Present
Di Markas Marto


Dengan penerangan seadanya karena memang untuk menghindari tempat ini diketahui oleh musuh, Marto dan ketiga rekannya sedang mempersiapkan diri mereka masing-masing. Waktu sudah menunjukkan jam 19.40, sebentar lagi kedua orang yang mereka tunggu-tunggu akan datang ke gudang yang telah mereka persiapkan.

Marto yang tidak akan kemana-mana hanya memeriksa kembali senapan SPR-3 yang sudah menemaninya selama beberapa minggu ini. Dengan senapan yang cukup ringan ini tentunya akan memudahkan dia dalam bergerak membidik targetnya. Senapan ini dilengkapi dengannight vision pada teropongnya sehingga akan memudahkannya mencari dan menembak targetnya. Tak lupa dia memasang peredam suara untuk menghindari musuh menemukan lokasinya. Marto juga mempersiapkan amunisi yang juga telah disiapkan oleh Rio. Semua sudah siap untuk Marto.

Berbeda dengan Marto, ketiga rekannya sedikit lebih repot untuk mempersiapkan diri mereka. Masing-masing dari mereka membawa sebuah senapan serbu SS2-V5 Kal 5,56 mm beserta beberapa buah magazine. Senapan ini dipilih salah satu alasannya adalah karena cukup ringan tak sampai 4 kg, sehingga akan memudahkan dalam bergerak.

Selain itu mereka juga menyiapkan masing-masing dua buah pistol G2 Combat Kal 9 mm lengkap dengan beberapa magazine. Melihat jumlah musuh mereka beranggapan bahwa senjata yang mereka bawa ini sudah cukup, karena juga akan mendapatkan bantuan dari Marto. Doni dan Karim memiliki kemampuan tempur jarak dekan yang sedikit lebih baik ketimbang Rio, namun menurut Marto, ketiganya tetap lebih baik ketimbang para anak musuh-musuh mereka.

Tak lupa pula ketiga rekan Marto ini membungkus badannya dengan rompi anti peluru untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka juga menggunakan penutup kepala, dan night vision goggle karena meskipun di dalam gudang terang benderang, namun di luar sama sekali tidak ada penerangan, hanya beberapa cahaya saja yang keluar menembus celah-celah di dinding gudang.

Tak lupa mereka memasang alat komunikasi di telinga mereka untuk saling berkomunikasi terutama dengan Marto yang bisa melihat secara lebih luas di medan pertempuran nanti. Kini mereka sudah siap bertempur, saat tak lama kemudian Marto melihat sebuah mobil sedan pabrikan Inggris masuk ke area gudang. Sang boss telah datang, itu artinya waktu mereka untuk bergerak sudah dekat.

“Yo, boss mereka udah datang tuh, kalian udah siap?” tanya Marto.

“Oke, semua sudah siap, kita tunggu dulu beberapa menit, baru bergerak,” ujar Rio.

“Oke boss,” jawab Karim.

Roger that,” jawab Doni.

Marto masih mengamati pergerakan musuhnya melalui teropong yang ada di senapan runduknya. Terlihat olehnya kini Fuadi dan Baktiawan keluar dari mobil, disambut oleh Ramon. Ingin sebenarnya Marto segera menarik pelatuknya untuk menghabisi Baktiawan dan Ramon, namun dia harus menahan diri atau rencana yang sudah mereka buat dengan matang jadi berantakan. Sekitar 15 menit kemudian Rio memberikan aba-aba kepada Doni dan Karim untuk bersiap.

“Oke, sepertinya cukup, kita bisa bergerak sekarang,” ujar Rio.

“Lha katanya nunggu setengah sampai sejam?” tanya Karim.

“Ya kan kita harus bergerak memutar ke belakang gudang mas, entar juga jadinya setengah jam akhirnya,” jawab Rio.

“Haha iya iya boss, gitu aja sewot. Yuk ah bergerak, udah gatal ini tanganku,” ujar Karim.

“Sip. Sebelum berangkat kita berdoa dulu, semoga misi kita kali ini sukses. Dan ingat, mereka aja yang mati, kita jangan ya.”

Mereka pun hening sejenak, berdoa menurut keyakinan mereka masing-masing, meminta kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan perlindungan dan keselamatan, dan juga kemudahan dalam menjalankan misi ini. Setelah selesai, mereka memandang satu sama lain sambil tersenyum. Tak terasa adrenalin mereka mulai terpacu, sudah sangat lama mereka tak merasakan hal seperti ini.

