. Pintu ruangan ini didobrak sedemikian keras, hingga tubuh kami terlonjak saking kagetnya. Reflek ku turunkan rok dinasku, menyeka air mata yang sudah membasahi pipiku, saat melihat seseorang berdiri di depan pintu dengan wajah merah penuh amarah.

“Apa-apaan ini? Dasar biadab kamu Marto. Segera menghadap ke ruangan saya!” suara yang tegas dari pimpinan kami, Pak Wijaya.

***
Kriiiiiiiinggg.. Kriiiiiiiinggg..

Aku tersentak bangun seketika oleh bunyi alarm, nafasku memburu, badanku basah oleh peluh. Mimpi buruk itu datang lagi, entah sudah keberapa kalinya. Mimpi, yang memang benar-benar terjadi beberapa minggu sebelum kepergian suamiku. Ketika aku sedang dipaksa melayani nafsu lelaki itu, ketika atasan kami memergoki kami dan akhirnya kami harus menghadap.

Sebelum sempat dipergoki oleh atasanku, berkali-kali sudah aku dipaksa melayani nafsu bejat rekan kerjaku ini. Marto namanya, dia adalah oknum petugas yang memeliki moral yang bejat, tabiatnya buruk. Selain aku, Marto sudah berhasil memaksa beberapa orang wanita untuk menjadi pelayan nafsunya, baik itu sesama rekan kerja, maupun istri-istri rekan kerjaku.

Terutama bagi anggota yang masih baru, ada saja cara Marto mendekatinya. Ada yang berhasil dia gauli dengan pemaksaan, ancaman, dan juga bantuan obat perangsang, seperti yang pernah dia lakukan kepadaku. Setelah berhasil meniduriku, dia berkali-kali memintaku melayani nafsu binatangnya, kadang di kantor saat kondisi sudah sepi, tapi lebih seringnya kami melakukan itu dirumahnya.

Kalau sudah berada di rumah kontrakan Marto, kami harus selalu siap dijadikan apapun untuk memenuhi fantasinya. Aku bahkan pernah mendengar cerita dari seorang juniorku, dia dan seorang lagi, dipaksa melayani Marto dan dua orang teman premannya. Mendengar itu aku sempat bersyukur, aku tidak pernah dipaksa melayani orang lain lagi.

Namun sore itu, nampaknya menjadi hari sial bagi Marto. Saat dia sedang memaksaku melayani nafsunya di kantor, saat itulah perbuatannya tertangkap basah oleh Pak Wijaya, atasan kami, yang membuatnya murka.

Pak Wijaya sempat melihat bagaimana aku terlihat seperti dipaksa, tidak menimpakan kesalahan berat ke aku. Aku hanya dikenai sanksi ringan, sementara lelaki yang menyetubuhiku diberikan sanksi berupa mutasi ke daerah terpencil di luar pulau sana, dan kabarnya penurunan pangkat, entahlah tapi aku bersyukur bisa lepas dari cengkraman birahinya, dan bersyukur suamiku tidak harus sampai mengetahuinya.

Peristiwa itu sudah setahun lebih, tapi masih saja datang di mimpi-mimpiku, yang membuatku selalu merasa bersalah kepada mendiang suamiku. Semakin bersalah lagi ketika pada akhirnya justru Pak Wijaya, orang yang begitu kuhormati sebagai panutan, yang berhasil membuat tubuhku ini menjadi miliknya. Meskipun dengan perlakuan yang beda, lembut dan penuh kasih, bahkan sangat perhatian kepada putriku. 

Haah sudahlah, aku segera saja membersihkan diri, bersuci dan beribadah. Lalu melakukan aktivitasku sehari-hari. Tapi hari ini, sekalian menyiapkan keperluan untuk jalan-jalan bersama anak dan mertuaku ini. Hari ini,totally is family time, so don’t let anything disturb our plan.

Hari ini aku mengajak Andin dan mertuaku ke mall, untuk membelikan perlengkapan sekolahnya, dan sekalian agar Andin bisa bermain-main di time zone. Sesekali bolehlah mengajaknya ke mall, setelah minggu lalu kami berwisata di kawasan pantai Gunung Kidul yang indah.

Setelah sekitar 3 jam berkeliling dan belanja, kamipun menuju food court di lantai atas mall ini untuk mengisi perut. Melihat ekspresi kegembiraan gadis kecil ini, membuatku dan neneknya turut merasa bahagia, apalagi saat melihat anak itu makan dengan lahapnya. Aku bersyukur, dia masih bisa sebahagia ini tanpa kehadiran ayahnya. Bahkan pernah saat seseorang bertanya dimana ayahnya, dengan tersenyum dia menjawab, “ayah udah tenang di surga om”.

Sekitar 30 menit kami berada disini, sampai mataku sekilas menangkap bayangan seseorang tengah mengamati kami dari kejauhan. Aku tajamkan pengelihatanku, wajah yang familiar, sangat familiar, sedang tersenyum ke arah kami.

Deg, aku tersentak, wajahku memucat sesaat, tanpa disadari oleh anak dan mertuaku. Tak lama orang itu pergi menjauh dari pandanganku, menghilang di antara keramaian pengunjung. Orang itu, dia ada disini. Dia kembali, tapi bagaimana mungkin? Perasaanku menjadi tak enak. Kegelisahan menyelimutiku, namun segera kusembunyikan dibalik senyumku saat Andin memanggilku. Tapi, apakah itu benar-benar dia? Bagaimana mungkin dia bisa ada disini? Sebuah kebetulan, ataukah…?

***

to be continue

Tidak ada komentar :

Posting Komentar