Chapter 24
The Bloody New Year
Sudah hampir 15 menit Rio, Doni dan Karim meninggalkan Marto untuk menuju ke gudang itu, namun dalam pengamatan Marto melalui teleskopnya belum ada tanda-tanda ketiga orang itu berada di tempat yang sudah mereka rencanakan tadi.
“Hei, dimana kalian kok belum kelihatan?” tanya Marto melalui alat komunikasinya.
“
Masih jalan ini bang,” jawab Rio terdengar di telinga Marto.
“Haduh kok lama sekali?” tanya Marto lagi.
“
Ah elah, gelap kali bang, susah ini, mana si Rio nggak nyiapin jalurnya lagi,” jawab Karim.
“
Eh kampret, lu kira jalan-jalan dibuatin jalur?
Kalau ada jalurnya ya ketahuan lah kita, gimana sih,” sahut Rio sewot.
“
Haha, udah udah, kalian ini malah ribut aja, ayo buruan jalan,” ujar Doni.
“
Ini lagi, lu enak banget dari tadi ngekor mulu di belakang,” jawab Karim, ikut-ikutan sewot.
“
Yaa kan emang gue nggak tahu tempatnya, Onta,” jawab Doni tak kalah sewot.
“Hahaha,” Marto tertawa geli dengan tingkah ketiga rekannya itu.
“
Diem bang!” bentak ketiganya bersamaan, yang tentu saja membuat tawa Marto semakin keras, meskipun tidak terlalu keras, karena dia juga tahu harus menjaga ketenangan di markasnya sekarang agar tak diketahui oleh musuh.
Ketiga teman Marto ini memang kalau sudah berkumpul ada-ada saja kelakuannya, meskipun sedang dalam menjalankan misi berbahaya sekalipun, mereka tak pernah lepas dari perdebatan konyol yang pada akhirnya selalu membawa tawa bagi yang melihat ataupun mendengarnya. Entah untuk mengurangi ketegangan yang mereka rasakan, atau apapun sebabnya Marto tak tahu, tapi yang jelas dia sudah sangat lama sekali tidak melihat dan mendengar tingkah aneh teman-temannya itu.
“
Nah, itu dia, bentar lagi sampai,” terdengar suara Rio membuyarkan lamunan Marto.
“
Cihuiii, tangan gua udah gatel banget ini, iya nggak Don?” tanya Karim.
“
Yoi bro, kita sikat mereka, head shot ya Rim,” jawab Doni.
“
Ooo jelas itu,” sahut Karim.
“Inget, tetep hati-hati, jangan sampai kalian kenapa-napa,” ujar Marto memperingatkan ketiga temannya, yang beberapa saat lalu masih berdebat konyol.
“
Oke bang bro,” jawab ketiganya serentak.
Marto yang lebih tua dibanding ketiganya memang sudah dianggap seperti kakak sendiri oleh mereka sehingga bagaimana pun baik Rio, Doni maupun Karim begitu menghormati Marto. Kali ini pun mereka bertiga menggantungkan keberhasilan misi ini kepada Marto yang mereka percayai akan melindungi mereka dari jauh, tanpa mereka sadari bahwa bahaya yang lebih besar mengancam mereka, bahaya yang juga tidak diketahui oleh Marto.
***
Satu jam sebelumnyaTok.. Tok.. Tok..
“Yak masuk!”
“Lapor komandan.”
“Oh Fadli, ada apa?” tanya Kompol Arjuna.
“Intel yang kita kirim untuk mengamati gudang yang kemungkinan menjadi lokasi penculikan Pak Wijaya dan keluarganya belum memberikan laporan ndan, bahkan sudah coba kami hubungi, tapi ponsel mereka tidak aktif,” lapor Fadli kepada komandannya.
“Jangan-jangan mereka ketahuan, dan terjadi hal buruk kepada mereka,” ujar Kompol Arjuna.
“Saya juga takutnya gitu ndan, tapi semoga saja tidak. Jadi gimana selanjutnya ndan?” tanya Fadli meminta instruksi.
“Tim sudah siap?” tanya Kompol Arjuna.
“Mereka sudah siap, tapi kita tidak tahu kondisi disana dan seberapa besar kekuatan lawan, jadi belum bisa memastikan berapa yang harus diberangkatkan,” jawab Fadli.
“Berangkatkan semuanya!” perintah Kompol Arjuna.
“Semua ndan?” tanya Fadli memastikan.
“Ya, kita belum tahu kekuatan mereka sebesar apa. Untuk jaga-jaga saja, karena saya yakin kalau sudah menyangkut Toro, ini bukan urusan main-main,” jawab Kompol Arjuna.
“Siap ndan, mohon ijin untuk berangkat.”
“Silahkan, saya tunggu kabarnya.”
“Oh iya, ada satu lagi ndan, kelupaan,” ujar Fadli sebelum sempat keluar dari ruangan.
“Ada apa?” tanya Kompol Arjuna.
“Mengenai saksi, kedua orang rekan Budi yang tadi siang ikut dikeroyok,” jawab Fadli.
“Oh iya, ada informasi apa?” tanya Kompol Arjuna lagi.
“Kebetulan tadi keduanya sudah sadar. Kami sudah bertanya kepada mereka, dan mereka bilang satu orang lagi yang diculik selain Budi adalah temannya yang bernama Sakti,” jawab Fadli.
“Sakti? Sakti siapa?” Kompol Arjuna mengernyitkan keningnya.
“Kami sudah selidiki, Sakti yang dimaksud kemungkinan besar adalah Saktiawan Mahendra, anak dari Baktiawan Mahendra,” jawab Fadli.
“Baktiawan Mahendra? Pengusaha properti itu?” tanya Kompol Arjuna lagi.
“Benar ndan. Sebenarnya bukan hanya properti tapi punya bisnis di bidang lain juga. Yang jelas dia salah satu pengusaha terkaya di negeri ini. Itu yang semakin membuat kami bingung. Kalau korban penculikan yang lain adalah keluarga dari Pak Wijaya, kenapa ada orang lain yang harus ikut diculik, rasanya tidak mungkin kalau motifnya adalah uang,” terang Fadli.
“Apa si Sakti atau Baktiawan ini ada hubungannya sama Pak Wijaya?” tanya Kompol Arjuna.
“Kami belum tahu ndan, hanya kalau Sakti memang teman kuliah Budi. Lalu apakah kita juga harus menghubungi Baktiawan untuk mengabarkan penculikan putranya ini?” tanya Fadli.
“Nanti biar aku saja. Sekarang kamu berangkat saja ke lokasi penculikan, lakukan penyelamatan secepatnya, dan bila diperlukan habisi mereka semua, kalian diijinkan untuk melepaskan tembakan,” perintah Kompol Arjuna.
“Siap ndan.”