“Wah, semangatku jadi berlipat-lipat ini, udah nggak sabar pengen ledakin kepala mereka,” ucap Doni.

“Iya nih, udah lama nggak numpahin darah para bandit,” sambung Karim.

“Baiklah teman-teman, let’s get the party started," ujar Rio.

Mereka pun menyatukan tangannya di tengah. Saling melihat satu sama lain, saling tersenyum, saling meyakinkan, saling memberi dorongan dan semangat, saling menguatkan. Dan dalam hitungan ketiga, empat pria itu mengangkat tangannya dan serentak berteriak, “Vanquish!”

***

“Malam boss,” sapa Ramon.

“Malam. Wah gelap sekali Mon?” tanya Fuadi.

“Ya biar nggak terlalu mencolok dari jauh boss, kalau di dalam terang kok itu. Mari boss masuk,” ajak Ramon.

Bagi Baktiawan tempat ini memang sudah tidak asing lagi, meskipun sekarang memang sudah dirubah bagian dalamnya untuk keperluan acara mereka malam ini, namun paling tidak gudang ini pernah menjadi saksi dia memulai bisnis haramnya. Dikamuflasekan sebagai tempat penggilingan pagi, namun selain itu ada aktivitas lain, yang perputaran uangnya tentu saja jauh lebih besar, karena itulah bangunan ini bertahan cukup lama.

Begitu Ramon membukakan pintu untuk kedua bossnya itu, langsung saja terdengar desahan dan teriakan wanita, yang mau tidak mau turut mengundang perhatian para anak buah mereka yang berjaga-jaga di luar gudang. Beberapa sempat mengintip sebelum Ramon kembali menutup pintu gudang, sebagian lagi lebih beruntung karena bisa benar-benar melihat adegan yang terjadi di dalam meskipun hanya sesaat.

Namun begitu pintu ditutup, para penjaga itu mulai berusaha untuk fokus kembali kepada pekerjaannya. Memang tak bisa dipungkiri apa yang baru saja mereka dengar, dan bagi sebagian yang lain sempat melihat apa yang terjadi di dalam, tentu saja terngiang di benak mereka bagaimana jika mereka sendiri yang mengalaminya, pasti menyenangkan. Namun mereka harus bersabar, menunggu selesainya urusan kedua boss besar mereka, karena Toro dan Ramon sudah menjanjikan bonus kepada mereka semua.

Bonus itu tentu saja bukan nominal uang, tapi berupa barang haram yang sudah menjadi bagian dalam keseharian mereka, dan tentu saja, wanita. Ada beberapa wanita yang dijanjikan kepada para penjaga itu, dan yang paling mereka tunggu-tunggu tentu saja seorang polwan yang akan diberikan kepada Toro, yang nantinya akan jatuh ke mereka juga.

Sementara itu di dalam, begitu masuk ke dalam gudang Fuadi dan Baktiawan tersenyum puas dengan hasil kerja Ramon dan para anak buahnya. Tempat ini sudah dibuat persis seperti permintaan mereka. saat ini mereka disuguhi dengan pemandangan erotis dimana keempat dedengkot preman anak buah mereka sedang menggumuli empat orang wanita cantik dengan kasarnya, hingga membuat keempat wanita yang sudah tersadar dari pingsannya itu berteriak kesakitan.

Ali saat ini sedang menancapkan penis besarnya di lubang anus Lia yang sebelumnya masih perawan. Lia dalam posisi menungging, rambutnya dijambak oleh tangan kanan Ali, sedang payudaranya diremas dengan kasar oleh tangan kiri pria itu. Lia yang sebelumnya tak pernah diperlakukan sekasar ini berteriak histeris merasakan liang anusnya terasa begitu perih, juga buah dadanya terasa begitu sakit. Air matanya mengalir tak tertahankan, sakit di sekujur tubuh dan juga sakit hatinya akibat pelecehan ini.

Nasib Nadya juga tak jauh berbeda, berteriak kesakitan setiap dirasakan penis besar Toro menerobos merobek lubang anusnya. Berbeda dengan Lia yang sudah telanjang bulat, Nadya masih memakai pakaiannya, meskipun sudah terbuka disana sini. Kerudung masih membalut kepalanya karena memang Toro sangat menyukai menyetubuhi seorang wanita yang memakai kerudung. Perlakuan yang diterima Nadya dari Toro tak kalah kasarnya dengan apa yang diterima Lia, apalagi penis Toro lebih besar daripada punya Ali.