Tak lama setelah Fadli meninggalkan ruangannya, pria paruh baya ini merenung memikirkan apa yang sedang terjadi. Nasib anak buahnya yang tadi dikirim untuk mengintai belum diketahui, lalu ada pula korban penculikan yang tak lain adalah anak salah satu pengusaha tersukses di negeri ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebenarnya diincar oleh Toro dan komplotannya itu sampai-sampai anak Baktiawan juga mereka culik?
Hari sudah gelap, tapi Kompol Arjuna belum meninggalkan kantornya. Dia masih ingin menunggu kabar dari Fadli tentang operasi kali ini, juga mengenai nasib Wijaya dan keluarganya, serta anak dari Baktiawan. Jika operasi kali ini berhasil, selain menyelamatkan atasannya dia juga sekaligus membersihkan para preman dan mafia yang saat ini sudah sangat meresahkan jajarannya.
Dia benar-benar tak menyangka bahwa Toro terlibat dengan semua ini, meskipun dia belum tahu pasti, namun keterangan dari Safitri tadi tampaknya memang sangat menyakinkan tentang keterlibatan boss preman di kota itu. Mengingat Toro membuat Kompol Arjuna kembali teringat Safitri. Ada rasa iba pada anak buahnya yang sudah lama menjanda itu. Nasibnya buruk sekali, disaat sedang berjuang membesarkan anaknya seorang diri, dia justru harus jatuh pada pelukan anak buah Toro, dan kemungkinan nanti akan jatuh pada pelukan Toro juga.
Dia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Safitri bila benar-benar jatuh ke dalam pelukan Toro, karena dulu pernah ada dua orang anak buahnya yang bernasib seperti itu akibat ulah Marto. Hal yang kemudian menjadikan Kompol Arjuna begitu mendendam kepada Marto dan Toro, karena salah satu dari kedua anak buahnya yang mereka kuasai itu masih memiliki hubungan saudara dengannya.
Namun diantara rasa ibanya itu, terselip rasa iri dalam hati Arjuna. Dia sendiri juga memiliki kekaguman kepada sosok Safitri, kekaguman secara fisik lebih tepatnya. Memang bukan wanita tercantik yang pernah dia kenal, namun entah kenapa Arjuna merasa ada sesuatu yang menarik dalam diri Safitri yang membuatnya cukup penasaran. Namun tak pernah berani untuk lebih dari sekedar mengagumi mengingat status dan posisi keduanya.
Akan tetapi mendengarkan cerita dari Safitri tadi mengenai bagaimana dia jatuh dalam pelukan anak buah Toro, membuat rasa penasarannya kepada Safitri yang sempat bisa dia tekan kini muncul lagi. Akhirnya dia pun mengambil ponselnya untuk menghubungi Safitri, siapa tahu wanita itu masih ada di kantor.
“
Hallo selamat malam komandan.”
“Selamat malam. Kamu udah pulang Fit?”
“
Belum komandan, saya masih di kantor.”
“Kalau begitu tolong ke ruangan saya sekarang, saya tunggu.”
“
Siap komandan.”
Sambungan telepon pun terputus. Safitri tentu saja heran kenapa atasannya itu menyuruhnya untuk menemuinya. Namun Safitri mencoba untuk berpikir positif saja, mungkin ini ada hubungannya dengan penculikan Wijaya. Safitri pun bergegas menuju ruangan Arjuna. Dia mengetuk pintu kemudian membukanya setelah mendengar jawaban dari dalam untuk menyuruhnya masuk.
“Selamat malam komandan.”
“Malam. Duduk Fit.”
“Ada apa ya komandan?” tanya Safitri setelah duduk di kursi di hadapan Kompol Arjuna.
“Udah jam segini kamu belum pulang masih ngapain?” tanya Kompol Arjuna sambil memandang Safitri yang masih memakai seragam dinasnya, dia belum pulang juga seharian ini.
“Hmm, saya juga masih menunggu kabar Pak Wijaya dan keluarganya ndan,” jawab Safitri.
“Kamu kenal sama yang namanya Sakti?” tanya Kompol Arjuna.
“Sakti? Sakti siapa ya ndan? Saya kurang familiar dengan nama itu,” jawab Safitri.
“Saktiawan Mahendra, anaknya Baktiawan Mahendra. Dia temannya Budi, yang ikut diculik tadi siang.”
Safitri hanya mengernyit, lalu menggelengkan kepala. Dari ekspresi dan tatapan matanya Kompol Arjuna tahu kalau Safitri benar-benar tidak mengetahui pemuda yang dia sebutkan namanya tadi. Tentu saja karena Safitri juga tidak terlalu mengenal dan dekat dengan keluarga dari Wijaya.
“Hmm, ada keperluan lain nggak ndan?” tanya Safitri, setelah agak lama komandannya itu terdiam.
“Ada. Ada yang mau saya bicarakan sama kamu, tentang yang tadi,” jawab Kompol Arjuna.
“Tentang yang tadi? Maksudnya yang mana komandan?” tanya Safitri kebingungan, namun sudah bisa menduga-duga.
“Tentang yang terjadi antara kamu dengan seseorang yang bernama Ramon itu.”
DEG. Jantung Safitri seolah terhenti, dia menelan ludahnya. Ini yang dia takutkan jika sampai menceritakan aibnya kepada orang lain. Namun dengan keadaan yang sangat terpaksa seperti tadi, dan juga berhadapan dengan Kompol Arjuna yang memiliki banyak pengalaman soal interogasi, membuat dia mau tak mau harus menceritakan aibnya, meskipun tidak semuanya.
“Saya kan tadi sudah janji sama kamu saya akan jaga rahasia ini,” ujar Kompol Arjuna melihat Safitri terdiam.
“Ii, iyaa komandan,” jawabnya singkat menganggukan kepala, karena memang benar-benar tak tahu apa yang harus dikatakan lagi. Pikirannya berkecamuk.
“Saya akan tepati janji saya, tapi saya ingin kamu melakukan sesuatu untuk saya, malam ini, saat ini,” lanjut Kompol Arjuna.
“Mme, melakukan apa ndan?” tanya Safitri, dia mulai gugup. Pikirannya sudah dipenuhi dengan dugaan-dugaan kira-kira apa yang diinginkan oleh komandannya itu.
Tak segera menjawab, Kompol Arjuna hanya tersenyum, lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu, kemudian menguncinya. Mengetahui hal itu dada Safitri makin berdebar tak karuan, dia bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Sambil menunggu kabar Pak Wijaya dari Fadli nanti, kita isi waktu dulu. Dan untuk mengisi waktu ini, saya minta kamu untuk…” Kompol Arjuna tak menyelesaikan perkataannya, menunggu reaksi dari Safitri.
Safitri sendiri hanya bisa menunggu kata-kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut Kompol Arjuna. Benaknya menduga-duga apa yang akan diminta oleh atasannya. Banyak hal buruk berseliweran di kepalanya. Apakah Kompol Arjuna ingin mengambil keuntungan dari situasi ini? Apakah Kompol Arjuna akan berbuat hal-hal tak senonoh pada dirinya? Atau jangan-jangan?
***
Present
Di dalam gudang“Papa, apa yang papa lakukan?! Hentikan semua ini!” bentak Sakti dengan emosi.
“Diam saja kamu Sak, dan nikmatilah bagaimana adikmu itu akan diajari oleh Om Fuadi menjadi wanita dewasa, haha,” ujar Baktiawan.
“Aa, apa? Adik?” tanya Sakti tak mengerti.
“Ya, kamu harus melihat apa yang akan kami lakukan terhadap adikmu Ara, Saktiawan Wijaya.”
Semua yang berada di ruangan itu kecuali Fuadi terkejut mendengar perkataan Baktiawan barusan. Dia dengan jelas menyebut nama Saktiawan Wijaya, bukan Saktiawan Mahendra. Nama Mahendra adalah nama belakangnya yang berarti bahwa Sakti adalah anaknya, namun dengan menyebut nama Wijaya, apakah berarti Sakti adalah anak dari, Wijaya?
“Apa maksudnya semua ini Pa?” tanya Sakti dengan nada tinggi.
“Mulai saat ini berhentilah memanggilku papa, karena yang harusnya kamu panggil papa adalah orang itu,” ujar Baktiawan sambil menunjuk Wijaya.
“Apa maksudmu Bakti? Kenapa menyuruh anakmu untuk memanggilku papa?” tanya Wijaya.
“Haha, Wijaya Wijaya. Kamu mau tahu? Kalian semua mau tahu? Baiklah, akan aku ceritakan semua sebelum kalian bersama-sama aku habisi, jadi lebih baik pasang kuping kalian dan dengar baik-baik setiap perkataanku,” ujar Bakti.
Semuanya kecuali Fuadi terdiam menunggu penjelasan dari Baktiawan. Semua ini terlalu mengejutkan dan tidak masuk akal. Apa yang sebenarnya terjadi? Itulah pertanyaan yang muncul di benak setiap orang di ruangan ini.
“Kamu tahu Wijaya, kenapa aku repot-repot mempersiapkan semua ini hah? Dendam Wijaya, dendam! Dendam yang meskipun sudah sangat lama berlalu tapi masih tersimpan semuanya di dalam hatiku,” bentak Baktiawan dengan gusar.
“Kamu tentu masih ingat dengan Marini kan?” tanya Baktiawan kepada Wijaya.
“Marini?” Wijaya terkejut, begitu pula dengan istrinya, dan juga Sakti.
Sakti memang mengenal nama itu. Baktiawan memberi tahu dia bahwa ibunya bernama Marini, dia sering diajak oleh Bakti untuk mengunjungi peristirahatan terakhir ibunya ketika masih kecil.
“Ya, Marini, wanita yang dulu pernah kamu perdaya,” ujar Baktiawan.
Semakin terkejutlah Aini mendengar suaminya pernah memperdaya Marini, karena Marini dulu adalah sahabatnya, yang tiba-tiba hilang entah kemana setelah setahun pernikahannya dengan Wijaya.
“Kamu dari dulu selalu merebut apa yang seharusnya menjadi milkku Wijaya. Kamu tahu dulu betapa aku begitu mencintai Aini. Aku selalu menceritakan semuanya ke kamu, tapi kamu malah merebutnya dan bahkan menjadi istrimu sampai sekarang. Saat aku mencoba untuk melupakan Aini, dan mulai mendekati Marini, hingga aku jatuh cinta padanya, kamu kembali berusaha untuk merebutnya, bahkan kamu berhasil menodainya hingga hamil,” terang Baktiawan menceritakan masa lalu mereka.
Wijaya tertegun mendengar penjelasan Baktiawan. Apa yang dikatakan oleh Baktiawan memang sepenuhnya benar. Mereka dulu sama-sama menyukai Aini meskipun Wijaya tak pernah menceritakannya pada Bakti, justru Bakti yang sering bercerita kepada Wijaya tentang perasaannya itu. Namun dengan licik saat itu Wijaya menceritakan betapa buruknya reputasi Bakti sebagai seorang penjahat kelamin yang suka berburu wanita kepada Aini, sehingga Aini menjadi benci pada Bakti dan justru semakin dekat dan semakin menyukai Wijaya, hingga sampai saat ini mereka menjalin rumah tangga selama puluhan tahun.
Aini yang mendengar penjelasan dari Bakti juga tak kalah terkejutnya. Dia tidak bisa percaya apa yang dikatakan oleh Bakti bahwa suaminya telah menodai dan bahkan menghamili sahabatnya. Namun saat melihat tak ada bantahan sama sekali dari suaminya, hatinya merasa terisis dan sangat sakit. Padahal dulu suaminya yang bilang kalau Baktilah yang seorang pemburu wanita, tapi ternyata suaminya pun tak ada bedanya.
“Aku sempat kebingungan saat itu karena Marini tiba-tiba saja menghilang dan sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku baru bertemu dengannya secara kebetulan saat dia sudah hamil 5 bulan, beberapa minggu setelah kamu berhasil membongkar bisnis narkoba yang baru saja aku rintis. Aku memaksanya untuk menceritakan apa yang telah terjadi, dan dari situlah dendamku kepadamu semakin terpupuk hingga saat ini,” lanjut Baktiawan.
“Aku yang masih mencintainya memutuskan untuk membesarkan anak hasil perbuatanmu itu. Namun saat Sakti lahir, melihatnya tersenyum selalu mengingatkanku dengan semua yang sudah kamu perbuat padaku, hingga dendamku semakin lama semakin membesar,” pungkas Bakti.
“Jadi, Marini sudah menikah denganmu?” tanya Wijaya lirih.
“Siapa bilang aku menikahinya? Haha, tidak Wijaya, aku tidak menikahinya, meskipun kemudian aku juga punya anak dengannya, yang Sakti saja tidak tahu kalau dia memiliki adik, karena sejak kecil aku sudah memisahkan mereka, mengirim Marini dan anakku keluar negeri,” jawab Wijaya.
“Tapi, makam itu?” tanya Sakti.
“Entahlah, itu makam siapa, aku hanya mengganti nisannya dengan menulis nama Marini disitu, karena kamu tak pernah berhenti menanyakan siapa ibumu, haha,” jawab Baktiawan.
“Bangsat kau Baktiawan!” maki Sakti, yang untuk pertama kalinya dia memanggil langsung nama Bakti tanpa menyebut papa.
“Hahaha, sekarang kamu tahu kan Sakti, siapa sebenarnya kamu dan juga keluargamu. Tapi sayang beberapa tahun lalu ibu kandungmu sudah meniggal di Inggris sana,” ujar Bakti.
Apa yang baru saja disampaikan oleh Baktiawan ini tentu saja begitu mengejutkan semua orang di ruangan ini, kecuali Fuadi yang memang sudah beberapa tahun lalu mengetahuinya sehingga menerima permintaan Baktiawan untuk membantunya membalas dendam kepada Wijaya.