Sedangkan Filli dan Renata, yang lubang anusnya sudah beberapa kali dimasuki penis tak terlihat sesakit Nadya dan Lia. Namun tetap saja dengan perlakuan kasar dari Joni dan Markus menjadikan persetubuhan ini terasa menyakitkan bagi kedua wanita kakak beradik yang kini juga tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh indahnya.

Keempat pimpinan bandit ini sempat melihat kedatangan Baktiawan dan Fuadi, dan mereka hanya menyapa dengan senyuman saja karena memang Fuadi memberikan isyarat untuk melanjutkan permainan mereka saja. Kini Fuadi dan Baktiawan menuju ke ruangan satunya dimana keempat orang yang terikat di kursi dan seorang wanita muda cantik jelita tergolek di kasur, masih tak sadarkan diri.

Fuadi yang dari awal memang sudah mengincar Ara, langsung mendekati wanita itu. Sedangkan Baktiawan lebih memilih untuk sedikit bersantai sambil menyalakan rokoknya. Fuadi sebenarnya sudah tak tahan ingin segera menikmati tubuh Ara, namun dia tahan dulu karena ingin melakukannya di depan kedua orang tua dan suaminya dalam keadaan mereka sadar.

“Ramon, coba bangunkan mereka,” perintah Baktiawan.

“Oke boss,” jawab Ramon.

Segera Ramon menuju ke kursi mereka satu persatu. Di masing-masing kursi itu telah disiapkan sebuah ember berisi penuh air untuk membangunkan mereka. Ramon memulainya dengan membangunkan Budi, kemudian, Wijaya lalu Aini dan Sakti. Ketika disiram air, mereka masih mengerjapkan mata, mencoba beradaptasi dengan cahaya lampu yang cukup terang setelah hampir seharian mata mereka tertutup.

Budi yang pertama kali mendapatkan kesadarannya, mengedarkan pandangannya ke penjuru gudang ini, lalu terhenti pada kedua orang perencana acara malam ini. Namun tak terlihat reaksi terkejut darinya, karena dia sudah tahu bahwa kejadiannya akan seperti ini. Namun pemandangan yang membuatnya emosi tentu saja saat melihat kedua kakak kandungnya disetubuhi dengan brutal oleh Joni dan Markus.

Wijaya yang kemudian tersadar, dan disusul Aini tak lama berselang, begitu terkejut dengan situasi ini. Tangan dan kaki mereka terikat erat di kursi sedangkan mulut mereka dibekap dengan lakban. Melihat adegan panas yang tersaji di ruang sebelah membuat hati mereka bergolak, terutama Wijaya, yang mengenali dua wanita diantaranya adalah kakak kandung dari menantunya. Aini pun tak kalah syok, bahkan langsung menangis tersedu menyadari apa yang sedang terjadi.

“Hallo Wijaya, gimana kabarmu sobat?” ledek Baktiawan.

“Mmmmppphhh, mmmppphhh,” hanya itu suara yang didengar Baktiawan karena mulut Wijaya yang masih tertutup.

“Mon, buka itu mulut mereka sekalian,” perintah Baktiawan kepada Ramon.

Tanpa menjawab Ramon pun membuka penutup mulut mereka, dimulai dari Wijaya dan Aini, yang langsung mendapat makian dan cacian dari mereka berdua.

“Bakti, Fuad, apa-apaan ini? Bangsat kalian! Lepaskan kami!” hardik Wijaya.

“Haha, lepaskan? Nanti Wijaya, setelah nyawa dan tubuh kalian berpisah, haha,” jawab Baktiawan.

“Huks Bakti, apa yang kamu lakukan, huks. Lepaskan kami, huks,” pinta Aini dalam tangisnya.

“Sabar dulu sayang, nanti ada pertunjukan dulu sebelum kalian kami lepaskan, haha,” ujar Baktiawan.

Saat kedua suami istri ini masih terus memaki dan menangis, Ramon melihat Budi yang mulutnya masih tertutup, tatapannya tajam sekali, namun sikapnya sangat tenang, seperti tidak sedang dalam emosi ataupun tertekan. Agak curiga sebenarnya Ramon dengan Budi, apakah selama ini kecurigaannya benar bahwa Budi selama ini yang membantu, atau setidaknya meminta bantuan seseorang untuk mengawasi dan melindungi istrinya sehingga terlampau sulit untuk ditaklukan.

Sementara itu terlihat tubuh Ara mulai menggeliat, pengaruh dari obat biusnya mulai menghilang. Melihat itu perlahan Fuadi mendekatinya, kemudian duduk di samping tubuh Ara. Tangannya mengelusi kepala Ara yang masih terbungkus kerudung dengan rapi, sambil sesekali mengusap wajah Ara dengan tangan gemuknya.