Ramon pun akhirnya memahami kenapa dia disuruh untuk menculik Sakti, tak lain adalah agar Sakti bisa bereuni dengan keluarga kandungnya, meskipun tak akan lama, karena mungkin sebentar lagi mereka akan dihabisi satu persatu. Namun ada satu hal yang mengganjal di pikiran Ramon. Dibalik keterkejutan semua orang, dia melihat ekspresi dari Budi, nampak biasa saja, nampak tak terlalu terkejut seperti halnya Wijaya, Aini, Ara dan bahkan Sakti.
Ramon yang sedari tadi memperhatikan semua sanderanya ini, belum melihat ekspresi keterkejutan dari Budi, dari sejak dia sadar tadi hingga saat ini mendengar penjelasan dari Baktiawan. Seolah-olah Budi seperti orang yang sudah mengetahui apa yang akan dia alami sehingga reaksinya biasa-biasa saja. Ataukah memang Budi memang setenang ini orangnya? Rasanya tidak, setenang apapun, menyadari bahwa dirinya diculik, dan terlibat dalam suatu permasalahan seperti ini, terlalu aneh untuk bersikap biasa-biasa saja.
“Jadi Aini, itulah sosok suamimu yang sebenarnya. Dia adalah seorang penjahat kelamin juga, nggak ada bedanya dengan aku, yang dulu menjadikan alasan bagimu untuk menolak pinanganku. Bahkan sampai sebelum pernikahan anakmu pun, dia masih suka main perempuan, terutama para anak buahnya yang cantik-cantik itu,” ujar Baktiawan kepada Aini, yang sudah mulai mengalir air matanya.
“Bangsat, bicara apa kau Bakti?” hardik Wijaya.
“Haha, jangan munafik Wijaya. Aku sudah tahu semuanya, apa yang kamu lakukan dengan Safitri anak buahmu. Nggak rugi aku punya anak buah seperti Marto, haha,” jawab Baktiawan santai.
“Apa, Marto? Jadi dia anak buahmu juga hah?” tanya Wijaya.
“Hmm, lebih tepatnya dia anak buah Fuadi. Aku sudah dari lama mengajak Fuadi untuk membalas dendam padamu, karena aku tahu dia juga memiliki dendam kepadamu, karena kamu yang selalu keuntungan dan penghargaan dari setiap apa yang kamu lakukan. Setiap usaha dan pekerjaan yang kalian lakukan bersama selalu kami yang mengakui kalau itu adalah hasil kerja kamu, sehingga kamu semakin berjaya dan Fuadi tersisih, begitu kan Wijaya?”
“Tapi tenang saja, Marto yang hebat itu sudah aku habisi, dia nggak akan mengganggu pesta kita malam ini, haha,” tawa Baktiawan.
“Hey, sudah belum nostalgianya? Kapan kita mulai pestanya ini?” Fuadi yang sedari tadi diam sambil tangannya tak berhenti meremas payudara Ara mulai angkat bicara.
“Sudah nggak tahan kamu rupanya Ad?” tanya Baktiawan.
“Siapa juga yang tahan kalau ceweknya secantik ini, haha,” jawab Fuadi sambil tangannya meremas payudara Ara semakin kencang.
“Nggaaaak, lepasin, Ara nggak mauuuu, lepasiiiiin,” Ara mencoba melawan dan meronta, namun tangan dan kakinya yang terikat membuatnya tak bisa berbuat banyak.
“Nggak ada yang mau kamu sampaikan dulu sama Wijaya bangsat ini?” tanya Baktiawan.
Dorrrr Dorrrr Dorrrr..
Belum sempat Fuadi menjawab, tiba-tiba terdengar suara tembakan bersahut-sahutan yang diikuti dengan suara teriakan orang-orang di luar gudang. Sedikit terkejut, namun kemudian Fuadi dan Baktiawan hanya tertawa saja, menyadari bala bantuan dari Wijaya sudah datang. Mereka tak khawatir, karena sudah mempersiapkan untuk mengantisipasi adanya serangan seperti ini.
“Rupanya anak buahmu sudah mulai datang Wijaya. Tapi tenang saja, berapa pun orang yang membantu kamu malam ini, hanya akan berakhir sebagai mayat saja, haha,” ujar Baktiawan.
“Nah Fuad, silahkan mulai pestanya, aku mau nonton dulu aja,” lanjut Baktiawan.
“Haha, okelah kalau begitu. Ramon, lepasin ikatan di kaki dan tangan Ara,” perintahnya.
Ramon pun segera melepas ikatan di tangan dan kaki Ara seperti yang diminta oleh bossnya itu. Merasa bisa bergerak lebih bebas Ara mencoba untuk melawan dan menyerang Ramon. Namun baru saja hendak memukulkan tangannya di kepala Ramon, tiba-tiba gerakan Ara terhenti melihat apa yang dilakukan oleh Fuadi.
“Eits, anak manis nggak boleh nakal ya, atau kamu mau kepala ayah kamu ini berlubang?” ujar Fuadi dengan santainya sambil menodongkan sebuah pistol persis di kepala Wijaya.
“Nggak usah peduliin ayah nak, lawan mereka, cepat lari,” perintah Wijaya.
“Mau lari kemana Wijaya? Lebih baik Ara disini, daripada keluar dari gudang. Disana banyak preman lho, daripada anakmu diperkosa habis-habisan sama preman-preman itu, mending bersenang-senang dengan kita disini, haha,” ujar Baktiawan, diikuti oleh tawa Fuadi dan Ramon.
Ara cepat menyadari situasi yang sama sekali tidak menguntungkan ini. Jika benar yang dikatakan Bakti kalau di luar banyak preman, sudah bisa dipastikan nasibnya akan jauh lebih buruk kalau sampai memaksakan diri lari dari gudang ini. Tapi jika bertahan disini, dia pasti juga akan mengalami pelecehan oleh Fuadi dan Bakti, bahkan mungkin Ramon juga. Dan dia akan dilecehkan di depan orang-orang yang sangat dia cintai.
Dilema besar memenuhi pikirannya. Apa yang harus dia lakukan. Dia tentu saja tak rela jika harus dilecehkan terlebih di depan orang tua, suami, dan juga Sakti, yang ternyata adalah kakak kandungnya. Namun dia juga tidak ingin sampai harus diperkosa bergiliran oleh preman-preman itu. Mendengar suara tembakan dari luar gudang, dia benar-benar berharap siapapun mereka bisa mengalahkan preman-preman itu dan segera menolongnya.
Kini Ara terduduk dengan tangan dan kaki sudah bebas dari ikatan. Fuadi berjalan mendekatinya, memberikan pistolnya kepada Ramon. Kini Ramon yang bertugas untuk berdiri di dekat Wijaya, menempelkan pistol itu di kepala Wijaya.
Ara sempat melihat ke ruangan sebelah, dimana empat orang wanita yang semuanya sudah telanjang bulat, sedang berteriak histeris karena disetubuhi dengan kasar oleh empat orang pria yang dia tidak kenali. Keempat wanita itu tentu saja sangat dikenal Ara, dua orang adalah sahabatnya, dan dua orang lagi adalah kakak iparnya. Menyaksikan pemandangan seperti itu tentu saja membuat Ara bergidik ngeri, karena mungkin saja sebentar lagi dia akan mengalaminya.
Ramon mengikuti arah pandangan Ara, lalu kembali melihat Budi yang ternyata juga memandang ke arah itu. Sekali lagi dia heran, karena Budi masih bersikap biasa saja padahal dua orang kakak kandungnya sedang diperkosa habis-habisan, dan sebentar lagi istrinya pun akan mengalami hal itu. Tangannya memang terlihat mengepal, namun ekspresi wajahnya tidak berubah, masih cukup tenang.
Ramon berpikir mungkin Budi sekarang lebih tenang karena bala bantuannya sudah tiba. Pasti yang sedang bertempur dengan anak buahnya itu adalah bala bantuan dari Budi, bukan Wijaya, tak mungkin para polisi itu dapat dengan cepat menemukan tempat ini, pikir Ramon.
Kini Fuadi sudah berdiri tepat di hadapan Ara, memandang wanita itu sambil tersenyum mesum. Ara sendiri tahu apa yang dimaui oleh pria yang seumuran dengan ayahnya itu. Dalam kondisi normal tentu saja dia akan menolak, namun kini situasinya berbeda, dia berada di bawah ancaman, dengan Ramon masih mengacungkan pistol di kepala ayahnya.
“Nah gadis cantik, sekarang waktunya kamu untuk belajar menjadi wanita dewasa sepenuhnya, haha. Sekarang, buka celanaku!” perintah Fuadi.
“Nggak, Ara nggak mau,” tolak Ara.
“Kamu bicara seolah kamu punya pilihan saja, ayo cepat sebelum habis kesabaranku!” hardik Fuadi.
Ara menggelengkan kepalanya. Dia masih tidak rela untuk melakukan hal ini, di depan keluarganya. Melihat penolakan Ara tentu saja membuat Fuadi geram. Dia kemudian melirik ke arah Ramon, dan kemudian, Dorrr..
“Aaaarrrgghhh.”
Terdengar teriakan dari Wijaya. Ramon baru saja menembak kaki kanan pria itu. Darah pun terlihat membasahi celana yang membungkus paha Wijaya.
“Ayaaaahh, hiks,” Ara berteriak dan menangis mendapati ayahnya di tembak karena dia menolak permintaan Fuadi. Dia hendak menghampiri ayahnya namun ditahan oleh tangan Fuadi.
“Itu akibatnya kalau kamu menolakku. Kamu mengerti kan sekarang sayang?”
“Hiks Hiks, bajingan,” ujar Ara lirih di sela tangisnya, namun masih cukup terdengar oleh Fuadi. Tangannya mengepal keras menahan emosi yang meluap-luap di dalam dirinya.
“Haha, terserah kamu mau manggil apa, yang jelas kamu jangan macam-macam lagi sayang. Dan jangan lagi menolak apa yang aku perintahkan, karena penolakanmu selanjutnya, akan membuat peluru yang ada di pistol Ramon bersarang di kepala ayahmu.”
Ara tahu itu bukan sekedar gertakan. Dia tak rela melakukannya, tapi dia lebih tidak ingin orang yang dia cintai menderita, sehingga mau tak mau dia harus benar-benar mengikuti perintah dari Fuadi. Ara kemudian melihat ke arah suaminya. Budi menatapnya tajam, namun tatapan itu terasa damai, seolah memberikan ketenganan kepada Ara. Ada sedikit anggukan halus dari Budi. Entah apa maksudnya, namun dia percaya pada suaminya itu, percaya kepada orang di luar gudang yang sedang berusaha untuk menyelamatkan mereka.
“Ayo sayang, cepat buka celanaku!” Fuadi mengulang kembali perintahnya.
Dengan tangan yang begitu gemetar, Ara meraih kepala gesper Fuadi dan membukanya. Lalu tangan Ara perlahan membuka kancing celana Fuadi, kemudian menarik turun resletingnya. Ara menghentikan kegiatannya, membiarkan celana itu turun dengan sendirinya. Nampak oleh Ara sesuatu yang cukup besar mengembung di balik celana dalam Fuadi. Dengan jengah ia lalu menatap ke Fuadi. Pria itu tersenyum, lalu memberikan kode kepada Ara untuk melanjutkan melepaskan celana dalamnya.
Sekali lagi Ara menatap kepada suaminya. Tatapan Budi masih belum berubah, tajam namun serasa menenangkan baginya. Lalu kembali terlihat anggukan lembut dari Budi. Ara masih belum memahami maksud Budi, namun sekali lagi dia memutuskan untuk mempercayai suaminya itu.
Tangan Ara semakin gemetar saat memegang karet celana dalam Fuadi. Dengan sangat perlahan dia menarik turun celana dalam itu, hingga nampaklah kemaluan Fuadi yang sudah setengah tegang. Ara begitu terkejut melihatnya, melihat penis lain selain milik suaminya, di hadapan suami dan keluarganya. Ara pun segera memalingkan wajahnya namun justru melihat ke arah pada sahabat dan kakak iparnya yang tengah berjuang menahan sakit dari setiap hujaman kemaluan pemerkosa mereka.
Ara merasakan kepalanya dibelai dengan lembut oleh Fuadi, lalu dengan tangannya Fuadi menggerakkan kepala Ara untuk kembali menghadap penisnya. Menolak untuk menatapnya, Ara pun memejamkan matanya. Melihat reaksi wanita itu tentu saja membuat senyum Fuadi semakin terkembang. Ara ternyata memang benar-benar wanita yang baik, setia dan selalu menjaga dirinya, benar-benar menolak untuk menikmati pelecehan ini, terlebih di depan keluarganya sendiri.
“Buka mata kamu sayang, dan segera manjakan kontolku. Kamu tahu caranya kan? Haha.”
Ara masih tak mau membuka matanya, justru air matanya terlihat semakin deras mengalir dari sudut matanya. Dia benar-benar tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi dalam hidupnya, dilecehkan sedemikian rupa, di depan semua keluarganya. Dan dia tahu, ini baru saja permulaan dari pelecehan-pelecehan selanjutnya, bila tidak ada yang menolongnya nanti.
“Ayo cepat sayang, sebelum kepala ayah kamu tertembus peluru,” ujar Fuadi mengingatkan posisi Ara.