“Hei bajingan, jangan sentuh putriku!” bentak Wijaya, yang hanya ditanggapi dengan senyuman sinis oleh Fuadi.

Pada saat tubuh Ara makin menggeliat, terdengar rintihan halus dari bibir mungilnya, tangan Fuadi bahkan semakin kurang ajar. Kini tangan itu turun dan hinggap tepat di payudara Ara yang masih terbungkus bra dan pakaian kerjanya.

“Anjing, hentikan Fuad! Biadab kau!” makian Wijaya semakin keras beriring emosinya yang semakin meninggi.

Saat itu kembali Ramon memperhatikan bagaimana reaksi Budi, dan masih sama seperti tadi, seperti tidak ada pergolakan emosi disana. Atau apakah Budi memang pandai menyembunyikan rasa emosinya itu? Meskipun tatapannya masih tetap tajam, namun nafasnya terlihat masih normal, benar-benar tenang.

Bersamaan dengan itu terbangunlah Sakti dari pingsannya. Dia melenguh seperti merasakan kembali sakit akibat perkelahiannya tadi siang. Wajahnya masih penuh dengan luka lebam, sama seperti Budi. Saat kesadaran Sakti pulih, dia benar-benar terkejut melihat apa yang terjadi. Dia terikat, tangan dan kakinya, begitu juga Budi di sampingnya, juga ada Wijaya dan istrinya, kondisi mereka sama persis terikatnya.

Lalu di kasur tak jauh dari kursi mereka, terlihat Fuadi sedang mengelusi dan sesekali meremas dada Ara yang masih belum pulih benar dari pingsannya. Terlebih lagi dia mendengar teriakan wanita dari ruangan sebelah, dan matanya terbelalak melihat empat orang wanita yang pernah dikenalnya dulu saat pernikahan Budi, sedang dalam keadaan telanjang bulat kecuali Nadya. Keempat wanita itu nampak begitu menderita dan kesakitan karena hujaman penis besar di lubang anus mereka masing-masing.

Melihat papanya dan juga Fuadi justru tersenyum puas dalam situasi seperti ini membuat emosinya membuncah. Dia yang sudah mengetahui rencana papanya bersama dengan Fuadi itu memang sudah beberapa kali memperingatkan Budi melalui pesan wassap yang dia kirimkan dengan berbagai nomor seluler yang selalu berganti, namun tak pernah terpikir akan seperti ini, separah ini kejadiannya. Dia pun mencoba untuk meronta namun ikatan di kedua kaki dan tangannya begitu erat, hingga hanya biasa mengeluarkan suara tertahan saja.

“Mmmpppphhh, mmmppphhh,” suara teriakan tertahan Sakti terdengar sambil dirinya mencoba untuk meronta.

“Haha, sudah bangun kau nak? Mon, buka sekalian mulut anak itu,” ujar Baktiawan melihat Sakti.

Saat itu lah Ara pun terbangun dari pingsannya, merasakan payudaranya diremas lembut oleh seseorang. Matanya terbelalak saat melihat wajah yang pernah dilihatnya saat pernikahannya dulu, kini berada tak jauh dari dirinya, dengan senyum yang terasa begitu menjijikan bagi Ara, dan tangan pria itu sedang meremasi payudaranya. Ara mencoba meronta namun tangan dan kakinya terikat, tak bisa digerakan.

“Oom, apa-apaan ini, lepasin Ara! Ara nggak mauuu!” teriak Ara.

“Hehe, nikmati aja sayang, jangan berontak gitu ah, nggak enak dilihat sama ayah ibu dan suamimu,” ucap Fuadi yang membuat Ara tersentak, lalu melihat ke sekitar.

“Bajingan kau Fuad, jauhkan tanganmu dari putriku cepat! Kubunuh kau Fuad!” ancam Wijaya yang belum sempat dijawab oleh Fuadi saat terdengar Sakti berteriak.

“Papa, apa yang papa lakukan?! Hentikan semua ini!” bentak Sakti dengan emosi.

“Diam saja kamu Sak, dan nikmatilah bagaimana adikmu itu akan diajari oleh Om Fuadi menjadi wanita dewasa, haha,” ujar Baktiawan.

“Aa, apa? Adik?” tanya Sakti tak mengerti.

“Ya, kamu harus melihat apa yang akan kami lakukan terhadap adikmu Ara, Saktiawan Wijaya.”

***

to be continue…