Ara lalu menoleh ke arah ayahnya. Wijaya sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia menahan sakit di pahanya yang ditembak oleh Ramon. Namun rasa sakit itu tak seberapa dibandingkan dengan sakit hatinya melihat anak kesayangannya dilecehkan seperti itu. Sementara Aini juga tak bisa berkata apa-apa lagi, sedari tadi hanya menangis yang bisa dia lakukan. Sakti yang masih syok juga seperti kehabisan kata-kata. Dia sendiri juga tidak rela Ara diperlakukan seperti itu, terlebih setelah tahu ternyata Ara adalah adik kandungnya. Ketiga orang itu hanya bisa menggelengkan kepalanya meminta Ara untuk tidak melakukannya.
Pandangan Ara beralih ke Budi, dan sekali lagi dia mendapatkan reaksi yang sama seperti sebelumnya. Ara memang tak bisa mengharapkan lebih, karena melihat kondisi suaminya yang terikat begitu kuat di tangan dan kakinya sehingga tak bisa bergerak sama sekali. Ara menatap Budi seolah meminta ijin untuk melakukan perintah Fuadi, dan kemudian dijawab dengan anggukan ringan oleh Budi.
Ara kemudian menatap Fuadi yang tersenyum kepadanya. Jijik sekali Ara melihat senyuman itu, namun dia juga sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ara menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, memantapkan dirinya untuk melakukan hal yang sangat-sangat tidak ingin dia lakukan itu.
Tangan halus Ara yang masih gemetar mulai menggenggam penis itu. Ara mulai menggerakkan tangannya mengocok pelan penis Fuadi hingga penis itu semakin membesar. Beberapa saat mendapat kocokan dari tangan Ara yang terasa begitu halus membuat Fuadi tak tahan hingga kini penisnya benar-benar sudah tegang.
“Pakai mulut kamu sayang!” perintah Fuadi yang sudah tak tahan ingin merasakan servis dari mulut Ara.
Ara pasrah. Berada di bawah ancaman membuatnya tak bisa berbuat apapun untuk melawan. Perlahan Ara mendekatkan kepalanya ke penis Fuadi. Jarak antara wajah Ara dan penis Fuadi hanya tinggal beberapa senti saja. Tercium oleh Ara aroma khas yang dikeluarkan dari pangkal paha Fuadi. Diiringi dengan suara tangis ibunya yang kian terdengar, Ara mulai membuka bibir mungilnya, bergerak ke depan hingga kepala penis besar itu berada di ambang mulutnya.
***
“Aaaarrrggghhhh ampuuun, sakiiiitttt.”
“Ooohh nikmat sekali bool cewek ini, masih perawan, sempit banget,” ujar Toro yang sedang menyodomi Nadya.
Badan wanita yang kini hanya tinggal mengenakan kerudungnya itu terlonjak-lonjak saat Toro dengan kasar menyodok-nyodokkan penis besarnya di lubang anusnya yang masih sempit. Teriakan kesakitannya dari tadi sama sekali tak membuat Toro menjadi iba, namun semakin bersemangat untuk mengerjainya. Hentakan penisnya semakin lama justru semakin cepat.
Plok Plok Plok Plok.
Tepat berada di samping Toro, Ali juga sama saja, sedang memasukkan penisnya yang cukup besar ke dalam lubang anus Lia yang belum pernah dimasuki oleh siapapun. Sama seperti Nadya, posisinya sedang menungging, pakaiannya pun telah terlepas semua. Teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Lia pun semakin membuat Ali kesetanan menyodomi wanita cantik itu.
Nadya dan Lia yang sebelumnya pingsan, tersadar akibat rasa sakit yang teramat di anus mereka. Tangis dan teriakan meledak saat menyadari tubuh mereka tak lagi tertutup apapun kecuali kerudung di kepala Nadya. Terlebih saat ini anus keduanya, yang selama ini selalu terjaga sedang dimasuki oleh orang yang sama sekali tidak mereka kenali. Rasa sakit yang luar biasa mereka rasakan hingga tak memperhatikan keadaan di sekitar mereka.
Filli dan Renata, yang juga sudah ditelanjangi oleh Joni dan Markus juga sedang disetubuhi habis-habisan oleh kedua preman itu. Meskipun sudah pernah disodomi sebelumnya, namun perlakuan kasar dari Markus akibat keinginannya untuk menyetubuhi Nadya harus tertunda gara-gara Toro, membuat Renata begitu menderita merasakan sakit yang luar biasa di lubang anusnya.
Berbeda dengan Filli yang bisa lebih rileks, karena saat ini penis Joni yang memasuki anusnya sudah cukup basah oleh cairan cintanya, setelah sebelumnya dia menggenjot vagina Filli. Meskipun begitu bukan berarti Filli menikmatinya. Filli melihat ke kanan kirinya, tiga orang wanita yang sedang berteriak kesakitan saat anus mereka disodok.
Ali kini merubah posisi Lia, dia mencabut penisnya dari lubang anus Lia, membuat wanita itu bisa sedikit bernafas lega. Tubuh Lia kemudian dibaringkan menghadap Ali. Kedua kaki Lia dibuka lebar-lebar sehingga terlihat lubang anus yang masih menganga lebar. Ali kemudian memegang penisnya yang masih sangat tegang, kemudian digesek-gesekkan ke bibir vagina Lia.
Mendapat perlakuan demikian, tanpa sadar badan Lia menggelinjang, ada rasa geli disana. Ali tak ingin berlama-lama, dia kemudian menekan penisnya hingga kepala penisnya masuk menyeruak ke vagina Lia.
“Hhmmmpphh.”
Lia terpekik perlahan. Kali ini bukan sakit yang dia rasakan, tapi ada sedikit rasa nikmat disana. Meskipun liang vaginanya masih cukup kering, namun Ali yang hanya memasukkan sebatas kepala penisnya, lalu menggoyangnya pelan mau tak mau membuat birahi Lia perlahan naik.
Ali bahkan tak lagi memegangi kedua kaki Lia. Kini tangannya bermain di kedua payudara Lia, di kedua putingnya. Jemarinya dengan perlahan memilin-milin kedua puting itu, membuatnya semakin mengeras. Lia sendiri tak mengerti dengan keadaan ini. Sudah jelas dia disetubuhi oleh pria yang sama sekali tidak dikenalnya. Seharusnya dia menolak, terlebih pria itu baru saja menyakiti lubang belakangnya, namun nyatanya perlakuan Ali yang kali ini berubah lembut justru membuainya.
Kepala penis Ali masih bergoyang pelan di kemaluan Lia, yang terasa mulai basah. Bibir Ali kini sudah berada di dada Lia, lidahnya memainkan puting Lia yang semakin mengeras. Rangsangan yang diberikan Ali rupanya membuat gairah dalam tubuh Lia semakin tak terkendali, hingga tanpa sadar dia menggerakan pinggulnya. Tangan Lia bahkan juga mulai memeluk pinggang Ali.
Gerakan yang dibuat Lia ini diimbangi oleh Ali, yang akhirnya membuat penis Ali sedikit demi sedikit semakin dalam memasuki liang vagina Lia. Lia sudah tak sadar penis siapa yang sedang memasuki tubuhnya, yang dia tahu adalah penis ini begitu besar dan nikmat, dia ingin lebih nikmat lagi saat ujung kepala penis ini menyentuh dinding rahimnya.
Cumbuan lidah Ali kini menyusuri leher Lia yang sudah basah oleh keringat. Sesekali dicium dan dijilati telinga Lia, membuat wanita itu semakin menggelinjang dan mempercepat gerakan pinggulnya. Lia tak lagi menangis. Matanya terpejam dan mulutnya tertutup erat, dia menahan untuk tidak mendesah, karena Lia sadar pasti lelaki ini tahu kalau dia sedang menikmati penisnya.
“Aaaaaggggghhhh.”
Mata Lia terbelalak, mulutnya terbuka membentuk huruf O saat dirasakan Ali menyentak penisnya hingga masuk sepenuhnya di vagina Lia.
‘Oh Tuhan, ini nikmat sekali’ batin Lia.
Dia tak dapat memungkiri penis pria ini begitu nikmat jika dibandingkan milik suaminya, dan beberapa pria yang pernah menikmatinya. Namun sesaat kemudian Lia kembali menutup matanya, dia tak ingin melihat wajah pemerkosanya itu. Pemerkosa? Ya, Lia masih berpikir kalau lelaki itu adalah pemerkosa, meskipun saat ini dia sangat menikmati setiap sodokan dari pria itu.
“Eempphh.. Emmphhh.. Eeemphh.”
Lia mengerang tertahan karena memang saat ini mulutnya kembali tertutup rapat. Ali yang melihat itu tersenyum saja, dan semakin semangat untuk mengayuh kenikmatan di atas tubuh Lia. Lia yang saat ini memejamkan matanya, semakin menikmati permainan Ali karena dia membayangkan tubuhnya sedang disetubuhi oleh pria yang dia sukai. Bukan suaminya, tapi Lia sedang membayangkan tubuhnya sedang disenggamai oleh suami dari sahabatnya sendiri.
Sementara itu di sebelah mereka nampak Nadya sudah tidak lagi mengeluarkan teriakannya. Bukan karena menikmati, namun dirinya sudah terlalu lelah berteriak, tenggorokannya sudah sangat serak. Tubuhnya kini hanya pasrah menerima setiap sodokan dari Toro di anusnya. Dia masih menungging, kepalanya yang masih tertutup kerudung menempel di kasur menghadap ke arah Lia yang sedang disetubuhi oleh Ali.
Tangan Toro begitu kasar meremasi payudara Nadya yang kini semakin memerah. Air matanya belum berhenti mengalir, namun dia sudah tak punya tenaga lagi untuk melakukan apapun sehingga hanya pasrah saja. Sesekali erangan lirih masih terdengar dari mulutnya saat tusukan penis Toro dirasa begitu menyakiti tubuhnya.
Toro memang begitu terobsesi untuk menyetubuhi, atau lebih tepatnya menyodomi wanita seperti Nadya. Seorang wanita alim yang senantiasa berpenampilan tertutup. Dia tak peduli wanita itu sudah menikah atau masih perawan ting-ting, namun yang penting baginya adalah lubang anus wanita itu masih sempit.
Entah sudah berapa wanita yang menjadi korban kebiadaban Toro ini. Mulai dari gadis SMP hingga seorang istri pejabat yang masih sangat cantik pun pernah menjadi korban sodominya. Toro memang pilih-pilih untuk menikmati mangsanya. Dia lebih memilih wanita yang berpenampilan tertutup, namun dalam kasus-kasus tertentu, wanita yang tak berkerudung pun dia sikat juga. Biasanya wanita tak berkerudung yang dimangsa Toro bukanlah anak sekolah atau ibu rumah tangga, tapi lebih kepada wanita-wanita karir, entah itu pegawai kantoran, atau penegak hukum.
Dan kini dia mendapatkan lagi seorang mangsa yang berkerudung, yang berprofesi sebagai pegawai negeri, dan merupakan istri dari seorang pria. Dan lagi, wanita ini memiliki lubang anus yang masih sangat sempit. Karena itulah Toro benar-benar ingin menikmati sepuasnya tubuh Nadya, sehingga cenderung menyodominya dengan brutal.
Toro tak memikirkan apa yang dirasakan oleh wanita yang dia sodomi. Selama ini dia hanya mengejar kenikmatannya sendiri. Bahkan semakin menderita wanita itu semakin nikmat yang dirasakan oleh Toro. Memang tak pernah dia menyiksa secara berlebihan seperti mencambuk atau memukuli, namun dengan kemaluannya yang besar itu sudah cukup untuk menyakiti lubang belakang wanita manapun.
Di samping mereka lagi, Filli dan Joni pun sudah berubah posisi. Filli saat ini sedang menduduki penis Joni. Penis itu kini sudah berpindah kembali ke vagina Filli. Kedua tangan Filli bertumpu pada dada Joni yang berbulu lebat. Pinggul wanita itu sudah bergerak naik turun perlahan, wajahnya menyiratkan sebersit kenikmatan.
Kedua tangan Joni pun tak mau tinggal diam dengan meremasi kedua payudara Filli yang masih sekal. Jari-jarinya pun tak lupa memilin kedua puting Filli, membuat wanita itu menggigit bibir bawahnya menahan kenikmatan. Joni tak menggerakan pinggulnya sama sekali, dia ingin Filli yang bergerak mengikuti luapan birahinya.
Joni paham bahwa sedari sadar dari pingsannya tadi, meskipun mulutnya menolak, berteriak dan menangis namun tubuh wanita ini tak bisa membohonginya. Vagina Filli yang kini sudah sangat basah menjadi bukti bahwa wanita ini sedang menikmati tubuhnya yang dilecehkan.
Penis Joni kini sudah bersarang di vagina Filli. Tidak adanya gerakan dari Joni membuat vagina Filli semakin gatal saja rasanya, hingga mau tak mau dia sedikit menggerakkan pinggulnya untuk sedikit mengurangi rasa gatal itu, dan memancing Joni untuk ikut bergerak juga. Namun Joni sama sekali tak tergoda untuk bergerak, bukannya dia tidak menikmati vagina Filli yang sedang meremasi penisnya, namun karena dia ingin Filli benar-benar total menggerakkan badanya menikmati persetubuhan ini.
Begitulah Joni jika menaklukan wanita. Banyak wanita yang jatuh ke dalam pelukannya, akhirnya total menyerahkan dirinya karena sudah tak bisa lagi lepas dari kenikmatan yang diberikan oleh Joni. Memang pada awalnya mereka dipaksa dan diperkosa, tapi itu hanya awal saja, setelahnya beberapa dari wanita itu bahkan dengan sadar mendatangi Joni, dan meminta untuk disetubuhi.
Kali ini Joni ingin melakukan hal yang sama kepada Filli, dan nampaknya sebentar lagi akan berhasil. Filli terlihat begitu kikuk karena pancingannya tak termakan oleh Joni, malah tangan Joni yang semakin intens membelai dan merangsang payudaranya. Filli semakin blingsatan, hingga akhirnya dia menggerakkan pinggulnya semakin kencang. Filli menatap wajah Joni yang tersenyum penuh kemenangan, kemudian mendekat dan membisikan sesuatu kepada Joni.
“Brengsek kamu mas, apa yang kamu mau hah?” bisik Filli di telinga Joni, sambil pinggulnya bergoyang semakin cepat.
“Haha, jadilah binal mbak, ayo puaskan dirimu,” jawab Joni sambil tangan kirinya memeluk kepala Filli dan lidahnya menjilati telinga wanita itu.
Joni terus menerus merangsang Filli namun pinggulnya masih sama sekali tak bergerak, membuat Filli sangat jengkel, dan akhirnya menghentakkan pinggulnya semakin keras karena diakui olehnya, vaginanya semakin gatal akibat rangsangan dari Joni. Liang vaginanya menginginkan untuk lebih digaruk lagi, hingga rasa gatal itu berubah menjadi kepuasan, itulah yang saat ini sedang dikejar oleh Filli.
Dia sudah tidak peduli lagi dengan keadaan di sekitarnya. Saat ini Lia sedang berusaha menutup erat mulutnya menahan desahan kenikmatan yang diperolehnya dari Ali, sedangkan Nadya sudah tak mampu lagi berteriak meskipun sampai saat ini masih disodomi dengan sedemikian kasar oleh Toro. Sementara itu adiknya Renata, saat inipun juga masih berteriak kesakitan akibat permainan kasar dari Markus.
Filli sudah tak memperhatikan yang lainnya. Dia kembali menegakkan badannya, menumpukan kedua tangannya di dada Joni, kemudian pinggulnya bergerak maju mundur, naik turun dan sesekali memutar. Tangan Joni kembali meraih kedua puting Filli dan memilinnya, membuat Filli semakin liar gerakannya.
“Aahh aahhhh ahhhh.”
Tak malu lagi Filli mengungkapkan kenikmatan yang dia peroleh dengan desahannya, terlebih saat ini dia rasakan pinggul Joni sudah mulai bergerak, membuat penis panjang itu beberapa kali menyentung dinding rahimnya. Kenikmatan yang didapatkan Filli seolah bertambah, membuatnya mempercepat gerakannya.
Joni tak lagi memegangi payudara Filli, namun kini kedua tangannya sudah berada di pinggul Filli. Dia memang sengaja melepaskan kedua payudara itu karena ingin melihat bagaimana indahnya kedua payudara itu bergerak naik turun seirama dengan gerakan tubuh Filli.
Sementara itu, di samping mereka Renata masih begitu menderita. Tak hanya lubang anusnya yang disodoki dengan sangat kasar oleh Markus, namun Renata juga mendapatkan perlakuan kasar lainnya. Kedua pantatnya sudah sangat memerah akibat beberapa kali dipukul oleh Markus. Kepalanya pun kini terdongak karena rambut panjangnya dijambak dengan kasar oleh tangan kanan Markus, sedangkan tangan kiri pria itu berada di leher Renata dengan sedikit gerakan mencekik.
Hal ini tentu saja merupakan suatu penderitaan yang luar biasa bagi Renata. Markus memang suka menyiksa korban-korbannya. Hampir sama seperti Toro, semakin korbannya kesakitan, semakin puas lah dia. Tak jarang, ketika sedang menikmati korbannya dia menampar, memukul dan melakukan hal-hal lain untuk menyakiti korbannya, meskipun sang korban sudah pasrah tak memberikan perlawanan apapun karena takut dengan siksaan Markus.
Dan kali ini Renata yang menjadi korban. Lebih sial lagi sebab Markus menyetubuhinya dalam kondisi emosi karena targetnya dari awal tadi kini direbut oleh Toro. Markus tidak pernah suka apa yang menjadi kesenangannya diganggu orang lain, tapi kali ini dia tak bisa berbuat apa-apa karena dia sangat segan kepada Toro, orang yang dulu mengangkatnya dari jalanan sampai saat ini menjadi salah satu dari 4 pimpinan bandit yang disegani di kota ini.
Karena rasa segan itulah yang membuat Markus melampiaskan semua kemarahannya pada Renata. Tubuh telanjang Renata tersentak setiap kali penis Markus terbenam di lubang anusnya. Rambutnya yang dijambak dan lehernya yang dicekik membuatnya tak bisa berbuat banyak. Teriakannya juga sudah mulai berkurang karena kehabisan tenaga.
Sesaat kemudian melepaskan cengkraman tangannya dari leher Renata dan berpindah ke payudara yang menggantung indah. Diremas dengan sangat kasar payudara itu sehingga menimbulkan bekas merah. Teriakan Renata tak tertahan lagi mendapat perlakuan seperti itu.
Penis Markus masih dengan kasarnya menjelajahi tiap inchi permukaan liang anus Renata yang sebenarnya sudah berkali-kali dimasuki oleh pria selain suaminya. Namun sekali lagi, perlakuan kasar Markus padanya membuat semuanya serasa berbeda.
“Aahh anjiiiiiiing, enak banget boolmu pelacuurr, aaahhh.”
Markus pun mendesah dan mengeluarkan kata-kata kotor yang membuat Renata semakin jijik. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah. Sejak pertama tersadar dari pingsannya Renata sudah langsung merasakan sakit yang luar biasa di lubang anusnya. Tangisnya langsung meledah, dan hingga saat ini air matanya pun belum bisa berhenti.
Dorrrr Dorrrr Dorrrr..
Keempat pria itu sempat berhenti dari aktivitas mereka, membuat keempat wanita yang sedang mereka gumuli bisa sedikit bernafas lega. Terdengar oleh mereka ada baku tembak dari luar gudang. Keempat wanita yang sedang digumuli ini berucap syukur, semoga itu adalah bantuan yang datang untuk menyelamatkan mereka.
“Bang, ada tembakan. Jangan-jangan ada polisi?” kata Ali yang sedang menindih Lia.
“Iya bang, gimana ini?” tanya Joni yang sedang berbaring diduduki oleh Filli.
“Tenang aja, anak buah kita kan udah banyak, dan lagian kalau anak buah kita kalah, kita masih punya senjata rahasia,” jawab Toro tenang, sambil pinggulnya mulai bergerak lagi menyodomi Nadya.
“Senjata rahasia apa?” tanya Markus yang sedari tadi terdiam.
“Boss kita udah nyiapin dua orang
sniper. Mereka yang akan menghabisi polisi-polisi itu, haha,” jawab Toro yang semakin mempercepat gerakannya di pantat Nadya.
Ketiga orang lainnya nampak lebih lega sekarang, sehingga mereka melanjutkan kembali permainan mereka dengan para wanita itu.
***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar